Sunday, November 17, 2013

Budayawan Menilai Festival Krakatau Belum Memuaskan.



BANDAR LAMPUNG (Lampost.co): Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ratusan suku bangsa, Indonesia punya banyak festival tradisional yang meriah. Salah satu festival tradisional terbesar di Indonesia di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Lampung yakni Festival Krakatau. Festival yang sudah diadakan untuk ke-23 kalinya memang bertujuan memperkenalkan budaya dan potensi wisata Lampung ke mata dunia.

Untuk penyelenggaraan kali ini, Kabupaten Lampung Selatan telah ditunjuk sebagai tuan rumah Festival Krakatau 2013. Kebetulan lokasi Gunung Krakatau memang menjadi bagian dari Lampung Selatan. Makanya Pemerintah provinsi Lampung mengubah penyelengaraan tempat festival yang selama ini kerap di kota Bandar Lampung.

Namun, dimata pengamat seni dan budaya Lampung menuju penyelengaraannya dari 12 hingga 20 Oktober mendatang, festival seni budaya dan pariwisata terbesar di Sumatera ini dianggap masih dari kata memuaskan. Hal itu yang dibicarakan dalam seminar sehari Lampost bertema Lampung Bangkit dari perspektif Membumikan Festival Krakatau 2013.

“Memang kabupaten Lampung Selatan memang pantas menjadi lokasi Festival Krakatau kali ini. Penyelenggaraannya dapat memajukan dunia pariwisata dan mendorong pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut, tapi saya lihat penyelenggaraannya masih belum bisa mengeksplorasi keinginan masyarakat Lampung,” jelas sastawan senior Lampung, Isbedy Stiawan di Lampost, Selasa (17-9) siang.

Acara yang digagas Lampost itu dihadiri berbagai kalangan pemerhati seni budaya dan pariwisata Lampung terkemuka, seperti Asaroedin Malik Zulqarnain (Sastrawan), Syaiful Irba Tanpake (penyair), Panji Utama (penyair), Teguh Prasetyo (Lampung Heritage), Karlina Lin (pengamat Budaya Sosial), Diandra Natakembahang (seniman), Daniel H. Ganie (Seniman), dan Oky Sanjaya (penyair).

Isbedy melihat festival Krakatau 2013 karena efek dari festival yang diadakan menggunakan uang rakyat di APBD Provinsi itu tidak belum mampu memuaskan harapan masyarakat Lampung. Terlebih masih banyak hal lain yang bisa dibidik Pemprov dalam meningkatkan seni budaya local.

“Persoalan ada banyak, seperti pariwisata desa di Pagar Dewa, Mesigit dan belum terekspos. Banyak kekayaan Lampung yang tidak terpelihara,” jelas pria yang juga berprofesi pengamat pariwisata Lampung ini.

Bahkan dia terang-terangan menilai festival semacam ini tidak diketahui masyarakat luas. Pasalnya selain kurang tersosialisasi luas, kurangnya akses menuju tempat perehalatan menjadi salah satu unsur kurangnya animo masyarakat untuk mengunjungi tempat acara tersebut.

“Selain keadaan geografis diujung Sumatera, jadi masyarakat agak malas kesana. Banyak juga daerah yang terisolir karena jalan belum banyak terhubung,” jelas dia lagi.

Tak hanya itu, sejumlah pemerhati juga melihat pelaksanaan Festival Krakatau di Lampung masih terkendala banyak hal.

“Pelaksanaan waktu festival sangat sempit sehingga pelaksanaannya terkadang buru-buru, akibatnya dalam implementasinya tidak maksimal. Tak hanya itu kondisi Krakatau yang dekat Banten memudahkan orang lebih banyak ekspos Krakatau sebagai sumber devisa dari sana,” ujar Asaroedin.

Lain halnya dengan Syaiful Irba tanpake yang melihat festival Krakatau hanya bisa dijual bila ada spirit keantusiasan dari semua stakeholder terutama masyarakat untuk mensukseskan acara tersebut. “Kita harus bangkitkan semangat masyarakat Lampung lewat spirit Krakatau. Itu untuk menjawab kurang meriahnya festival Krakatau sebagai promadona pariwisata yang kehilangan pamor,” keprihatinannya.

Panji Utama berpandangan berbeda yang melihat Festival Krakatau masih terjebak pada kurangnya sosialisasi terutama dalam memobilisasi potensi daerah yang ada. Sedangkan Teguh Prasetyo melihat festival Krakatau belum mampu mengangkat animo anak muda Lampung karena dari konten acaranya kurang mengakomodir keinginan kawula muda tersebut.

Sedangkan Dianda melihat tujuan Festival Krakatau yang cendurung untuk menjaring datangnya wisatawan dibanding mengembangkan potensi budaya Lampung menjadi titik kritikannya. “Festival Lampung harus mengangkat potensi masyarakat maupun adat istiadatnya yang terbengkalai,” tukasnya. (INSAN ARES/L3) Foto: Hendrivan Gumay

No comments:

Post a Comment