SELAIN keberadaan Lamban Balak yang menjadi ikon Negeri Olokgading, di
daerah ini pernah terdapat kerangka kapal Berouw. Kapal Angkatan Laut
Belanda itu terbawa gelombang tsunami saat Gunung Krakatau meletus pada
27 Agustus 1883.
Kapal Berouw itu terhempas hingga ke muara Sungai Kuripan. Belakangan saat terjadi banjir bandang tahun 1979, kapal itu terseret hingga ke jembatan Sungai Kuripan.
Kini, rangka kapal itu nyaris hilang, warga memereteli kapal itu dan menjualnya. Terdamparnya kapal Berouw itu juga dijadikan nama kampung di salah satu Kelurahan Negeri Olokgading, yakni Kampung Brau atau Berouw, merujuk pada nama kapal tersebut.
Kentalnya sejarah satu kampung di bilangan Kuripan ini memang layak dilestarikan. Dalam paragaf 5 Kawasan Cagar Budaya Pasal 45 Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bandar Lampung, Kelurahan Negeri Olokgading ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya bersama 13 kawasan lainnya.
Dalam Pasal 45 Ayat (2) perda tersebut, disebutkan bentuk pemanfaatan kawasan itu sebagai bentuk pelestarian budaya, revitalisasi serta mempertahankan keaslian cagar budaya tersebut.
Namun, belakangan Pemerintah Kota Bandar Lampung bersikap inkonsisten terhadap kawasan cagar budaya tersebut. Buktinya, para pengembang perumahan dibiarkan membabat habis kawasan cagar budaya itu, dan mengganti rumah-rumah adat khas Lampung dengan permukiman elite.
Tak hanya itu saja, meski telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, tak pernah sesenpun pemerintah memberikan bantuan.
Akibatnya, Andi Wijaya mengaku kerap kepayahan mencari uang untuk membayar listrik Lamban Balak. Ia juga kesulitan jika harus menyiangi semak belukar di halaman Lamban Balak. "Dari mana saya uang untuk ngerawat lamban," keluhnya.
Beberapa waktu yang lalu, ia sempat menemui kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung untuk meminta bantuan dana perawatan Lamban Balak. Tetapi jawaban yang didapatnya sangat mengecewakan.
"Mereka tidak menganggarkan biaya untuk perawatan Lamban Balak. Jadi, untuk apa mereka menetapkan Lamban Balak sebagai cagar budaya kalau tidak dibantu. Kami ini masyarakat, siap saja dengan program pemerintah, tapi kalau program itu hanya sekadar slogan, buat apa kami mendukungnya atau lebih baik dihapus saja sebagai kawasan cagar budaya kalau tidak diperhatikan. Biar kami saja sebagai masyarakat adat yang berusaha menjaganya,? kata Andi Wijaya.
Udo Z. Karzi menyebut pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kawasan cagar budaya, termasuk Negeri Olokgading. "Kalau memang sadar sejarah dan sadar akan budayanya, ya mereka harus bertanggung jawab, jangan hanya sebatas diatur dalam perda saja.?
Kalau hanya mengandalkan masyarakat, lanjutnya, mereka tentu akan terkendala biaya apalagi pemerintah tak pernah memberikan bantuan apa pun.
"Itu warisan sejarah, tapi kenyataannya kondisinya kini seperti hidup segan mati tak mau, rusak di mana-mana, tidak terawat, apalagi modernisasi terus mengepungnya dengan berdirinya perumahan-perumahan elite, sementara pemerintah seperti tak berbuat apa-apa,? kata dia. (Meza Swastika)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013
Kapal Berouw itu terhempas hingga ke muara Sungai Kuripan. Belakangan saat terjadi banjir bandang tahun 1979, kapal itu terseret hingga ke jembatan Sungai Kuripan.
Kini, rangka kapal itu nyaris hilang, warga memereteli kapal itu dan menjualnya. Terdamparnya kapal Berouw itu juga dijadikan nama kampung di salah satu Kelurahan Negeri Olokgading, yakni Kampung Brau atau Berouw, merujuk pada nama kapal tersebut.
Kentalnya sejarah satu kampung di bilangan Kuripan ini memang layak dilestarikan. Dalam paragaf 5 Kawasan Cagar Budaya Pasal 45 Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bandar Lampung, Kelurahan Negeri Olokgading ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya bersama 13 kawasan lainnya.
Dalam Pasal 45 Ayat (2) perda tersebut, disebutkan bentuk pemanfaatan kawasan itu sebagai bentuk pelestarian budaya, revitalisasi serta mempertahankan keaslian cagar budaya tersebut.
Namun, belakangan Pemerintah Kota Bandar Lampung bersikap inkonsisten terhadap kawasan cagar budaya tersebut. Buktinya, para pengembang perumahan dibiarkan membabat habis kawasan cagar budaya itu, dan mengganti rumah-rumah adat khas Lampung dengan permukiman elite.
Tak hanya itu saja, meski telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, tak pernah sesenpun pemerintah memberikan bantuan.
Akibatnya, Andi Wijaya mengaku kerap kepayahan mencari uang untuk membayar listrik Lamban Balak. Ia juga kesulitan jika harus menyiangi semak belukar di halaman Lamban Balak. "Dari mana saya uang untuk ngerawat lamban," keluhnya.
Beberapa waktu yang lalu, ia sempat menemui kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung untuk meminta bantuan dana perawatan Lamban Balak. Tetapi jawaban yang didapatnya sangat mengecewakan.
"Mereka tidak menganggarkan biaya untuk perawatan Lamban Balak. Jadi, untuk apa mereka menetapkan Lamban Balak sebagai cagar budaya kalau tidak dibantu. Kami ini masyarakat, siap saja dengan program pemerintah, tapi kalau program itu hanya sekadar slogan, buat apa kami mendukungnya atau lebih baik dihapus saja sebagai kawasan cagar budaya kalau tidak diperhatikan. Biar kami saja sebagai masyarakat adat yang berusaha menjaganya,? kata Andi Wijaya.
Udo Z. Karzi menyebut pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kawasan cagar budaya, termasuk Negeri Olokgading. "Kalau memang sadar sejarah dan sadar akan budayanya, ya mereka harus bertanggung jawab, jangan hanya sebatas diatur dalam perda saja.?
Kalau hanya mengandalkan masyarakat, lanjutnya, mereka tentu akan terkendala biaya apalagi pemerintah tak pernah memberikan bantuan apa pun.
"Itu warisan sejarah, tapi kenyataannya kondisinya kini seperti hidup segan mati tak mau, rusak di mana-mana, tidak terawat, apalagi modernisasi terus mengepungnya dengan berdirinya perumahan-perumahan elite, sementara pemerintah seperti tak berbuat apa-apa,? kata dia. (Meza Swastika)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment