Wednesday, April 11, 2012

Pedemo Mogok Makan di BPN Mulai Lemas

BERTAHAN. Sekitar 50 warga dari Lampung Tengah yang melakukan demo di Kantor BPN Lampung sejak 22 hari lalu dan melakukan mogok makan masih bertahan. Namun, kondisi mereka mulai lemas. Mereka tidak akan pergi dari lokasi sebelum tuntutan mereka dikabulkan BPN Pusat. FOTO LAMPUNG POST/ZAINUDDIN


BANDAR LAMPUNG (Lampost.com): Sebanyak 50 warga Padangratu, Lampung Tengah, yang melakukan aksi mogok makan menuntut BPN Lampung mengembalikan lahan yang selama ini dikelola PT Sahang mulai kelelahan.

Di sisi lain, aksi keprihatinan warga itu juga diwarnai dengan kasus bunuh diri Misbah, warga Padangratu. Lelaki ini nekat menghabisi nyawanya karena kecewa setelah BPN Pusat menyatakan lahan yang dituntut warga tidak masuk landreform.
Ahmad Fauzi (56), salah satu perserta aksi, mengatakan kondisi dirinya dan rekan lain cukup kelelahan. "Ya, lumayan lemas mas, tetapi kami saling menguatkan satu sama lain," kata dia, Rabu (11-4).
Dia menambahkan, peserta mogok makan juga saling mengingatkan agar tetap semangat, karena lahan yang dituntut merupakan harapan mereka demi masa depan keluarga.
"Biar kondisi tubuh tetap bagus, kami minum vitamin dan susu setiap harinya, dan rata-rata dilakukan malam hari," kata warga Dusun II Desa Surabaya ini.
Dalam menjalankan aski tersebut, peserta melakukannya sembari berpuasa, sehingga minuman bervitamin dikonsumsi pada malam hari setelah berbuka.
Sementara itu, Ahmad Muslimin, kordintaor umum aksi tersebut, mengatakan aksi yang rencananya dilakukan di halaman kantor BPN Lampung tidak diperbolehkan, sehingga aksi dilakukan di depan pagar kantor yang terletak di jalan Basuki Rahmat.
"Pihak BPN mengatakan agar aksi dilakukan di luar halaman, karena mereka takut aksi ini akan berujung anarakis. Menurut saya, itu tidak masuk akal, bagaimana mau anarkis kan aksinya mogok makan, pasti kekurangan tenaga pesertanya," jelas dia.
Aksi mogok makan yang berlangsung sejak Senin (9-4), karena pihak BPN pusat menyatakan lahan yang dituntut oleh warga Kampung Surabaya, Kampung Sendang Ayu, dan Kampung Padangratu Kecamatan Padangratu, Lampung Tengah, itu tidak masuk objek landreform seperti yang diharapkan para warga.
Akibat keputusan tersebut, Misbah, salah satu warga setempat melakukan aksi bunuh diri di kediamannya di Desa Surabaya. "Almarhum meningal pada Selasa (10-4) siang setelah mendapat kabar yang tidak menguntungkan pihak warga," kata Muslimin.
"Saya menelpon beliau dan mengatakan hasilnya belum berpihak ke kita, dia mengatakan bunuh diri yang dilakukan merupakan pilihannya. Saya sempat mengingatkan perbuatan itu tidak baik, tetapi dirinya tetap melakukannya," kata Fauzi yang juga adik Misbah.
Fauzi mengatakan, Misbah berpesan agar kematiannya menjadi tanda, bahwa masyarakat Indonesia belum menikmati apa yang tertuang dalam Pasal 33 UUD RI.
"Kematiannya menjadi semangat tambahan untuk kami dalam berjuang agar membuahkan hasil, meskipun saya sangat sedih," tegas Fauzi.
Fauzi mengatakan, Misbah memeliki lahan seluas 3.700 meter per segi yang selama ini dikelola PT Sahang. (MG7/L-1)

Sumber : Lampung Post Online 11 April 2011

Gempa Aceh Warga Lampung Barat Was Was

LIWA (Lampost.com): Gempa berkekuatan 8,5 skala richter (SR) yang mengguncang di Aceh sore tadi juga membuat warga Lampung Barat (Lambar) terutama yang berada di pinggiran pantai menjadi was-was terlebih saat mendapat peringatan dini tsunami dari Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

"Masyarakat yang berada di wilayah Krui dan sekitarnya khususnya yang berdekatan dengan pantai saat merasakan gempa dan mendapat informasi peringatan dini tsunami langsung berhamburan keluar dan mengamati suasana pantai," kata Camat Pesisir Tengah, Edi Mukhtar, Rabu (11-4).
Masyarakat terlihat tenang tapi tetap was-was termasuk dirinya sendiri. Setelah merasakan gempa serta mendapat informasi peringatan dini tsunami, kata dia, masyarakat dari kejauhan langsung mengamat-amati suasana laut untuk memastikan keadaan. Pihaknya selaku camat yang saat itu juga sedang berada di kantor ketika mendapat peringatan dini tsunami dari BKMG itu juga meminta masyarakat untuk tetap tenang tetapi harus tetap waspada. "Masyarakat memang banyak yang keluar dan mengamati suasana di pinggir laut," kata camat.
Dia menambahkan, kendati demikian masyarakat tetap tenang dan tidak ada gejolak. Sebab intensitas gempa yang dirasakan juga tidak terlalu kuat. Kemudian di Pulau Pisang, Pesisir Utara, camat dan peratin di Pulau Pisang telah menghubungi aparat pekon untuk meminta agar masyarakat waspada terhadap kemungkinan tsunami akibat gempa tersebut. "Kebetulan seluruh peratin di Pulau Pisang sedang mengikuti acara di kecamatan untuk itu pihaknya menyampaikan informasi ini kepada masyarakat melalui aparat pekon di Pulau Pisang. Informasi itu langsung kita sampaikan dan meminta agar semua warga waspada," kata camat Pesisir Utara, Azhari.
Setelah warga mendapat informasi itu langsung was-was serta waspada sambil terus mengamati suasana di sekitar pantai. Pada dasarnya getaran gempa itu cukup dirasakan, sebagian masyarakat juga keluar untuk mengamati suasana sekitar pantai. Kendati demikian masyarakat tetap tenang sambil terus mengamati suasana pinggir laut. (ELI/L-1)

Lampung Post Online

Tuesday, April 10, 2012

Hentikan Provokasi dan Kebrutalan!

Yudhistira A.N.M. Massardi

PROVOKASI adalah rangsangan fisik maupun nonfisik yang menimbulkan kemarahan. Kebrutalan adalah tindakan kekerasan yang sewenang-wenang dan telengas.

Tentang ini, dalam pesan BlackBerry-nya, seorang mahasiswa Universitas YAI di Salemba, Jakarta Pusat—yang jalan depan kampusnya menjadi tempat aksi demonstrasi antipenaikan harga BBM pada 29 Maret 2012—membuat deskripsi yang pas:

"Tolong catat baik-baik yah, kami mahasiswa YAI gak memulai rusuh, kami hanya bereaksi atas serangan yang membabi buta ke arah kampus kami. Apakah kami salah bila kami gak mau ikut-ikutan demo? Kami tentu saja gak setuju BBM naik, tapi kami juga gak suka berbuat anarki. Pada saat kejadian, posisi kami terpojok di dlm kampus berusaha mengamankan pintu gerbang sambil menyelamatkan kendaraan-kendaran kami...."

Artinya, ketika itu, para mahasiswa YAI tidak terlibat dalam aksi demonstrasi yang berlangsung di depan kampusnya itu. Namun, mereka kemudian mengalami provokasi tersebut, dan menjadi korban dari kebrutalan, sebagaimana dilukiskan kemudian:

"Tapi yang ada kami malah diserang tembakan peluru karet, gas air mata dan bom molotov secara membabi-buta. Dan yang paling kami sesalkan, polisi yang seharusnya mengamankan justru jadi pihak yang menyerang. Kalian gak tahu betapa kalutnya kami di dalam kampus. Kalian juga gak tahu bahwa di dalam kami tidak bisa berbuat banyak memberikan pertolongan pertama pada teman-teman kami yang terluka akibat peluru karet dan penyakitnya kambuh karena shock dan terhirup gas air mata dengan obat-obatan seadanya, kami menghubungi ambulans, tapi gak ada yang bersedia datang. Lalu kalau teman-teman kami itu tidak dapat tertolong, apa kalian semua bisa mengganti nyawa orang-orang itu?"

Saling Tumpas

Dalam dua pekan terakhir sejak demo antipenaikan harga BBM marak di berbagai tempat, melalui media massa, khususnya televisi, kita menyaksikan betapa para anggota kepolisian bertindak brutal menghadapi para demonstran: memukuli, menendang, menginjak-injak dan menembakkan gas air mata serta meletupkan senjata api.

Di pihak lain, kita juga melihat para demonstran melakukan aksi pelemparan batu, pembakaran ban, bahkan membakar mobil serta merusak pos polisi.

Kedua belah pihak telah termakan provokasi yang, terutama, terpicu oleh posisi saling berhadapan, seakan-akan mereka adalah musuh bebuyutan yang harus saling tumpas. Status bahwa para demonstran adalah wakil yang coba menyuarakan aspirasi rakyat, dan polisi adalah penjaga ketertiban dan pengayom masyarakat, menguap di tempat kejadian. Ketika bentrokan meletus, tampak bahwa aksi kekerasan itulah yang seakan-akan mereka tunggu-tunggu, atau menjadi tujuan dari kehadiran mereka di tempat itu.

Kita juga melihat bahwa satuan polisi, yang didukung tentara—yang justru meningkatkan daya provokasi terhadap demonstran—bukannya mengambil posisi berjajar melindungi sarana umum, melainkan berbaris rapat menghadang para demonstran secara frontal. Sehingga, begitu kedua pihak kehilangan jarak, kekerasan yang diawali dengan aksi dorong-tahan pun berubah menjadi kebrutalan.

Polisi tidak mengambil langkah persuasi melainkan represi. Dengan demikian, keberingasan pun dilakukan, tidak hanya terhadap para demonstran, tetpi juga terhadap wartawan. Karena takut gambarnya disiarkan, mereka tidak hanya meminta hasil rekamannya, tatapi juga memukuli para jurnalis itu—menyempurnakan kebrutalan para petugas keamanan. Seperti di negara-negara totaliter yang ketinggalan zaman.

Kebrutalan Sesungguhnya

Sejauh ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh para demonstran di berbagai tempat, jika dikalkulasikan dengan uang, nilainya sesungguhnya tidak seberapa dibandingkan dengan harta negara yang dijarah para koruptor di bawah rezim Pemerintahan SBY. Apalagi para pelaku kejahatan yang luar biasa itu, sebagian besar masih bergentayangan dan dibiarkan terus menimbulkan kerusakan moral dan mental di seluruh tubuh bangsa.

Sesungguhnya jika para penegak hukum hendak menumpas gerombolan penghancur sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, para koruptor itulah yang pertama kali harus ditumpas sebengis-bengisnya, dan bukan para mahasiswa/demonstran.

Para pengunjuk rasa itu turun ke jalan bukan semata-mata karena terprovokasi rencana penaikan harga BBM, melainkan oleh para koruptor yang bersemayam di bawah kekuasaan. Bahwa SBY tak bersungguh-sungguh memberantas korupsi, itulah provokasi dan kebrutalan yang sesungguhnya, yang tidak hanya memakan korban para mahasiswa, melainkan mayoritas rakyat Indonesia.

Jika para koruptor itu ditumpas dengan keras dan seluruh harta mereka disita untuk negara, serta pajak-pajak dipungut serta dikumpulkan secara benar, bukan hanya harga BBM tidak perlu dinaikkan, melainkan fasilitas pendidikan dan kesehatan pun bisa digratiskan untuk seluruh bangsa!
Sumber : Lampost 9 April 2012

Kejagung Masih Kejar Buron Bupati Lampung Timur

JAKARTA (Lampost.com): Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga kini belum mengetahui di mana keberadaan mantan Bupati Lampung Timur, Satono yang berstatus buronan. Akibatnya proses eksekusi pun menjadi terhambat.


"Mudah-mudahan dengan bantuan semua pihak bisa segera kita temukan. Karena kalau misalnya ada informasi hari ini di mana keberadaannya akan saya tangkap hari ini juga," ujar Wakil Jaksa Agung, Darmono, di Gedung Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Selasa (10-4).

Senada dengan Darmono, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Adi Toegarisman menyatakan pihaknya baru informasi mengenai status Satono yang buron. Untuk masalah keberadaan Satono sendiri, Darmono mengakui belum mendapat informasi lebih lanjut.

"Ya kita belum tahu dimana keberadaanya. Kalau sudah tahu, pasti akan bisa kita tangkap," terangnya.

Sebelumnya mantan Bupati Lampung Timur, Satono, menghindari eksekusi setelah Mahkamah Agung menjatuhkan vonis selama 15 tahun penjara karena korupsi APBD sebesar Rp 100 miliar. Satono kini masuk dalam daftar pencarian orang alias buron.

Kapuspenkum Kejagung, Adi Toegarisman, menjelaskan Satono sudah dipanggil ke Kejati Lampung pada Senin kemarin. Namun karena tak kunjung datang, akhirnya tim mencari ke kediamannya

MA sebelumnya menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara kepada mantan Bupati Lampung Timur periode 2005-2010, Satono, pada tingkat kasasi. Satono juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsidair enam bulan kurungan, serta diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp 10.586.575.000. Satono dinyatakan bersalah menggelapkan dana rakyat dalam APBD sebesar Rp 119 miliar. (DTC/L-1)
Sumber : Lampung Post Online

Bahaya Laten Konflik Lahan

Fajar Kurnianto

Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
KASUS Mesuji tampaknya belum usai. Setelah menjadi isu nasional, ratusan orang tak dikenal menyerbu kompleks perkantoran Divisi I PT BSMI Februari lalu. Tak hanya menyerbu kompleks perkantoran, massa diduga membakar gedung-gedung di kompleks perkantoran tersebut.

Rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pimpinan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana belum cukup ampuh menyelesaikan masalah. Rekomendasi tim tidak menyentuh masalah substantif, yakni sengketa lahan.

Belum tuntasnya masalah agraria, seperti di Mesuji, menunjukkan rendahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria di negeri ini. Pemerintah masih saja berperan seperti pemadam kebakaran. Ketika konflik berujung tindak kekerasan dan perang fisik antarpihak yang bersengketa, barulah pemerintah turun tangan.

Ketika sudah banyak jatuh korban, baru pemerintah datang. Petugas keamanan tampaknya juga lemah mengantisipasi. Malah terkesan, mereka berada di salah satu kubu yang berseteru. Biasanya, di pihak para pengusaha dan pengelola lahan. Mereka dibayar untuk menjaga. Padahal, mereka seharusnya bersikap netral.

Fungsikan BPN

Masalah utama sebenarnya adalah sengketa lahan. Tentang batas-batas lahan, antara milik pengusaha atau pengelola dan milik warga sekitar. Seharusnya ini yang diselesaikan dulu, misalnya dengan cara pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pengusaha atau pengelola lahan juga mestinya menyadari jika status tanah belum jelas betul, usaha di situ jangan diteruskan.

Sayangnya, ini tidak mereka lakukan. Mereka terus saja melakukan aktivitas usaha sambil mempertahankannya dengan membayar aparat keamanan. Ini yang akhirnya memicu kemarahan warga sekitar. Tindakan kekerasan warga juga tidak bisa dibenarkan. Tapi, tetap meneruskan usaha di lahan sengketa juga sama tidak bisa dibenarkan.

Ini masalah konflik lahan antara warga dan pengusaha dan resolusi konflik perlu melibatkan pemerintah sebagai mediator. Kasus Mesuji yang belum lama memakan korban tewas beberapa warga, lalu terulang kembali, meski yang baru-baru ini tidak memakan korban jiwa. Ini menjadi gambaran bahwa peran pemerintah begitu minimal.

Pemerintah seperti tidak punya kemauan politik untuk menyelesaikan konflik, padahal sebenarnya tidak terlalu sulit. Rendahnya kemauan politik pemerintah membuat situasi seperti tidak menentu. Tidak ada kepastian. Baik warga maupun pengusaha pada akhirnya akan tetap dengan pendiriannya, berada dalam situasi tegang dan saling curiga. Berbagai rumor dan isu akan dengan mudah menjadi pemantik pecahnya konflik.

Pembakaran gedung milik PT BSMI menurut warga karena ada isu bahwa pihak perusahaan akan mendatangkan lebih banyak lagi aparat keamanan untuk menjaga tetap berjalannya aktivitas di situ. Artinya, perkembangan ke arah penyelesaian masalah tidak kunjung menemukan titik terang.

Isu ini bisa jadi benar, bisa juga tidak. Dalam situasi ketegangan dan kondisi penuh ketidakpastian, sebuah isu bisa meledakkan masalah dan memicu konflik baru yang terus-menerus. Apa susahnya pemerintah mempertemukan pihak yang bersengketa, duduk bersama, membicarakan persoalan? Tidak ada asap kalau tidak ada api.

Konflik akan terus terjadi, dan peristiwa yang sama akan terulang, jika pemerintah tidak kunjung memberi kepastian penyelesaian yang tuntas dan bisa diterima masing-masing pihak. Membiarkan masalah sama dengan membiarkan bara-bara dalam sekam menjadi api yang sewaktu-waktu akan berkobar.

Netralitas Pemerintah

Dalam setiap konflik lahan antara warga dan pengusaha selain kemauan politik yang rendah, pemerintah kerap mengambil posisi yang tidak adil. Terlalu berpihak kepada pengusaha dengan mengorbankan warga. Atau, bisa juga sebaliknya.

Masalahnya bukanlah soal keberpihakan pemerintah di salah satu kubu, tapi berpihak kepada kebenaran dan menjunjung tinggi asas keadilan. Warga tentu saja tidak selalu benar, seperti juga pengusaha yang menjadi lawan sengketanya.

Pemerintah juga tidak selalu benar. Tapi, pemerintah bisa berperan menjadi penyelesai sengketa secara baik dan adil jika taat hukum dan aturan main yang berlaku untuk penyelesaian konflik. Pemerintah, misalnya, punya BPN, yang bertugas menata dan menangani persoalan-persoalan pertanahan. Badan ini perlu dilibatkan secara maksimal.

Selama ini, akar konflik lahan yang banyak berujung pada tindakan anarki sebenarnya berakar dari sengketa lahan. Ini masalah paling mendasar yang harus diselesaikan. Pemerintah atau aparat jangan hanya terpaku pada kejadian di permukaan, misalnya kerusuhan, kekerasan, pembakaran, dan sejenisnya, tanpa melihat akarnya.

Tidak maksimalnya penyelesaian sengketa tanah bisa menjadi bahaya laten, dan sewaktu-waktu bisa meledak menjadi prahara. Apa yang terjadi belum lama ini menjadi bukti nyatanya.

Peran maksimal pemerintah sebenarnya sangat diharapkan. Tidak hanya pada kasus sengketa lahan di Mesuji, tapi juga di wilayah-wilayah lain. Pemerintah bisa menjadi jembatan yang membangun tradisi dialog dan menghidupkan komunikasi yang tampaknya seperti mati antara pihak-pihak yang bersengketa.

Sayangnya, ini yang tampaknya luput dari perhatian pemerintah. Tidak hanya itu, reaksi pemerintah juga terkesan lambat, tidak hanya dalam hal penyelesaian, tapi juga dalam hal antisipasi ledakan konflik. Aparat keamanan yang seharusnya menjadi garda depan yang mengantisipasi sering memosisikan diri tidak sebagai pihak netral yang menjaga situasi agar tetap kondusif, tapi malah menjadi bagian dari konflik karena berpihak kepada pengusaha yang membayar jasa keamanan kepada mereka. Sikap keberpihakan ini yang harus dibongkar dan diganti dengan netralitas untuk menyelesaikan konflik secara adil. n

Kearifan Menata Pesisir


Ika Sudirahayu
Pemerhati Sosial

PERTENGAHAN Maret 2012 Pemerintah Kota Bandar Lampung menyerahkan draf usulan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penataan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ke DPRD.

Beberapa bulan ke depan draf raperda tersebut dikaji dan dibahas di legislatif untuk disahkan sebagai perda. Munculnya raperda tersebut tak terlepas dari kecurigaan banyak kalangan terkait dengan maraknya reklamasi pesisir di Bandar Lampung.

Secara normatif, dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut mencakup bagian laut yang dipengaruhi proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Pesisir juga memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang kaya. Namun, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan kecenderungan pembangunan yang masih berorientasi ke darat akhirnya menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa.

Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.

Kekayaan laut menimbulkan daya tarik berbagai pihak untuk memanfaatkan sumber dayanya dan berbagai instansi untuk mengatur pemanfaatannya.

Dilihat dari fungsinya, kawasan pesisir memiliki peran penting. Di pesisirlah pendatang dari berbagai daerah bertemu. Pesisir menjadi mozaik sosial dan budaya. Ekosistem yang paling beragam, rumit, dan produktif terletak di kawasan pesisir. Peran pesisir juga penting dalam pengadaan pangan. Pulau-pulau yang secara keseluruhan dapat dianggap sebagai kawasan pesisir menumbuhkan dan menjaga keunikan sosial, budaya, dan ekologi.

Persoalan Sosial

Pesatnya perkembangan pembangunan di pesisir secara langsung akan memengaruhi kondisi pantai. Apabila perkembangan pembangunan tersebut tidak memperhatikan tata ruang kota serta pengelolaan lingkungan yang lemah, dapat menimbulkan berbagai persoalan sosial.

Hal paling mudah dilihat adalah tumbuhnya daerah kumuh (slum) yang ditunjukkan dengan buruknya keadaan lingkungan, kurangnya fasilitas sosial, dan berbagai permasalahan lingkungan lainnya.

Data BPS menyebutkan Bandar Lampung memiliki garis pantai kurang lebih 27 km yang terbentang di tiga kecamatan: Panjang, Telukbetung Selatan, dan Teluk Betung Barat. Ironisnya, sampai kini hampir semua wilayah pesisir dalam kondisi memprihatinkan. Kemiskinan dan kekumuhan menjadi ikon yang melekat di benak masyarakat.

Supaya pembangunan kawasan pesisir bisa langgeng berkelanjutan, perlu adanya pembagian zonasi yang tepat dalam mengalokasikan ruang, memilah kegiatan sinergis, dan pengendaliannya. Dengan penerapan zonasi, berarti wilayah pesisir menjadi zona sesuai peruntukannya. Kegiatan yang saling mendukung memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan. Untuk itu, penerapan zonasi harus memperhatikan kebijakan pemerintah pusat/daerah dan kepentingan masyarakat.

Raperda Pesisir harus mampu menjawab beberapa isu dan permasalahan tersebut. Pertama, kemiskinan (kesejahteraan masyarakat). Aktivitas ekonomi masyarakat di pesisir Bandar Lampung cukup tinggi sehingga akan memberikan pengaruh besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Kita semua memahami masyarakat nelayan masih banyak yang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan dan tekanan ekonomi masyarakat pesisir memang tidak bisa dihindari. Masyarakat harus berpikir ekstra dan melakukan spekulasi yang terkadang berlebihan untuk melepaskan diri dari situasi serbakekurangan.

Penataan pesisir juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyaraka itut. Tumbuh-kembangnya ekonomi masyarakat di wilayah pesisir haruslah menjadi prioritas pemerintah. Yang menjadi catatan adalah tidak semua masyarakat pesisir berprofesi sebagai nelayan, ada pedagang kecil, buruh, dan pekerjaan lainnya. Untuk itu, diperlukan upaya konkret dan komprehensif mengatasi masalah tersebut.

Kedua, permukiman warga yang layak. Permukiman warga yang layak, sehat, dan tertata juga menjadi permasalahan krusial di pesisir. Butuh kearifan lokal dalam penataan pesisir. Satu sisi kondisi kumuh harus diatasi, tapi hak bermukin harus juga dipenuhi.

Jangan sampai nantinya peraturan yang dibuat tidak berpihak kepada mereka, dalam artian adanya penggusuran permukiman warga. Permukiman yang baik harus memperhatikan beberapa aspek, antara lain ketersediaan air bersih, sanitasi, dan infrastruktur pendukung lainnya.

Ketiga, lingkungan hidup. Tidak dapat dimungkiri buruknya penataan pesisir akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem. Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi tersebut, kebijakan lingkungan hidup ditujukan pada upaya mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan.

Ketegasan Pemerintah

Untuk menyukseskan pengelolaan lingkungan yang baik di wilayah pesisir, harus adanya ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum untuk menghindari perusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan. Dan yang tidak kalah penting ialah pelibatan peran serta masyarakat dan kekuatan ekonomi (pihak ketiga) dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Keempat, bahaya bencana alam. Bencana yang berpotensi besar terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, di antaranya tsunami, banjir, abrasi pantai, dan badai.

Upaya mengurangi dampak negatif akibat bencana itu perlu dilakukan tindakan penanggulangan, seperti sistem peringatan dini, pemindahan/relokasi, tata ruang/zonasi, pelatihan, dan simulasi mitigasi serta penetapan sempadan pantai.

Penataan pesisir harus menerapkan asas keadilan serta kearifan lokal. Sampai saat ini penataan pesisir Bandar Lampung belum menemukan arah yang jelas. Hal ini karena adanya ketidaksinkronan antara keinginan Pemkot dan masyarakat pesisir.

Politik kepentingan harus dienyahkan jauh-jauh dalam hal ini. Kepentingan masyarakatlah yang harus menjadi prioritas sebagai landasan kebijakan. Kita berharap eksekutif dan legislatif agar lebih arif membuat peraturan. Masyarakat tentu tidak menginginkan Bandar Lampung menjadi kota yang kumuh.

Sumber : Lampost Minggu 1 April 2012

Monday, April 9, 2012

Kain Lampung ‘Mendunia’ Lewat Jakarta

NUR ALIEN HALVAIMA



PROVINSI Lampung dengan ibukotanya Bandar Lampung, kota pelabuhan di ujung selatan Pulau Sumatera, sejak dulu dikenal sebagai penghasil lada dan kopi sejak zaman kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 sampai abad ke-13. Karena lokasinya yang strategis di Selat Sunda, membuat perdagangan di daerah ini maju pesat.

Lada dan kopi mengalir ke manca negara, sebaliknya banyak mata dagangan dari mancanegara juga mengalir ke daerah Lampung dan Sumatra Bagian Selatan pada umumnya, di antaranya kain sutra dari Cina.
Meskipun di Jawa sudah masuk agama Islam sejak abad ke 15, namun Islam masuk ke Lampung melalui Selat Sunda dari Batam baru pada abad ke- 17. Kondisi ini ternyata membawa pengaruh pula pada tekstil Lampung.

Tidak mengherankan bila kain Lampung terutama kain tapis memiliki ragam hias gambar flora, tetapi juga tampak gemerlapan dengan sulaman benang emas atau perak. Berbagai jenis kain Lampung di antaranya tapis, bidak, kain kapal, sebagi dan batik.

Dipamerkan di Museum Tekstil

SEBANYAK 150 kain atau wastra Lampung, dipamerkan di Museum Tekstil Jakarta sejak 7 Maret hingga 19 Maret 2012. Pameran ini mengundang para pecinta wastra dan busana di Jakarta berdatangan untuk menyaksikan dan mengamatinya.
1331351469316457771

Peragaan pengantin adat Lampung sedang mengaturkan sembah (foto: dok Suprihardjo).

Kepala Musuem Tekstil Jakarta, Drs Indra Riawan mengungkapkan pameran ini menggambarkan keanekaragaman teknik, ragam hias dan fungsi wastra Lampung agar lestari. Di antaranya yang dipamerkan adalah Tapis Cucuk, kain untuk digunakan wanita pada saat pernikahan. “Kain tersebut buatan Lampung Timur tahun 1800-an merupakan koleksi Museum Negeri Provinsi Lampung,” kata Indra Riawan.

Uniknya tapis yang satu ini berhias uang logam Amerika. Ada lagi kain palepai, berhias motif kapal memanjang yang digunakan untuk pembatas wilayah ritual di dinding. Kainnya berbahan sutra, kapas dan bersulam benang perak serta pakan (benang melintang) tambahan.

Pada pembukaan Pameran Tekstil Lampung tersebut, Sekjen Lampung Sai, Mawardi Hadi Rama menjelaskan Provinsi Lampung dengan segala seni budayanya telah diakui di Jakarta sejak tahun 1985 dengan mendapat nomor urut 18 dari 33 provinsi se Indonesia.

Sejak itu, lewat Jakarta seni budaya Lampung termasuk kain tapis ikut pameran Pasar Tongtong di Negeri Belanda. Dengan lewat Jakarta lagi Lampung dengan senibudaya termasuk seni wastra dan busana menjelajah dunia sampai ke Paris, Perancis pada tahun 1990, ke Vatikan, Roma, bahkan ke Amerika Serikat.
“Jadi setiap DKI Jakarta mengirimkan duta seni budaya ke mancanegara, di belakangnya ada senibudaya Lampung,” kata Mawardi yang mendapat gelar Sutan Pesirah.

Sementara Wakil Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, DR Tinia Budiati MA mengakui, Mawardi yang kini menjadi orang penting di provinsi Lampung memang lama belajar dan berkiprah di Jakarta.

Menurut Tinia yang sering ke Negeri Belanda ini, wastra atau kain Indonesia sebagai seni budaya nasional telah mempesona dunia. Begitu pula dengan wastra Lampung dengan fungsi adabinya patut didokumentasikan dan dilestarikan sebagai busana yang menunjukkan jati diri bangsa. Karena itu pantas bila Pameran Wastra Lampung disebut Warisan Budaya Melintas Zaman.

Tinia juga mengapresiasi langkah Museum Tekstil Jakarta yang telah merintis kemitraan dengan berbagai lembaga lain dalam melestarikan budaya wastra dan busana tersebut. Terutama yang dapat meningkatkan apresiasi bagi generasi muda.

Gubernur Sjahroedin terima penghargaan

TERSELENGGARANYA pameran wastra Lampung ini, berkat dukungan Pimpinan dan Pengurus Lampung Sai, Himpunan Pengrajin Kain Tapis Lampung (HPKTL) dan Museum Negeri Provinsi Lampung. Karena itu pihak Museum Tekstil menyerahkan penghargaan kepada Gubernur Lampung, Drs H Sjahroedin ZP, SH yang juga Ketua Umum DPP Lampung Sai yang diwakili Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Gatot Hadi Utomo.

Hadir pula wakil Museum Polri, AKBP Hartati, Kepala Balai Konservasi Disparbud DKI Candrian, Kepala Museum Wayang Dachlan SKar, dan pimpinan Dekranasda Provinsi Lampung maupun Kodya Bandar Lampung antara lain Hj Soraya Zulkifli Hasan, Hj Roslina Daan, Ny Trully Sjachroedin. Tampak AKBP Hartati sebagai perwira polwan yang mengurusi benda bersejarah Polri tekun meneliti beberapa kain tapis Lampung yang gemerlapan dengan sulaman benang emas dan perak. Sesekali memotretnya.

Tari ‘Selamat Megou (Datang)” dan peragaan busana pengantin Lampung ditampilkan pada pembukaan pameran yang akan berlangsung sampai 19 Maret 2012 itu. Menurut pantia, hari ini (8/3) diselenggarakan talk show Wastra Lampung dan pada 9-11 Maret diselenggarakan workshop batik di arena pameran Museum Tekstil tersebut.

“Pameran ini mewakili keanekaragaman teknik, ragam hias dan fungsi wastra Lampung agar lestari,” kata Kepala Musuem Tekstil Jakarta, Drs Indra Riawan. (aliem)

Istri Wapres Minta Tapis Cucuk Handak Dikembangkan

TERIMA SEKAPUR SIRIH Ketua Dekranasda Pusat yang juga istri Wakil Presiden, Herawati Boediono menerima sekapur sirih dari penari kecil disaksikan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. bersama istri dalam Gebyar Tapis Lampung di Lapangan Korpri, Kantor Gubernur, Senin (9-4). FOTO LAMPUNG POST/ZAINUDDIN

BANDAR LAMPUNG (Lampost.com): Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Pusat Herawati Boediono meminta Dekranasda Lampung mengembangkan tapis cucuk handak. Istri Wakil Presiden Boediono ini menilai pengembangan komoditas itu tergolong lamban karena terkendala minimnya jumlah perajin.


"Produk asli daerah harus diupayakan untuk terus dilestarikan. Cucuk handak yang asli salah satunya berasal dari Lampung. Namun, ternyata perajinnya semakin sedikit,ini harus jadi perhatian," kata Herawati dalam HUT ke-32 Dekranasda Provinsi Lampung, sekaligus Gebyar Tapis Lampung di Lapangan Korpri, Kantor Gubernur, Senin (9-4).
Menurut Herawati kain yang disulam dengan indah adalah kekayaan budaya yang tak ternilai. Dia mengharapkan Dekranasda Provinsi Lampung dapat fokus mengembangkan cucuk handak dan menjadikannya unggulan. Sekaligus mendaftarkan kepada panitia Festival Sulam dan Bordir se ASEAN, di Sumatera Barat, Oktober 2012.
Dia mengungkapkan pihaknya mengetahui pengembangan komoditas itu tergolong lamban karena terkendala proses alih generasi penyulam. Untuk itu, diharapkan Dekranasda, pemerintah, maupun pihak terkait dapat memberikan perhatian ekstra kepada perajin.
Dekranasda juga harus mampu membuat terobosan berbasis kerakyatan dengan mengedepankan membina usaha kecil dan menengah. Sehingga, terciptalah rasa sense of belongin (rasa memiliki) masyarakat.
Meski di satu sisi dia juga berharap perajin tapis terus meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Khususnya mengacu pada kreativitas dan inovasi agar memiliki daya saing tinggi ketika memasuki pasar global.
"Perkembangan produk kerajinan sebagai warisan budaya turun temurun harus dijaga kelestariannya. Dan, kelestarian itu tergantung dari beberapa faktor maupun transformasi masyarakatnya yang dituntut menerapkan teknologi modern," kata dia.
Selain itu, lanjutnya, minat masyarakat terhadap produk kerajinan juga semakin tinggi. Termasuk tuntutan desain produk dengan konsep ramah lingkungan.
Artinya, produk kerajinan masa kini harus mengikuti desain terknlologi modern mengutamakan kelestarian lingkungan hidup. Bahkan, kini untuk menjaga keaslian produk budaya Indonesia, Dekranas berupaya membantu perajin mendaftarkan hak Intelektual. (VER/L-1)

Sumber : Lampungpost Online