Thursday, November 28, 2013

Kandungan dan Manfaat Yahodara Night Cream


Kandungan dan Manfaat Yashodara Night Cream

KLIK DI SINI
  1. Mencerahkan dan memutihkan kulit secara merata (Alpha Arbutin)
  2. Mencerahkan kulit dengan cara mengurangi laju pembentukan melanosit melalui penghambatan Tyrosinase (Licorice)
  3. Mengurangi terjadinya kerutan pada kulit wajah dengan cara menstimulasi pembentukan kolagen dan meregulasi spingolipid (Vitamin B3)
  4. Membuat kulit tampak lebih bercahaya (AHA Natural)
  5. Mengembalikan keremajaan kulit dengan cara menambah kekenyalan kulit dan memperbaiki kulit bersisik (Extract Aloe Barbadensis Leaf)
  6. Menghaluskan kulit dengan cara membantu pengikisan sel kulit mati dan melindungi kulit dari zat-zat yang mengiritasi dan stress mekanik (Allantoin).

Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literer


Oleh Aripsah

Sebagai generasi literer, siswa di Lampung Barat diharapkan bisa terus mengembangkan tradisi intelektual dan literer yang sejak lama ada di daerah itu.

APRESIASI SASTRA. Sastrawan Udo Z. Karzi (kanan) memberikan cendera
mata kepada seorang peserta apresiasi sastra dalam rangkaian Festival
Bahasa dan Sastra SMAN 1 Liwa, Lampung Barat, Jumat (22/11).
(DOKUMENTASI PANITIA)
TRADISI intelektual dan literer yang hidup sejak lama di Liwa, Lampung Barat, bisa menjadi motivasi bagi siswa di daerah ini untuk terus mengembangkan bakat mereka dalam dunia tulis-menulis.

Sastrawan Udo Z. Karzi mengemukakan hal tersebut pada apresiasi sastra dalam rangkaian Festival Bahasa dan Sastra, yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa, di aula sekolah tersebut, Jumat (22/11). Dalam acara yang dibuka Kepala Dinas Pendidikan Lambar ini, Udo membawakan materi bertema Jejak literasi Liwa.

Kepala Dinas Pendidikan Lampung Barat Nirlan, dalam sambutannya, menyambut baik diadakannya apresiasi sastra ini. "Saya berharap acara ini bisa memacu kreativitas siswa di Lambar dalam bidang sastra. Semoga sekolah bisa menjadi benteng bagi pengembangan sastra di daerah ini," ujar dia, seperti dibacakan Kasi Teknis SMA/SMK Rusman.

Sunday, November 17, 2013

Kemanfaatan Festival Krakatau

ENTAH sudah berapa banyak dana yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan Festival Krakatau, tetapi hasilnya selalu dipertanyakan. Berbagai tulisan dimuat di media massa yang isinya kekecewaan atas kemanfaatan Festival yang memakan biaya yang tidak sedkit ini, tetapi sebegitu jauh belum ada klarifikasi  dari pihak penyelenggara, bahkan mengesankan bahwa penyelenggarapun membenarkan penilaian dan opini para penulis, sehingga seperti membiarkan opini ini beredar liar, sehingga publik larut dalam ksimpulan yang tak mengeuntungkan.

Thema Festival.
Bukankah dalam penyelenggaraan festival ini panitia telah mentapkan thema, yang berarti telah tercipta 20-an tema dalam menyelenggarakan festival ini,  thema thema tersebut sejatinya telah menggambarkan tentang filosofi dan agenda apa yang akan dilaksanakan, siapa pelakunya, siapa yang akan dilibatkan, apa manfaatnya, siapa yang akan memanfaatkan hasil dari festival yang telah rutin diselenggarakan ini. Dan peneyelenggarakan juga dituntut untuk konsekuen dengan tema tema itu.
Itulah sebabnya thema bukan hanya sekedar ada thema, sekedar menggugurkan kepantasan, tetapi hendaklah menjadi panduan penyelenggaraan secara keseluruhan, mereka mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan ini mulai dari perencanaan hingga pelaporan memahami betul makna wawasan thema ini secara detil.

Budayawan Menilai Festival Krakatau Belum Memuaskan.



BANDAR LAMPUNG (Lampost.co): Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ratusan suku bangsa, Indonesia punya banyak festival tradisional yang meriah. Salah satu festival tradisional terbesar di Indonesia di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Lampung yakni Festival Krakatau. Festival yang sudah diadakan untuk ke-23 kalinya memang bertujuan memperkenalkan budaya dan potensi wisata Lampung ke mata dunia.

Untuk penyelenggaraan kali ini, Kabupaten Lampung Selatan telah ditunjuk sebagai tuan rumah Festival Krakatau 2013. Kebetulan lokasi Gunung Krakatau memang menjadi bagian dari Lampung Selatan. Makanya Pemerintah provinsi Lampung mengubah penyelengaraan tempat festival yang selama ini kerap di kota Bandar Lampung.

Dan Festival Krakatau pun Usai


Oleh Isbedy Stiawan Z.S.


Festival Krakatau (FK) XXIII baru saja usai. Bagaimana kegiatannya?apatah gaungnya?nyaris tak terdengar. Terlihat event ini hanya jadi kegiatan tahunan yang penuh seremoni belaka
FESTIVAL Krakatau, hajat tahunan Pemerintah Provinsi Lampung untuk mempromosikan pariwisata dan budaya daerah ini, terus dipersoalkan. Dari masalah kegiatan yang tak pernah berubah tetapi jadwal kegiatan selalu berubah, hingga keterasingan Festival Krakatau (FK) di masyarakat Lampung sendiri.

Sejak digelar pertama kali hingga ke-23 pada 2013 ini, gelar FK seolah masih terus mencari bentuk. Tidak jelas ?bentuk? (format?) apa yang dicari kemudian dijadikan pegangan pada tahun-tahun berikutnya.

FESTIVAL KRAKATAU: Sejumlah peserta mengikuti karnaval budaya pada
pembukaan Festival Krakatau Ke-23 di Kalianda, Lampung Selatan, Sabtu
(19/10). Festival Krakatau bertema The 3rd Of Lampung & Tuping Carnival
dibuka dengan parade budaya Lampung dan acara puncak mengunjungi Gunung
Anak Krakatau pada Minggu, (20/10) yang diikuti 24 dubes dan investor
dari luar negeri. ANTARA FOTO/Kristian Ali

Persoalan FK terus dipertanyakan. Terbukti, setelah diskusi Lampung Bangkit yang ditaja Lampung Post, 17 September, dua hari kemudian terbit sehalaman membincangkan FK ditambah opini saya (baca Lampung Post, 19 September 2013), berturut-turut tulisan Karina Lin dan Syaiful Irba Tanpaka di harian yang sama.

Tidaklah sayang pada FK jika para pelaku seni demikian meradang. Pasalnya, dari tahun ke tahun gelar FK ini tidak ada peningkatan. FK seperti hanya untuk ?memanjakan? para elite dan para duta asing, sedangkan pelaku seni serta masyarakat Lampung dibiarkan untuk menonton pun tidak. Meminjam kata Chairil Anwar: ?yang bukan penyair tak ambil bagian!?

Wednesday, November 13, 2013

Masnuna (1932 - ? ) Benteng terakhir sastra Dadi Lampung.

BOLEH dibilang, sepanjang hidupnya digunakan mengabdikan diri pada dadi dan seni tradisi Lampung lainnya. Bagi Masnuna, dadi sudah menjadi bagian integral dari hidupnya.

Dialah yang melestarikan sekaligus menjadi penjaga seni dadi --salah satu bentuk sastra lisan Lampung. Ia memang dikenal luas karena kemampuannya melantunkan dadi. Walaupun begitu, ia tidak pernah mau menerima bayaran dari jasanya men-dadi.

Masnuna tetap konsisten mempertahankan keberadaan dadi dan tradisi lisan Lampung lainnya meski seolah tidak mendapat perhatian banyak pihak. Terbukti, hanya dia kini yang mampu men-dadi dengan segenap totalitas.

Generasi muda? "Mereka jelas lebih tertarik dengan orkes, musik pop, atau pesta-pesta yang jauh melenceng dari tradisi," kata Masnuna.

Akibatnya, kini hampir tidak ada generasi muda yang tertarik mempelajari dadi. Alasannya, sudah ketinggalan zaman dan sulit memahami bahasa dadi. Anaknya pun tidak begitu menguasai. Wajar saja Masnuna prihatin.

Tuesday, November 12, 2013

Memahami Musik cetik Dengan Wayak






Terbitnya buku Gamolan Pering yang ditulis oleh I Wayan Sumerta Dana Arta sangat membanggakan saya, karena dengan demikian Gamol Pering yang disebut juga 'Cetik' akan mampu memperpanjang usia dan bahkan memperlebar jangkawan, karena akan mampu mendatangi berbagai fakultas seni di seantero Indonesia. Dan ini juga sebagai teguran atas kelalaian berbagai pihak, karena justeru pendatang sebagai penyelamat jenis musik ini dari kepunahan. Jelas dengan terbitnya buku ini yang semula diawali oleh I Wayan Sumerta DA menterjemahkan bunyi yang dikeluarkan oleh gamol ini dalam bentuk solmisasi laras nada akan memudahkan para insan seni di berbagai fakultas dan Akademi Seni dan para  generasi muda untuk mempelajarinya dan berlatih sendiri tampa guru.

Dahulu Kanwil depdikbud sebenarnya telah mengawali langkah langkah seperti ini dengan cara melakukan inventarisasi seni tradisional Lampung, baik musik tradisional, tari tradisional, dan sastra tradsional. Walaupun dengan dana yang terbatas sehingga Bidang Kesenian yang pada saat itu hanya mampu menginventarisir satu tulisan untuk satutahun.

Memang pada saat itu sentuhan akademis dari tulisan tulisan yang ada dirasakan sangat kurang, sehingga banyak ungkapan yang kurang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara lancar baik kepada insan seni, dan apa lagi  kepada orang awam, sekalipun para penulis telah berusaha selengkap mungkin mengutip penuturan para pelaku seni, namun keterbatasan bahasa seni sehingga masih saja kurang membantu kelancaran komunikasi.  Tetapi karya yang satu ini seni cetik diinformasikan dengan bahasa yang lengkap dan  cukup komunikatif.

Tetapi untuk memahamai pesan moral musik cetik itu tidak semudah berkomunikasi dengan bahasa seni, karena bahasa seni tersebut harus ditingkatkan dengan bahasa fiulsafat. Memang seni adalah bagian dari filsafat, oleh karenanya memahami seni haruis memahami filosofinya. Tentu tidak mudah mengkimunikasikan bahasa filsafat ini dalam ranah sitematikanya, oleh karenanya ada cara yang mudah untuk memahami pesan dari cetik, yaitu pahami dulu wayak wayak yang lazim dilantunkan di wilayah Lampung Barat, karena musik cetik ini merupakan instrumen dari wayak itu.

I Wayan Sumerta DA : Lestarikan Cetik Tampa Pamerih





Jakarta - Program sosial budaya bertajuk Mutiara Bangsa yang diprakarsai Kraftig Advertising telah mencapai puncaknya di tahun kedua pemyelenggaraannya dengan penetapan 15 duta dari sektor lingkungan, pemberdayaan perempuan, kesehatan, kemandirian, pendidikan, kesejahteraan, dan kebudayaan daerah.
"Lima belas orang tersebut telah mengabdikan hidupnya demi kebaikan bagi orang lain. Mereka bekerja tanpa pamrih untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,’’ kata Direktur Kreatif Kraftig Advertising, Paul Bernadhi, saat menyerahkan penghargaan untuk ke-15 Mutiara Bangsa terpilih pada acara Malam Berbagi Baik di Hotel Sultan, Rabu (10/11) malam.

Salah satu yang terpilih adalah I Wayan Sumerta Dana Arta asal Lampung. Pria perantauan Bali ini dinilai berjasa melestarikan alat musik cetik, instrumen tradisional dari wilayah Skala Brak, Lampung Barat.
“Pertama kali saya terdorong untuk melestarikannya justru karena laras nada yang dimiliki instrumen ini berbeda dengan laras pentatonik alat musik Bali, Jawa dan Sunda,” kata Wayan kepada SH.

Wayan Mocoh : Membawa gamolan pering Ke Ranah Nusantara

NAMA panjangnya I Wayan Sumerta Dana Arta. Akan tetapi, kalangan seniman Lampung menyebutnya Wayan Mocoh alias Wayan Gendut karena porsi tubuhnya memang demikian.

Lelaki kelahiran Tabanan, Bali, 18 April 1971 silam ini merupakan sosok penting, bahkan sangat penting, dalam pengembangan dan pelestarian gamolan pering sebagai alat musik tradisional masyarakat Lampung dari Kabupaten Lampung Barat ini.

PERAN DAN FUNGSI KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DALAM RANGKA PENGUATAN DAN PELESTARIAN NILAI-NILAI ADAT ISTIADAT DI DAERA


Prof. Dr. H.M. Hadin Muhjad, SH.M.Hum

Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin

1. Pendahuluan
Atas permintaan panitia saya diminta membahas dari aspek Hukum Tata Negara judul di atas dalam rangka memperkuat pemahaman tentang Hukum Adat yang bernafaskan hukum positif (hukum negara)  di Kabupaten Gunung Mas.
Pada Kabupaten Gunung Mas sendiri telah diterbitkan  Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Mas Nomor  33  Tahun  2011 Tentang Kelembagaan  Adat  Dayak  Di  Kabupaten Gunung Mas Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Bupati Gunung Mas, Alasan terbitnya Perda tersebut adalah bahwa  Lembaga Kedamangan di Kabupaten Gunung Mas yang hidup, tumbuh dan berkembang memiliki peran penting bagi kehidupan dan keberadaan Masyarakat Adat Dayak sebagai bagian dari komitmen kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, sehingga perlu dilestarikan, dikembangkan dan diberdayakan dengan memberikan kedudukan, kewenangan, tugas, fungsi dan peranan yang memadai dengan didukung dan dibantu oleh kelembagaan Adat Dayak lainnya, sehingga sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan  daerah otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Monday, November 11, 2013

(Buku) Mendekati Tulangbawang Dari Sisi Budaya



Data Buku:
Kearifan Lokal dalam Pembangunan Daerah
Agus Mardihartono
Indepth Publishing, Bandar Lampung
I, September 2013
xvii + 141 hlm.
TULANGBAWANG adalah salah satu kerajaan tua di Indonesia. Catatan China kuno menyebutkan pada abad IV seorang peziarah agama Buddha, Fa-Hien, pernah singgah di kerajaan yang makmur dan berjaya, To-Lang P?o-Hwang (Tulangbawang) di pedalaman Chryse (Pulau Emas Sumatera). Pemebentukan Kabupaten Tulangbawang diawali dari rencana sesepuh dan tokoh masyarakat bersama pemerintah sejak 1972 untuk mengembangkan Provinsi Lampung menjadi 10 kabupaten/kota. Akhirnya, Kabupaten Tulangbawang lahir dan diresmikannya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada 20 Maret 1997.

Buku ini memberikan banyak pengetahuan bagaimana sebuah kearifan lokal bisa dioptimalkan bagi kemajuan daerah. Kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan pembangunan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, dan kegiatan masyarakat perdesaan. Pembangunan yang tepat tidak pernah akan menghilangkan adat istiadat maupun kearifan lokal suatu daerah.

(Fokus) Meratapi Negeri Olokgading


Oleh Meza Swastika

BANGUNAN mewah dan perumahan elite terus mengepung Negeri Olokgading, kampung cagar budaya Lampung yang sudah ada sejak 1618.

Lamban balak.
Bangunan besar dua lantai bergaya art deco di Jalan Setia Budi, Telukbetung Barat, Bandar Lampung, itu terlihat mewah. Pagar besi setinggi 2 meter menyatu dengan kanopi besar di pekarangan rumah semakin mempercantik rumah yang baru beberapa bulan lalu selesai direhab ini. Di bagian teras terdapat taman kecil dengan beberapa pohon pelindung yang tampak teduh.

(Fokus) Runtuhnya Pusat Kewargaan saibatin


Oleh Meza Swastika

Rumah-rumah sudah banyak direhab, tetapi pintu utamanya tetap menghadap ke arah Lamban Balak. Ini sebagai tanda tempat itu pusat kemargaan, tempatnya Saibatin tinggal.

KERTAS-KERTAS dan sisa bungkus nasi itu dibiarkan tergeletak di lantai kayu teras luar rumah adat Kebandaran Marga Balak, Kelurahan Negeri Olokgading, Telukbetung Barat, Rabu pekan lalu. Tak jauh dari sampah-sampah itu, lima ibu setengah baya dan seorang lelaki terlihat tertawa-tawa.

Di hadapan mereka beberapa penganan ringan tersaji. Seorang di antaranya, dengan santainya membuang sampah plastik ke bawah rumah adat itu. Selesai bercengkerama melepas penat di rumah adat itu, mereka meninggalkan begitu saja, botol-botol minuman mineral dan sampah plastik tergeletak di teras rumah.

Setiap waktu, Lamban Balak itu terus dijejali dengan sampah dan kesan tak terawat. Orang-orang seperti ingin menanggalkan kesan kemuliaan rumah adat yang sudah ada sejak 1618 itu.

Rumah berikut pekarangan yang luasnya lebih dari 1.000 meter persegi itu nyaris tenggelam di antara rumah-rumah mewah yang berdiri di sekitarnya.

(Fokus) Negeri Olok Gading ? Nggak Tahu!


RAUT muka Sekretaris Kelurahan Negeri Olokgading, Tries K., langsung berubah merah saat diminta komentar soal desa cagar budaya Lampung, Rabu pekan lalu. Nada suaranya terlihat gugup. Dua kali ia membenarkan posisi kacamatanya.

Senyumnya seolah ingin menyembunyikan rasa malunya. Duduknya pun agak gelisah. Ia tergagap saat ditanya tentang sejarah Negeri Olokgading.

Ia juga berkali-kali meminta agar Lampung Post bertanya kepada lurah saja tentang daerah tempatnya bertugas itu. "Tanya lurah aja," katanya berusaha menutupi ketidaktahuannya tentang sejarah Kelurahan Negeri Olokgading.

Bahkan, ketika diminta sedikit saja menggambarkan keadaan Kelurahan Negeri Olokgading, Tries justru menjawab dengan alasan yang tak berhubungan dengan apa yang sedang ditanyakan. "Saya baru dua hari pulang diklat.?

(Fokus) Tempat Terdamparnya Kapal Berouw


SELAIN keberadaan Lamban Balak yang menjadi ikon Negeri Olokgading, di daerah ini pernah terdapat kerangka kapal Berouw. Kapal Angkatan Laut Belanda itu terbawa gelombang tsunami saat Gunung Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883.

Kapal Berouw itu terhempas hingga ke muara Sungai Kuripan. Belakangan saat terjadi banjir bandang tahun 1979, kapal itu terseret hingga ke jembatan Sungai Kuripan.

Kini, rangka kapal itu nyaris hilang, warga memereteli kapal itu dan menjualnya. Terdamparnya kapal Berouw itu juga dijadikan nama kampung di salah satu Kelurahan Negeri Olokgading, yakni Kampung Brau atau Berouw, merujuk pada nama kapal tersebut.

Kentalnya sejarah satu kampung di bilangan Kuripan ini memang layak dilestarikan. Dalam paragaf 5 Kawasan Cagar Budaya Pasal 45 Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bandar Lampung, Kelurahan Negeri Olokgading ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya bersama 13 kawasan lainnya.

Dalam Pasal 45 Ayat (2) perda tersebut, disebutkan bentuk pemanfaatan kawasan itu sebagai bentuk pelestarian budaya, revitalisasi serta mempertahankan keaslian cagar budaya tersebut.

Namun, belakangan Pemerintah Kota Bandar Lampung bersikap inkonsisten terhadap kawasan cagar budaya tersebut. Buktinya, para pengembang perumahan dibiarkan membabat habis kawasan cagar budaya itu, dan mengganti rumah-rumah adat khas Lampung dengan permukiman elite.

Tak hanya itu saja, meski telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, tak pernah sesenpun pemerintah memberikan bantuan.

Akibatnya, Andi Wijaya mengaku kerap kepayahan mencari uang untuk membayar listrik Lamban Balak. Ia juga kesulitan jika harus menyiangi semak belukar di halaman Lamban Balak. "Dari mana saya uang untuk ngerawat lamban," keluhnya.

Beberapa waktu yang lalu, ia sempat menemui kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung untuk meminta bantuan dana perawatan Lamban Balak. Tetapi jawaban yang didapatnya sangat mengecewakan.

"Mereka tidak menganggarkan biaya untuk perawatan Lamban Balak. Jadi, untuk apa mereka menetapkan Lamban Balak sebagai cagar budaya kalau tidak dibantu. Kami ini masyarakat, siap saja dengan program pemerintah, tapi kalau program itu hanya sekadar slogan, buat apa kami mendukungnya atau lebih baik dihapus saja sebagai kawasan cagar budaya kalau tidak diperhatikan. Biar kami saja sebagai masyarakat adat yang berusaha menjaganya,? kata Andi Wijaya.

Udo Z. Karzi menyebut pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kawasan cagar budaya, termasuk Negeri Olokgading. "Kalau memang sadar sejarah dan sadar akan budayanya, ya mereka harus bertanggung jawab, jangan hanya sebatas diatur dalam perda saja.?

Kalau hanya mengandalkan masyarakat, lanjutnya, mereka tentu akan terkendala biaya apalagi pemerintah tak pernah memberikan bantuan apa pun.

"Itu warisan sejarah, tapi kenyataannya kondisinya kini seperti hidup segan mati tak mau, rusak di mana-mana, tidak terawat, apalagi modernisasi terus mengepungnya dengan berdirinya perumahan-perumahan elite, sementara pemerintah seperti tak berbuat apa-apa,? kata dia. (Meza Swastika)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

(Fokus) Bahasa Lampung Nasibmu Kini


Oleh Dian Wahyu Kusuma


Dua belas tahun berlalu sejak pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan mengatakan bahasa Lampung bisa punah dalam 3?4 generasi atau 75?100 tahun. Selama itu relatif tak ada upaya sistematis dan strategis dari para pihak untuk mencegah kemungkinan itu.

REVITALISASI BAHASA LAMPUNG. Dari kiri ke kanan: sastrawan
AM Zulqornain Ch., pengamat Unila Kahfi Nazaruddin, sastrawan Isbedy
Stiawan Z.S, dan pengamat Jauhari Zailani.
KELUH-KESAH, curahan hati, rasa tak percaya diri, dan sikap saling curiga antara pihak satu dan lainnya. Begitu yang mengemuka dari Seri Diskusi Lampung Bangkit III dengan tema Revitalisasi bahasa Lampung di Lampung Post, Selasa (22/10).

Terhadap tema ini pun penyair Ari Pahala Hutabarat berkomentar di Facebook, "Apa yang direvitalisasi? Memang kapan bahasa Lampung itu punya peran vital? Ini perlu diluruskan dulu untuk bisa menemukan solusi."

Tuesday, October 29, 2013

Revitalisasi bahasa Lampung Itu Perlu.

Dahulu ketika wilayah Lampung ini di huni oleh 98% lebih pendudimya yang buta huruf Latin, maka ketahulilah bahwa sejatinya hampir 90% dari penduduk berusia remaja dan dewasa di Lampung pada saat itu melek huruf al-Quran, huruf Lampung ka-ga-nga dan melek huruf Jawi. Huruf huruf ka-ga-nga mengusug informasi penting tentang resep makanan, pengobatan, ilmuu bela diri dan lain lain. sedang hurup Jawi mengusung informasi tentang agama Islam, hukum, sejarah serta ketatanegaraan dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan huruf Jawi adalah huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu. Huruf jawi ini berkembang dan berlaku di Indonesia, Malaysia, Brunai dan Thailand. Dan di tanah Arab sendiri jama'ah haji asal Indonesia, Malaysia, Brunai, Singapur dan Thailand mereka sebut sebagai jama'ah haji Jawi. Jadi kata Jawi itu bukan Jawa. Karena ada juga huruf Arab yang digunakan untuk menulis kata kata Jawa, Sunda dan Banten, dan huruf itu disebut dengan huruf 'Pegon' yang berasal dari kata Pegok yang artinya bebas tak beraturan.

Sunday, October 27, 2013

Kirab Pernikahan Agung Kerato Yogyakarta



-

Sekitar empat jam sebelum kirab pengantin KPH Yudanegara dan GKR Bendara berlangsung, suasana jalur kirab yang dimulai dari Kraton Yogyakarta hingga Bangsal Kepatihan dipadati ribuan warga, Selasa (18/10) sore. Dari anak-anak yang digendong hingga orang tua, mereka menjadi saksi Pernikahan Agung Kraton Yogyakarta.

Pasangan pengantin Kraton Yogyakarta, KPH Yudanegara (kanan) dan GKR Bendara menyapa warga masyarakat yang tumpah ruah di sepanjang jalan Malioboro menyaksikan Kirab Pengantin Pernikahan Agung Kraton Yogyakarta, Selasa (18/10)

Gegap Gempita Perkawinan Di Keraton Yogyakarta 2013.


-
-
 -

 -
-


VIVAnews - Pada prosesi akad nikah  Selasa, 18 Oktober 2011, di masjid Panepen Keraton Yogyakarta, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegoro tampak gagah. Ia mengenakan beskap warna putih yang dipadu dengan kain corak klasik.

Sedangkan, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang bertindak sebagai wali dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, mengenakan surjan warna hijau. Akad nikah berlangsung hikmat, meskipun tak dihadiri GKR Bendara.

Kedua pengantin memang baru dipertemukan dalam prosesi panggih, yang digelar usai ijab kabul di bangsal Kencono, pukul 10.00 WIB. Dalam bahasa Jawa, panggih berarti bertemu.

Prosesi panggih ini diiringi tiga lantunan gending Jawa. Yang pertama adalah Gending Bindri untuk mengiringi kedatangan pengantin pria. Yang kedua Gending Ladrang Pengantin yang mengiringi upacara panggih--mulai dari balangan (saling melempar sirih), wijik dadi (pecah telur), hingga prosesi mencuci kaki suami. Yang terakhir: Gending Boyong/Gending Puspowarno untuk mengiringi kacar-kucur, lambang penyerahan nafkah dahar walimah.
Dalam prosesi panggih ini, para tamu dan undangan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
Saat menjalani prosesi panggih, kedua pengantin terlihat sangat memikat. Mereka tampak mempesona, mengenakan busana dodotan khas Yogyakarta. (umi)

Tuesday, October 22, 2013

Mbak Yu HIROMI Sinden Wayang Asal Jepang

SINDEN JEPANG GORO GORO


--
Siapa Hiromi.
HROMI KANO FROM JAPAN FOR SINDEN


HIROMI1
Foto: Ganug Nugroho Adi
GENDING “Ketawang Kinanthi Sandhung Pelog Barang” itu terdengar  bening. Lantunan sandhung pelog barang-nya terdengar panjang  dan      bulat. Diselingi suwuk, suara jernih perempuan itu kembali meliuk melantunkan macapat dhudhuk wuluh “Ayak-ayakan Mijil Sulastri Wolak-walik, beralih ke srepeg slendro manyura (jenis laras nada pentatonis). Ketika sampai pada bagian cengkok miring, penonton seperti menahan napas, terkesima lantunan nada-nada pentantonis yang dibawakan dengan sempurna oleh perempuan bertubuh mungil yang duduk di dekat dalang Ki Manteb Soedharsono di panggung pentas wayang kulit lebar tapi pendek  itu.  Perempuan itu Hiromi Kano, salah satu pesinden yang sering tampil bersama “dalang setan” Ki Manteb Soedharsono. Dari namanya sudah bisa ditebak ia perempuan Jepang. Namun kecuali nama yang menjadi tanda “kejepangannya” itu, sepintas memang hampir tak tampak lagi tanda-tanda lain bahwa ia berasal dari Negeri Sakura, meski kulit perempuan itu putih dan matanya sipit. Sosoknyanya sebagai orang Jepang seperti menguap, terlebih ketika ia nyinden dengan busana kebesarannya; kebaya lengkap dan sanggul besar khas Jawa.
Hiromi Kano namanya. Lahir di Chiba, Jepang, 31 Januari 1967. Sejak kecil ia menyukai musik. Ia belajar piano klasik sejak duduk di sekolah dasar. Tahun 1991, Hiromi adalah mahasiswa seni jurusan musik barat dan piano di Tokyo Ongaku Daigaku (Universitas Musik Tokyo).

Wednesday, October 16, 2013

Politik Premordial Masih mengganjal ?

Pemilihan Presiden sejatinya tak lama lagi, kecuali Hanura belum ada partai yang telah menetapkan calonnya memang Abu Rizal bakri (ARB) sudah lama mensosialisasikan pemikirannya, Hatta Rajasa (PAN) telah menggejalakan keinginannya untuk Nypres, dan Surya Paloh sebenarnya juga sudah menampakkan birahi politiknya yang sulit disembunyikan, sementara Jusuf Kalla (JK) telah lama digadang gadang, sementara Machfud MD yang asli madura itu sering tertangkap tangan bermain mata. Masih menjadi kendala bagi para calon yang berasal dari luar Jawa, karena mereka tak cukup laku di tanah Jawa sementara pemilih justeru banyak terkonsentrasi di tanah Jawa ini. Politik premordial belum sepenuhnya terhapuskan. Maka Abu Rizal Bakry, Hatta Rajasa, Surya Paloh, Mahfud MD dan Jusuf Kalla, bila pada saatnya kelak  akan maju sebagai Capres, maka dianjurkan untuk berpasangan dengan tokoh asal jawa.

Era Orde Baru.
Di era Orde Baru politik Jawanisasi sebenarnya sangat menonjol, apalagi pada saat itu calon Gubernur adalah droping dari pusat, Anggota DPRD Provinsi tinggal mengamini saja siapapun calon yang di drop dari pusat, pada tak peduli apapun perasaan orang daerah. Memang belum seluruh daerah yang mampu terjawanisasi, di Sumatera ini setidaknya ada empat Provinsi yang pusat harus berpikir dua kali mendrop calon gubernur asli Jawa, yaitu  Aceh, Sumatera Utara, Padang dan Sumatera Selatan. Sisanya telah dianggap terlepas dari sikap premordialistik. Atau kalaupun tidak setidaknya lembaga adat setempat memang tidak stressing merebut kekuasaan. Provinsi di Sumatera yang langganan dipimpin oleh Gubernur asal Jawa adalah Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung.

Memang setelah ditetapkannya Undang Undang Pemerintahan Pedesaan, maka lembaga adat semakin melemah adanya, tetapi ada beberapa Provinsi yang lembaga adatnya tidak langsung redup, mereka masih memiliki semangat menentang undang undang ini, sehingga lembaga adat seperti tak kunjung sirna.  Berbeda halnya dengan Lampung, bengkulu, Jambi dan Riau tadi. Sampai dengan sekarang pengaruh lembaga adat masih bervariasi adanya, tak dapat dikatakan telah sepenuhnya hilang.

Malu Aku Jadi Orang Lampung


Oleh Hardi Hamzah


SEDERET perdebatan tentang pilgub kini sudah sampai titik nadir. Kenyataannya, belum ada titik kepastian. Padahal, perihalnya sederhana "anggaran tidak ada". Ini sungguh memalukan.

Gonjang-ganjing mekanisme politik di provinsi ini sebagai resultante tipis tanggung jawabnya elite politik kita, akibatnya membawa implikasi bermacam macam. Bayangkan, para bakal calon dibuat gamang, tim sukses melangkah tidak maksimal, semua dibuat floating alias mengambang.

Dalam skema mekanisme politik kedaerahan, teristimewa politik anggaran, hampir dapat dikatakan muskil bila Pemda yang bergelimang proyek kok tidak mampu mengadakan uang yang seyogianya sudah jauh-jauh harus dipikirkan.

Politisasi Budaya (Lampung?).

Oleh Robi Cahyadi Kurniawan


DI tengah ketidakpastian jadwal pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung dengan perdebatan yang cenderung membosankan. Konflik kelembagaan antara KPU dan Pemerintah Provinsi Lampung (Gubernur) yang tak kunjung usai, ada hal menarik yang bisa dijadikan ulasan.

Lazimnya, di mana pun pergelaran pemilihan kepala daerah dilaksanakan, beragam cara dilakukan para calon untuk memikat hari pemilih. Proses memikat itu bisa dilakukan dengan cara santun, masif, terstruktur atau dilakukan dengan cara yang elegan dengan dibungkus balutan?balutan nuansa tertentu. Salah satunya adalah penggunaan simbol-simbol budaya dalam politik praktis pemilukada.

4 Modal Penting

Secara tidak tertulis, dalam proses pemilukada ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi jika ingin memenangkan pemilihan. Syarat pertama, yaitu modal politik, yakni seberapa besar kekuatan politik yang menopang pasangan calon. Kekuatan politik ini adalah partai politik pengusung pasangan.

(Voting) Calon Gubernur Gunakan Politik Primordialisme


POLITIK yang menggunakan basis primordialisme masih terus berkembang di Lampung. Masing-masing calon gubernur (cagub) pun masih meminta dukungan sana-sini terhadap organisasi dengan basis primordial suku, etnis, adat, dan agama.

"Kami mengundang Wali Kota Heman H.N. untuk hadir ke acara silaturahmi keluarga besar organisasi ini, tetapi dia mengatakan organisasi sejenis kami (kekerabatan, red) telah diurusi tangan kanannya," kata Udin, salah seorang pengurus organisasi kekerabatan asal daerah Sumatera itu, beberapa waktu lalu.

Akhirnya, mereka pun mengundang Ridho Ficardo dan mendapat sambutan hangat. Mereka pun mengapresiasinya dengan mengangkat Ridho sebagai salah seorang anggota kehormatan keluarga itu. "Kami tidak meminta apa-apa, cuma ingin mengenal calon kepada keluarga," kata dia.

Memang organisasi semacam ini terkadang hanya dimanfaatkan pengurusnya untuk mencari dana tak bertuan dari para cagub. Dengan menggelar acara tertentu, mereka sengaja mengundang kandidat agar bisa memberi perhatian dan dukungan materi tentunya.

Ada juga organisasi yang terang-terangan mendukung salah satu kandidat walaupun tak semua anggotanya setuju, seperti pasangan kandidat Amalsyah Tarmizi-Gunadi Ibrahim (Amal Berguna) yang mendapat dukungan dari Lembaga Adat Megou Pak Tulangbawang (LAMPTB).

Dukungan ini dibuktikan dengan kehadiran Ketua LAMPTB Wan Mauli Sanggem didampingi putrinya, Novelia Sanggem, di kediaman Amalsyah di Rawalaut, Bandar Lampung, awal September 2013.

Wan Mauli mengungkapkan dukungan atas pasangan Amal Berguna karena ada kesamaan visi dan misi serta sama-sama independen. "Kami siap memenangkan dan memperjuangkan pasangan Amal Berguna ini agar dapat terpilih sebagai gubernur Lampung. Amal Berguna adalah pasangan calon yang ideal dan terbaik untuk Lampung ke depan," kata dia.

Untuk itu, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. berharap organisasi yang berbasis adat, budaya, suku, etnis, dan agama tidak terlalu jauh masuk ke area politik. Lebih baik mereka melakukan pendekatan dan mengajak masyarakat mencegah aksi kriminalitas yang marak terjadi di Lampung. "Mereka bisa jadi alat pemersatu, bukannya malah dipecah," kata dia.

MPAL, misalnya, selain berperang mempererat rasa persaudaraan antarkalangan, juga tetap harus menjalankan tugas utamanya, yakni melestarikan budaya serta adat istiadat Lampung. Jika ini tidak dilestarikan, Gubernur khawatir masyarakat, khususnya generasi muda, tidak lagi mengenal adat istiadat dan budaya Lampung.

"Harus ada pengenalan berkelanjutan terkait adat budaya Lampung dan adat di Nusantara, khususnya kepada generasi muda," kata Sjachroedin yang diberi gelar adat Kanjeng Yang Tuan Sultan Mangku Negara Pemangku Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai. (CR7/CR13/U1)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013

(Voting) Era Matinya Politik Primordial


KEINGINAN pasangan calon gubernur/wakil gubernur (cagub/cawagub) Lampung untuk melirik basis dari organisasi primordial gencar dilakukan. Namun, mereka tak sadar hasil survei bahwa sejak 2009 rakyat Indonesia tidak lagi suka dengan politik jenis tersebut.

Hal itu terbukti dari hasil hasil survei Lembaga Survei Independen (LSI). Sejak Pemilu 2009, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono menandai era baru politik Indonesia.

Masyarakat Indonesia tidak lagi memilih pemimpin berdasarkan kesukuan, agama, asal daerah, gender, maupun permintaan elite organisasi massa. "Politik primordial atau politik aliran telah mati dan yang membunuh adalah masyarakat pemilih itu sendiri," ujar salah seorang pendiri LSI, Saiful Mujani.

Berdasarkan penelitian (exit poll) yang dilakukan pada 8 Juli kemarin, pada hari pemungutan suara, LSI menemukan 1.948 pemilih yang berhasil diwawancarai tatap muka. Mereka yang telah memberikan suaranya di TPS tidak mempertimbangkan rasa primordialnya, melainkan pertimbangan perbaikan kondisi ekonom.

Hal ini, menurut Saiful, membuka pengetahuan baru, bahwa perilaku pemilih di Indonesia telah lebih rasional dalam membuat keputusan politik untuk memilih pemimpin.

Dalam exit poll yang dilakukan kemarin, LSI menggunakan populasi semua pemilih yang memberikan suara di TPS (nasional), ditetapkan 2.116 TPS, dipilih secara acak dari populasi TPS tersebut (proporsional). Sampel dipilih secara random, satu responden untuk satu TPS.

Dari 2.116 tersebut, ternyata LSI hanya berhasil mewawancarai 1.948 orang sebagai sampel responden. Wawancara tatap muka dilakukan pada pukul 09.00 kepada pemilih yang baru saja keluar dari TPS. Margin of error adalah 2,8% dengan tingkat kepercayaan 95%.

Hasilnya, LSI menemukan satu petunjuk menarik bahwa pilihan masyarakat terhadap capres-cawapres tidak terpengaruh oleh pernyataan elite ormas Islam yang menjadi afiliasinya.

Data menunjukkan SBY-Boediono mendapat dukungan mayoritas pemilih yang mengaku sebagai warga NU (64%) maupun Muhammadiyah (58%). Sementara Mega-Prabowo mendapat dukungan mayoritas kedua dari warga NU (26%) dan Muhammadiyah (24%). Adapun JK-Wiranto, mendapat dukungan paling minimal dari warga NU (10%) dan Muhammadiyah (18%).

Menurut Saiful, fakta ini menunjukkan kesenjangan antara elite NU dan Muhammadiyah dengan massa di bawahnya. Seperti yang tampak dalam pernyataan-pernyataan para elite kedua ormas tersebut di media, lanjut Saiful, JK mendapat dukungan dari para elite NU (misal: Hasyim Muzadi) dan Muhammadiyah (misal: Buya Syafii Maarif).

Namun, kenyataannya, JK-Wiranto justru mendapat dukungan minoritas, justru SBY-Boediono yang mendapat dukungan mayoritas. "Ini seperti ada kesenjangan antara elite ormas tersebut terhadap massa di bawahnya. Untuk urusan politik, pernyataan para elite ormas itu ternyata tidak didengar oleh para massanya," kata Saiful. (U1)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013

Sebuah Kesepakatan Atas Nama Simbol



Oleh F. Moses


Simbol secara langsung memperkokoh kedigdayaan puisi itu sendiri, seperti kian melegitimasikan bahwa pembaca puisi ialah makhluk cerdas lantaran ketersedian kemampuan (hak otonomi) mengisi ruang interpretasi. Saat kegelisahan melanda bahkan mengancam si penyair, simbol pun menjadi penengah hebat di antara penyair dan pembaca.

15 April 1865, tepat usia ke-54, Lincoln terbunuh. Kematian presiden Amerika Serikat ke-16 tersebut membuat rakyatnya larut dalam duka. Bukan hanya Amerika Serikat, melainkan keseluruhan Amerika. Tapi beberapa waktu setelah kejadian itu, penyair While Whitman (1819-189¬2) pun “terganggu”—imajinasinya seperti tengah diserang puluhan tujahan; ia lantas membuat puisi atas kedukaannya terhadap Lincoln. Maka terbitlah sepuisi berjudul When Lilacs last in the Dooryard Bloom’d.

Puisi Whitman menyoal tanaman lilac yang sedang berbunga pada musim semi, kala saat itu presiden Lincoln terbunuh. Tambah Whitman, kedukaan memang tak lagi melanda keseluruhan Amerika, tapi juga termasuk alam dan binatang yang ada di sana. Bahkan burung hermit thrush pun bak mewakili duka orang-orang dengan menyanyikan lagu yang amat sedih.

Perang Antar Kampung Warnai Iduladha


Oleh M. Lutfi


Akibat penyerangan warga Gunungsugih Baru ke Kampung Sukajawa, sedikitnya tiga warga Sukajawa luka bacok, seorang luka tembak, tujuh rumah dilempari hingga pecah kaca depannya, dan dua sepeda motor dibakar.

PERANG antarkampung di perbatasan Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng) dan Kabupaten Pesawaran mencoreng suasana Iduladha, kemarin, sekitar pukul 11.00.

Suasana menegangkan baru cair setelah digelar pertemuan tokoh antarkampung yang bertikai?Kampung Sukajawa, Kecamatan Bumiratu Nuban, Lamteng, dan Kampung Gunungsugih Baru, Kecamatan Tegineneng, Pesawaran, di Balai Kampung Sukajawa. Pertemuan difasilitasi Polres Lamteng dan Polres Lampung Selatan yang wilayah hukumnya juga meliputi Kabupaten Pesawaran.

Kedua pihak akhirnya sepakat tidak akan mengulangi tindakannya, menjaga situasi kondusif, dan menyerahkan proses hukum ke aparat penegak hukum.

Hadir dalam pertemuan itu, di antaranya Kapolres Lamteng AKBP Yulias, Kapolres Lampung Selatan AKBP Bayu Aji, Dandim Lamteng Letkol Ridwan Maulana. Kapolda Lampung Brigjen Heru Winarko juga hadir dalam pertemuan yang digelar selepas magrib hingga pukul 20.15 tersebut.

Tuesday, October 15, 2013

Sambutan Gelar Budaya dan Sendratari Sekala Brak Yogyakarta, 09 Oktober 2013




Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera bagi kita semua,
Om swastiastu,

Yth. Sri Sultan Hamengkubuwono X,
Yang saya hormati, Bupati lampung Barat,
Para Sesepuh, Pembina dan Ketua IKPM Lampung Barat,
Hadirin serta seluruh Keluarga Besar Pelajar Mahasiswa Lampung Barat di Yogyakarta yang Berbagagia.

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadrat Tuhan Yang Maha Esa, atas limppahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita masih diberi kesempatan untuk hadir dan berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal’afiat.
Globalisasi memiliki dampak positif dan negatip. Dampak positif globalisasi berupa percepatan pembangunan di segala bidang karena iklim investasi yang terbuka lebar. Globalisasi juga melahirkan dialog peradaban Timur-Barat. Globalisasi pula yang membuat informasi menjadi sangat terbuka. Keterbukaan informasi membuat banyak pihak ( Pemerintah maupun swasta ) menerapkan prinsip pelayanan, akuntabel dan bersifat melayani.

Bentrok Antarkampung Pecah di Lampung Tengah


 
Bentrok/ilustrasi
Bentrok/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Bentrok antarkampung pecah di Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng), Provinsi Lampung, Selasa (15/10). 

Bentrok terjadi antara Warga Kampung Suka Jawa, Bumiratu Nuban (Lamteng) dengan warga Kampung Gunung Sugih Baru, Tegineneng, Kabupaten Pesawaran. Sedikitnya empat orang luka, tujuh rumah rusak, satu unit mobil dan tiga sepeda motor hancur dalam bentrokan tersebut.

Polres Lampung Tengah dan Polres Lampung Selatan masih melakukan upaya perdamaian kedua warga berlainan kabupaten tersebut di Kampung SukaJawa. Polisi mengumpulkan tokoh masyarakat kedua kampung yang berdekatan tersebut.
 
Pertemuan dua kelompok warga berseteru tersebut dimediasi dua Kapolres Lampung Tengah AKBP Yulias dan Kapolres Lampung Selatan, AKBP Bayu Aji di balai pertemuan warga di Kampung Sukajawa.

Kapolres Bayu Aji, mengatakan bentrok antarkampung ini telah menyebabkan sedikitnya tujuh rumah rusak, dan beberapa kendaraan milik warga di Kampung Suka Jawa, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, Kabupaten Lampung Tengah. Dari penelusuran polisi, bentrok terjadi akibat kesalahfahaman warga setelah terjadi kecelakaan motor warga kedua kampung.

Friday, October 11, 2013

Rapat Pertama MPAL


Sebagai wajah baru sejatinya saya ingin lebuh banyak menyimak dalam rapat pertama yang dislenggarakan oleh Pengurus MPAL Lampung Rabu 9 Oktober 2013 di sekretariat MPAL Gg Nangka Jl. Zainal Abidin Pagaralam,  rapat itu sebenarnya rapat terbatas, tetapi semua bagian ternyata terwakili. Ada beberaopa catatan saya yang barangkali akan bermanfaat  Pertama tentang keinginan untuk mengeluarkan buku petunjuk tentang tata adat Lampung, gagasan ini sejatinya tak ada salahnya, jika memang MPAL memiliki tenaga untuk menyusunnya. Namun walaupun demikian perlu kita ingatkan bahwa masyarakat Lampung ini bukan saja terdiri dari Pepadun dan Saibatin, tetapi baik Pepadun maupun Saibatin memiliki sub sub yaitu marga dan kebuaiyan atau sebutan lainnya. yang satu dengan yang lain tak tertutup banyaknya perbedaan.
Niat baik MPAL yang akan diwujudkan dalam bentuk penulisan atau inventarisasi ini memang mulia, tetapi dalam waktu bersamaan justeru akan menjadi bumerang yang merendahkan MPAL manakala penulis tidak mencapai optimal dalam kelengkapannya, karena justeru akan muncul pihak pihak yang mempertanyakan apakah MPAL berniat untuk menghapus atau menambah dan bahkan akan merubah tradisi masyarakat. Atau penulisan itu harus bertahap, tahap pertama adalah inventarisasi  yang dimintakan kepada masing kebuaian atau marga yang ada menuliskan sendiri sendiri aturan adat yang lazim mereka lakukan, apalagi pada umumnya kita hanya memahami adat dan tradisi kita masing masing, itu bukan jaminan akan pengetahuan kita terhadap kelompok yang relatif majemuk ini.

Thursday, October 3, 2013

Pidato Suttan Sangbimo Jagat Rasobayo

Selaku Pelaksana Ketua Harian Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dalam acara Pengukuhan Pengurus MPAL Periode 2013-2017. Di Balai Kratun Komplek Pemda Provinsi Lampung Rabu 2 Oktober 2013.

LAPORAN KELTUA PELAKSANA
PENGUKUHAN PENGURUS MPAL PROVINSI LAMPUNG
PERIODE 2013-2017

Assalaamu'alaikum Wr Wb
Tabik Ngalimpuro Sikam Pun
Kj. Yang Tuan ST. Mangkunegara Junjungan Pemangku Lampung SRBJ I. 

Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa bahwa kita semua dapat hadir pada acara Pengukuhan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) di Balai Keratun in. Semoga kita mendapat berkah dan ridho Allah Swt. Amin. 

Awal bebalah, disijo selah
Ngdepiy metiy, seunyen wariy
Dilem itaran, nigehken laporan
Semogo ngebo, kewawaian gham jejamo

Payew kidah, jejamo nengah
Gham piseniy, teninggal rebbiy
Sino warisan, tetep diandan
Adat budayo, aksara budayo

Di sijo selah, gham searah
Ngesaiken atiy, bepiil bepesenggiri
Ngebangun tanggan, sijo tujuan
Gham jejamo, negakken basso

Selanjutnya perkenankan kami laporan kegiatan ini sbb:

I. Dasar Hukum
1. UUD 1945 khususnya yang bersangkutan dengan pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional sebagai bentuk & Integritas bangsa Indonesia.
2. UU  No.  17   /  2013  Tentang Organisasi kemasyarakatan.
3. PERMENDAGRI   NO    39/2007 tentang Pedoman organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan keraton dan lembaga adat dalam pelestarian dan pembangunan budaya daerah.
4. PERMENDAGRI   NO  40  / 2007 tentanbg pedoman bagi kepala daerah dalam pelestarian dan pengembangan budaya dan bahasa daerah.
5. PERDA Prov. Lampung NO  2/ 2008 tentang pemeliharaan kebudayaan Lampung
6. PERDA Prov. Lampung  NO  5/  2013 tentang Kelembagaan Masyarakat Adat Lampung (MPAL)
Mubes MPAL Prov. Lampung Juli 2013
8. SK Gubernur Lampung No.  G/656/II/HK/2013 tentang pengukuhan Pengurus MPAL Provinsi Lampung periode 2013-2017. 

II. Maksud dan Tujuan 

MPAL adalah suatu wadah untuk membina dan melestarikan dan meberdayakan adat istiadat masyarakat Lampung. Masyarakat adat adalah masyarakat Lampung yang terdiri dari jurai pepadun dan jurai saibatin.

* Maksud :
1. Memberi wadah bagi organisasi yang bergerak untuk melestarikan dan memberdayakan adat istiadat (piil pesenggiri) dan budaya daerah, baik benda maupun tak benda.
2. Wadah yang membina kerukunan hidup dalam masyarakat adat di bumi sai bumu ruwa jurai ini dengan mengedepankan adat istiadat dan budaya sebagai identitas jatidiri bangsa.

* Tujuan.
1. Berperan serta dalam pembangunan sebagai mitra pembangunan.
2. Terciptanya pembangunan daerah yang memiliki identitas dan integritas yang khas sebagai kekayaan, "Bahasa Menegakkan Bangsa"
3. Berperan serta dalam membina hukum adatsebagai dasar strategi  

pendekatan (socio cultural) dalam pembangunan daerah.

4. Lamun mak gham sapa lagi, lamun mak ganta kapan lagi.



III. Peserta Pengukuhan.



Adapun kepengurusan MPAL Lampung periode 2013-2017 yang akan dikukuhkan adalah berasal dari jurai adat pepadun dan adat saibatin yang berkomitmen untuk bersama sama dalam pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat istiadat semaksimal mungkin  (hasil muber MPAL bulan Juli dengan SK Gubernur G/656/II.3/HK/2013 tentang pengurus MPAL Provinsi Lampung periode 2013-2017.



Demikian laporan yang dapat kami sampaikan dan kepada kepengurusan periode yang lalu kami ucapkan banyak terima kasih  atas sumbangannya, semoga menjadi amal yang baik. Selanjutnya memohon kepada Bapak Gubernur selaku pembina lembaga kemasyarakatan beliau Kanjeng Yang Tuan Suttan Mangkunegara Sai Bumi RTuwa Jurai I dapat mengukuhkan MPAL Prov. Lampung periode 2013-2017 ini.

Bandar Lampung, 2 Oktober 2013
Majelis penyimbang Adat Lampung
Pelaksana Ketua Harian,

(Suttan Sangbimo Jagat Rasobayo)