Syarief Makhya
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
PERBINCANGAN menjelang pemilihan gubernur Lampung yang akan digelar tahun 2013 atau 2014 selalu mengerucut pada satu tema pokok: siapa yang akan menggantikan Gubernur Sjachroedin Z.P.? Bukan pada wacana perbincangan, apa yang menjadi problematika Lampung dan bagaimana problematika itu bisa diatasi. Bukan juga pada wacana menawarkan gagasan untuk perubahan. Jadi, isunya lebih fokus pada aktor. Lalu, beredarlah sejumlah nama yang mencoba memoulerkan dan menyosialisasikan diri kepada masyarakat lewat berbagai media.
Sebut saja Herman H.N., Berlian Tihang, Amalsyah Tarmizi, Alzier Dianis Thabranie, dan lain-lain. Tentu saja nama-nama tersebut memiliki alasan yang cukup berdasarkan ukuran yang mereka sudah pertimbangkan sebelumnya. Seperti, misalnya, merasa dirinya berhasil memimpin di sebuah kota atau kabupaten, lalu merasa layak untuk mencalonkan diri. Ada juga yang mencoba mencalonkan diri karena punya dana yang cukup, memiliki akses dengan partai politik, atau karena alasan berpengalaman memengaruhi dan memobilisasi dukungan masyarakat.
Dengan pertimbangan dan alasan-alasan seperti itu, terbentuklah opini bahwa untuk menjadi calon gubernur membutuhkan syarat yang tidak dimiliki semua warga Lampung. Syarat itu antara lain harus punya dana yang berlimpah, memiliki basis sosial, punya tim sukses yang berpengalaman, memiliki kedekatan dan didukung partai politik, memiliki jaringan politik, atau pandai mengelola isu kampanye. Warga Lampung yang tidak memiliki persyaratan demikian, walaupun memiliki kapasitas, punya integritas yang baik atau memiliki kualifikasi pendidikan doktor sekalipun, pasti tidak akan mencalonkan diri atau dicalonkan partai politik walaupun bisa saja menggunakan jalur independen.
Sebab itu, ruang persaingan dalam mencari pemimpin dibatasi konteks realitas politik. Konteks realitas politik yang terjadi dalam persaingan pemilihan jabatan kepala daerah tidak selalu melalui proses persaingan yang sehat di internal partai politik. Juga tidak melalui proses seleksi calon yang ketat dan demokratis karena sudah dikondisikan oleh realitas kepentingan pragmatis partai dan kepentingan ambisi politik si calon. Dalam perspektif demikian, siapa yang akan terpilih sebagai gubernur Lampung ditentukan oleh persepsi kepentingan elite partai atau mereka yang memiliki persyaratanpersyaratan tertentu yaitu uang, jaringan politik, tim sukses yang andal, dan seterusnya.
Implikasi Negatif Gambaran realitas politik siapa yang akan mencalonkan diri sebagai gubernur Lampung seperti digambarkan di atas tentu saja membawa implikasi negatif terhadap idealitas calon kepala daerah yang dipersepsikan publik. Semisal, calon harus harus visioner, berani mengambil terobosan, berpihak pada kepentingan publik, punya kapasitas dalam memecahkan problema publik, dan inovatif. Oleh karena itu, sosok yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak terlalu dipusingkan apa yang akan dan harus mereka lakukan ke depan apabila terpilih sebagai gubernur.
Sebab, yang terpenting adalah bagaimana memengaruhi dan meyakinkan masyarakat agar bisa dipilih. Caranya bukan dengan menawarkan gagasan-gagasan perubahan, melainkan dengan cara membangun hubungan emosional, alokasi distribusi alat peraga kampanye yang dinilai bermanfaat masyarakat kelas bawah, politik uang, mobilisasi tokoh-tokoh agama, adat, dan tokoh-tokoh ormas.
Hampir dapat dipastikan pola pilgub sudah bisa dibaca dan dipetakan. Rakyat berada dalam posisi menjadi objek politik yang diekspolitasi kandidat kepala daerah. Relasi calon kepala daerah dan rakyatnya menggambarkan hubungan dominatifekspoitatif, yaitu si calon memiliki kekuatan yang dominan dan mampu mengekspolitasi massa. Persaingan politik pun akan menjadi tidak rasional dan terjadi proses pembodohan politik. Masyarakat tidak berada dalam posisi untuk memilih berdasarkan pilihan yang otonom, karena sudah diintervensi berbagai kekuatan uang, fasilitas, dan janjijanji yang dimanipulasi seakan-akan untuk melakukan perubahan.
Tiga Kemungkinan Dalam situasi politik ketika masyarakat dihadapkan pada pilihan kandidat yang terbatas yang sudah ditawarkan partai politik, pilihan politik yang dilakukan masyarakat akan terbatas pada tiga hal. Pertama, pemilih akan bersifat apatis dan berpeluang untuk tidak memilih. Kedua, pemilih akan menentukan pilihannya karena dipengaruhi hubungan emosional (dukungan basis sosial, hubungan keluarga, hubungan etnis, dst), atau bisa juga karena pengaruh intervensi politik uang dan intervensi jaringan birokrasi pemerintahan. Ketiga, pemilih akan menentukan pilihan dari calon yang dinilainya terbaik dari calon yang ada.
Dengan tiga kategori tersebut, ruang bagi pemilih untuk menentukan calon yang dinilai ideal sangat terbatas. Oleh karena itu, arena pertarungan pilgub pada dasarnya bukan untuk menjawab perubahan perbaikan Lampung ke depan. Itu karena pilgub tidak memberikan ruang untuk melakukan persaingan politik pada basis penawaran gagasan untuk mengatasi problema publik dan akselerasi Lampung yang berkemajuan. Pilgub lebih condong dipahami sebagai arena persaingan elite politik dengan basis pada perebutan kekuasaan dengan berbagai cara.n
Opini Lampost. 10 Juli 2012.
No comments:
Post a Comment