Monday, November 11, 2013

(Fokus) Runtuhnya Pusat Kewargaan saibatin


Oleh Meza Swastika

Rumah-rumah sudah banyak direhab, tetapi pintu utamanya tetap menghadap ke arah Lamban Balak. Ini sebagai tanda tempat itu pusat kemargaan, tempatnya Saibatin tinggal.

KERTAS-KERTAS dan sisa bungkus nasi itu dibiarkan tergeletak di lantai kayu teras luar rumah adat Kebandaran Marga Balak, Kelurahan Negeri Olokgading, Telukbetung Barat, Rabu pekan lalu. Tak jauh dari sampah-sampah itu, lima ibu setengah baya dan seorang lelaki terlihat tertawa-tawa.

Di hadapan mereka beberapa penganan ringan tersaji. Seorang di antaranya, dengan santainya membuang sampah plastik ke bawah rumah adat itu. Selesai bercengkerama melepas penat di rumah adat itu, mereka meninggalkan begitu saja, botol-botol minuman mineral dan sampah plastik tergeletak di teras rumah.

Setiap waktu, Lamban Balak itu terus dijejali dengan sampah dan kesan tak terawat. Orang-orang seperti ingin menanggalkan kesan kemuliaan rumah adat yang sudah ada sejak 1618 itu.

Rumah berikut pekarangan yang luasnya lebih dari 1.000 meter persegi itu nyaris tenggelam di antara rumah-rumah mewah yang berdiri di sekitarnya.

"Kalau saya ada rezeki lebih, baru saya bisa ngebersihin semak-semaknya. Karena untuk ngebabat semak-semak ini, saya harus keluar uang Rp200 ribu lebih," kata Andi Wijaya, tokoh pemuda Negeri Olokgading, yang diberi amanat oleh masyarakat adat untuk merawat Lamban Balak.

Padahal, dulu rumah ini menjadi kiblat buat rumah-rumah yang ada di Negeri Olokgading. Andi menyebut jika pintu-pintu rumah yang ada di sekitar Lamban Balak harus menghadap ke rumah adat itu.

"Rumah-rumah itu dulunya mengelilingi Lamban Balak ini. Lihat saja, walau banyak rumah di sekitar Lamban Balak ini sudah direhab, tapi pintu utamanya tetap menghadap ke arah lamban ini, sebagai tanda pusat kemargaan, tempatnya Saibatin tinggal.?

Tilas Sejarah

Sejak 1618, rumah kepala marga ini mengalami beberapa kali perbaikan. Yang pertama saat Gunung Krakatau meletus pada 1883, lamban ini dihantam gelombang tsunami. Uniknya, meski rusak parah diterjang gelombang tsunami, tiang tengah lamban ini tidak rusak. Tiang yang menjadi penopang utama bangunan ini tetap berdiri.

Di dalam rumah adat ini juga terdapat payan (tombak) Lidah Setan milik kepala marga serta pedang Ngusikh Bajau (pedang pengusir bajak laut).

Selain itu, terdapat siger yang telah berusia ratusan tahun. Jauh sebelum Gunung Krakatau meletus, siger ini telah digunakan untuk upacara-upacara adat.

Lamban Balak ini seharusnya ditempati oleh Muhammad Yusuf Erdiansyah atau Gusti Pangeran Igama Ratu sebagai kepala Marga Balak. Takhta itu karena ia harus menggantikan ayahnya, Gusti Pangeran Ratu Marga. Namun, karena kesibukannya di Jakarta, Lamban Balak ini dipercayakan kepada Andi Wijaya.

Ditinggalkan sejak lama oleh Gusti Pangeran Igama Ratu, warga Negeri Olokgading seperti kehilangan panutan. Tak ada lagi tempat mengadu. "Kami seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Lihat saja, sekarang banyak rumah-rumah adat yang berubah jadi bangunan permanen. Mungkin kalau ada Gusti Pangeran, warga tidak akan mengubah rumah-rumah mereka apalagi sampai menjual tanah kepada pengembang-pengembang perumahan itu".

Karena itu, beberapa waktu lalu, tiga kemargaan yang berada di bawah Marga Telukbetung, yakni Marga Lunik, Marga Bumiwaras, dan Marga Balak, secara khusus menemui Gusti Pangeran Igama Ratu di Jakarta. Mereka meminta Gusti pulang ke Negeri Olokgading untuk meneruskan kebandaran. "Insya Allah tahun depan Gusti Pangeran pindah ke sini, termasuk anak dan istrinya.?

Asal Usul

Kelurahan Negeri Olokgading merupakan kebandaran pertama yang ada di Bandar Lampung. Marga Balak berasal dari Buay Runjung di Bengkunat, Lampung Barat.

Mulanya, daerah ini bernama Kampung Negeri. Namun, saat Gunung Krakatau meletus menenggelamkan hampir sebagian daratan Kampung Olokgading yang ada di tepian Sungai Kuripan.

Warga Olokgading kemudian meminta kepada kepala Marga Balak agar bisa tinggal di Kampung Negeri. Itu sehingga namanya berubah menjadi Kampung Negeri Olokgading.

Belakangan pada zaman kolonial, Belanda mengotak-ngotakkan kemargaan. Tiga marga pesisir, yakni Marga Lunik, Marga Bumiwaras, dan Marga Balak, disatukan ke dalam satu marga menjadi Marga Telukbetung. Masing-masing kepala marga atau Saibatin memimpin marga ini. Kepala Marga Telukbetung berada di bawah Marga Balak yang ada di Negeri Olokgading. (M1) Meza Swastika)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment