Tuesday, July 17, 2012
Membaca “Mamak Kenut” Antara Tiram Rek Sumor.
Membaca bukunya Udo Z. Karzi “Mamak Kenut Orang Lampung Punya Celoteh” hukumnya wajib bagi mereka yang ingin mengenal lebih banyak tentang masyarakat Lampung. Mamak kenut sebagai tokoh hayalan yang diperkenalkan orang orang tempo dulu memiliki karakteristik yang kuat sebagai tokoh yang inkonsistensi, tokoh yang tak segan berubah rubah, baik sikap bicara dan aktivitasnya. Tetapi karakternya yang kontroversi justeru membuatnya semakin popular. Kebiasaannya berbicara apa saja dengan celotehannya itu membuat si tokoh mampu hadir dalam segala aspek kehidupan masyarakat lampung. Itulah mamak kenut menurut siempunya cerita.
Mamak Kenut, Mat Puhit, Udien, Minan Tunja, Radin Mai Iwoh dan paman Takur adalah tokoh yang bisa bicara masalah apa saja yang mereka anggap penting untuk dibicarakan, mereka bisa bicara tentang olahraga, cinta, dan prilaku a social seperti cuplikan dialog berikut ini : “ Kacau pikir Mamak Kenut. Bagaimana mungkin olahraga bisa maju kalau kerjaan Pemerintah hanya membikin seloga” … (hal 7). “ Minan Tunja sibuk bersolek. Ia mau mencari sebentuk cinta yang tak juga mampir di hatinya yang tengah hampa” … (hal 18).“Sementara itu kepala Mamak Kenut langsung berdenyut denyut membaca berbagai lead berbagai koran hari itu … (hal 53).
Buku ini saya harap merupakan buku pertamanya Udo Z Karzi, artinya akan ada buku kedua, ketiga dan seterusnya. Keisengan para tokoh di buku ini belum sepenuhnya dimunculkan penulis, ini baru sebagian kecil saja : “ ‘Nikmat’ kata Mamak Kenut begitu terbebas dari rasa sakit dan berhasil mengeluarkan udara dengan lancar. Mat puhit yang merasakan polusi udara segera menutup hidung serta memaki maki tak bis habisnya” … (hal 21) “Kebablasan adalah sebuah kemerdekaan, sekali waktu Mat Puhit mengeluarkan angina sebablas bablasnya. Meskipun Mamak Kenut menutup hidungnya, Ia tak harus memaki maki, tetapi malah berkata Good … good … good” … (hal 22). Banyak kontroversi yang dapat dilakukan oleh Mamak Kenut dan kawan kawan yang lebih cerdas, lebih konyol, tetapi secara kesatuan dan keutuhan cerita ini sebenarnya memiliki nilai yang pantas untuk kita renungkan bersama.
Pada buku ini ada 101 judul tulisan Udo Z. Karzi yang telah dimuat Harian Lampost sebelumnya. Seharusnya penulis juga menyelipkan beberapa tulisan baru yang sekalipun tidak dimuat oleh Lampost, tetapi memiliki peran penting, yaitu tulisan yang menautkan tulisan yang satu dengan tulisan tulisan lainnya agar tulisan ini menjadi lebih bersenyawa lagi. Penulis juga tidak sempat memperkenalkan karakter para tokoh tokoh yang dimunculkan, secara gamblang. Seharusnya masing masing tokoh itu memiliki karakter yang berbeda beda, bahkan bila perlu lebih bertentangan lagi, agar ekspressi pemikiran penulis dan masyarakat lainnya dapat lebih tertampung melalui karakter karakter mereka itu. Ada baiknya karakter para tokoh sudah dapat diperkenalkan di awal awal bahasan dalam buku ini.
Kalau buku ini ingin dikatakan mengangkat budaya Lampung, maka latar belakang pemikiran harus juga mengacu kepada falsafah Piil Pesenggiri, dengan melatar belakangi cerita ini dengan oemikiran filsafat daerah maka pembaca akan lebih merasakan keberadaan cerita ini di Lampung. Tidak cukup hanya itu, tetapi perlu juga lokasi dengan nuansa kelampungan lebih mengeksplotasi lokasi tertentu yang menatkan para pembaca ke daerah lampung, terkait sejarah, atau benda benda tertentu yang terpisahkan dengan Lampung.
Kalau penulis ingin tetaop mempertahankan lokasi Negarabatin tentu penulis harus kuat mengupayakannya, untuk memperluas cerita para tokoh sentral dipindahkan oleh penulis dari Negarabatin ke bandar Lampung, sehingga para tokoh tetapi telah bermental urban, kita berharap jangan sampai mental urban ini jangan sampai pembaca kita merasakan kehilangan atau kekurangan nuansa kekampungan Negarabatin. Walaupun pristiwa itu ada di Jakarta atau di Bandar Lampung, tetapi perumpamaan perumpamaan perumpamaan dan latar belakang pemikiran para tokoh hendaknya tetap konsisten mengekploitasi situasi kampung, sehingga suasana batin pembaca tetap terikat dan kembali ke Negarabatin untuk mendengarkan celoteh Mamak kenut dan kawan kawan. Oleh karenanya maka situasi Negarabatin juga sebaiknya telah diperkenalkan ditulisan awal buku ini. Dan nuansa Negarabatin tetap dipertahankan hingga ending.
Sebisa mungkin terdiri dari tokoh tokoh yang berusia panjang, tetap sering bertemu satu dengan yang lain, sehingga karakternya tetap hidup, untuk dapat dieksploitir oleh penulis. Saya tidak habis pikir mengapa Mat Puhit harus berpisah melancong ke Papua … (hal. 69), apa sih yang ingin dieksploitir di Papua itu. Dan mengapa pula Mat Puhit harus mati muda. Sebenarnya usia Mat Puhit harus dipertahankan untuk tetap hidup berpikir dan tetap berceloteh mendukung atau melengkapi celotehan Mamak kenut.
Kehilangan tokoh dalam suatu tulisan atau cerita, maka kita akan kehilangan karakter. Kehilangan karakter dalam menulis adalah sebuah musibah, hindari karakter yang sama pada tokoh yang baru dimunculkan, karena tak lazim. Meminjam istilah padang, " Nan hilang dapek bagabti, baganti indak kan sarupo, sarupo indak saparangai " walaupun tokohnya diganti tetapi “Indak kasarupo” walaupun sarupo tetapi “Indak Saparangai” Tulisan akan menjadi bagus manakala tokoh tokoh itu selain tidak serupa, juga mereka jangan seperangai, agar pikiran pembaca tidak ikut bias. Kalau penuklis ingin memperbanyak tokohnya maka penulis harus memberikan peran yang jelas dan memiliki andil yang kuat dalam jalannya cerita dan pemikiran yang ingin penulis sajikan.
Kita bisa membandingkan dengan tokoh Si Kabayan, sekalipun si Kabayan sudah hijrah ke Jakarta, tetapi model pakaian si Kabayan, ikat kepalanya, caranya tidur, makan dan juga bicara tetap saja seperti si Kabayan siorang kampung itu, Kabayan tetap saja menjadi kampungan, walau kadangkala nampak seperti, sekali lagi 'seperti' pintar. Dan orang yang ada di sekitar si kabayan tentunya tak asing lagi adalah Abah, Ambu dan Si Iteng. Yang masing masingh memiliki karakternya yang kuat dan berperan memancing dan menjelaskan kekonyolan Si Kabayan. Pemikiran penulis tidak harus sejalan dengan pemikiran tokoh yang kita eksploitir.
Setidaknya penulis dalam menulis buku buku berikutnya, harus memiliki benang merah pemikiran yang tegas dan tetap berusaha mempertahankan suasana kekampungan Lampung, karena bagi pembaca yang memang pernah mengenal dan bahkan akrab dengan tokoh Mamak Kenut, dia ingin membaca naskah naskah itu dengan rasa “Tiram” atau rindu. Sementara bagi pembaca yang lain barangkali dapat di kelompokkan sebagai pembaca “Sumor” atau nyumor, yang artinya ingin tahu, yang dalam bahasa Kabayannya “ Hayang Nyaho Na “. Dua tipe pembaca buku yang mengeksploitir tokoh yang sangat popular, harus mampu mengakomodir keinginan dua tipe pembaca ini, agar mereka tetap terikat untuk membaca tulisan yang lain lagi.
Saya bisa dikelompokkan sebagai pembaca pertama, yang ingin membaca dengan suasana batin yang tiram, tentu tidak ingin kehilangan nuansa yang selama ini selalu dirindukan, yaitu suasan batin kelampungan yang didukung suasana kekampungan pula. Tetapi tulisan Udo Z Karzi, bagi saya cukup asik untuk dibaca, dan bagi yang belum membaca saya anjurkan untuk membacanya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment