Friday, December 31, 2010

NAMBAHDADI DISERANG 1 TEWAS, 4 RUMAH DIBAKAR

Utama Lampost : Kamis, 30 Desember 2010

KONFLIK MASSA DI LAMPUNG.


TERBANGGIBESAR (LampostOnline): Kampung Nambahdadi, Kecamatan Terbanggibesar, Lampung Tengah, diserang puluhan orang Kamis (30-12) siang. Seorang warga kampung lain yang melintas tewas dianiaya dan empat rumah dibakar.

Sebelum menyerang kampung, puluhan orang itu sebelumnya membubarkan aksi demo 500-an warga Kampung Nambahdadi, di depan Mapolres Lampung Tengah, sekitar pukul 11.00.

Awalnya, warga Kampung Nambahdadi berunjuk rasa menuntut Polres membebaskan Parno, warga Nambahdadi. Parno ditahan atas dugaan terlibat penganiayaan terhadap Weli Aprijal (22), warga Tanjungratu Ilir, Kecamatan Way Pengubuan, Lampung Tengah, pada 19 Desember 2010.

Weli diduga mencuri Yamaha Mio BE-3044-HO milik Sutimin, warga Kampung Tandus, Kecamatan Bandarmataram, Lampung Tengah. Weli akhirnya tewas di Rumah Sakit Demang Sepulau Raya, Gunungsugih.

Rombongan pengunjuk rasa dari Nambahdadi tiba di Mapolres dengan lima truk dan dua pikap sekitar pukul 11.00. Mereka diadang pasukan Dalmas dan Brimob Kompi 4 di Pos Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK).

Kepala Kampung Nambahdadi, Supriyanto, yang datang dengan pakaian dinas upacara mencoba menenangkan warga termasuk Anang Prihantoro, anggota DPD dan J. Natalis Sinaga, anggota DPRD Lamteng.

Lima wakil warga—Supriyanto (kepala kampung), Suganda, Edi Suparlan, Dwi Nurcahyadi, dan Ismiyati—lalu berdialog dengan Kapolres AKBP Budi Wibowo di ruang rapat Mapolres.

Edi Suparlan menjelaskan awalnya warga Nambahdadi berniat menolong seorang pengendara sepeda motor yang terjatuh di jalan rusak. Namun, ketika hendak ditolong, pengendara sepeda motor itu justru menodongkan pistol ke warga.

"Kami tidak berniat menganiaya sebelum pelaku itu mengeluarkan pistol dan menodong. Memang di sana ada satu polisi, tapi tidak dapat berbuat banyak," ujarnya.

Menanggapi itu, Kapolres menegaskan pihak kepolisian hanya menjalankan tugas. "Dalam permasalahan ini ada dua tindak pidana yang berbeda, curanmor dan penganiayaan," kata dia.

Saat wakil warga dan Kapolres berdialog, pengunjuk rasa yang berada di tepi jalan depan Mapolres kocar-kacir karena diserbu massa bersenjata tajam.

Tak ada korban dalam kejadian itu karena warga langsung naik ke truk dan sebagian masuk ke halaman Mapolres dengan memanjat pagar. Tak ada korban dalam penyerbuan itu.

Kawal Pengunjuk Rasa

Mendengar keributan di luar, Kapolres dan perwakilan warga Nambahdadi keluar ruang rapat. Warga Nambahdadi meminta kepolisian mengawal mereka pulang ke kampung.

Kapolres lalu memerintahkan dua peleton Dalmas menggeser pasukan. Satu unit kendaraan Dalmas menyusul iring-iringan warga Nambahdadi yang pulang ke kampung dengan memutar melalui Kampung Gotongroyong-Punggur-Kotagajah-Seputihraman, lalu berbelok melalui Seputihmataram.

Sedangkan satu unit lagi digeser ke Kampung Nambahdadi. Sementara itu, ibu-ibu dipulangkan dengan pengawalan pasukan Samapta menggunakan kendaraan Dalmas.

Kejadian tersebut sempat membuat kemacetan di jalinsum Kampung Gunungsugih. Tetapi, selama beberapa jam unjuk rasa dan keributan massa terjadi, tidak satu pun unsur pemerintah kabupaten yang datang untuk memfasilitasi.

Asisten I Setkab Lamteng Rivai Daniel menjelaskan Bupati dan Wakil Bupati rapat di Pemprov. Sedangkan Camat Way Pengubuhan, Terbanggibesar, dan Gunungsugih sedang mengikuti serah terima jabatan di Nuwo Balak. (CK-1/DRA/R-2/L-1)

Wednesday, December 29, 2010

FORMATUR LAMPUNG SAI SUSUN PENGURUS

Bandar Lampung Lampost : Rabu, 29 Desember 2010


BANDAR LAMPUNG—Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lampung Sai periode 2010—2015 terpilih M. Irwan Nasution Gelar Rajalelo bersama Tim Formatur sedang menyusun pengurus untuk diajukan ke DPP Lampung Sai, dan akan dilantik pada 15 Januari 2011. Program mereka dalam waktu dekat adalah membentuk DPD Lampung Sai di 14 kabupaten dan kota. "Kami segera melakukan konsolidasi, dan membentuk Lampung Sai di Kabupaten dan Kota. Ini amanat organisasi yang terdekat," kata Irwan.

Irwan terpilih Musda ke III Lampung Sai digelar satu hari, di Gedung Auditorium, Taman Wisata, Lembah Hijau, Senin (27-12), pukul 09.00. Surat ketetapan M. Irwan Nasution langsung dibacakan Sekjen DPP Lampung Sai H. Mawardi, atas nama Ketua Umum DPP Lampung Sai Sjachroedin Z.P. Gelar Sutan Mangku Negara. Wakil Ketua DPP Lampung Sai H. Sutan Syahrir ketika menutup acara berharap Lampung Sai lebih baik pada periode berikutnya. (JUN/D-2)

Tuesday, December 28, 2010

Lampung Sai Bukan Kendaraan Politik

Bandar Lampung Lampost : Selasa, 28 Desember 2010

ORMAS

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengingatkan Lampung Sai adalah organisasi masyarakat (ormas) yang memiliki tujuan melestarikan dan menambah nilai seni budaya Lampung, bukan organisasi politik dan menjadi kendaraan politik untuk mengantar seseorang menjadi pejabat.

Sjachroedin mengatakan itu ketika membuka acara Musda III DPD Lampung Sai Provinsi Lampung di Taman Wisata Lembah Hijau, Senin (27-12).

Hadir antara lain Sekjen H. Mawardi, Danrem Kolonel Inf. H. Hasibuan, Ketua Fokmal H. Soetan Syahrir, Bupati Way Kanan Bustami Zainuddin, Wakil Bupati Lampung Timur Erwin Arifin, mantan Wadir Intel Polda Lampung Kombes yang juga Ketua Bidang OKK H. Yusril Hakim, dan puluhan tokoh Adat Lampung.

Dalam musda ini, M. Irwan Nasution Gelar Rajalelo terpilih secara aklamasi sebagai ketua DPD Lampung Sai periode 2010-2015. Irwan menggantikan ketua lama Harun Muda Indrajaya.

Sjachroedin Gelar Sutan Mangku Negara yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lampung Sai mengatakan keberadaan Lampung Sai berawal dari forum silaturahmi yang didirikan 42 tahun lalu, dibentuk oleh tokoh tokoh Lampung yang ada di Jakarta pada 1968.

Tahun 1993, Sjachroedin diajak bergabung dan baru aktif serta menjadi pengurus pada 1998. Lampung Sai kemudian dibentuk di Bengkulu, Jambi, Palembang, Medan, Padang, dan beberapa provinsi di Jawa.

"Awalnya forum silaturahmi. Lalu kami kembangkan menjadi ormas dan tujuannya untuk melestarikan dan menambah nilai budaya. Jadi, bukan untuk mengantar seseorang untuk menjadi pejabat," katanya.

Dia mengingatkan setiap organisasi harus memiliki tujuan jelas dan penerus organisasi Lampung Sai harus memahami historinya. Dia mencontohkan adanya prasasti yang dibuat Lampung dan Banten pada masa kerajaan, yang menyebutkan ada hubungan ikatan persaudaraan erat antara Banten dan Lampung.

"Bakauheni hingga Anyer itu diserahkan Banten untuk Lampung sebagai hadiah perjuangan. Karena perjanjian pada masa peperangan dulu, jika Lampung diserang, Banten siap di belakang, begitu juga sebaliknya. Jadi, generasi muda juga harus paham tentang sejarah-sejarah ini," kata Sjachroedin.

Tentang ketua DPD Lampung, Sjachroedin menyerahkan pada keputusan musda. "Siapa yang menjadi ketua tergantung hasil musda. Yang jelas harus bisa mengemban amanat organisasi ini. Pemimpin yang rela berkorban dan siap bekerja," katanya. JUN/D-2

Saturday, December 11, 2010

108 Kesultanan Hadiri Festival Kesultanan Nusantara di Palembang

Palembang:

Sedikitnya 108 keraton/kesultanan memastikan menghadiri dan meramaikan Festival
Keraton Nusantara (FKN) VII di Palembang, Jumat– Minggu (26–28/11).

Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin Kamis (11/11) mengungkapkan, selain berasal dari keraton di nusantara, beberapa keraton/kesultanan dari negara tetangga seperti Kesultanan Sulu (Filipina), Kesultanan Serawak (Malaysia), dan Kesultanan Brunei Darussalam juga akan ambil bagian pada even kali ini.

“Panitia sudah mendapat komitmen mereka akan hadir pada FKN di Palembang.
Mengusung tema “Revitalisasi Peran Keraton dan Lembaga Adat Nusantara dalam Memperkokoh Ketahanan Budaya Bangsa”, ajang pertemuan keraton se- Nusantara kali ini akan mem-fokuskan pembahasan bagaimana mengembalikan nilai-nilai luhur bangsa ini yang mulai meluntur.

“Begitu banyak permasalahan muncul di negeri ini sekarang. Tawuran dan aksi anarkis setiap hari terjadi. Kekompakan, gotong royong, kesetiakawanan, dan kebersamaan yang menjadi nilai luhur bangsa ini seolah menghilang ditelan globalisasi. Itulah yang ingin diperbaiki bersama melalui lembaga adat ini,”tukasnya.



Dirikan Koperasi

Sultan Iskandar menambahkan, pada musyawarah besar (mubes) juga akan dibahas pembentukan wadah tunggal dari forum keraton dan lembaga adat yang tersebar di nusantara ini. Selain itu akan dibahas pula pembentukan koperasi raja/sultan nusantara untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan.

Berbagai persoalan lainnya, menurut Ketua Panitia Ismet Nur Asni, akan dibahas dalam festival ini. Di antaranya peran keraton dan lembaga adat dalam memperkokoh ketahanan budaya bangsa dan menetapkan tuan rumah FKN VIII.

Untuk meramaikan festival ini, sebanyak 3.000 prajurit keraton se-Nusantara akan mengikuti even yang bakal digelar di Palembang, Jumat– Minggu (26–28/11).

FKN nanti akan dipusatkan di Plasa Benteng Kuto Besak (BKB) dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Festival ini menurut dia, terbuka untuk umum. Saat festival berlangsung akan ditampilkan berbagai keunikan budaya yang dimiliki masing-masing keraton.

“Akan ada pameran benda pusaka masing-masing keraton. Nanti juga akan ada kirab agung prajurit keraton lengkap dengan atribut dan ciri khas masing-masing keraton pada 27 November,” katanya.

Diungkapkan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, masyarakat Palembang patut berbangga dengan adanya even ini. Pasalnya, FKN VII ini baru pertama kali dilaksanakan di pulau Sumatera. “Kesultanan Palembang sudah lebih dari 183 tahun vakum karena berbagai permasalahan. Namun saat ini kami berusaha bangkit dan alhamdulillah, bisa muncul kembali dan membangun kembali tatanan adat istiadat dan kebudayaan di Palembang. Kesuksesan kami menjadi tuan rumah yang baik nantinya, tentu tidak lepas dari peran serta masyarakat Palembang,” tutur Sultan Iskandar.

Berbagai persoalan lainnya, menurut Ketua Panitia Ismet Nur Asni, akan dibahas dalam festival ini. Di antaranya peran keratin dan lembaga adapt dalam memperkokoh ketahanan budaya bangsa, deklarasi persaudaraan raja/sultan dan lembaga adat nusantara menjadi wadah tunggal yang bernama Persaudaraan raja/sultan adat nusantara. (sir)

Profil: Edward Lestarikan Tradisi Kesultanan


TRADISI KESULTANAN DI LAMPUNG

KESULTANAN Lampung mungkin saja tidak akan menyandang nama yang cukup dihormati, terutama di kalangan masyarakat adat Nusantara, tanpa peran Sultan Edward Syah Pernong. Berkat kiprah dan usaha keras dari sosok yang berkomitmen tinggi melestarikan beragam seni tradisi dan adat istiadat tersebut, sejumlah warisan tradisi Kesultanan Lampung masa silam yang pernah terancam pudar kini tetap bertahan karena terjaga dengan baik.

Edward Syah Pernong (ONI)

Ketika ditemui di sela-sela Kirab Agung atau pawai budaya yang menandai dibukanya kegiatan Festival Keraton Nusantara VII di kawasan Benteng Kuto Besak, Kota Palembang, Sabtu (27/11), Sultan Edward terlihat sibuk berbincang dengan para hulubalang, prajurit, dan sejumlah punggawa Kesultanan Lampung yang saat itu sedang bersiap-siap untuk memulai Kirab Agung.

”Sebelum giliran kita, saya hendak menyampaikan satu hal tentang pentingnya makna Kirab Agung. Kirab ini jangan hanya dimaknai sebagai prosesi jalan kaki atau pawai, tetapi kirab ini menjadi bukti bahwa Kesultanan Lampung masih berdiri sampai sekarang. Jadi, saya minta jangan mencoreng citra Kesultanan kita sendiri,” ucap pria kelahiran Bandar Lampung, 27 Februari 1958, itu.

Meski terlahir sebagai putra mahkota kesultanan, Edward Syah Pernong, yang kerap disapa Paksi Pernong ini, tidak serta-merta menjadi orang yang tinggi hati. Sebaliknya, dia memiliki banyak kawan yang berasal dari beragam profesi, mulai dari wartawan, guru, pejabat, bahkan anak yatim-piatu.

Melestarikan adat

Ketika memasuki masa persiapan sebagai Sultan, Edward mempelajari beragam hal, mulai dari ilmu pasti, komik fiksi, ilmu sejarah dan budaya, serta ilmu bela diri. Bagi Edward, setelah memasuki era abad ke-20, jabatan sebagai Sultan tak hanya disimbolkan sebagai penguasa adat dan budaya saja, tetapi juga perlu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

”Prinsip ini ternyata ada gunanya. Karena saya selalu menekankan pentingnya membuka diri dan mata bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara, ternyata banyak orang yang bersimpati. Dampaknya, Kesultanan banyak menerima bantuan yang bisa digunakan untuk melestarikan peninggalan masa lalu,” kata Sultan Lampung yang ternyata juga berprofesi sebagai polisi berpangkat Komisaris Besar sekaligus menjabat sebagai Kepala Polresta Semarang ini.

Selama memimpin Kesultanan Lampung, Edward menyelamatkan sejumlah aset penting masa lalu yang nyaris tak terurus, seperti payung agung, lalamak, titi kuya, dan jamban agung. Selain itu, Edward juga merumuskan tatanan kirab pergantian takhta dan melestarikan tarian kuno. (ONI)

Sumber: Kompas, Senin, 29 November 2010

Wednesday, December 1, 2010

AMUK MASSA DI MESUJI: Dua Pihak Bertikai Sepakat Hukum Ditegakkan

Utama Lampost : Senin, 29 November 2010


MESUJI (Lampost): Perundingan perdamaian antara pihak Kampung Wirabangun, Kecamatan Simpangpematang, Kabupaten Mesuji, dengan Kampung Pematangpanggang, OKI, Sumsel, menyepakati tiga poin.

Intinya, tidak ada lagi tindakan kriminal dalam bentuk apa pun antara kedua belah pihak, tidak ada dendam, dan proses hukum harus ditegakkan.

Kesepakatan itu diperoleh pada pertemuan di kantor Kecamatan Mesuji, Kabupaten OKI, yang dimulai Sabtu (27-11), sekitar pukul 16.00 hingga pukul 21.00.

Dari Kabupaten Mesuji hadir Kepala Kesbanglinmas Murni beserta Camat Indra Kusuma Wijaya, Kapolsek AKP Nelson F. Manik, dan Danramil Mesuji Kapten Sariaman.

Menurut rencana, tiga kesepakatan itu akan ditandatangani kedua belah pihak dan disosialisasikan hari ini. "Besok (hari ini, red) ditandatangani kedua pihak," ujar Kepala Kantor Kesbanglinmas Murni kemarin.

Sementara itu, 549 warga Kampung Wirabangun yang mengungsi masih bertahan di rumah-rumah penduduk seperti di Simpangpematang, Budiaji, dan Harapanjaya. Aparat kepolisan pun masih disiagakan di kampung tersebut.

Hingga kemarin polisi juga belum menangkap seorang pun berkaitan dengan kasus tersebut. "Tetapi, tetap akan kami proses karena ada pelanggaran hukum," ujar Kasat Reskrim Polres Tulangbawang AKP Ferizal. "Kami akan melakukan penyelidikan dan tahapan-tahapannya," ujarnya.

Sementara itu, Lampung Police Watch (LPW) menilai kinerja kepolisian lambat dalam menyikapi kasus tersebut. "Masyarakat akan terus dicekam ketakutan karena polisi tidak segera bertindak yang dapat memberi efek jera," ujar Ketua LPW M.D. Rizani kemarin.

Rizani membandingkan dengan perusakan terhadap kantor polisi, pos polisi, atau penganiayaan terhadap polisi. "Biasanya dalam beberapa jam saja pelakunya bisa ditangkap. Tetapi, kalau masyarakat yang menjadi korban, selalu berlarut-larut," kata dia.

Kampung Wirabangun menjadi arena pembantaian pada Kamis (25-11). Sedikitnya 4 korban tewas, 2 luka-luka, 3 rumah dibakar, serta puluhan rumah dirusak.

Pemicunya diduga berawal dari pencurian ayam. Saat dipergoki, warga Pematangpanggang malah membunuh warga Wirabangun. Tindakan itu mendapat balasan sehingga seorang warga Pematangpanggang tewas. Buntutnya, warga Pematangpanggang menyerang ke Kampung Wirabangun. (UAN/MG11/R-2)

Sunday, November 28, 2010

Utama Lampost : Minggu, 28 November 2010

MESUJI (Lampost): Ratusan korban amuk massa warga Kampung Wirabangun, Kecamatan Simpangpematang, Kabupaten Mesuji, memilih bertahan di pengungsian. Warga takut pulang karena pelaku masih berkeliaran dan tak satu pun yang ditangkap.

Pada hari kedua setelah peristiwa mengenaskan itu, situasi di Kampung Wirabangun mulai tampak menggeliat meski warga resah dan takut keluar rumah. Sebelumnya tidak satu pun warga berani tinggal di rumah. Mereka memilih mengungsi ke Kampung Harapanjaya, Jayasakti, Simpangpematang, dan Budiaji.

Kampung Wirabangun menjadi arena pembantaian, Kamis (25-11). Peristiwa ini menelan 4 korban tewas, 2 luka-luka, 3 rumah dibakar, dan puluhan rumah dirusak. Pemicu pembantaian diduga berawal dari sabung ayam yang dilakukan massa dari Kampung Pematangpanggang dan Sungaisodong, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Menurut data sekretariat Kampung Wirabangun, pengungsi yang belum pulang berjumlah 549 jiwa, sedangkan yang bertahan di rumah masing-masing 2.544 jiwa. "Bisa jadi ada yang pergi sebelum kejadian ke tempat saudara. Pengungsi yang belum pulang ini pergi ke luar Mesuji," kata Sekdes Kampung Wirabangun, Ngantianto.

Sebagian warga berani pulang atas bujukan aparat Brimob dan Dalmas Polres Tulangbawang yang menjemput di pengungsian. Dari pantauan Lampung Post setelah aksi pembantaian, banyak pintu rumah digembok. Puluhan kaca rumah yang pecah belum diganti dan dirapikan.

Menurut Suyatno, warga setempat, mereka takut keluar rumah karena trauma atas kejadian yang merenggut nyawa tetangganya itu. Bahkan, tatapan mata beberapa warga di halaman rumah terlihat tegang.

Upaya Damai

Proses perdamaian pihak yang bertikai, yakni Kampung Wirabangun dan Pematangpanggang, terus dilakukan. Pada pukul 10.00 kemarin unsur pimpinan Kecamatan Simpangpematang yang dipimpin Kepala Kantor Kesbanglinmas Murni, Camat Simpangpematang Indra Kusuma Wijaya, Kapolsek AKP Nelson F. Manik, Danramil Mesuji Kapten Inf. Sariaman, melakukan pertemuan dengan sepuluh perwakilan tokoh masyarakat Wirabangun.

Dalam pertemuan tersebut diajukan enam poin klausul perdamaian yang harus dipenuhi Kampung Pematangpanggang agar menjadi memori perdamaian kedua belah pihak. Syarat tersebut antara lain meminta warga OKI tidak mengadakan sabung ayam di Kampung Wirabangun, mengganti kerugian materi dan nonmaterial kepada Kampung Wirabangun.

Usai pertemuan, Kapolsek Simpangpematang AKP Nelson mengungkapkan syarat perdamaian yang diajukan warga akan diakomodasi dan disampaikan ke pihak Pematangpanggang. "Kami tidak bisa sebutkan semua. Semua ada enam poin, tetapi dilihat dulu dari pihak Pematangpanggang seperti apa," kata Kapolsek.

Dalam pertemuan tersebut, warga Kampung Wirabangun diminta mendata ulang warga yang ada di kampung. "Supaya jelas yang masih mengungsi berapa dan di mana," kata Ketua Tim Negosiasi Perdamaian dari pihak Mesuji, Murni.

Pihak Pematangpanggang juga mengajukan syarat perdamaian. Hingga pukul 18.00 kemarin masih dilakukan perundingan di Kantor Camat Mesuji OKI, Sumatera Selatan. Dari pihak OKI, perundingan dihadiri oleh camat setempat, kapolsek, Danramil, dan kepala kampung. Dari informasi yang diterima, perundingan cukup alot karena pihak Pematangpanggang belum menerima klausul yang disampaikan pihak Wirabangun. (UAN/R-3)

AMUK MASSA DI MESUJI LAMPUNG

Utama Lampost : Minggu, 28 November 2010

Sejarah Buruk itu Berulang di Wirabangun

MESUJI—Tidak satu pun dari 557 keluarga Wirabangun, Kecamatan Simpangpematang, Kabupaten Mesuji, mengharapkan peristiwa kelam Kamis (25-11) itu terjadi. Perkampungan transmigran seluas 1.791 hektare itu dipaksa dua kali mencatat sejarah buruk.

Peristiwa berdarah serupa pernah terjadi pada 2002. Saat itu sembilan nyawa melayang: empat warga Kampung Wirabangun dan lima warga Simpangpematang. Pemicunya pencurian seekor kambing yang tepergok warga. Emosi warga memuncak karena ternak sering hilang dan pencuri tewas seketika.

Aksi itu langsung mendapat balasan. Gerombolan massa dari Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan, merengsek ke Kampung Wirabangun melalui sungai belakang kampung, penanda batas wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Permukiman yang pertama ditemui menjadi sasaran membabi buta. Satu tewas dan satu rumah warga Wirabangun dibakar. Warga pun mengungsi.

Sayangnya peristiwa itu berlalu begitu saja. Tidak satu pun pelaku pembunuhan ditangkap dan diadili. "Memang sedih. Tapi mau bagaimana lagi. Setelah kejadian, ya habis begitu saja," kata Ngatenianto, sekretaris Kampung Wiralaga, Sabtu (27-11).

Ngatenianto yang pada 2002 menjabat sebagai carik harus menerima kenyataan: kampung halamannya kembali porak-poranda akibat amuk massa. Kamis (25-11) menjelang sore, Hasan (pelaku) yang membunuh Suliyanto, warga Wirabangun, tepergok mencuri ayam. Aksi itu menyulut kemarahan warga dan akhirnya menghabisi pelaku.

Emosi warga Kampung Simpangpematang tersulut. Ratusan warga mengamuk, membabi buta, menghunus senjata, membunuh siapa saja yang terlihat. Tragisnya, aksi itu dilakukan di depan aparat keamanan. Kini kampung yang semula damai dicekam ketakutan.

Kampung Wirabangun merupakan areal trasmigrasi lokal pada 1983. Awalnya Wirabangun hanya memiliki 557 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 2.150 orang. Kini menjadi 632 KK dengan jumlah penduduk hampir 3.000 KK. Sebelumnya, Kampung Wirabangun mempunyai sembilan suku (dusun). Pada 2003 dimekarkan menjadi dua kampung, Bangunmulyo dan pada 2008 Kampung Rejobinangun.

Dari sejarahnya, pemberian nama Wirabangun bertujuan agar masyarakat yang berasal dari Kasui, Banjit, dan Wiralaga itu dapat menjadi makmur, tenteram, dan damai. Mayoritas penduduk bermata pencarian sebagai petani kebun sawit dan karet. Selain itu, terdapat juga petani padi dengan membuka lahan persawahan meskipun hanya 10 hektare. (JUAN SANTOSO/R-3)

BERMULA DARI PANGGUNG SABUNG AYAM

Fokus Lampost : Minggu, 28 November 2010

Secara geografis, Kecamatan Jabung terbentuk masa pemerintahan Kabupaten Lampung Tengah. Saat itu, Kecamatan Jabung mencakup Kecamatan Sekampungudik, Pasirsakti, Wawaykarya, dan Margasekampung. Ketika Kabupaten Lampung Timur terbentuk, Kecamatan Jabung dimekarkan jadi beberapa kecamatan yakni Sekampungudik, Pasirsakti, Wawaykarya, dan Pasirsakti.

Saat ini, Kecamatan Jabung yang berjarak sekitar 70 kilometer dari ibu kota kabupaten memiliki 15 desa yaitu Jabung, Betengsari, Mumbang Jaya, Adirejo, Mekarjaya, Adiluhur, Negarasaka, Pematang Tahalo, Gunungmekar, Negarabatin, Asahan, Gunungsugih Kecil,

Blimbingsari, Sambirejo, dan Tanjungsari. Luas wilayah kecamatan Jabung 157,53 kilometer persegi dan jumlah penduduk 49.456 jiwa atau 12.778 kepala keluarga (KK) dengan perincian laki-laki 25.030 jiwa dan perempuan 24.426 jiwa. Dari luas wilayah 157,53 kilometer persegi itu, hampir 80% merupakan kawasan perkebunan atau perladangan.

Kepada Lampung Post, Batin Rajo Liyu Husin (85), tokoh masyarakat Jabung, Kamis (25-11), menjelaskan sekitar 1940-an, nama Jabung dikenal banyak orang. Nama Jabung sendiri diambil dari istilah “menyabung”. Kala itu, para jawara daerah itu dan jawara asal luar kabupaten serta luar provinsi seperti Serang, Banten, berdatangan ke daerah itu menyabung ayam. Karena sebagian besar warga daerah itu juga menyukai hobi sabung ayam, kegiatan itu sendiri berlangsung sangat lama. Saking lamanya pergelaran sabung ayam di daerah itu, warga kemudian mengabadikan nama sabung ayam itu jadi “jabung” yang dikenal hingga saat ini.

"Karena waktu itu enggak ada hiburan, Saya hampir tiap hari menonton sabung ayam. Dan, nama Jabung itu sendiri diambil dari istilah sabung," ujar pria yang semua rambutnya telah memutih itu.

Menurut Batin Rajo Liyu Husin, pada 1940-an, Jabung merupakan kawasan hutan belantara yang hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Karena berupa hutan belantara, di dalamnya pun banyak dihuni hewan buas. Kemudian, warga yang jumlahnya masih terbatas itu membuka ladang dengan cara berpindah-pindah atau nomaden. Untuk menjaga diri dari serangan hewan buas seperti harimau, warga mendirikan bangunan berupa rumah panggung yang hingga kini masih dipertahankan kelestariannya. Lalu, tanaman utama penduduk masa itu berupa lada dan kopi. Karena lahan daerah itu sangat subur, pertumbuhan penduduk daerah itu pun sangat pesat.

"Meskipun waktu itu harga lada dan kopi masih murah, warga Jabung hidup makmur dan punya kebun sangat luas," ujar pria yang telah mempunyai beberapa cicit itu.

Sekitar tahun 1942, kata dia, Jepang masuk ke Jabung. Di daerah itu, pihak Jepang memaksa penduduk mengganti tanaman lada dan kopi jadi tanaman kapas. Di bawah tekanan penjajahan, warga pun membabat habis tanaman lada dan kopi mereka untuk diganti jadi tanaman kapas.

"Guna mendapatkan kapas, hampir semua tanaman lada dan kopi rakyat diganti tanaman kapas," kata Batin Rajo Liyu Husin.

Tiga tahun kemudian atau sekitar 1945, kata dia, Jepang pergi dari bumi Jabung. Kepergian tentara asal Negeri Matahari Terbit dari Jabung masa itu, tak hanya menyisakan penderitaan rakyat. Tak sedikit rakyat masa itu mati dibunuh atau mati kelaparan. Karena situasi telah aman, rakyat kembali membenahi peladangannya yakni membumihanguskan tanaman kapas sebagai warisan Jepang dan kembali ke tanaman semula yakni lada dan kopi.

"Setelah penjajahan Jepang berakhir, Jabung kembali mencapai puncak kemakmuran. Karena daerah ini sangat subur, tanaman lada dan kopi sangat cepat tumbuh," ujarnya.

Puncak kemakmuran masyarakat Jabung, ujar Batin Rajo Liyu Husin, masih bertahan hingga 1990-an. Tanaman lada dan kopi petani masih tumbuh dengan baik. Lalu, seiring munculnya perubahan iklim yang tak menentu dan munculnya beragam penyakit tanaman lada dan kopi, mengakibatkan tanaman andalan petani itu berkurang. Karena banyaknya tanaman lada yang mati, hasil panen menipis.

Sementara itu, tingkat kebutuhan warga kian kompleks dan mendesak. Diduga, akibat banyaknya kebutuhan mendesak dan tradisi begawi adat, penduduk daerah itu lalu menjual sebagian lahan mereka ke warga pendatang. Karena terus didera beragam kebutuhan, tradisi menjual tanah peladangan pun terus berlanjut. Lalu, lama kelamaan tanah peladangan milik sebagian besar penduduk asli akhirnya berpindah tangan. Diduga, akibat kian sempitnya lahan pertanian ditambah akibat pergaulan dari luar serta banyaknya lintasan sepi penduduk, awal tahun 2000-an, aksi kejahatan terutama begal sepeda motor di wilayah itu mulai terjadi. Apakah perlu ruwatan mengganti nama? (CHAIRUDDIN/M-1)

MENGURUT REPUTASI GELAP JABUNG


Fokus Lampost : Minggu, 28 November 2010

Reputasi nama Jabung di Kabupaten Lampung Timur berangsur pulih dari konotasi "markas begal". Namun, tragedi Asahan-Blimbingsari pekan lalu mementahkan perjuangan panjang warga dan aparat.

MINGGU (21-11) malam, keheningan bumi Kecamatan Jabung Lampung Timur tiba-tiba saja gegap gempita. Sekitar pukul 22.00, perang antarwarga Desa Asahan dan Desa Belimbingsari Kecamatan Jabung memecah kensenyapan. Bak menghadapi musuh masa penjajahan, ratusan warga dua desa yang masih terjalin tali persaudaraan dan hanya dipisahkan oleh areal persawahan sekitar tiga hektare itu, saling serang dengan tombak, parang, panah, molotov hingga senjata rakitan.

Desing peluru, bola api molotov, dan lemparan batu saling melesat ke arah dua belah pihak. Jerit histeris kaum ibu, anak-anak, dan orang tua malam itu kian memecah kesenyapan. Ratusan warga tak bersalah yang sedang tidur pulas, malam itu harus lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Ada yang bersembunyi di kolong ranjang, di balik pintu, hingga mengungsi ke desa tetangga.

Akibat pertikaian itu, belasan warga dari dua belah pihak terkapar. Ada yang terkena peluru, terkena lemparan molotov, hingga kena lemparan batu.

Sekitar tiga jam "perang" itu berlangsung. Beruntung, aparat kepolisian dan TNI malam itu dengan cepat meredam konflik. Ratusan aparat termasuk sejumlah pasukan Brimob Polda Lampung dikerahkan. Mereka berjaga-jaga di perbatasan dan pintu masuk desa.

Dari lokasi konflik, aparat menyita sejumlah barang bukti molotov serta beberapa

peluru aktif. Sementara, warga yang terluka menjalani pengobatan di puskesmas dan rumah sakit. Keesokannya, pertikaian warga yang masih bersaudara itu berhasil didamaikan. Disaksikan sejumlah pejabat dan aparat keamanan serta tokoh masyarakat, kedua warga saling memaafkan dan akan mengobati warga mereka yang terluka. Selain itu, warga dua desa itu pun sanggup memperbaiki mobil patroli yang kena sasaran amuk warga.

Dilihat dari akar masalah, sebenarnya konflik warga dua desa itu hanya dipicu masalah sepele. Sebelum terjadi perang, sekitar pukul 17.00, aparat polsek setempat menciduk seorang warga Desa Asahan yang diduga mencuri motor milik warga Desa Blimbingsari. Tak terima warganya ditangkap petugas, warga Desa Asahan menyerbu desa tetangga mereka itu. Karena diserang, warga Desa Blimbingsari melawan. Pertikaian pun tak terelakkan.

Konflik warga pada kawasan dengan lahan pertanian yang subur itu sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Sekitar tujuh tahun silam, warga membumihanguskan kantor polsek setempat. Meskipun peristiwa itu tak menimbulkan korban jiwa, kerugian materi mencapai ratusan juta.

Amuk warga yang berakhir dengan membakar kantor milik pemerintah itu pun kerap dipicu masalah sama. Yakni, tak terima polisi menangkap warga mereka yang diduga melakukan tindak kejahatan.

Dari sederetan konflik horizontal di Jabung, memunculkan sederet pertanyaan pada benak kita. Sudah seberapa parahkah aksi kejahatan di Jabung hingga warga tak lagi mampu membendung emosi? Lantas, apa faktor penyebab sehingga di Jabung selalu terjadi aksi kejahatan dan konflik antarwarga.

***

Jabung, nama wilayah ini memang tak asing bagi warga Sai Bumi Ruwa Jurai ini. Dan, bagi warga Lampung Timur, jika mendengar nama tersebut, tak jarang membuat bulu kuduk berdiri dan terkesan sangat menakutkan. Karena ketenarannya, nama salah satu desa dan ibu kota kecamatan di Kabupaten Lampung Timur itu juga dikenal warga asal luar provinsi, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Yang membuat prihatin, orang mengenal nama desa itu hanya pada sisi negatif. Hal itu tak dimungkiri, pascareformasi, tindak kriminalitas di wilayah hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah itu memang lumayan tinggi. Kejahatan paling menonjol kala itu berupa begal atau perampasan sepeda motor. Aksi garang yang tak jarang merenggut nyawa korban itu banyak terjadi di wilayah hukum Kecamatan Jabung dan sekitarnya.

Pada aksi itu, pelaku yang umumnya mengintai korban di jalan sepi, selalu dilengkapi senjata golok, kayu, hingga senjata api rakitan. Jika korban melawan karena mempertahankan kendaraan, akibatnyapun dapat ditebak. Pelaku tak segan-segan melukai atau menembak mati korbannya.

Jika dihitung sejak pascareformasi, tak sedikit korban kejahatan di wilayah hukum kecamatan itu meregang nyawa. Dan, akibat sederetan aksi kejahatan di wilayah itu, pengendara sepeda motor harus berpikir ulang jika akan melintasi wilayah tersebut. Apalagi, pada jalur tersebut,tak sedikit lintasan sepi penduduk yang memungkinkan pelaku beraksi.

Tak hanya itu, akibat maraknya aksi kejahatan di wilayah Kecamatan Jabung dan kecamatan tetangga waktu itu, tak sedikit calon investor mengurungkan niat menanamkan modal mereka. Maraknya aksi kejahatan terutama begal sepeda motor di wilayah hukum Jabung, membuat Pemkab Lampung Timur dan aparat kepolisian gerah. Guna menekan aksi kejahatan itu, aparat kepolisian bukan berarti tak bertindak. Bahkan, tak sedikit pelaku kejahatan ditangkap atau ditembak mati karena melawan petugas.

Kendati demikian, hal itu tak menyurutkan nyali pelaku. Malah, aksi kejahatan di wilayah itu kian menjadi. Lebih parah lagi, di kecamatan itu beredar isu peredaran dan perakitan senjata api rakitan sangat marak.

Terkait tingginya angka kriminalitas yang tak jarang melibatkan warga Jabung beberapa tahun terakhir, Hermansyah, tokoh pemuda setempat mengaku hal itu tak dimungkiri. Pasca reformasi, angka kriminalitas yang banyak melibatkan warga atau pelaku asal Jabung memang kerap menghiasi sejumlah media cetak dan elektronik. Pelaku asal daerah itu tak hanya beraksi di wilayah hukum setempat. Tapi, mereka juga ada yang melakukan aksi kejahatan di luar Lampung. Dan, akibat tindak kejahatan itu, tak sedikit dari mereka dibekuk aparat. Tak hanya itu, aparat kepolisian juga kerap membawa peti mati berisi mayat pelaku kejahatan asal daerah itu. "Pascareformasi, memang ada warga asal Jabung terlibat aksi kejahatan. Tapi, nggak semua orang Jabung itu penjahat. Saya pikir, semua daerah sama. Ada yang baik dan ada juga yang jadi penjahat," ujar pengurus karang taruna itu.

Menurut Hermansyah, dari serangkaian kejahatan yang pernah terjadi di wilayah Jabung beberapa tahun terakhir, memang berdampak cukup luas. Dampak dimaksud seperti, warga asal luar Jabung jadi enggan jika akan melintasi atau ke wilayah itu. Dampak lain adalah investor enggan berinvestasi pada kawasan yang masih subur itu. "Akibat pernah terjadi sejumlah aksi kejahatan, Kecamatan Jabung mungkin langsung mendapat julukan kawasan hitam atau wilayah yang menakutkan," kata dia.

Karena dewasa ini Jabung merupakan kawasan yang telah aman, ujar Herman, warga luar daerah hendaknya tak ragu jika ingin ke Jabung. Termasuk para penanam modal hendaknya dapat berinvestasi di wilayah itu. Sehingga hal itu dapat menekan tingkat pengangguran. "Jika warga atau pemuda banyak yang bekerja, saya yakin, kejahatan di Jabung dapat dikis habis," tegasnya.

Raden Jaya Mustari (53) tokoh masyarakat yang juga pamong desa menjelaskan, sejak beberapa tahun terakhir Jabung memang jadi catatan tersendiri bagi pemerintah terutama aparat kepolisian. Sorotan itu terjadi karena di wilayah itu kerap terjadi aksi kejahatan terutama begal sepeda motor. Mustari menduga, aksi itu terjadi karena beberapa faktor seperti banyaknya lintasan sepi penduduk yang memudahkan pelaku beraksi serta karena faktor ekonomi. Faktor lain diduga pelaku dengan mudah menjual barang hasil kejahatannya. "Jika disebut semua orang Jabung tukang begal, itu enggak benar. Sebab, pada masa nenek moyang kami kebiasaan buruk itu tak pernah terjadi," kata Mustari.

Oleh sebab itu, kata dia, bagi warga luar Jabung, hendaknya tak selalu memandang dari sudut menilai negatif atas kehidupan warga wilayah itu. Pasalnya, tak semua warga Jabung berhati jahat atau jadi penjahat. Lagipula, kejahatan yang terjadi dewasa ini tak hanya terjadi di wilayah Jabung, tapi, hampir tiap sudut Lampung Timur. Dan pelakunya pun banyak yang berasal dari luar Jabung.

"Kami selaku penduduk asli Jabung, hendaknya tak menilai orang Jabung negatif. Sebab, tak semua orang Jabung jahat. Dan, di daerah atau kecamatan lain pun banyak penjahat. Ini pernah terbukti ada pelaku kejahatan dari luar kecamatan, ditangkap di Jabung," ujarnya. (CHAIRUDIDDIN/M-1)

amuk massa di Mesuji : DUA PIHAK BERTIKAI SEPAKAT HUKUM DITEGAKKAN

Utama Lampost : Senin, 29 November 2010


MESUJI (Lampost): Perundingan perdamaian antara pihak Kampung Wirabangun, Kecamatan Simpangpematang, Kabupaten Mesuji, dengan Kampung Pematangpanggang, OKI, Sumsel, menyepakati tiga poin.

Intinya, tidak ada lagi tindakan kriminal dalam bentuk apa pun antara kedua belah pihak, tidak ada dendam, dan proses hukum harus ditegakkan.

Kesepakatan itu diperoleh pada pertemuan di kantor Kecamatan Mesuji, Kabupaten OKI, yang dimulai Sabtu (27-11), sekitar pukul 16.00 hingga pukul 21.00.

Dari Kabupaten Mesuji hadir Kepala Kesbanglinmas Murni beserta Camat Indra Kusuma Wijaya, Kapolsek AKP Nelson F. Manik, dan Danramil Mesuji Kapten Sariaman.

Menurut rencana, tiga kesepakatan itu akan ditandatangani kedua belah pihak dan disosialisasikan hari ini. "Besok (hari ini, red) ditandatangani kedua pihak," ujar Kepala Kantor Kesbanglinmas Murni kemarin.

Sementara itu, 549 warga Kampung Wirabangun yang mengungsi masih bertahan di rumah-rumah penduduk seperti di Simpangpematang, Budiaji, dan Harapanjaya. Aparat kepolisan pun masih disiagakan di kampung tersebut.

Hingga kemarin polisi juga belum menangkap seorang pun berkaitan dengan kasus tersebut. "Tetapi, tetap akan kami proses karena ada pelanggaran hukum," ujar Kasat Reskrim Polres Tulangbawang AKP Ferizal. "Kami akan melakukan penyelidikan dan tahapan-tahapannya," ujarnya.

Sementara itu, Lampung Police Watch (LPW) menilai kinerja kepolisian lambat dalam menyikapi kasus tersebut. "Masyarakat akan terus dicekam ketakutan karena polisi tidak segera bertindak yang dapat memberi efek jera," ujar Ketua LPW M.D. Rizani kemarin.

Rizani membandingkan dengan perusakan terhadap kantor polisi, pos polisi, atau penganiayaan terhadap polisi. "Biasanya dalam beberapa jam saja pelakunya bisa ditangkap. Tetapi, kalau masyarakat yang menjadi korban, selalu berlarut-larut," kata dia.

Kampung Wirabangun menjadi arena pembantaian pada Kamis (25-11). Sedikitnya 4 korban tewas, 2 luka-luka, 3 rumah dibakar, serta puluhan rumah dirusak.

Pemicunya diduga berawal dari pencurian ayam. Saat dipergoki, warga Pematangpanggang malah membunuh warga Wirabangun. Tindakan itu mendapat balasan sehingga seorang warga Pematangpanggang tewas. Buntutnya, warga Pematangpanggang menyerang ke Kampung Wirabangun. (UAN/MG11/R-2)

pembantaian di Mesuji : PENGUNGSI BARU DIBANTU NASI BUNGKUS

Nasional Lampost : Sabtu, 27 November 2010

SIMPANG PEMATANG (Lampost): Untuk meringankan beban para pengungsi, Pemkab Mesuji kemarin membagi-bagikan nasi bungkus dengan mendatangi tempat-tempat pengungsian.

Atas perintah Sekkab, pegawai Pemkab Mesuji membagikan 600 nasi bungkus kepada pengungsi. "Itu langkah darurat karena untuk membuat dapur umum, kami belum temukan tempat yang tepat. Terlebih, para pengungsi tidak mengelompok," ujar Hary Prasetyo.

Dinas Kesehatan juga membagi-bagikan nasi bungkus ke kampung-kampung yang terdapat pengungsi. "Selain pelayanan kesehatan, kami beri mereka nasi bungkus," ujar Agung dari Puskesmas Simpangpematang.

Kadiskes Mesuji Aninditho mengatakan pihaknya akan membangun posko kesehatan untuk membantu pengungsi yang sakit. "Kami juga mendapat bantuan dari Provinsi Lampung untuk pengungsi berupa bahan makanan dan obat-obatan," kata dia.

Kemarin (26-11) keempat jenazah dimakamkan. Tiga korban dimakamkan di TPU Kampung Simpang Pematang sekitar pukul 11.00, yakni Suliyanto (25), Suarno alias Ganong (37), dan Tumijan (48), ketiganya warga Wirabangun.

Pemakaman dihadiri Kapolda Lampung Brigjen Sulistiyo Ishak dan rombongan. Dari Pemkab Mesuji, hadir Sekkab Agus Salim dan Kabag Humas Hari Prasetyo. Sementara itu, Hasan, warga Rejowinangun, dimakamkan di Pematangpanggang pada pukul 12.30.

Sukinah (67), ibu mertua korban Suliyanto, mengatakan korban tidak pernah berjudi. "Menantu saya itu pendiam. Dia tidak pernah saya lihat berjudi atau neko-neko," ujarnya. Karena itu, ia mengatakan kasus itu bukan berawal dari sabung ayam.

Saat kejadian, ia dan ibu-ibu lainnya sedang membantu di tempat hajatan. "Tiba-tiba di depan rumah ramai bapak-bapak. Kami langsung berhenti rewang. Menantu saya ternyata sudah digotong-gotong," ujarnya. (UAN/R-2)

RIBUAN KORBAN AMUK BELUM BERANI PULANG



MENGUNGSI. Puluhan warga Kampung Wirabangun, Kecamatan Simpangpematang, mengungsi ke Pondok Pesantren Darul Falah Al-Amin dengan pengawalan polisi, Jumat (26-11). Warga belum berani pulang karena merasa tak ada jaminan keamanan bagi mereka.
(LAMPUNG POST/JUAN SANTOSO)

Utama Lampost : Sabtu, 27 November 2010

MESUJI (Lampost): Suasana Kampung Wirabangun, Kecamatan Simpangpematang, pascapembantaian masih mencekam. Wirabangun tak ubahnya seperti kampung mati karena sebagian besar warganya mengungsi.

Dari 3.000-an penduduk Kampung Wirabangun, 70% meninggalkan kampung tersebut. Gelombang pengungsi terjadi mulai Kamis malam hingga kemarin pagi.

Hingga menjelang magrib kemarin, belum tampak warga yang kembali ke rumah masing-masing. Padahal, dua kompi aparat kepolisian masih berjaga-jaga di tempat itu.

Di tiga kampung yang berada di Kecamatan Simpangpematang saja ada 1.095 pengungsi. Mereka tersebar di Kampung Simpangpematang 698 jiwa, Kampung Budiaji (149), dan Kampung Harapan Jaya (248).

"Jumlah tersebut hingga pukul 17.00," ujar Sekretaris Kampung Simpangpematang, Ansori, yang mengoordinasi data pengungsi untuk diserahkan ke pihak kecamatan.

Sementara itu, jumlah warga yang mengungsi ke tempat lain seperti Kecamatan Pancajaya, Mesuji Timur, dan Way Serdang belum tercatat. Di tempat pengungsian, seperti di Simpangpematang, para pengungsi tinggal di rumah-rumah penduduk.

Selain itu, beberapa warga tinggal di ruko yang belum terpakai di Simpangpematang. Kemarin ratusan anak sekolah dari kampung tersebut tidak bersekolah karena takut.

Tiga sekolah di Kampung Wirabangun yakni SDN 1 Wirabangun dengan murid 479 orang, SMP Setia Budi (150), dan MTs Satu Terapat (70). "Itu belum termasuk anak SMA dari sini (Wirabangun)," kata Sekretaris Kampung Ngatnianto.

Di Kampung Wirabangun, warga yang masih tinggal diungsikan ke Pondok Pesantren Darul Falah Al-Amin di RK 5 kampung tersebut dengan penjagaan 1 kompi Brimob Lampung.

Di ponpes tersebut ada 100-an pengungsi yang hampir semua ibu dan anak. Rowi (39), staf pengajar di ponpes tersebut, mengaku saat peristiwa tersebut ia sedang duduk di halaman ponpes.

"Waktu itu saya lagi nongkrong. Tiba-tiba di jalanan ribut. Saya lihat, saat itu saya dikejar oleh massa yang membawa golok. Saya langsung lari," ujarnya. Seorang pengungsi, Sutirah (60) hingga kemarin malah belum bertemu suaminya, Siam (70), sejak peristiwa tragis itu.

Sepakat Damai

Kemarin Kapolda Lampung Brigjen Pol. Sulistyo Ishak didampingi Kepala Biro Operasional Kombes Rahyono W.S. mendamaikan dua pihak yang bertikai.

Dari Kampung Wirabangun diwakili Sekretaris Kampung Ngatnianto dan tokoh masyarakat Hasan. Dari Pematangpanggang, hadir Camat Mesuji OKI-Sumsel A. Diham, Kepala Kampung Pematangpanggang Raden Isye, Danramil Pematangpanggang Kapten Usman, dan Kapolsek AKP Arkamil.

Sementara dari Pemkab Mesuji hadir Sekkab Agus Salim dan beberapa asisten. Inti pertemuan tersebut, kedua belah pihak sepakat berdamai.

Kapolda juga tak memberi jawaban tegas mengapa tidak ada pelaku yang ditangkap. "Kami sedang mencari bukti-bukti, saksi-saksi, terkait pembunuhan itu," ujarnya.

Sejumlah warga Wirabangun juga mendesak agar polisi mengusut kasus itu hingga tuntas. "Kalau pelaku tidak ditangkap, tentu akan semakin semena-mena. Lalu, apa gunanya juga ada polisi kalau kasus seperti ini dibiarkan," ujar seorang tokoh yang enggan disebut namanya dengan alasan demi keselamatan.

Menurut Kabid Humas Polda Lampung AKBP Fatmawati, keributan itu diduga bermula saat Hasan, warga Pematangpanggang, tepergok hendak mencuri ayam bersama rekannya, Kamis (25-11) sore. "Sebelum beraksi, mereka berpura-pura mengadu ayam," ujarnya, Jumat (26-11).

Karena terdesak massa, kata Fatmawati, Hasan beserta rekannya kabur dan sempat membacok Suliyanto, salah satu warga yang mengejarnya, hingga tewas. Tapi, Hasan tertangkap dan dikeroyok hingga tewas.

Rekan Hasan yang selamat mengadu ke warga di desanya, Pematangpanggang. Lalu, 200-an warga menuju Kampung Wirabangun. "Sampai di Kampung Wirabangun, massa menyerang warga yang ditemui," kata dia. Akibatnya, dua orang lagi tewas dan dua luka-luka yaitu Ag dan Sg. Selain itu, satu rumah dibakar, 10 rumah rusak ringan, dua motor dibakar, dan satu motor warga hilang. (UAN/MG13/R-2)

Friday, November 26, 2010

WIRABANGUN RUSUH 4 TEWAS


RUMAH DIBAKAR. Salah satu dari tiga rumah warga Kampung Wirabangun, Kecamatan Simpangpematang, Kabupaten Mesuji, dibakar massa, Kamis (25-11). Pemicu kejadian tersebut akibat tewasnya warga kampung Pematangpanggang yang diduga berjudi sabung ayam.
(LAMPUNG POST/JUAN SANTOSO)

Utama Lampost. Jum'at 26 November 2010
SIMPANGPEMATANG (Lampost): Kampung Wirabangun, Kecamatan Simpangpematang, Kabupaten Mesuji, kemarin sore, menjadi arena pembantaian. Sedikitnya empat orang tewas dan dua luka-luka.

Bukan itu saja, tiga rumah juga dibakar dan puluhan rumah lainnya dirusak. Ratusan warga yang ketakutan pun akhirnya mengungsi keluar kampung.

Pemicu pembantaian yang diduga dilakukan massa dari Kampung Pematangpanggang dan Sungaisodong, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, itu diduga berawal dari sabung ayam.

Sekitar pukul 14.00, Suliyanto (21) mengadu ayam dengan tiga warga Pematangpanggang—salah seorang di antaranya Hasan. Dalam sabung ayam yang berlangsung di dekat rumah Suliyanto di Kampung Wirabangun itu, ayam Suliyanto menang. "Orang yang kalah itu malah meminta ayamnya Suliyanto," ujar seorang warga Wirabangun. Suliyanto menolak. Tapi, ia malah dibacok hingga tewas.

Dekat tempat kejadian itu, kebetulan massa sedang berkumpul karena ada arena hajatan. Massa Wirabangun akhirnya menangkap seorang di antaranya dan menghakiminya hingga tewas.

Dua orang kabur dan mengadu kepada warga kampungnya. Sepeda motor dinas Honda Megapro milik kades Rejowinangun, A. Roni (ayah Hasan), ditinggalkan di lokasi.

Mendengar laporan dari dua orang itu, keluarga besar korban yang merupakan warga Kampung Pematangpanggang, OKI, marah. Ratusan orang dari Pematangpanggang dan Sungaisodong mendatangi Kampung Wirabangun dengan truk, mobil pribadi dan ratusan motor. Mereka membawa pistol, pedang, tombak, dan berbagai senjata tajam.

Sampai di Kampung Wirabangun, pukul 15.00. Massa yang bergerak beringas membantai siapa saja yang ditemukan di jalan. Salah satu yang ditemukan tewas, Suarno alias Ganong, warga RK 5 Kampung Wirabangun. Korban ditemukan aparat kepolisian di perkebunan dengan kondisi mengenaskan akibat banyak luka bacok.

Korban lainnya, Tumijan, ditemukan terkapar dengan usus terburai di depan rumah. Tumijan dibawa ke Puskesmas Simpangpematang. Tapi, ia pun mengembuskan napas dalam perjalanan menuju rumah sakit di Unit II Banjaragung. Sampai tadi malam, dua orang masih dirawat di Puskesmas Simpangpematang.

Sampai tadi malam masih dua orang yang dirawat di Puskesmas Simpangpematang, yaitu Agus (18) yang luka di bahu kanan dan lutut kanan serta Sugiman (45), yang kedua tangannya luka bacok. Sugiman dibacok saat mengendarai sepeda motor.

Selain membantai warga, massa juga membakari beberapa rumah. Dua unit sepeda motor yang parkir di depan rumah warga tidak luput dari amukan massa. Kaca-kaca rumah dipecahkan.

Wednesday, November 24, 2010

JABUNG KEMBALI NORMAL

Utama Lampost, Selasa, 23 November 2010

JABUNG (Lampost): Melalui perjanjian damai, pihak kepolisian tidak menahan seorang pun dalam kasus bentrokan warga dua desa di Kecamatan Jabung, Lampung Timur.

Bahkan, seseorang yang ditangkap karena dituduh terlibat pencurian sepeda motor dan akhirnya memicu bentrokan antara warga Desa Asahan dan Belimbingsari, juga dilepaskan.

Pertemuan membahas perdamaian berlangsung pada Senin (22-11) dini hari, dari pukul 01.00 hingga 04.00 di aula kantor Kecamatan Jabung usai bentrokan.

Pertemuan dihadiri Kapolres Lamtim AKBP Bambang Hariyanto, Kapolsek Jabung AKP Edi Saputra, Camat Jabung Amriadi, Kades Belimbingsari Sumardi, Kades Asahan Mukhsin, dan sejumlah tokoh masyarakat.

Dalam perjanjian damai yang ditandatangani tokoh masyarakat dari kedua desa itu, disepakati pengobatan mereka yang terluka menjadi tanggung jawab desa masing-masing. Perbaikan mobil patroli Polsek Jabung yang dirusak massa ditanggung kedua desa. "Pengobatan korban Abdulah, warga Jabung, juga menjadi tanggung jawab kedua desa," ujar Amriadi kemarin.

Tokoh masyarakat Asahan juga meminta Reno (17), warga Desa Asahan, yang dituduh sebagai pelaku pencurian sepeda motor, dikeluarkan dari tahanan. Penangkapan terhadap pelajar SMA di Jabung itu juga yang memicu bentrokan karena polisi menciduk Reno dengan dibantu warga Belimbingsari.

"Kami semua yang di sini tidak menyetujui perdamaian jika Reno tidak dikeluarkan dari tahanan Polsek Jabung," kata Masrur, salah satu tokoh warga Desa Asahan.

Kapolres AKBP Bambang Hariyanto menyetujui permintaan warga Asahan. "Tetapi, jika nanti dia (Reno, red) terlibat perbuatan yang melanggar hukum, kami akan menangkap kembali," kata Kapolres. Sekitar pukul 10.00 kemarin, Reno dikeluarkan dari tahanan Polsek Jabung.

12 Luka

Dalam bentrokan antarwarga, Minggu (21-11) malam, sedikitnya 12 orang luka akibat terkena peluru senjata rakitan, peluru senapan angin, bom molotov, dan panah.

Tiga warga Desa Belimbingsari, yaitu Agus, mengalami luka di paha akibat panah, Bambang (luka di kaki terkena peluru senapan angin), dan Tulo (luka di tangan terkena peluru senapan angin).

Sementara itu, warga Desa Asahan, Imam dan Mashur, mengalami luka bakar di kaki akibat bom molotov. Warga Desa Asahan lainnya terkena peluru senapan angin, yaitu Irawan (luka di bahu), Dul Iyas (paha), Sul (telinga), Gunawan (perut), Muksin (kepala bagian belakang), Mulyadi (tangan), dan Edi (luka di pinggang). Satu korban lagi, Abdullah, warga Desa Jabung, yang terkena peluru senjata rakitan, kini dirawat di rumahnya.

Kemarin enam aparat dari Brimob Polda dan Polsek Jabung masih berjaga-jaga di jembatan, perbatasan antara kedua desa. Sejumlah anggota Brimob juga tampak di rumah kedua kepala desa. "Kemungkinan kami di sini sampai besok," ujar seorang anggota Brimob di rumah Kades Belimbingsari, sekitar pukul 13.30.

Perang antarkampung yang melibatkan ratusan orang itu berlangsung Minggu (21-11), sejak pukul 22.00 hingga 00.30. Kapolsek Jabung AKP Edi Saputra mengatakan di lokasi bentrokan anggotanya menemukan lima selongsong peluru dan sebuah amunisi aktif jenis FN. Barang bukti itu lalu dibawa ke Polres Lampung Timur. (MG6/R-2)

WARGA DUA DESA DI JABUNG BENTROK

Utama Lampost, Senin, 22 November 2010

JABUNG (Lampost): Kerusuhan terjadi di Kecamatan Jabung, Lampung Timur, tadi malam (21-11). Warga dua desa bentrok hingga menyebabkan sejumlah korban terluka. Pemicunya diduga karena ada warga yang dituduh sebagai begal.

Sampai pukul 00.30 dini hari tadi, suara tembakan masih terdengar di perbatasan Desa Blimbingsari dengan Desa Asahan. Sementara itu, dua warga dirawat di Puskesmas Jabung karena luka tembak dan luka terkena panah. Belasan warga juga diperkirakan luka-luka karena lemparan batu.

Korban yang luka terkena panah di punggung adalah Agus (45), adik kepala desa, warga Blimbingsari. Sedangkan korban yang tertembak bahu depannya yakni Abdullah (35), warga Desa Jabung, Kecamatan Jabung.

"Sekarang, keduanya masih dirawat di Puskesmas Jabung," ujar Saleh, salah seorang tokoh masyarakat Desa Jabung, saat dihubungi via telepon tadi malam.

Menurut Saleh, Abdullah hanya melihat-lihat kerusuhan itu. Tiba-tiba terkena peluru nyasar.

Berdasar penelusuran Lampung Post, bentrok antarwarga itu dipicu penangkapan terhadap salah seorang warga Asahan atas tuduhan sering melakukan pembegalan.

Penangkapan dilakukan oleh anggota Polsek Jabung yang dibantu Kepala Desa Blimbingsari, Sumardi, sekitar pukul 17.00. Tak terima warganya dituduh sebagai begal, warga Desa Asahan berbondong-bondong menuju Desa Blimbingsari.

Namun, warga Blimbingsari pun tak tinggal diam. Kedua pihak akhirnya bertemu di perbatasan. Tembakan, panah, dan bebatuan pun berhamburan. Tidak jelas lagi siapa yang memulai penyerangan.

Sampai pukul 00.30, suara tembakan yang diduga dari senjata api rakitan masih terdengar. Kapolres Lampung Timur AKBP Bambang Haryanto dan sejumlah anggotanya masih berada di Mapolsek Jabung.

Menurut sejumlah petugas, setiap polsek dari 24 polsek yang ada di Lampung Timur mengirimkan lima anggotanya untuk membantu petugas Polsek Jabung dan jajaran Polres Lamtim. Selain itu, aparat dari Brimob Polda pun diturunkan ke lokasi.

Sebelumnya sempat beredar isu ada sejumlah korban meninggal dalam bentrokan tersebut. Akan tetapi, Kapolres AKBP Bambang Haryanto yang dihubungi tadi malam mengatakan kabar itu tidak benar.

"Soal ada yang tewas itu isu. Saya sedang di polsek. Ini lagi kami redakan biar tidak bentrok," kata Kapolres melalui pesan pendeknya tadi malam.

Sekitar pukul 01.30, keributan sudah berhenti. Menurut Kasat Reskrim AKP Ketut S., pihaknya sedang menyusuri ke sejumlah tempat untuk mencari warga yang diduga sebagai provokator. Kasat Reskrim juga menegaskan sampai dini hari belum ada informasi adanya korban tewas. (MG6/JUN/R-2)

Tuesday, November 9, 2010

SENI BUDAYA DI SMAN 2 KALIANDA

Bintang Pelajar Lampost, Selasa, 9 November 2010

Darmawan yang biasa disapa BW (Bang Wawan, adalah pembina Sanggar Lamban Budaya SMAN 2 Kalianda yang telah membimbing siswa-siswi di bidang seni budaya dan meraih banyak prestasi.

Ia memulai karier guru diawali dengan mengajar kegiatan ekstrakurikuler seni dalam rangka persiapan penyambutan Apipoh 1985. Saat itu, Darmawan masih mengajar di SPG. Dalam hidupnya, ia memiliki prinsip bermanfaat bagi orang lain dan akan selalu berkreasi, berinovasi dalam bidang seni untuk memajukan SMAN 2 Kalianda.

Sejauh ini ia telah ikut mengukir prestasi cukup membanggakan, di antaranya juara festival tingkat provinsi dan kabupaten. Mewakili Provinsi Lampung dalam ajang budaya di TMII. Ia memiliki alasan kuat untuk berinovasi dan berkreasi di bidang seni karena berangkat dari hobi dan studi yang berhubungan dangan seni budaya. (TIM REDAKSI/S-1)

seni budaya : MPAL LESTARIKAN BUDAYA LAMPUNG

Seni Budaya Lampost, Selasa, 9 November 2010


BANDAR LAMPUNG (Lampost): Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Kota Bandar Lampung akan mendukung Pemerintah Kota (Pemkot) untuk melestarikan adat istiadat, kesenian, dan budaya Lampung.

"Kami sebagai organisasi masyarakat adat Kota Bandar Lampung berkomitmen untuk mendukung program pemerintah daerah agar Kota Bandar Lampung makin maju," kata Ketua MPAL Kota Bandar Lampung terpilih, Zaiful Hayat Karim Batin Gunawan, usai Musyawarah Daerah (Musda) I di Bandar Lampung kemarin (8-11).

Musda yang dibuka Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. dan diikuti ratusan tokoh masyarakat dan adat dari 25 kampung di Bandar Lampung.

Ia menjelaskan dukungan tersebut di antaranya menyosialisasikan program pemakaian ornamen Lampung pada bangunan kantor, gedung berbagai bangunan mulai dari kantor, pusat pembelanjaan, toko, gapura (tugu), dan lain-lain.

Hal ini sesuai dengan surat edaran wali kota dan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Lampung No. 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Daerah.

"Penempatan ornamen khas Lampung baik berupa siger pada bagian atas dan jung kain kapal pada bagian dinding pada setiap gapura atau tugu berfungsi sebagai batas daerah atau wilayah baik kecamatan, kabupaten/kota atau provinsi. Seperti gapura atau tugu selamat datang yang akan dibangun oleh Pemkot di depan Rumah Makan Begadang di Tarahan," kata dia.

Selain ornamen Lampung, MPAL juga akan membantu Pemkot menyosialisasikan pemutaran lagu-lagu dan alat musik kulintang Lampung di hotel, restoran, ataupun berbagai acara di kelurahan atau kecamatan. "Jika di setiap keluarahan ataupun kecamatan telah memiliki alat musik tersebut, kesenian Lampung membudaya di lingkungan masyarakat," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua MPAL Lampung Kadarsyah Irsa. "MPAL akan terus-menerus berpartisipasi membantu program pemerintah daerah dengan kearifan lokal."

Tak hanya masalah hukum adat dan budaya, adat istiadat, tapi juga berbagai masalah krusial daerah, seperti penataan kota dan pedagang kaki lima.

Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. mendukung dengan terbentuknya MPAL di wilayah. Herman optimistis terbentuknya organisasi ini akan dapat memberikan kontribusi untuk membantu program-program pemerintah dan masyarakat Kota Bandar Lampung. (AST/K-1)

Wednesday, September 8, 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (HABIS)

BUDAYA LAMPUNG MENGHARGAI KEBERAGAMAN

ADA lima sifat orang Lampung yang tertera di dalam Kitab Kuntara Raja Niti. Pertama, piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri. Kedua, juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya).

Ketiga, nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu). Keempat nengah-nyappur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis). Kelima, sakai-sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Masyarakat adat Lampung juga mempunyai falsafah Sang Bumi Ruwa Jurai, yang artinya sebuah rumah tangga dari dua garis keturunan masing-masing melahirkan masyarakat beradat pepadun dan masyarakat beradat saibatin. Saat ini, pengertian Sang Bumi Ruwa Jurai diperluas menjadi masyarakat Lampung asli (suku Lampung) dan masyarakat Lampung pendatang (suku-suku lain yang tinggal di Lampung).

Sebab itu, jangan heran jika di daerah ini hampir semua suku di Indonesia ada dan hidup berdampingan secara damai. Banyak orang mengatakan untuk melihat Indonesia dalam konteks keberagaman, lihatlah Lampung.

Dengan dilandasi kelima sifat yang dibangun dari nilai-nilai Islam yang masuk pada abad ke-15 melalui tiga pintu utama; barat (Minangkabau), utara (Palembang), selatan (Banten), masyarakat suku Lampung sangat menghargai perbedaan.

Jarang sekali terdengar atau bahkan tidak pernah terdengar di daerah ini ada konflik yang dilatarbelakangi perbedaan agama maupun perbedaan suku. Semua agama bisa hidup damai, semua suku bisa mencari penghidupan dengan baik.

Kentalnya pengaruh Islam juga tampak dari tradisi yang kini masih digunakan dalam acara adat dan keseharian masyarakat. Misalnya, marhabanan untuk memberikan nama seorang bayi. Marhabanan adalah acara syukuran dengan membaca kitab barzanji.

Selain marhabanan, juga masih sering kita jumpai tradisi ruwahan, dengan mengundang tetangga dekat dan memanjatkan doa bagi saudara seagama yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.

Adapula tradisi tabuh beduk, tapi sudah jarang terdengar. Menabuh beduk untuk mengabarkan waktu salat dibunyikan setiap waktu salat lima waktu. Menabuh beduk menandakan salat jumat dibunyikan dua kali, yaitu pukul 11.00 untuk mengabarkan agar masyarakat bersiap-siap dan ketika waktu salat tiba. Menabuh beduk untuk menunjukkan salat tarawih dibunyikan dengan nada khusus.

Tradisi menabuh beduk juga terdengar sehari menjelang Ramadan, biasanya terdengar bertalu-talu sama ketika sehari menjelang Idulfitri. Namun, tradisi menabuh beduk ini sudah jarang terdengar, terutama di perkotaan, digantikan dengan pemberitahuan lewat pengeras suara.

Kelima sifat, pedoman hidup, dan falsafah yang dimiliki masyarakat adat Lampung hingga kini masih tumbuh subur. Sifat-sifat itu merupakan nilai lebih yang dimiliki orang Lampung, tapi di sisi lain dapat mengikis akar budaya daerah ini. Contohnya bahasa Lampung. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)

Sumber : Lampost 9 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (28)

AKULTURASI ISLAM TRADISI LOKAL.

SELAIN situs berupa masjid dan makam para penyebar agama Islam, jejak Islam di Lampung bisa ditelusuri lewat budaya. Lampung Post yang menggelar diskusi menjelang Ramadan bersama ulama dan akademisi, mendapatkan benang merah keterkaitan agama ini dengan budaya lokal.

"Hampir tidak ada peristiwa adat Lampung yang tidak berbau Islam. Mulai dari perkawinan, kelahiran, hingga kematian, napas-napas Islam selalu mewarnai peristiwa ini," kata Khairuddin Tahmid, dosen IAIN Raden Intan Lampung pada diskusi menjelang Ramadan, beberapa waktu lalu.

Menurut mantan Ketua NU Lampung itu, Islam adalah agama yang universal, mampu menembus batas waktu dan sangat sering bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Itulah sebabnya, wajah Islam berbeda dari daerah satu dengan daerah lainnya saat bertemu tradisi lokal tersebut.

Wajah Islam yang berbeda saat bertemu tradisi lokal itu bisa terlihat pada cara berpakaian, seni bangunan suatu daerah, kesastraan dan musik tradisi setempat. Sedangkan keuniversalan Islam adalah ajaran tentang tauhid (keesaan Tuhan). Semua orang dan mereka yang menggenggam erat tradisi lokalnya sama-sama mengakui keesaan Allah swt.

Di Lampung, misalnya, Islam yang masuk lewat tradisi lokal juga mampu memengaruhi kesenian tradisional daerah ini. Di daerah Lampung pesisir, misalnya, napas-napas keislaman sangat terasa dalam seni tradisional musik butabuh atau hadrah. Syair lagu hadrah adalah dari kitab Barzanji berisi pujian kepada rasul dan zikir-zikir mengagungkan kebesaran Allah swt. Syair lagu ini diiringi dengan alat musik berupa terbangan (rebana, yang biasa dipakai pada lagu kasidahan) dan kerenceng.

Hadrah dan zikir ini sering kita jumpai saat pesta adat atau nayuh yang dilantunkan malam hari menjelang pelaksanaan pesta atau begawi. Para pelantun biasanya orang tua atau mereka yang sudah berumur.

Dalam adat perkawinan juga dikenal dengan istilah ngarak maju, yaitu arak-arakan pengantin yang dilakukan di tempat pengantin pria sebagai pertanda si pria telah resmi menikahi si wanita. Dalam tradisi ngarak, unsur yang terpengaruh Islam adalah penggunaan alat musik rebana sebagai alat musik pengiring dan pelantunan salawat nabi serta syair-syair Arab yang dikenal dengan zikir lama dan zikir baru, yang isinya syair-syair Barzanji.

Adapula peraturan bujang gadis yang dikenal dengan istilah cempaka khua belas yang mengatur tentang pergaulan bujang gadis dan siapa yang melanggar aturan adat tersebut akan dikenakan sanksi. Dalam tata cara pergaulan bujang gadis ini juga terasa benar pengaruh hukum Islam, seperti hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim, aturan kesopanan dan kesusilaan dan cara-cara hidup bermasyarakat lainnya.

Pengaruh Islam lainnya dalam kesenian tradisional Lampung adalah acara betamat. Yaitu membaca ayat-ayat suci Alquran di acara khitanan dan perkawinan. Biasanya dibaca malam hari. Dalam acara ini juga ada peristiwa mengarak anak yang dikhitan dari tempat guru ngaji.

Ketika terjadi musibah seperti ada kerabat atau tetangga dan saudara meninggal dunia, pengaruh Islam juga dominan. Acara khatam Alquran, yaitu membaca ayat-ayat Alquran selama tujuh hari selain acara tahlilan akan terdengar di tempat ini.

Itulah realitas agama Islam di Indonesia. Ketika berhubungan dengan suatu komunitas akan terlihat selalu unik, karena adanya akulturasi dengan budaya lokal. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)

Sumber : Lampost 8 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (27)

PERGERAKAN POLITIK MELAWAN KOLONIAL

SELAIN melalui kontak fisik dan pendidikan dalam syiar dan perjuangan merebut kemerdekaan, kalangan Islam di Lampung Barat juga melakukan perjuangan diplomatik. Salah satu bukti perjuangan itu dengan hadirnya partai politik. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), satu-satunya partai poltik yang ada pada 1937—1943.

Saat itu, pemerintah kolonial berupaya meredam perkembangan PSII yang berstatus Kring Liwa di bawah kepemimpinan H. Zaini, warga Pekon Tengah, Liwa. Caranya, menuding Syarikat Islam (SI) dengan cap “merah” terhadap organisasi itu. Tekanan dan perlakuan diskriminatif diberikan terhadap penduduk Marga Liwa yang terlihat menonjol. Tekanan itu mulai dari perbesaran pajak, pengenaan kerja paksa (rodi), dan sebagainya.

Namun, kecurigaan dan tekanan pemerintah itu semakin membuat penduduk Marga Liwa tertarik menjadi anggota PSII. Apalagi terbukti tokoh-tokoh PSII berani berjuang membela rakyat tertindas. "Salah satunya pembelaan Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto terhadap kasus tanah petani Gunung Seminung," kata tokoh masyarakat Marga Liwa, K.H. Arif Mahya, kepada Lampung Post, beberapa waktu lalu.

Dengan semakin berkembangnya PSII di Liwa, pada 1937 status organisasi ditingkatkan menjadi lajnah afdeeling (LA). Bahkan wilayahnya diperluas menjadi PSII LA Balikbukit yang berkedudukan di Kotaraja Liwa. Dan dua tahun kemudian, pengurus membentuk Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiah (BPPI) di Kotaraja di bawah binaan M. Hasan Manaf (ayah dari guru SMAN 2 Tanjungkarang Rosmala Dewi) dan guru H.H. Anwar (Kembahang).

Dari perkembangan itulah PSII LA Liwa ikut menggerakkan Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang menuntut pembentukan parlemen kepada pemerintah kolonial. Mereka meminta parlemen itu berisi orang Indonesia yang dipilih rakyat. Sejumlah tokoh PSII M. Hasan Manaf, Fadil Hamid, M. Yahya dan M. Jemarip bersama tokoh Muhammadiyah Abdul Ghani berjuang dalam Gapi itu.

Namun, perjuangan itu belum sempat berhasil karena Perang Dunia (PD) II. Pemerintah kolonial berganti dari Belanda ke Jepang yang memenangkan PD II. Imbasnya, seluruh partai dan organisasi kemasyarakatan (ormas) dibubarkan. PSII, termasuk Muhammadiyah dan NU, juga ikut dibubarkan.

Namun, perjuangan tokoh-tokoh Islam kala itu tidak berhenti. Mereka tetap melakukan syiar dengan meneruskan sekolah dan pondok pesantren yang ada di Liwa. Jepang juga menghentikan openbaar atau tablig akbar. Sementara para pemuda sebagian mengikuti pergerakan fisik dengan bergabung dalam kelompok pejuang untuk bergerilya. (MUSTAAN/E-1)

Sumber : Lampost 7 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (26)

NU AJARKAN "KITAB KUNING"

SEPERTI layaknya Persyarikatan Muhammadiyah, Organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) juga memulai kiprahnya di Lampung barat dengan jalur pendidikan. Selain madrasah, tokoh-tokoh NU kala itu juga membangun pondok pesantren.

Adalah K.H.A. Fattah yang menjadi penggerak pendidikan agama di Liwa, membuka Perguruan Tarbiyatul-Islamiyah (Perti) di Sukanegeri (kota Liwa). Pendidikan model pondok pesantren itu mengajarkan santrinya dengan “kitab kuning”, terutama untuk yang sudah mahir berbahasa Arab. "Santrinya banyak, dari Dusun Marga Liwa maupun daerah sekitar dan perguruan itu hanya mengajarkan tentang ilmu agama," kata tokoh NU K.H. Arif Mahya di Lampung Post beberapoa waktu lalu.

Namun, ada juga madrasah yang dibangun oleh kalangan NU di Liwa. Madrasah pertama yang dibuka NU terletak di Dusun Negeriagung, di bawah binaan seorang ulama tempaan NU yang pernah belajar di Jawa Timur, K.H. Fadhil. Saat itu memang sekretariat MWC NU Liwa berada di Negeriagung, tempat Pasiran Marga Liwa di masa itu. Sementara anggota NU semakin banyak dari dusun lainnya di Liwa.

Kemudian pada 1941, madrasah itu dikepalai K.H. Abdul Hay Ma'mun (ayah dari dosen Unila Zulyaden Abdul Hay) yang baru kembali dari belajar agama di Mekah. Dia sempat mendalami ilmu agama Islam di perguruan tinggi Darul Ulum, Mekah, Arab Saudi, saat datang langsung aktif di Majelis Wakil Cabang NU Liwa.

K.H. Abdul Hay Ma'mun dibantu sejumlah pengajar lainnya, seperti K.H. Husin dari Dusun Watos, M. Yatim (Padang Dalom), Ma'ad (Krui) dan M. Napis (Manna). Madrasah itu semakin pesat. Siswanya berasal dari berbagai daerah.

Pada masa itu, MWC NU Liwa juga semakin kuat dengan jumlah anggota yang banyak—terutama karena sebagian besar masyarakat berpaham ahlusunah waljamaah (aswaja). Bahkan di depan madrasah itu pernah digelar openbaar basar atau tablig akbar. Sejumlah tokoh NU dari Palembang datang pada kegiatan itu, seperti K.H. Abubakar Bastari, Abdullog Gathmyr, dan K.H. Tjik Wan.

Di bidang kepemudaan, pengurus MWC NU Liwa mulai membentuk Pandu Anshor untuk kegiatan anggota pemudanya dan Fatayat NU untuk anggota putri. Mereka saat itu diajarkan model kepanduan sebab pelajaran itu sangat berguna jika suatu saat akan bergerilya melawan tentara penjajah. (MUSTAAN/E-1)

Sumber : Lampost 6 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (25)

MADRASAH UNTUK MENEMPA GENERASI


CIRI dari dua organisasi kemasyarakatn Islam yang masuk ke Lampung, yakni Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama (NU) adalah mendirikan sekolah atau madrasah. Sebab, madrasah dianggap memberikan spirit kesinambungan generasi untuk mensyiarkan Islam.

Awalnya Muhmmadiyah yang dianggap “kaum muda” membuka madrasahnya di rumah seorang warga Syahri, Dusun Suka Negeri (Liwa, Lampung Barat, sekarang) pada 1931. Dengan murid sebanyak 20 orang, madrasah itu dibimbing Muallim Hidayat yang ditugaskan Pengurus Muhammadiyah Cabang Betawi.

Sebelumnya Guru Idrus membuka madrasah di Pahmungan, Krui. Setelah terbentuk di Liwa, Guru Idrus memindahkan seluruh muridnya ke madrasah di Liwa. Bahkan Guru Idrus ikut menjadi guru dan membina madrasah di Liwa.

Madrasah itu mendapat tambahan dua guru pada 1932, yakni K.H. Rais Latief (ayah penyiar TVRI Sazli Rais) dan K.H. A. Murad yang baru pulang dari belajar di luar negeri. K.H. Rais menempuh seolah di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sementara K.H. A. Murad adalah alumnus universitas di Mekah.

Di madrasah itu kemudian dibangun gedung belajar di Pekon Tengah, Liwa. Sehingga madrasah bertambah maju, bahkan muridnya juga berasal dari luar Marga Liwa. Sementara pelajarannya juga terbagi 50% pelajaran agama dan setengahnya pengetahuan umum. Selain bahasa Arab, diajarkan bahasa Inggris dan Belanda sesuai kurikulum atau leerplan Standasrdschool Muhammadiyah Nasional.

"Keberadaan dan perkembangan madrasah itu juga ikut memengaurhi status organisasi Muhammadiyah yang sebelumnya grup menjadi Cabang Liwa," kata tokoh masyarakat Liwa di Bandar Lampung K.H. Arif Mahya yang juga tokoh NU Lampung saat diskusi di Lampung Post awal Agustus lalu.

Pada 1939, diadakan konferensi Cabang I Muhammadiyah Liwa di Pekon Tengah. Acara itu dihadiri Consul Hoofd-Bestuur atau Majelis Konsul Muhammadiyah Daerah Lampung, Palembang dan Bangka yang diwakili anggotanya H. Zen Arifin, juga utusan Muhamadiyah Krui K.R. Chotman Djauhari. (MUSTAAN/E-1)

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (24)

ORGANISASI KEMASYARAKATAN ISLAM MASUK LAMPUNG

LEPAS dari ketakutan aksi internir atau pembuangan aktivis Syarikat Islam (SI) “merah” oleh Pemerintah Kolonial Belanda, perkembangan syiar Islam tidak berhenti.

Dua organisasi kemasyarakatan besar juga ikut mewarnai perkembangan syiar Islam di Lampung Barat. Keduanya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) masuk dan menggembleng generasi muda di Liwa.

Ada beberapa versi masuknya Perserikatan Muhammadiyah di Lampung. Versi pertama masuk dan terbentuk untuk pertama kali di Liwa, Lampung Barat. Hal itu terkait dengan pembentukan wadah organisasi di Liwa dengan struktur “grup” di bawah binaan Pengurus Muhammadiyah Cabang Betawi (sekarang Jakarta, red) pada 1930.

"Saat itu Muhammadiyah Grup Liwa beranggotakan sembilan orang yang diketuai Dja'far dan sekretariatnya di Dusun Gedungasin,” kata salah seorang tokoh masyarakat Lampung Barat di Bandar Lampung, K.H. Arif Mahya, yang juga tokoh NU Lampung.

Versi lainnya mengatakan organisasi itu pertama kali terbentuk di Telukbetung (sekarang Bandar Lampung, red). Pasalnya, saat itu Marga Liwa masuk dalam keresidenan Bengkulu atau Bankoelensche-Residentie. Sementara di Telukbetung terbentuk sekitar tahun 1932, saat cabang Telukbetung diundang untuk konferensi persyarikatan di Cabang Baturaja, Sumatera Selatan.

"Memang ada versi-versi dalam pembentukan awal Persyarikatan Muhammadiyah di Lampung," kata Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah Lampung K.H. Nurvaif Chaniago.

Saat pertama masuk ke Liwa, banyak masyarakat yang enggan masuk organisasi itu. Selain masih trauma diliputi isu Syarikat Islam (SI) “merah”, juga sebagian besar tokoh dan ulama setempat menganut paham ahlusunah waljamaah (aswaja).

Sementara itu, walaupun sebagian besar masyarakat telah mengenal dan menganut paham ahlusunah waljamaah sebagai paham dari organisasi kemasyarakatan NU. Namun, secara struktural, organisasi NU resmi masuk ke Liwa pada 1936 dengan nama Jamiyah Nahdlatul Ulama. NU di Liwa dipelopori K. Ahmad Amirin dengan membentuk Majelis Wakil Tjabang Nahdlatoel Oelama (MWT-NO) Liwa yang berkedudukan di Negeriagung, dusun tempat Pesirah Marga Liwa saat itu.

Perkembangan organisasi ini begitu cepat karena sebagian besar masyarakat di sana penganut ahlusunah waljamaah yang otomatis mudah diajak menjadi anggota NU. Atau penganut paham itu mengajukan kesediaannya menjadi anggota organisasi kemasyarakat yang membantu syiar agama Islam di sana. (MUSTAAN/E-1)

Sumber : Lampost Edisi 3 September 2010

Wednesday, September 1, 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (23)

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (23): Perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial

SETELAH masuk ke Lampung, Islam berkembang dan menyebar di sekitar daerah tiga pintu masuknya. Mulailah membuat organisasi-organisasi untuk mengembangkan ilmu dan syiar agama, termasuk di Lampung. Sampai akhirnya penjajah Belanda datang ke Indonesia, organisasi itu yang membuat pergerakan melawannya.

Di salah satu pintu masuk, Lampung Barat, Pemerintah Kolonial juga mendapat perlawanan dari rakyat. Sehingga sejumlah tokoh pergerakan Islam banyak yang ditangkap dan di-internir atau dibuang ke Boven Digul. Terutama saat dikembangkan isu banyaknya penduduk di Marga Liwa menjadi anggota Syarikat Islam (SI) "merah" atau prokomunis.

"Banyak tokoh yang ditangkap, bermula penangkapan tokoh antipenjajah Sadaruddin dari Pulau Pisang, Krui, Lampung Barat," kata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Lampung K.H. Arif Mahya, saat diskusi menjelang Ramadan di kantor Lampung Post, beberapa waktu lalu.

Penangkapan itu kemudian berlanjut ke Liwa. Pemerintah Kolonial Belanda mengincar tiga tokoh antipenjajah, yakni K.H. Bakri di Dusun Sukamarga, Liwa; Usman, Dusun Kesugehan, Liwa; dan H. Fadhlulloh. Dari ketiganya, Usman berhasil ditangkap. Sementara K.H. Bakri dan Fadhlulloh menghindar dan lari dari kejaran Pemerintah Kolonial ke Mekah, Arabi Saudi. Sembari bermukim, kedunya memperdalam ilmu agamanya.

Kemudian, H. Bakri kembali ke Tanah Air dan meneruskan perjuangannya di Negarabatin, Kotaagung, Tanggamus. Setelah zaman kemerdekaan, tokoh yang dituding anggota SI "merah" itu mengembangkan Islam sampai menjadi kepala KUA Kecamatan Sukadana.

Di Sukadana, K.H. Bakri berkolaborasi dengan K.H. Muhammad Nur, orang tua K.H. Hanafiah (salah satu Komandan Pasukan Hizbullah saat perlawanan Agresi Militer Belanda). K.H. Muhammad Nur juga merupakan pengelola pondok pesantren pertama yang berdiri di Sukadana bernama An Nur.

"Kini makam keduanya dalam satu kompleks di TPU Srikaya, Sukadana," kata dosen IAIN Raden Intan Fauzi Nurdin yang juga cucu pendiri Pondok Pesantren An Nur itu saat menjadi pembicara dalam diskusi di kantor koran ini, awal Agustus lalu.

Namun, kedua makam tokoh pejuangan dan penyiar agama Islam di Lampung itu kini kurang diperhatikan pemerintah. Hanya anak cucu kedua tokoh itu saja yang merawat makamnya. "Padahal, perjuangan keduanya tidak bisa disepelekan untuk penyiaran Islam, bahkan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial saat itu," kata dia. (MUSTAAN/E-1)

Sumber : Lampost edisi 3 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (21/ 22)

MAKAM SEKH AMINULLAH DI KRAMAT MANULA.

SELAIN melalui jalur darat, penyebaran Islam di daerah Lampung Barat juga melalui laut. Itu terlihat dari peninggalan makam Syekh Aminullah atau yang dikenal dengan Keramat Manula di Lemong, Krui. Penyebar Islam di Lampung Barat itu wafat sekitar 1525 Masehi.

Lampung Barat memang memiliki keunikan tersendiri terkait dengan masuknya Islam. Belalau menjadi salah satu dari tiga pintu utama masuknya Islam di Lampung. Masuknya Islam di kabupaten terujung utara Lampung itu juga melalui jalur laut.

Dari jalur darat, versi yang berbeda menyatakan Islam masuk di Lampung Barat dibawa seorang ulama yang bernama Umpu Belunguh sekitar abad ke-15. Konon kisah itu berdasar isi surat tua yang tertulis pada kitab yang terbuat dari kulit kayu, Umpu Belunguh datang dari Madinah. Sebelum masuk ke Lampung, Umpu Belunguh juga sempat menyebarkan Islam ke daerah lain, seperti Pagaruyung, Sumatera Barat, dan Batanghari serta Palembang, Sumatera Selatan. Akhirnya dia menjejakkan kakinya di daerah Belalau.

Sementara dari jalur laut, penyebaran agama Islam di daerah pesisir sebelum tahun 1500-an. Hal itu terbukti dari makam Syekh Aminullah yang tertulis dalam nisannya, wafat tahun 1525. "Makam ini menjadi tempat ziarah orang dari berbagai daerah, termasuk dari Lampung barat juga. Makam ini selalu ramai, terutama menjelang Ramadan," kata Anshori, warga sekitar.

Berdasar keterangan dari masyarakat sekitar, Syekh Aminullah merupakan keturunan Arab yang berlayar dari Aceh. Saat melintasi Samudera Indonesia di pesisir Krui, tiupan badai kencang membuat kapal yang di tumpanginya terdampar di daerah Cahayanegri, Kecamatan Lemong, Lampung Barat.

Pada area permakaman itu terlihat sejumlah makam lain di sekeliling makam Syekh Aminullah. Kemungkinan makam-makam lainnya itu adalah murid dari ulama itu. Namun, makam-makam tersebut tidak terawat dan usang dimakan zaman. (CK-7/U-3)

Sumber : Lampost Edisi 1 september 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (22): Murid Syekh Menyebar hingga Pulau Jawa

DARI penuturan sejumlah tokoh adat dan masyarakat setempat, Syekh Aminullah, ketika berada di daerah Pesisir, mengajarkan syariat terhadap masyarakat setempat. Warga sekitar kemudian banyak yang memeluk Islam dan menjadi murid ulama asal Arab itu.

Bahkan, sejumlah tokoh juga mengatakan murid-murid Syekh Aminullah bukan hanya datang dari daerah Krui, Pesisir Lampung Barat. Anak didiknya juga banyak dari luar daerah seperti Palembang, Bengkulu, dan Pulau Jawa.

Hal itu terlihat dari banyaknya peziarah yang datang dari luar Lampung. Peziarah bercerita kedatangannya ke makam itu karena nenek moyangnya dulu murid Syekh. Tak heran jika makam “Keramat Manula” itu tersohor hingga Pulau Jawa.

Makam Syekh Aminullah yang tertulis dalam nisannya wafat tahun 1525, menjadi bukti salah satu jejak dinamisasi Islam di Lampung. Syekh Aminullah merupakan keturunan Arab yang berlayar dari Aceh. Saat melintasi Samudera Indonesia di pesisir Krui, tiupan badai kencang membuat kapal yang ditumpanginya terdampar di Cahayanegri, Kecamatan Lemong, Lampung Barat.

Sementara penamaan makam Syekh Aminullah sebagai “Keramat Manula”, menurut tokoh setempat Ansori, berasal dari nama sungai dan pantai yang ada di lokasi makam. Makam itu terletak tepat di samping Way Manula yang bermuara di Pantai Pesisir Utara Lampung Barat itu.

Tidak sedikit pengunjung yang datang, terutama pada Ramadan untuk berziarah. Namun, peziarah kesulitan mengetahui lebih banyak cerita tentang syekh dan sepak terjangnya. Sebab, makam itu tidak ditunggui juru kunci.

Masyarakat setempat hanya mengetahui cerita dari orang tuanya sehingga sulit mengetahui secara pasti “Keramat Manula” itu. Penduduk hanya mengetahui tempat itu terdapat makam keramat Syekh Aminullah tanpa mengetahui secara perinci mengenai sejarahnya. Kebanyakan masyarakat setempat menjadi pemandu peziarah untuk masuk ke lokasi dan menunjukkan letak makam ulama itu. (CK-7/U-3)

Sumber : Lampost Edisi 2 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (20)

KITAB BAHASA JAWI ABAD KE XIV DI MASJID JAMIK

HINGGA kini ahli filologi Suryadi, penemu naskah kuno Syair Lampung Karam (SLK) yang ditulis Mohammad Saleh dari enam negara Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia masih mempertanyakan Mohammad Soleh.

Benarkah penulis syair itu Mohammad Soleh yang merintis pembangunan Masjid Jami Al Anwar? Belum ada data pendukung yang menguatkan keberadaannya terkait naskah SLK.

Di Masjid Jami Al Anwar itu masih tersimpan naskah-naskah kuno peninggalan K.H. Mohammad Soleh. Sayang sekali, 400-an kitab yang ditulis dengan aksara Arab Melayu atau huruf Jawi di dua lemari dalam gudang kurang terawat. Kondisinya sangat memprihatinkan. Padahal, kitab-kitab itu adalah "harta karun" yang tak ternilai harganya.

Berbekal sedikit kemampuan membaca huruf Arab Melayu (huruf Jawi), kami mencoba membaca beberapa kitab. Dari sampel itu, kami menemukan kitab-kitab itu masih bisa dibaca. Walaupun ada yang lepas dari jilidannya, tulisan-tulisannya masih sangat jelas. Beberapa buku yang kami coba lihat berangka tahun 1300-an berisi pengajaran agama, baik yang berbahasa Melayu maupun Arab.

Ketika kami menanyakan hal ini kepada Tjek Mat Zen, dia menyatakan belum tahu. Dia kemudian membuka-buka dokumen. Sebuah testemen berbahasa Belanda, berangka tanggal 24 Agustus 1864, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebutkan soal pewarisan harta dari Tomonggong Mohammad Ali, regent dari Telok Betong. Salah satu ahli waris penerima bernama Mohammad Saleh, umur 50 tahun.

Kalau pada 1864 Mohammad Saleh berusia 50 tahun, pada 1883 ketika Gunung Krakatau meletus dan SLK ditulis tiga bulan setelah itu, Mohammad Saleh berusia 69 tahun. Dua tahun kemudian, Mohammad Saleh meninggal. Kalau melihat data ini, mungkin saja Mohammad Saleh ini yang menulis.

Namun, bukankah Mohammad Saleh menjadi pemimpin dan ulama di Telukbetung? Sementara dalam naskah SLK sebagaimana diungkap Suryadi menyebutkan Mohammad Saleh memang sedang berada di Lampung saat letusan dahsyat Gunung Krakatau itu terjadi. Dan, dia selamat dan setelah itu dia pergi ke Singapura.

"Saya menduga bahwa dia salah seorang pengungsi dari letusan itu dan dia mengatakan dia menulis itu di kampung Bangkahulu di Singapura. Sekarang menjadi Bengkulen Street. Itu Singapura lama," kata Suryadi seperti dikutip dari situs Radio Nederland Wereldomroep.

"Ya, bisa jadi," kata Johan Sapri (54), warga Gunung Kunyit, yang mengaku keturunan ketujuh Mohammad Soleh. Dia menjelaskan salah satu istri Mohammad Ali, saudara Mohammad Saleh, yaitu Intjik Halimah, merupakan saudara Tuanku Lingga dari Malaysia.

Mungkinkah ada kitab SLK? Sayang sekali, kondisi buku yang sudah rapuh dan penataan buku yang tumpang-tindih, membuat kami tidak berani melihat satu per satu kitab-kitab kuno tersebut. Agaknya, perlu waktu untuk meneliti kitab-kitab yang disimpan di perpustakaan (lebih tepatnya gudang) Masjid Jami Al Anwar.

Jadi, benarkah Mohammad Saleh, pemimpin dan ulama di Telukbetung yang merintis pendirian Masjid Jami Al Anwar ini yang menulis Syair Lampung Karam? Wallahualam. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/IYAR JARKASIH/U-3)

Sumber : Lampost Edisi 30 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (19)

LETUSAN KRAKATAU LAHIRKAN "SYAIR LAMPUNG KARAM"



GUNUNG Krakatau (Krakatoa, Carcata), 127 tahun lalu, tepatnya pada 26, 27, dan 28 Agustus 1883 meletus. Banyak catatan dan karya tulis yang kemudian lahir dari peristiwa yang menewaskan tidak kurang dari 36 ribu orang ini. Namun, laporan orang asing tentang letusan Krakatau ini lebih menekankan pada aspek geologisnya.

Maka, ketika ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi, menemukan satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada 1883, banyak orang yang terkejut.

Naskah ini baru ditemukan 125 tahun setelah Krakatau meletus. Penemuan naskahnya pun terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.

Suryadi mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alihaksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis. Penulis laporan itu mengaku bernama Mohammad Saleh:

Hamba mengarang fakir yang hina

Muhammad Saleh nama yang sempurna

Karena hati gundah gulana

Melainkan Allah yang mengetahuinya

Menurut Suryadi, Syair Lampung Karam selesai kira-kira tiga bulan setelah letusan Gunung Krakatau itu. Menariknya, Syair Lampung Karam ditulis dalam aksara Arab Melayu atau huruf Jawi kata orang Malaysia.

"Yang menarik bagi saya, bahasanya cenderung agak Melayu-Riau. Jadi kemungkinan dia bukan orang Lampung asli. Dan memang pada waktu itu, memang seperti digambarkan dalam syair ini, Lampung menjadi pusat bisnis. Banyak orang ke sana," kata Suryadi.

Siapakah Muhammad Saleh? Masih cukup menarik untuk diteliti untuk mengungkapkannya lebih jauh. Begitu mengetahui keberadaan naskah Syair Lampung Karam, kami berusaha menelusuri. Kami terpaku pada sebuah nama yang cukup terkenal sebagai penyebar syiar Islam di Lampung, yang juga disebut-sebut sebagai salah satu pendiri Masjid Jami Al Anwar.

Masjid yang berada di bilangan Jalan Laksamana Malahayati, Telukbetung, Bandar Lampung, ini adalah masjid tertua. Berdasarkan risalah riwayat Masjid Jami Al Anwar, diketahui rintisan masjid ini telah dimulai sejak 1839. Tetapi, pada 1883 masjid itu luluh-lantak terkena letusan Gunung Krakatau. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/IYAR JARKASIH/U-3)

Sumber : Lampost Edisi Minggu 30 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (18)

HABIB DAYID LESTARIKAN MAKAM LELUHUR WALIYULLAH


SETELAH pengikutnya bertambah banyak, Habib Sayid Ahmad mengajak penduduk merawat makam yang berada sekitar 200 meter dari telaga. Menurut Maratus Shalihah, janda Habib Sayid Ahmad, itulah tempat peristirahatan terakhir Sayid Maulana Malik Abdullah bin Ali Nurul Alam, leluhur Sunan Gunung Jati.

Makam itu pun terus dibenahi sehingga kini berupa sebuah rumah berukuran 6 x 10 meter. Kuburan itu tertutup kelambu berwarna putih. Di atasnya terdapat beberapa kitab Alquran, Majmu' Syarif, dan Yasin. Pada nisan di dalamnya terdapat tulisan bernama sosok dimaksud dalam aksara Arab.

Selain itu, di sisi kanan makam terdapat meriam terbungkus kain mori, teko, bokor, pecahan keramik, dan beberapa potong batu yang biasanya digunakan untuk mengasah senjata dan menumbuk berbagai ramuan. Benda-benda itu diyakini sebagai peninggalan Sayid Maulana Malik Abdullah yang masuk ke sana lewat laut.

Masih menurut Maratus Shalihah, sosok yang dikenal sebagai waliullah itu dulu juga tinggal di sekitar telaga. Tempat itu dijadikan sebagai sarana mandi dan berwudu. Sementara itu, salatnya di dekat lokasi yang kemudian dijadikan sebagai tempat permakamannya.

"Saya pernah ingin berziarah ke makam para wali di Jawa," ujar dia.

Namun, suaminya melarang karena waliullah yang lebih tua ada di dekatnya. Dia pun diminta untuk ikut merawat dan melestarikan perjuangan Sayid Maulana Malik Abdullah.

Selain itu, Habib Sayid Ahmad bersama penduduk kemudian menyempurnakan tempat salat Sayid Maulana Malik Abdullah menjadi sebuah masjid yang permanen. Tempat ibadah yang berada di sisi timur makam itu juga dijadikan sebagai tempat penyiaran dan pengajaran Islam, seperti yang dilakukan pendahulunya.

Uniknya, waliullah ini punya kebiasaan membuat ribuan batu bata. Hasilnya, meski tidak memiliki kekayaan, tidak pernah dijual. Bahan bangunan itu digunakan untuk membangun kepentingan umum, seperti masjid, madrasah, dan jembatan.

Pemkab Lamteng ikut melestarikan dan mengembangkan makam Sayid Maulana Malik Abdullah maupun telaga tempat lahirnya Raden Fatah sebagai objek wisata andalan. Namun, pelestarian lebih banyak dilakukan santri Habib Sayid Ahmad yang tinggal di sekitar telaga. (M. IKHWANUDDIN/R-3)

Sumber : Lampost Edisi Sabtu 29 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (17)

HABIB SAYID AHMAD TELUSURI JEJAK RADEN FATAH

SEPENINGGAL Dewi Kadamasih dan Raden Fatah, tak banyak penduduk yang mengetahui jika di Surabayailir terdapat tempat bersejarah. Namun, Habib Sayid Ahmad bin Salim al-Muhdlor—ulama asal Wates, Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur, yang senang mengembara—justru penasaran dan mencoba mencari kebenaran kabar itu.

Pada 1967, anak dari Habib Salim bin Ahmad Muhdlor, asal Hadralmaut, Yaman, itu nekat menerobos hutan hingga sampai di telaga angker, tempat Raden Fatah lahir. Dia semakin penasaran karena setiap orang yang menoleh telaga kepalanya tidak bisa ke posisi semula dan setiap penebang pohon akan mati seiring robohnya batang kayu.

Karena itu, dia berhalwat berhari-hari di atas sebatang pohon yang roboh dan menjorok ke telaga. Di atas kayu berdiameter sekitar dua meter itulah, Sang Waliyulllah tinggal; siang berpuasa dan malam bermunajat kepada Allah swt. Berdasarkan catatan Raden Patah Hasyim bin Ahmad, dia ingin mengetahui mengapa Tuhan menakdirkan tempat itu begitu mengerikan.

Hasilnya, dia mendapatkan jawaban bahwa keangkerannya adalah untuk melindungi Dewi Kadamasih dan bayi yang dikandungnya dari kejahatan, terutama kejaran bala tentara Girindawardhana.

Sayid Ahmad pun jadi ingin berlama-lama di lokasi itu. Apalagi, setelah mengetahui sekitar 200 meter ke Samudera Hindia, terdapat makam seorang waliyullah, nenek moyang dari Sunan Gunungjati Cirebon. Dia pun membuat tempat salat di sisi timur makam.

Bahkan, dia ingin penderitaan Dewi Kadamasih juga dirasakan istrinya. Ny. Mar'atus Shalihah dimintanya tinggal di sana tanpa bekal. Untuk berteduh, hanya dibuatkan tebing yang dilubangi sehingga mirip gua.

Beberapa tahun kemudian, sejumlah penduduk mulai mengetahui keberadaan ulama kelahiran 1912 ini. Mereka memberanikan diri mendekat bahkan membuatkan gubuk untuk tempat tinggal. Bahkan, mereka kemudian memberikan tanah seluas delapan kilometer persegi, yang di tengahnya terdapat telaga itu.

Setelah jumlah pengikutnya semakin banyak, Sayid Ahmad mengajak penduduk untuk merawat makam nenek moyang Sunan Gunungjati. Lalu, tempat salatnya di sisi timur makam dijadikan masjid. Dari situlah dia kemudian mensyiarkan dan mengajarkan Islam kepada penduduk.

Uniknya, Waliyullah ini punya kebiasaan membuat ribuan batu bata. Hasilnya, meskipun tidak memiliki kekayaan apa pun, tidak pernah dijual. Bahan bangunan itu diperuntukkan membangun apa saja guna kepentingan umum. Masjid, madrasah, dan jembatan di sekitarnya dibangun dengan hasil karyanya itu. (M. IKHWANUDDIN/R-2)

Sumber : Lampost Edisi 28 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (16)

RADEN FATAH LAHIR DI SURABAYAILIR LAMPUNG TENGAH

SAAT keamanan Majapahit begitu mengkhawatirkan akibat serangan balatentara Girindawardhana, Raja Daha, Kediri, Kertabumi, raja terakhir kerajaan Hindu itu, berusaha menyelamatkan putra mahkotanya.

Raja yang bergelar Brawijaya V itu lalu menyuruh sejumlah prajuritnya untuk melarikan dan menyembunyikan Dewi Kadamasih, permaisurinya, yang saat itu sedang hamil tujuh bulan. Mereka menuju Palembang, Sumatera Selatan, dan menyerahkan Sang Putri kepada Arya Damar, adipati setempat.

Meskipun Brawijaya V berhasil dibunuh, hulubalang Girindrawardhana tidak puas. Mereka terus berusaha mencari putra sang permaisuri. Bre Daha khawatir jika bayi yang dilahirkan permaisuri itu kelak akan membalas dendam atas kematian ayahnya.

Sebab itu, Adipati Arya Damar kemudian mencari tempat persembunyian yang benar-benar aman, yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat. Pilihan jatuh pada telaga yang kini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Surabayailir, Bandarsurabaya, Lampung Tengah, atau lebih dikenal dengan sebutan Spontan II.

Menurut Ny. Mar'atus Shalihah, istri Sayyid Ahmad ibn Salim al-Mudhar, seorang waliyullah yang tinggal di sana, tempat itu dipilih karena terkenal keangkerannya. Siapa pun yang lewat telaga itu dilarang menoleh. Jika dilanggar, kepala tak akan bisa kembai ke posisi semula. Bahkan, yang berani menebang pohon, akan mati bersama tumbangnya batang pohon.

Sehingga, nyaris tak ada orang lain yang berani menjamah tempat itu. Termasuk pasukan Gilindrawardhana. Sebaliknya, Dewi Kadamasih yang tinggal bersama sejumlah pengawal bisa hidup tenang. Bahkan, hingga Sang Putri melahirkan sesosok bayi yang kemudian diberi nama Hasan, kondisinya tak berubah.

Setelah cukup umur, Hasan diboyong ke Palembang. Memasuki usia remaja, dia berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya, bahkan kemudian dinikahkan dengan anak sang wali tadi. Pada 1481, para wali menobatkan dia sebagai raja Demak dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah, yang kemudian lebih dikenal dengan Raden Fatah.

Kepergian Raden Hasan (R. Fatah) ke Jawa menimbulkan kesan mendalam pada penduduk Palembang. Apalagi setelah mengetahui sosok tersebut kemudian menjadi raja Demak. Untuk mengenang itulah mereka menamai tempat masa kanak-kanak raja itu Prabumulih atau raja pulang ke Jawa.

Sementara itu, nama Palembang, berasal dari Pai Lian Bang, menteri dari Raja China yang masuk Islam, yang dibawa Sunan Gunungjati dari Negeri Tirai Bambu itu, kemudian dinobatkan menjadi Adipati, menggantikan Arya Damar yang meninggal.

Telaga itu hingga kini tetap terawat. Orang-orang yang tinggal di sana memagari telaga di bawah tebing, yang kini tinggal berukuran sekitar 3 x 6 meter. Bahkan, penduduk sekitar mendirikan sebuah masjid di sisinya dan menjadikan telaga itu sebagai air untuk berwudu. Pada waktu tertentu, banyak penduduk, bahkan muslim dari Jawa datang ke tempat itu untuk mengharapkan berkah. (IKHWANUDDIN/R-2)

Sumber : Lampost Edisi 27 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (15)

Kamis, 26 Agustus 2010

KH. ALI TASIM, PANGLIMA HIZBULLAH DARI AL-YAKIN

KEBERADAAN Masjid Al Yaqin sejak 1912 di Tanjungkarang diyakini sebagai cikal bakal pusat kegiatan umat. Bukan hanya dalam syiar agama, melainkan juga menjadi wadah kekuatan dalam menentang Belanda.

Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan syiar dan perjuangan di masjid itu ialah K.H. Ali Tasim. Sebagai salah satu santri K.H. Gholib, Ali Tasim juga menjadi panglima Hizbullah Tanjungkarang pada masa agresi Belanda I 1946.

"Pergerakan Hizbullah yang merupakan perkumpulan penentang penjajahan bernuansa Islam itu, merupakan salah satu kelompok yang paling sering terlibat bentrok dengan penjajah," kata seorang putra K.H. Ali Tasim, Muntaha, didampingi saudara kandungnya, Ni'mah, saat ditemui Lampung Post di kediamannya Jalan Mr. Gele Harun, Rawalaut, Bandar Lampung, Rabu (25-8).

Seiring semakin kuatnya persatuan umat muslim saat itu, kata Muntaha, pada agresi militer Belanda II tahun 1948, pejuang di Masjid Al Yaqin bertahan. Walaupun sempat kocar-kacir akibat serangan Belanda yang menggunakan senjata canggih, ulama bersama umat mampu mempertahankan markasnya.

Di bawah bimbingan K.H. Ali Tasim yang juga sempat menjadi Ketua DPRD Tanjungkarang periode 1956-1960, pergerakan Islam di Bandar Lampung berkembang pesat. K.H. Ali Tasim banyak memberikan pengetahuan keagamaan khususnya tentang ilmu fikih.

Ali Tasim yang menguasai berbagai bahasa itu sempat menjadi Kepala Pengadilan Agama Tanjungkarang sebelum wafat pada 24 Juli 1984. "Bapak adalah sosok ahli ilmu fikih yang terkenal bukan saja di daerah Lampung, tetapi hingga Banten dan Pandeglang," kata Munthaha.

Media yang paling menonjol dari kegiatan umat Islam di Al Yaqin adalah pengajian. Halakah itu menjadi wahana dalam rangka mengumpulkan umat muslim untuk bersatu melawan penjajah. Setelah merdeka, Al Yaqin menjadi pusat syiar Islam. Bahkan, tidak jarang ulama datang dari luar Lampung berceramah di masjid itu yang dulunya dikenal dengan Masjid Enggal Perdana itu. "Ulama dari mana saja, seperti dari Banten, biasanya datang dulu ke Al Yaqin," kata dia. (IYAR JARKASIH/U-3)

Sumber Lampost.