Monday, October 12, 2015

Adok Dan Stratifikasi Sosial Di Lampung

Oleh Budi Hutasuhud

Naskah dikopy dari Pini Duajuraicom


Acara adat masyarakat pesisir di Lampung | Imelda Astari/Duajurai.com
Oleh Budi Hutasuhut | budayawan, mantan jurnalis di Lampung Post | Status Facebook, Jumat, 9 Oktober 2015
budi hutasuhut“Aku ini hanya seorang minak.” Syaifurrohman, intelektual pemuda alumni sebuah kampus di Kota Bandar Lampung, yang sehari-hari bekerja sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan swasta, bicara dengan nada yang rendah.
Hari itu, akhir September 2015 lalu, saya sengaja menghubunginya lewat telepon genggam, minta tolong agar dia bersedia mendatangi tokoh adat di kampungnya. “Sampaikan kepada mereka bahwa kita akan sosialisasi sebuah program yang penting bagi masyarakat adat,” kata saya.
“Sehebat apa pun saya membicarakan hal itu,” kata dia, “suara saya tak akan bermanfaat di hadapan Suntan.”
Mula-mula saya tak memahami ucapannya. Saya duga dia punya persoalan personal dengan tokoh adat yang dipanggil Suntan itu. Tapi, ternyata, dugaan saya itu keliru. Syaifurrohman kemudian bicara tentang adat, tentang budaya Lampung. Dia membeberkan persoalan adok.
Saya mencoba menyimak, dan ingatan saya mundur ke beberapa tahun lalu ketika saya terlibat dalam sebuah penelitian tentang kebudayaan Lampung di wilayah pesisir Lampung Barat. Saya mencoba bandingkan ingatan saya dengan situasi yang dihadapi Syaifurrohman.
Dan, benar, geografi dan demografi kampung di mana Syaifurrohman lahir dan besar, masuk wilayah pesisir Lampung. Dia tinggal di sebuah kampung tua di Kecamatan Marga Punduh, Kabupaten Pesawaran.