Tuesday, November 12, 2013

Wayan Mocoh : Membawa gamolan pering Ke Ranah Nusantara

NAMA panjangnya I Wayan Sumerta Dana Arta. Akan tetapi, kalangan seniman Lampung menyebutnya Wayan Mocoh alias Wayan Gendut karena porsi tubuhnya memang demikian.

Lelaki kelahiran Tabanan, Bali, 18 April 1971 silam ini merupakan sosok penting, bahkan sangat penting, dalam pengembangan dan pelestarian gamolan pering sebagai alat musik tradisional masyarakat Lampung dari Kabupaten Lampung Barat ini.

Mengapa demikian? Karena melalui upaya dan jerih payahnyalah formulasi nada pada alat musik gamolan pering terumuskan sebagai "laras pelog enam nada" demikian dirinya memberi nama. Yang jauh lebih penting lagi, Wayan adalah pensyiar gamolan pering pada berbagai institut sekolah seni di nusantara hingga saat ini.


Pria berbadan gemuk, berjanggut, dan berambut panjang ini memang punya ambisi memperkenalkan gamolan pering pada masyarakat seni nusantara dan kalangan akademisi di bidang musik, terutama musik tradisional. Tujuannya, agar alat musik yang menurutnya khas dan unik ini juga dapat menjadi bagian dari studi atau mata pelajaran pada sekolah ataupun institut seni di Indonesia.

"Ketika menjadi mahasiswa sekolah tinggi ilmu seni di Denpasar, Bali, beberapa tahun lalu, saya tidak menemukan alat musik ini. Atas dasar inilah saya berharap para sarjana seni, terutama seni musik tradisi, juga mengenal alat musik gamolan pering karena alat musik ini merupakan alat musik yang memiliki kekhasan dan keunikannya sendiri dibanding alat musik sejenis," ujarnya.


Kekhasan alat musik ini ada pada warna nada yang dihasilkan. Alat musik ini begitu kental dengan aroma khas masyarakat Lampung dan seolah menjadi cerminan dari logat atau gaya bicara suku Lampung. Alat musik ini juga merupakan satu-satunya alat musik laras yang seluruhnya menggunakan bahan atau material dari bambu atau pering.

"Di Bali ada yang serupa ini, tapi kotak dan resonansi suara dari kayu," ujarnya.

"Sistem menggantung ataupun mengunci bilah nada juga berbeda dari berbagai alat musik sejenis yang dapat ditemui pada khazanah alat musik tradisional nusantara. Di mana lidi pengunci diletakkan di atas, sementara yang ada pada umumnya berada di bawah. Peletakan ini justru memunculkan nilai estetis yang lebih dari gamolan pering. Hal ini juga diakui berbagai pakar seni di Bali," ujarnya.

Yang pasti, menurutnya, adalah teknik ataupun cara bermainnya juga khas. Hal ini dapat terlihat dalam cara memukul atau menabuh alat musik tersebut. Tangan kanan bergerak memainkan melodi, sementara tangan kiri berfungsi sebagai ketukan atau rhythm.

"Sementara di Jawa kedua tangan bergerak beriringan. Sedangkan di Bali satu tangan berfungsi sebagai bas dan tetap mengikuti tangan kiri," ujarnya.


Mutiara Bangsa dari Lampung

Perkenalan Wayan Mocoh dengan gamolan pering terjadi tatkala dirinya masih menjadi staf baru pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Provinsi Lampung. Ketika itu, akhir tahun 1997, dirinya melihat seniman gamolan pering bermain di aula Dinas Pendidikan. Sebagai lulusan sarjana seni, terutama seni musik tradisional, Wayan pun tertarik untuk melihat, menikmati, dan mulai belajar memainkan.

Masih ditahun yang sama, sisi akademis sebagai sarjana seni terusik tatkala membaca literer tentang gamolan pering pada sebuah buku yang ia dapat di perpustakaan di kantornya.

Buku itu menyebutkan jika gamolan pering atau cetik memiliki setengah laras pelog dan sebagian lagi laras slendro, sementara berdasarkan teori musik yang ia pelajari hal demikian tidaklah mungkin karena jarak nada pada laras pelog dan selendro tidaklah sama. Namun, sikap skeptis ini ia simpan dalam kepala.

Baru kemudian pada tahun 2005, tatkala dirinya ngamen alias rutin bermain musik di salah satu hotel terkemuka di Bandar Lampung, secara kebetulan ia mendapat pencerahan atas rasa skeptisnya pada beberapa tahun silam. Ketika itu pengurus hotel memintanya untuk bermain alat musik yang lain sebagai variasi pertunjukan.

Dia pun memilih alat musik tradisional seruling bali yang memiliki laras pelog. "Ketika dimainkan antara gamolan pering dan seruling bali, ternyata memiliki laras nada yang persis sama," ujar dia.

Dari sinilah, Wayan kembali menelusuri pemikiran skeptisnya. Bersumber pada berbagai literer alat musik tradisional, terutama alat musik laras, ia makin menemukan kebenaran atas pendapatnya.

Kemudian, ia pun mulai menyusun dan merumuskan laras nada pada alat musik tersebut dengan bekerja sama dengan Rajo Gamolan pering Syafril Yamin alias Mak Lil, sehingga terumuskanlah laras pelog enam nada dari gamolan pering.

Keliling Nusantara

Mulai tahun 2008 hingga 2012, Wayan Mocoh memulai ambisinya memperkenalkan gamolan pering. Pertama kali yang ia tuju adalah Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali. Untuk kemudian ISI Jogja, ISI Solo, STIS Bandung, STKW Surabaya, ISI Padangpanjang, dan Unhi Denpasar dalam bentuk workshop, hingga akhirnya pada beberapa institut seni tersebut gamolan pering menjadi mata kuliah pilihan yang dapat diambil oleh para mahasiswa musik.

Hebatnya, hal ini dilakukannya dengan swadaya alias dana pribadi. Komitmen Wayan terhadap gamolan pering berbuah manis dengan berbagai penghargaan yang ia raih. Mulai dari hak paten atas laras pelog enam nada serta pengakuan dari Muri.

Wayan juga mendapat penghargaan dari Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. dan terpilih sebagai mutiara bangsa tingkat nasional. Dari sisi akademis, penelitiannya tentang gamolan pering pun menjadi tesis pada gelar magister pascasarjana dari Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Bali pada tahun 2011.

Sebagai pendatang di bumi Lampung, Wayan punya prinsip di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjung. Begitu pula dengan kecintaan Wayan terhadap gamolan pering.

Sebagai seniman, ia pun memiliki keinginan untuk meninggalkan jejak ataupun warisan di bumi Lampung. Selain telah menemukan laras pelog enam nada pada gamolan pering, Wayan berkeinginan mempersembahkan Monumen Gamolan Pering sebagai sumbangsih komunitas seniman cetik atau gamolan pering. Semoga segera terwujud. (ABDUL GOFUR/S-2)

No comments:

Post a Comment