Sunday, June 10, 2012
Ada Apa dengan Adipura?
AKU menapak Bandar Lampung pertama kali ketika dipanggil tes kerja dari Lampung Post, pada September 2005. Waktu itu aku belum banyak tahu tentang Kota Tapis Berseri ini.
Begitu diterima menjadi wartawan Lampung Post, tugas utamaku adalah menjelajahi semua sela dan pelosok di kota ini. Dan, sampai sekarang sudah tujuh tahun aku hidup di kota tercinta ini.
Bagiku, Bandar Lampung seperti rumah ke-3, tentu saja karena rumah pertamaku adalah tanah kelahiran di Pasaman, Sumatera Barat. Rumah kedua, yaitu tempat aku menghabiskan masa muda di Yogyakarya. Dan rumah ketiga adalah di Bandar Lampung tercinta ini. Di kota ini pula aku bertemu dengan pasangan hidup dan melahirkan keturunan nan cantik.
Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Sudah banyak tempat yang aku kunjungi, mulai dari Pasar Bambu Kuning, Pasar Tengah, Panjang, Telukbetung, kawasan Bakung, dan jalan-jalan utama Bandar Lampung yang selama ini identik dengan tempat yang kotor dan jorok.
Enam tahun berlalu, tidak banyak yang berubah. Sampah di pinggir jalan masih banyak yang menumpuk. Jalan sempit dan setiap hujan banjir. Namun, satu tahun belakangan ini banyak hal yang sudah berubah. Pasar Bambu Kuning telah tertata dengan sangat rapi. Jalan-jalan utama lebih lebar. Satu hal lagi yang membuat takjub daerah yang dulunya identik dengan sampah dan kotor, sekarang terlihat bersih dan sejuk.
Bagiku perubahan ini sangat berarti. Tak peduli siapa pun wali kotanya dan apa programnya. Tapi kali ini perubahannya sangat terasa. Saat melintas di Jalan Teuku Umar, mataku melirik ke kiri dan ke kanan. Hmmm... tumben, tidak ada tumpukan sampah di pinggir jalan. Lebih takjub lagi ketika aku melintas di Pasar Bambu Kuning. Sim salabim ... abrakadabra ... pasar yang dulu sesak dengan pedagang kaki lima sekarang tertata dengan sangat rapi. Pasar tradisional itu telah berubah menjadi pasar tradisional modern.
Namun aneh. Di kala semua mulai terlihat bersih dan rapi, bukan Piala Adipura yang didapat, justru sebaliknya, predikat sebagai kota terkotor. Sebenarnya ada apa dengan penilaian Piala Adipura?
Melihat kenyataan ini, Adipura, bagiku tak lebih dari sebuah prestise, bukan prestasi! Hmmm... jujur, aku sedih mendengar Bandar Lampung menyandang predikat kota terkotor. Di sisi lain aku bangga dengan Pemkot dan masyarakat yang terus menerapkan pola hidup bersih dan sehat tanpa butuh penilaian dari siapa pun. (RINDA MULYANI)
Lampost : Jum'at 8 Juni 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment