Monday, November 11, 2013

(Fokus) Meratapi Negeri Olokgading


Oleh Meza Swastika

BANGUNAN mewah dan perumahan elite terus mengepung Negeri Olokgading, kampung cagar budaya Lampung yang sudah ada sejak 1618.

Lamban balak.
Bangunan besar dua lantai bergaya art deco di Jalan Setia Budi, Telukbetung Barat, Bandar Lampung, itu terlihat mewah. Pagar besi setinggi 2 meter menyatu dengan kanopi besar di pekarangan rumah semakin mempercantik rumah yang baru beberapa bulan lalu selesai direhab ini. Di bagian teras terdapat taman kecil dengan beberapa pohon pelindung yang tampak teduh.

Rumah-rumah lain di sisi kanan dan kirinya pun seolah tak mau kalah. Semua bernada sama, bergaya modern, dan dihiasi profil-profil di setiap tembok rumah dan pagarnya.

Kondisi jejeran rumah mewah yang tampak baru ini sangat kontras dengan kondisi Lamban Balak di hadapan rumah-rumah ini, yang seolah merana.

Gulma alang-alang mengepung, beberapa talang air di rumah adat itu terlihat sudah keropos karena air hujan. Di beberapa bagian, lantai kayu rumah adat Kebandaran Marga Balak ini terlihat bolong menganga. Tripleks plafon yang mengelupas dan cat yang sudah mulai memudar.

Sampah-sampah plastik terlihat di setiap sudut rumah adat tertua di Bandar Lampung ini. "Saya enggak punya duit kalau setiap hari harus merawat Lamban Balak ini," ujar Andi Wijaya, tokoh pemuda Kelurahan Negeri Olokgading yang dipercaya menjaga Lamban Balak.

Meski telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dalam Perda RTRW Kota Bandar Lampung pada 2011, Kelurahan Negeri Olokgading nyaris tak seperti kawasan cagar budaya.

Sejak memasuki kelurahan ini, tak terasa lagi suasana kelampungannya. Rumah-rumah adat sebagai penanda sebuah kampung orang Lampung telah bersalin rupa menjadi rumah-rumah mewah.

Warga yang masih mempertahankan bentuk bangunan asli rumah panggungnya di sini pun bisa dihitung dengan jari. Satu-satunya yang masih menandakan Kelurahan Negeri Olokgading adalah kawasan cagar budaya sebagai kampung pertama di Bandar Lampung mungkin adalah halaman-halaman rumah yang luas dan panjang sebagai ciri khas rumah milik orang Lampung.

Andi Wijaya yang juga seniman tari bedana dan tari khakot mengaku ekspansi perumahan-perumahan elite di sekitar Kelurahan Negeri Olokgading memang menjadi salah satu intrusi warga sekitar. "Banyak warga yang akhirnya menjual tanah dan rumahnya ke pengembang perumahan kemudian pindah ke tempat lain.?

Di sisi lain, kebanyakan warga juga mengaku tak mampu jika harus mempertahankan kondisi bangunan rumahnya tetap asli dengan mempertahankan gaya rumah panggungnya. Sebab, material kayu yang digunakan adalah kayu-kayu berkualitas, seperti merbau atau meranti, sehingga mereka lebih memilih merehab rumahnya dengan material-material yang lebih permanen.

Andi Wijaya khawatir lama-kelamaan banyak rumah adat milik warga yang berubah bentuk, menjadi rumah-rumah yang lebih modern. Belum lagi, sikap ekspansif perusahaan-perusahaan pengembang perumahan yang mengincar kawasan ini sebagai daerah potensial untuk dibangun perumahan-perumahan elite di dataran tinggi.

Biasanya mereka (pengembang, red) membujuk warga untuk melepas tanahnya dengan iming-iming harga yang tinggi. Budayawan Lampung, Udo Z. Karzi, dalam bukunya Feodalisme Modern; Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan, mempertanyakan posisi pemerintah terhadap upaya pelestarian-pelestarian budaya Lampung. "Negeri Olokgading itu kondisinya sekarang seperti hidup segan mati tak mau," katanya.

Keberadaan peraturan daerah yang menetapkan Negeri Olokgading sebagai kawasan cagar budaya tak pernah ada implementasinya. "Setelah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, lantas apa yang mereka (pemerintah, red) lakukan? Selama ini mereka diam saja. Tugas mereka sepertinya hanya sebatas menetapkan kawasan itu sebagai cagar budaya dalam perda setelah itu selesai. Kalau seperti itu, percuma dan tidak ada gunanya". (M1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment