Tuesday, October 30, 2012

Gubernur Lampung Menyayangkan Masyarakat Nudah Tersulut


BANDAR LAMPUNG (Lampost.co): Gubernur Lampung Sjahcroedin ZP menyayangkan masyarakatnya mudah tersulut perpecahan hingga merugikan banyak pihak.

"Saya sangat menyayangkan, kenapa warga yang sebenarnya tidak mengetahui persoalan, justru turut campur meramaikan suasana, Lampung bulak-balik ramai karena mudah termakan isu," kata Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, di Bandarlampung, Rabu (31-10).

Menurutnya, setelah berdiskusi kepada berbagai pihak, dapat disimpulkan konflik antarwarga jilid II di Lampung Selatan penyebabnya karena kesepakatan perdamaian sebelumnya belum tersosialisasi dengan baik. "Kami sudah membahasnya dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat, disimpulkan penanganan kurang tuntas tidak sampai ke masyarakat bawah," ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah sedang merumuskan solusi terbaik agar warga Lampung secara keseluruhan dan khususnya warga di Lampung Selatan ke depan tidak mudah terprovokasi. Untuk meminimalisir jumlah korban akibat bentrok tersebut, pemerintah menginisiasikan mengevakuasi ribuan warga ke SPN Kemiling. "Sekarang kita buatkan penampungan, sekarang jumlahnya seribuan dan ini akan terus bertambah sampai kondisi di lapangan benar-benar kondusif," katanya lagi.

Ia menambahkan, semua pihak dikerahkan untuk memberi pelayanan terbaik kepada pengunsi, hal itu untuk menjaga agar jangan sampai pengungsi yang trauma malah tidak terurus. "Di sini ada PMI, dinas sosial, badan penanggulangan bencana, semua pihak terkait saya kerahkan untuk mengatasi persoalan ini," ujar dia.

Sebelumnya, diberitakan jumlah korban tewas akibat bentrok antarwarga Di Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 14 orang. Sedangkan kerugian material sebanyak 166 rumah dibakar oleh massa. Warga Balinuraga sebagian besar mengungsi di SPN Kemiling untuk menghindari bentrok serupa. (ANT/L-4)

Warga Balinuraga Mengungsi di SPN


Pengungsi dari Desa Balinuraga, Kec. Waypanji, Lamp.Selatan Lampung.


BANDAR LAMPUNG (Lampost.co): Ribuan warga Balinuraga masih berada dalam pengungsian di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, Bandarlampung.

"Data terakhir jumlah pengungsi sebanyak 1.600 pengungsi, namun diperkirakan akan terus bertambah sampai kondisi benar-benar kondusif," kata Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih di Bandarlampung, Rabu (31-10).

Persiapan logistik yang disiapkan antara lain air mineral, makanan ringan, nasi bungkus, obat-obatan. Selain itu tikar, bantal, guling, kasur dan selimut. "Logistik yang ada masih sangat terbatas, karena jumlah pengungsi kian bertambah," kata dia lagi.

Sementara untuk pelayanan medis sudah disiapkan sukarelawan dari PMI, Bidang Dokkes Polda Lampung, Dinas Kesehatan Propinsi, Rumah Sakit Abdul Muluk, Puskesmas Beringin Raya, Puskesmas keliling Lamsel. Adapun bantuan tenda kesehatan dua dari PMI, dua dari Pelabuhan Panjang, satu dapur umum dari Dinas Sosial Provinsi Lampung, dan Dapur Umum dari TNI.

"Pengunsi akan tetap berada di sini sampai lokasi benar-benar aman, dan situasi kondusif telah terjaga, kami akan mengembalikan warga-warga ke rumahnya masing-masing, namun yang diprioritaskan warga yang rumahnya masih bisa dihuni," ujar dia. Sementara itu, Gubernur Lampung Sjahcroedin ZP menyayangkan masyarakatnya mudah tersulut perpecahan hingga merugikan banyak pihak.

"Saya sangat menyayangkan, kenapa warga yang sebenarnya tidak mengetahui persoalan, justru turut campur meramaikan suasana, Lampung bulak-balik ramai karena mudah termakan isu," kata Gubernur Lampung Sjachroedin ZP. Menurutnya, konflik antarwarga jilid II di Lampung Selatan, setelah berdiskusi kepada berbagai pihak, dapat disimpulkan penyebabkan karena kesepatanan perdamaian sebelumnya belum tersosialisasi dengan baik.

"Kami sudah membahasnya dengan tokoh adat dan tokoh masyarakat, disimpulkan penanganan kurang tuntas tidak sampai ke masyarakat bawah," ujarnya. Ia menambahkan, pemerintah sedang merumuskan solusi terbaik agar warga Lampung secara keseluruhan dan khususnya warga di Lampung Selatan ke depan tidak mudah terprovokasi.

Sebelumnya, diberitakan jumlah korban tewas akibat bentrok antarwarga Di Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 14 orang. Sedangkan kerugian material sebanyak 166 rumah dibakar oleh massa. Warga Balinuraga sebagian besar mengungsi di SPN Kemiling untuk menghindari bentrok serupa. (ANT/L-4)

Para Pengungsi Menginginkan Perdamaian


BANDAR LAMPUNG (Lampost.co): Pengungsi dari Desa Balinuraga dan Desa Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Kabupaten Lampung Selatan, yang terlibat bentrokan dengan warga beberapa desa di Kalianda, menginginkan perdamaian dan tidak terjadi lagi konflik yang menelan korban jiwa.

"Kami bersedia damai secepat mungkin dan tidak ada lagi keributan. Yang sudah, biarkan berlalu," kata Made Lastri (35), warga Desa Balinuraga yang ikut mengungsi di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, Bandarlampung, Rabu (31-10).

Ia mengatakan kejadian seperti itu bukan hanya berakibat kerugian materi, namun juga sangat merugikan masyarakat luas yang tidak mengetahui permasalahannya. "Ke depan kami ingin tidak ada lagi pertikaian dan masyarakat harus saling menghormati, agar tercipta hidup yang arif dan damai," ujarnya.

Lastri yang rumahnya ikut terbakar mengungkapkan, sebelum mengungsi ke SPN Kemiling, dirinya beserta keluarga dan warga desa lainnya telah mengungsi ke hutan di sekitar desa mereka. "Saya dua hari di hutan tidak makan. Kabar bahwa rumah saya terbakar pun diberitahu oleh tetangga," ujar dia lagi. Dirinya beserta warga lain, tidak sempat membawa pakaian untuk ganti, dan hingga hari ini sangat membutuhkan pakaian tersebut. Hal senada diungkapkan oleh Wayan Sudana (39) yang rumahnya ikut terbakar.

Ia menegaskan bahwa dirinya menginginkan agar pemerintah secepat mungkin dapat membantu mengatasi masalah ini. "Pemerintah harus turun tangan untuk membantu menciptakan perdamaian di antara kami," ujar dia. Ia mengungkapkan akibat konflik tersebut dirinya mengalami kerugian materi yang cukup besar. Menurut dia, anaknya telah diungsikan ke rumah kerabatnya yang berada di Kabupaten Lampung Timur.

"Anak saya sudah diungsikan tadi pagi ke tempat kerabat, saya bertahan di sini untuk mengetahui informasi selanjutnya," ujar dia. Sebelum kejadian bentrokan itu, dia mengungkapkan, anaknya telah diungsikan agar tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya. "Harapan kami hanya perdamaian tercipta di daerah saya," ujar dia. (ANT/L-4)

Media Massa Agar Ikut Meredakan Konflik



BANDAR LAMPUNG (Lampost.Co): Anggota DPRD Provinsi Lampung Gufron Azis Fuadi meminta media massa harus ikut berkontribusi meredakan konflik di Lampung Selatan (Lamsel). "Bukan justru memperuncing situasi yang tanpa disulut pun potensial menyebabkan sumbu' konflik terbakar," kata Gufron yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lampung Gufron Azis Fuadi, Selasa (30-10).

Gufron menambahkan, dalam memberitakan konflik, media diharapkan dapat lebih arif dan hati-hati serta lebih mempertimbangkan dampak negatif pemberitaan tersebut bagi kemanusiaan. "Khususnya kasus Lampung Selatan maupun liputan konflik dimanapun, kami menghimbau agar rekan-rekan pers tidak terjebak untuk berlomba menampilkan konflik secara vulgar," ujar anggota DPRD Lampung dari daerah pemilihan Lamsel ini.

Menurut Gufron, penyelesaian konflik antar etnis di sejumlah daerah rawan konflik juga harus melibatkan partisipasi kalangan pers. Pers justru harus berfungsi sebagai juru damai. "Lihat saja untuk kejadian Way Panji dan Balinuraga ini, tanpa harus menyajikan berita yang provokatifpun, di masyarakat sudah beredar himbauan atau pesan bernada provokasi," ujar Gufron.

Secara konkrit Gufron juga menghimbau Pemkab Lamsel serius melakukan upaya mediasi dan rekonsiliasi secara komprehensif. "Dulu Forkopimda pernah duduk bersama warga berkonflik. Pernah ada upaya, tapi mungkin penyelesaian belum menyentuh akar konflik," kata Gufron. (L-1)

Monday, October 29, 2012

Rusuh Sidomulyo, Jalinsum Dijaga Ketat



KALIANDA (Lampost.Co): Kondsi jalan lintas Sumatera (jalinsum) yang melewati ibu kota Lampung Selatan, Kalianda, dijaga ketat aprat kepolisian. Ratusan aparat gabungan TNI dan Polri tampak berjaga di Masjid Agung, Kalianda pukul 10.30 WIB. Aparat kepolisian merazia kendaran yang lewat dan membwa senjata tajam (sajam).

Selain itu, untuk mengantisipasi bertmbahnya massa dari Kecamatan Kalianda dan sekitrnya yang hendak menuju Desa Bali Agung, Kecamatan Way Panji. Aparat kepolian dibntu Satpol PP juga menjaga kantor Pemda Lampung Selatan. Ribuan personel gabungan TNI-Polri berjaga di sejumlah titik di Lampung Selatan, sejak Senin (29-10).

Sementara Polda Lampung akan melakukan rapat dengan pejabat terkait untuk menentukan langkah penyelesaian. Hingga kini, suasana di Kecamatan Way Panji dan Kalianda, masih mencekam. Warga kedua kecamatan juga masih berjaga untuk mengantisipasi serangan susulan. Kedua lokasi tersebut kini dijaga ketat petugas TNI-Polri. Sementara Polres Lampung Selatan masih melakukan penyelidikan dengan mempelajari peristiwa bentrok.

Polisi juga sudah memeriksa sejumlah saksi untuk menetapkan tersangka. Sebelumnya, tiga orang diberitakan tewas dan sekitar 10 warga terluka akibat bentrok antara warga Way Panji dengan Kalianda. Bentrok tersebut dipicu pelecehan dua orang gadis yang diduga dilakukan warga Way Panji. (KRI/L-1)

Sumber Lampost 29 Oktober 2012

Friday, October 12, 2012

Tapis Carnival, Etalase Festival Krakatau



FESTIVAL Krakatau XXII 2012 dibuka. Culture and Tapis Carnival menjadi etalase untuk memperkenalkan ragam budaya Lampung.

Karpet merah tergelar melintang di Lapangan Parkir Saburai, Bandar Lampung, Sabtu (6-10). Pengeras suara berdegub keras dengan irama berganti-ganti secara berkala. Tepuk-sorak dan lambaian tangan tetamu bergemuruh menyemangati muli-mekhanai yang melintasi jalur yang menjadi catwalk itu.

Seribuan orang tumpah ruah menghadiri acara, ingin menyaksikan agenda seni bertajuk Culture and Tapis Carnival atau Karnaval Budaya dan Tapis Lampung. Event ini adalah agenda pembukaan dan bagian dari Festival Krakatau XXII 2012.

Suasana seputaran GOR Saburai hari itu cukup kontras. Dekorasi dengan warna-warna ceria terlihat mendukung ratusan gadis dan bujang yang silih berganti menampilkan kebolehannya berlenggak-lenggok di karpet merah.

Para pemuda-pemudi itu mengenakan pakaian khas daerah dengan berbagai budaya modifikasinya. Terlihat, para perempuan dan laki-laki pilihan itu semakin anggun dan cantik dalam balutan busana yang cenderung cemerlang.

Event yang dihadiri 22 duta besar negara-negara sahabat itu mengundang decak kagum. Kreasi kain-kain pembalut tubuh bernuansa gemerlap dan megah, ditingkahi gerak gemulai remaja-remaja molek itu, menguatkan suasana artifisial pergelaran.

Ada puluhan kreasi busana daerah, nasional, dan pop yang tampil pada event itu. Perpaduan penampilan busana dengan atribut dan properti budaya khas daerah cukup serasi. Kombinasi itu menjadi pemadu antara atmosfer lokal dengan selera modern yang cenderung gemerlap. Bahkan, kreasi tari topeng sekura yang cenderung tampil sekenanya cukup mendapat applaus karena ciri khasnya.

Karnaval yang diikuti puluhan pasang gadis menarik perhatian ribuan pengunjung dan pelintas di kompleks fasilitas umum di bilangan Enggal, Tanjungkarang Pusat, itu.

Selayaknya pawai kreasi busana yang diadakan di kota-kota besar Indonesia dan luar negeri, Culture and Tapis Carnival layak menjadi agenda tahunan. Bahkan, panitia Festival Krakatau 2012 menempatkan karnaval ini sebagai etalase acara dan membuka rangkaian agenda festival.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung Gatot Hudi Utomo menyatakan pergelaran parade busana ini menjadi pengenal wajah Lampung. Kepada wisatawan dan pengunjung, para duta budaya yang mengenakan aneka busana dan atribut etnik adalah etalase tentang keragaman budaya di Sai Bumi Ruwa Jurai.

Gatot menjelaskan Festival Krakatau 2012 adalah agenda promosi pariwisata Lampung yang diselenggarakan setiap tahun. Berbagai pertunjukan seni budaya, pameran, olahraga, dan pariwisata dijadwalkan dalam acaranya. Satu agenda yang menjadi bagian spektakuler setiap kali Festival Krakatau adalah tur ke Gunung Krakatau yang berada di Selat Sunda. Di tempat yang menjadi ikon festival ini, wisatawan akan mendapatkan pengalaman menyaksikan langsung aktivitas vulkanik gunung api yang sangat aktif ini. ?Peserta juga akan mendapat penjelasan dan bisa membayangkan sambil melihat langsung bekas letusan Gunung Krakatau tahun 1883,? kata Gatot.

Seluruh rangkaian Festival Krakatau akan berlangsung selama sepekan sejak kemarin. ?Akan ada juga Tourism Mart Expo atau Pasar Pariwisata Indonesia pada 8?12 Oktober. Di acara ini, pengunjung dari luar negeri akan memasarkan produk pariwisata Lampung dan Indonesia,? ujarnya. (SDM/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Oktober 2012

Tuesday, October 2, 2012

Rancage Mamak Kenut


Oleh Tandi Skober


HADIAH sastra rancage made in Pasundan entah kenapa tak pernah mletek di tanah Cerbon Dermayu. Padahal ada banyak pemahat kata berkacamata sastra yang layak diayak untuk menjadi penerima rancage. Sebut saja Ahmad Subhanuddin Alwy, Nurdin M. Noer, Supali Kasim, Sumbadi Sastra Alam, Masduki Sarpin, dan Ipon Bae.

Yang memedihkan, ketika rancage lebih melirik sastra Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo Z. Karzi untuk dianugerahi Hadiah Sastra Rancage 2008. Jadi wajar ketika ada sastrawan Cerbon yang enggan disebut namanya berurai airmata, nelangsa, "Aja mujur ngalor sedurung tinemu mleteke rancage!" (Jangan dulu dikubur menghadap kiblat sebelum mendapat hadiah sastra rancage).

Adakah ini pertanda duka sastra ketika Cerbon selalu terposisikan sebagai anak haram budaya? Bisa jadi, memang begitu itu. Tapi menjadi lain ketika saya membaca Mamak Kenut (2012) karya sang peraih hadiah sastra Rancage itu. Adalah kumpul teks naratif khas wartawan merangkap sastrawan bernama Udo Z. Karzi, meski tak berbentuk tapi layak diasketis sebagai celotehan nakal ketika Jakarta berambut ikal keriting dan maaf... tidak berakal.

"Hmm, luar biasa, luar dalam," ucap saya untuk diri saya sendiri.

Kenapa? Udo mampu memetakan pulau-pulau keterasingan ketika kekuasaan (baca Jakarta) bertiwikrama menjadi puncak menara gading yang angkuh, gelo, dan lugu. Mamak Kenut adalah kritik akar rumput, ludah yang muncrat-muncrat sekaligus sejenis kesunyian yang meletihkan. Harap maklum, "Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa --Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita-- diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. Lir ambune njabah kelir lakon (Sejatining kritik akar rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa). Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar makruf nahi munkar yang hukumnya fardu kifayah. "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil." (QS. Almaaidah: 8)

Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang hak kritik akar rumputpun dialirkan. "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."

Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z. Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan kritik akar rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara.

Sebut saja 'orang bersih', 'politisi olahraga', 'kapasitas', 'biasa saja', 'musyawarah-mufakat', dan entah apalagi. Peraih hadiah sastra Rancage 2008, Udo Z. Karzi, secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus --mengutip Edward T. Hall, Beyond Culture, 1977-- sejenis pergulatan kultur tersembunyi yang sukar ditangkap oleh orang lain.

Tak pelak, kritik akar rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Imanuel Kant menyebutnya sebagai das ding an sich (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). Das ding an sich ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana rsuara tanpa rupar yang mustahil bisa membaca. Tak pelak, Kritik akar rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.

Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok yang seolah-olah masuk akal. Abstraksi realitas ini memosisikan kritik akar rumput sebagai mikroskop steril yang futuris.

Artinya, seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, The Sociology of The Future (1973: 8), "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."

Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Jadi, tak aneh apabila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling bersebrangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.

***

Aneh atau tidak, kritik akar rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jati diri menjadi sosok cleptocracy yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, kritik akar rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."

Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal tahun terakhir.

Emang sih, kritik akar rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir Indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel nurudin (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.

Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya kritik akar rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.

Tandi Skober, budayawan, penulis, sastrawan

Sumber: Galamedia, Jumat, 28 september 2012