Wednesday, November 13, 2013

Masnuna (1932 - ? ) Benteng terakhir sastra Dadi Lampung.

BOLEH dibilang, sepanjang hidupnya digunakan mengabdikan diri pada dadi dan seni tradisi Lampung lainnya. Bagi Masnuna, dadi sudah menjadi bagian integral dari hidupnya.

Dialah yang melestarikan sekaligus menjadi penjaga seni dadi --salah satu bentuk sastra lisan Lampung. Ia memang dikenal luas karena kemampuannya melantunkan dadi. Walaupun begitu, ia tidak pernah mau menerima bayaran dari jasanya men-dadi.

Masnuna tetap konsisten mempertahankan keberadaan dadi dan tradisi lisan Lampung lainnya meski seolah tidak mendapat perhatian banyak pihak. Terbukti, hanya dia kini yang mampu men-dadi dengan segenap totalitas.

Generasi muda? "Mereka jelas lebih tertarik dengan orkes, musik pop, atau pesta-pesta yang jauh melenceng dari tradisi," kata Masnuna.

Akibatnya, kini hampir tidak ada generasi muda yang tertarik mempelajari dadi. Alasannya, sudah ketinggalan zaman dan sulit memahami bahasa dadi. Anaknya pun tidak begitu menguasai. Wajar saja Masnuna prihatin.

Masnuna lahir di Kampung Segalamider, Pubian, Lampung Tengah, tahun 1932. Bakat seninya mengalir dari ayahnya Dalom Muda Sebuway dan ibunya, Siti Aminah yang menganggap seni sastra (tradisi) sebagai sesuatu yang sakral dan karena itu harus dipelajari.


BOLEH dibilang, sepanjang hidupnya digunakan mengabdikan diri pada dadi dan seni tradisi Lampung lainnya. Bagi Masnuna, dadi sudah menjadi bagian integral dari hidupnya.

Dialah yang melestarikan sekaligus menjadi penjaga seni dadi --salah satu bentuk sastra lisan Lampung. Ia memang dikenal luas karena kemampuannya melantunkan dadi. Walaupun begitu, ia tidak pernah mau menerima bayaran dari jasanya men-dadi.

Masnuna tetap konsisten mempertahankan keberadaan dadi dan tradisi lisan Lampung lainnya meski seolah tidak mendapat perhatian banyak pihak. Terbukti, hanya dia kini yang mampu men-dadi dengan segenap totalitas.

Generasi muda? "Mereka jelas lebih tertarik dengan orkes, musik pop, atau pesta-pesta yang jauh melenceng dari tradisi," kata Masnuna.

Akibatnya, kini hampir tidak ada generasi muda yang tertarik mempelajari dadi. Alasannya, sudah ketinggalan zaman dan sulit memahami bahasa dadi. Anaknya pun tidak begitu menguasai. Wajar saja Masnuna prihatin.

Masnuna lahir di Kampung Segalamider, Pubian, Lampung Tengah, tahun 1932. Bakat seninya mengalir dari ayahnya Dalom Muda Sebuway dan ibunya, Siti Aminah yang menganggap seni sastra (tradisi) sebagai sesuatu yang sakral dan karena itu harus dipelajari.

Hidup dalam suasana penjajahan Belanda dan Jepang ikut menempa Masnuna menjadi pribadi yang kukuh dan pantang menyerah. Kegetiran hidup ini banyak mewarnai karya-karyanya.

Karena menganggap seni itu sakral, Masnuna rela berpuasa berhari-hari mengolah vokal agar bisa melengking nyaring dan menyelami dalam air sambil membaca memmang (mantra/doa). "Sekali menyelam dan menahan napas dalam air saya harus melafalkan tujuh mantra," kata Masnuna.

Prosesi menyelam sambil membaca mantra ini terus-menerus dilakukan rutin sejak kecil untuk mendapatkan nafas yang panjang. Sebab, untuk bisa nyuara (istilah ini dipakai Masnuna untuk menyebut kegiatan melantunkan berbagai sastra lisan seperti dadi, kias, dll), terutama dadi, dibutuhkan suara panjang. Apalagi untuk melantunkan dadi dibutuhkan teknik vokal yang mumpuni.

Maka, jangan heran pendengar dadi yang meluncur dari bibir Masnuna terdengar merdu. Meski Masnuna mengaku biasa-biasa saja saat mendendangkan dadi, orang yang mendengar akan terkesima.

Sejak remaja, sekolah sampai kelas IV sekolah rakyat, hingga menjadi ibu rumah tangga, Masnuna larut dalam seni. Selain dadi, ia mahir juga melantunkan berbagai seni tradisi lisan Lampung Pubian lain. Wajar saja jika peneliti sastra dari Amerika, Tim Smith, saat meneliti sastra lisan Pubian menjadikan Masnuna sebagai salah satu narasumbernya.

Masnuna menikah dengan Abdul Hasan, pemuda asal Tanjungkemala, Pubian, Lampung Tengah. Penikahannya ini tidak menyurutkan langkahnya untuk terus berkesenian. Dia menjadi guru dadi, pisaan, kias, babagh sughat, diker, dan mengaji. Kini, bakat keseniannya ia wariskan kepada putra satu-satunya, Abdul Somad St. Turunan yang menjadi penghulu di Tanjungkemala.

Selain telah tampil dalam berbagai acara adat di Lampung Tengah, Masnuna menjadi seniman andalan dalam acara Ragom Budaya Lampung (RBL), sebuah acara yang menampilkan berbagai kesenian tradisi Lampung di RRI Bandar Lampung setiap Sabtu malam. Dia juga pernah tampil membacakan dadi dalam Kongres III Cerpen Indonesia di Bandar Lampung (2002), Lampung Art Festival II (2003), Pertemuan Dua Arus (2004), dan HUT ke-30 Harian Lampung Post

No comments:

Post a Comment