Oleh Dian Wahyu Kusuma
Dua belas tahun berlalu sejak pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan mengatakan bahasa Lampung bisa punah dalam 3?4 generasi atau 75?100 tahun. Selama itu relatif tak ada upaya sistematis dan strategis dari para pihak untuk mencegah kemungkinan itu.
KELUH-KESAH, curahan hati, rasa tak percaya diri, dan sikap saling curiga antara pihak satu dan lainnya. Begitu yang mengemuka dari Seri Diskusi Lampung Bangkit III dengan tema Revitalisasi bahasa Lampung di Lampung Post, Selasa (22/10).
Terhadap tema ini pun penyair Ari Pahala Hutabarat berkomentar di Facebook, "Apa yang direvitalisasi? Memang kapan bahasa Lampung itu punya peran vital? Ini perlu diluruskan dulu untuk bisa menemukan solusi."
Namun, dosen FKIP Unila, Kahfie Nazaruddin, mengartikan revitalisasi bahasa Lampung sebagai upaya untuk menjadikan bahasa Lampung hidup dalam kegiatan berbahasa penuturnya sehari-hari. "Belajar bahasa Lampung dengan demikian adalah mempraktikkan bahasa Lampung dalam berbagai kesempatan," ujarnya.
Masalahnya, kata dia, bagaimana menghidupkan praktik berbahasa Lampung secara lisan dalam kehidupan sehari-hari. "Ini yang tidak kelihatan. Seharusnya setelah siswa belajar di sekolah, upaya selanjutnya adalah menciptakan komunitasnya, menciptakan kantong-kantong berbahasa Lampung," kata dia.
Menurut Kahfie, pengajaran bahasa Lampung itu harus diorientasikan kepada komunikasi dan jangan berorientasi pada tata bahasa. Sebab, kalau tata bahasa yang ditekankan, orang semakin jauh dari bahasa Lampung.
Gerakan Kultural
Dari sisi lain, sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. mengakui rasa terbuka orang Lampung saat mengobrol dengan orang yang bukan suku asli Lampung. Masyarakat Lampung memilih bahasa yang digunakan lawan bicara. ?Kami (orang Lampung) cuek dengan bahasa sendiri, dari dulu bahasa Lampung terpinggirkan bahkan sebelum NKRI,? ujarnya.
Transmigran dari Jawa, Bali, dan lain-lain ke Lampung diterima dengan baik di Lampung, bahkan identitas kultural dan bahasa yang datang tetap dipakai di Lampung, sampai nama-nama tempat pun dibawa.
Bukan hanya itu, masyarakat Lampung dinilainya tidak kompak. ?Pejabat yang memakai jas dan rapi itu tidak ada jiwa Lampungnya. Kalau saya jadi penguasa, saya ganti nama provinsi ini menjadi Provinsi Krakatau. Biar dikenal luas, daerah yang paling unik, dan antik, inilah Lampung,? kata lelaki yang mendirikan Sanggar Sastra Cakrawala Ide Anakmuda (CIA) 1985 ini.
Namun, staf pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) Jauhari Zailani melihat tidak pada tempatnya orang Lampung menyalahkan pendatang yang tidak bisa berbahasa Lampung. "Saya ingin belajar bahasa Lampung, tetapi saya jarang sekali mendengar orang berbicara bahasa Lampung. Orang kayak saya ini kan serbasalah karena tidak jelas identitas kulturalnya," ujarnya.
Untuk menghidupkan bahasa Lampung yang dibutuhkan adalah gerakan kultural, bukan gerakan struktural. "Bahasa itu kan budaya. Sebab itu, gerakan yang harus dilakukan adalah gerakan-gerakan kultural yang tidak boleh berhenti karena ada hambatan birokrasi," kata dia.
Senada dengan itu, sastrawan Isbedy Stiawan Z.S. mengatakan bahasa Lampung tidak menjadi bahasa keseharian masyarakat bukan disebabkan kompromis, demokratis, dan keterbukaan orang Lampung.
"Pernyataan ini klasikal alias ketidakmampuan orang Lampung menjaga bahasanya. Perbedaan dengan masyarakat Betawi, manusia Betawi benar tersingkir tapi budaya Betawi tetap lestari," ujarnya.
Lembaga yang memiliki kebijakan pertama yang mesti bertanggung jawab dalam pembudayaan bahasa Lampung adalah sekolah dan perguruan tinggi.
"Perlu juga dipertanyakan peran MPAL (Majelis Penyimbang Adat) dalam menjaga/menghidupkan bahasa Lampung sebagai bagian dari adat dan kebudayaan. MPAL jangan hanya mengurus pemberian gelar (adok), sedang adat lainnya, seperti bahasa, tak dipedulikan," kata Paus Sastra Lampung ini.
Dia pun mengusulkan agar muatan lokal bahasa Lampung di sekolah kembali dihidupkan. Begitu pula Unila kembali membuka program studi Bahasa Lampung, bila perlu strata satu. Dan Pemprov memberi ruang kerja bagi lulusan prodi ini.
Pengajaran Bahasa Lampung
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Lampung Warsiem mengemukakan kesulitan dalam belajar bahasa Lampung di sekolah. "Saat masuk Program Studi D-3 Bahasa Lampung hanya ada tiga orang yang bukan suku Lampung. Tapi saya termasuk haus dengan kosakata bahasa Lampung sehingga tidak sampai tiga tahun kuliah saya bisa berbahasa Lampung," ujarnya.
Pada saat yang sama, kata Warsiem, justru orang bersuku Lampung yang malu berbahasa Lampung. "Ada 13 subdialek bahasa Lampung. Ini kesulitan tersendiri. Tapi saya terus saja belajar berbahasa Lampung sembari mengajarkan kepada siswa," kata guru Bahasa Lampung SMA Alkautsar, Bandar Lampung, ini.
Warsiem mengeluhkan nasib bahasa Lampung yang tidak dipedulikan. Beberapa di antaranya berpindah ke guru kelas atau guru Bahasa Indonesia. "Bahasa Lampung terombang-ambing, terkubur di daerahnya sendiri," ujarnya.
Ketika ada poin peraturan Mendikbud 2011 yang menyebutkan pelajaran Bahasa Lampung bisa diintegrasikan dengan seni budaya atau terpisah sesuai kebijakan Pemerintah Pusat atau daerah, terjadi perdebatan.
Menurut dia, peraturan itu tidak sepenuhnya disampaikan saat itu dan nyaris Bahasa Lampung tidak masuk kurikulum. Ia dan guru bahasa Lampung lain terus berjuang untuk Bahasa Lampung ada di kurikulum sekolah.
Ade Siska, guru Bahasa Lampung, mengatakan guru di sekolah yang terjun langsung dengan siswa dalam pembelajaran bahasa Lampung harus diperhatikan. Ia kesulitan untuk melakukan sertifikasi guru bidang Bahasa Lampung.
Kode 062 Bahasa Daerah Lampung tidak ada di daftar sertifikasi. ?Banyak yang beralih ke sertifikasi guru kelas dan Bahasa Indonesia, akan hilang, punah nanti guru bahasa Lampung ini,? kata pengajar di SDN 2 Rawalaut, Bandar Lampung ini. (UZK/P1)
dianwahyu@lampungpost@co.id
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Oktober 2013
Dua belas tahun berlalu sejak pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan mengatakan bahasa Lampung bisa punah dalam 3?4 generasi atau 75?100 tahun. Selama itu relatif tak ada upaya sistematis dan strategis dari para pihak untuk mencegah kemungkinan itu.
REVITALISASI BAHASA LAMPUNG. Dari kiri ke kanan: sastrawan AM Zulqornain Ch., pengamat Unila Kahfi Nazaruddin, sastrawan Isbedy Stiawan Z.S, dan pengamat Jauhari Zailani. |
Terhadap tema ini pun penyair Ari Pahala Hutabarat berkomentar di Facebook, "Apa yang direvitalisasi? Memang kapan bahasa Lampung itu punya peran vital? Ini perlu diluruskan dulu untuk bisa menemukan solusi."
Namun, dosen FKIP Unila, Kahfie Nazaruddin, mengartikan revitalisasi bahasa Lampung sebagai upaya untuk menjadikan bahasa Lampung hidup dalam kegiatan berbahasa penuturnya sehari-hari. "Belajar bahasa Lampung dengan demikian adalah mempraktikkan bahasa Lampung dalam berbagai kesempatan," ujarnya.
Masalahnya, kata dia, bagaimana menghidupkan praktik berbahasa Lampung secara lisan dalam kehidupan sehari-hari. "Ini yang tidak kelihatan. Seharusnya setelah siswa belajar di sekolah, upaya selanjutnya adalah menciptakan komunitasnya, menciptakan kantong-kantong berbahasa Lampung," kata dia.
Menurut Kahfie, pengajaran bahasa Lampung itu harus diorientasikan kepada komunikasi dan jangan berorientasi pada tata bahasa. Sebab, kalau tata bahasa yang ditekankan, orang semakin jauh dari bahasa Lampung.
Gerakan Kultural
Dari sisi lain, sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. mengakui rasa terbuka orang Lampung saat mengobrol dengan orang yang bukan suku asli Lampung. Masyarakat Lampung memilih bahasa yang digunakan lawan bicara. ?Kami (orang Lampung) cuek dengan bahasa sendiri, dari dulu bahasa Lampung terpinggirkan bahkan sebelum NKRI,? ujarnya.
Transmigran dari Jawa, Bali, dan lain-lain ke Lampung diterima dengan baik di Lampung, bahkan identitas kultural dan bahasa yang datang tetap dipakai di Lampung, sampai nama-nama tempat pun dibawa.
Bukan hanya itu, masyarakat Lampung dinilainya tidak kompak. ?Pejabat yang memakai jas dan rapi itu tidak ada jiwa Lampungnya. Kalau saya jadi penguasa, saya ganti nama provinsi ini menjadi Provinsi Krakatau. Biar dikenal luas, daerah yang paling unik, dan antik, inilah Lampung,? kata lelaki yang mendirikan Sanggar Sastra Cakrawala Ide Anakmuda (CIA) 1985 ini.
Namun, staf pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Lampung (UML) Jauhari Zailani melihat tidak pada tempatnya orang Lampung menyalahkan pendatang yang tidak bisa berbahasa Lampung. "Saya ingin belajar bahasa Lampung, tetapi saya jarang sekali mendengar orang berbicara bahasa Lampung. Orang kayak saya ini kan serbasalah karena tidak jelas identitas kulturalnya," ujarnya.
Untuk menghidupkan bahasa Lampung yang dibutuhkan adalah gerakan kultural, bukan gerakan struktural. "Bahasa itu kan budaya. Sebab itu, gerakan yang harus dilakukan adalah gerakan-gerakan kultural yang tidak boleh berhenti karena ada hambatan birokrasi," kata dia.
Senada dengan itu, sastrawan Isbedy Stiawan Z.S. mengatakan bahasa Lampung tidak menjadi bahasa keseharian masyarakat bukan disebabkan kompromis, demokratis, dan keterbukaan orang Lampung.
"Pernyataan ini klasikal alias ketidakmampuan orang Lampung menjaga bahasanya. Perbedaan dengan masyarakat Betawi, manusia Betawi benar tersingkir tapi budaya Betawi tetap lestari," ujarnya.
Lembaga yang memiliki kebijakan pertama yang mesti bertanggung jawab dalam pembudayaan bahasa Lampung adalah sekolah dan perguruan tinggi.
"Perlu juga dipertanyakan peran MPAL (Majelis Penyimbang Adat) dalam menjaga/menghidupkan bahasa Lampung sebagai bagian dari adat dan kebudayaan. MPAL jangan hanya mengurus pemberian gelar (adok), sedang adat lainnya, seperti bahasa, tak dipedulikan," kata Paus Sastra Lampung ini.
Dia pun mengusulkan agar muatan lokal bahasa Lampung di sekolah kembali dihidupkan. Begitu pula Unila kembali membuka program studi Bahasa Lampung, bila perlu strata satu. Dan Pemprov memberi ruang kerja bagi lulusan prodi ini.
Pengajaran Bahasa Lampung
Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Lampung Warsiem mengemukakan kesulitan dalam belajar bahasa Lampung di sekolah. "Saat masuk Program Studi D-3 Bahasa Lampung hanya ada tiga orang yang bukan suku Lampung. Tapi saya termasuk haus dengan kosakata bahasa Lampung sehingga tidak sampai tiga tahun kuliah saya bisa berbahasa Lampung," ujarnya.
Pada saat yang sama, kata Warsiem, justru orang bersuku Lampung yang malu berbahasa Lampung. "Ada 13 subdialek bahasa Lampung. Ini kesulitan tersendiri. Tapi saya terus saja belajar berbahasa Lampung sembari mengajarkan kepada siswa," kata guru Bahasa Lampung SMA Alkautsar, Bandar Lampung, ini.
Warsiem mengeluhkan nasib bahasa Lampung yang tidak dipedulikan. Beberapa di antaranya berpindah ke guru kelas atau guru Bahasa Indonesia. "Bahasa Lampung terombang-ambing, terkubur di daerahnya sendiri," ujarnya.
Ketika ada poin peraturan Mendikbud 2011 yang menyebutkan pelajaran Bahasa Lampung bisa diintegrasikan dengan seni budaya atau terpisah sesuai kebijakan Pemerintah Pusat atau daerah, terjadi perdebatan.
Menurut dia, peraturan itu tidak sepenuhnya disampaikan saat itu dan nyaris Bahasa Lampung tidak masuk kurikulum. Ia dan guru bahasa Lampung lain terus berjuang untuk Bahasa Lampung ada di kurikulum sekolah.
Ade Siska, guru Bahasa Lampung, mengatakan guru di sekolah yang terjun langsung dengan siswa dalam pembelajaran bahasa Lampung harus diperhatikan. Ia kesulitan untuk melakukan sertifikasi guru bidang Bahasa Lampung.
Kode 062 Bahasa Daerah Lampung tidak ada di daftar sertifikasi. ?Banyak yang beralih ke sertifikasi guru kelas dan Bahasa Indonesia, akan hilang, punah nanti guru bahasa Lampung ini,? kata pengajar di SDN 2 Rawalaut, Bandar Lampung ini. (UZK/P1)
dianwahyu@lampungpost@co.id
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment