Oleh Budi Hutasuhut | budayawan, mantan jurnalis di Lampung Post | Status Facebook, Jumat, 9 Oktober 2015“Aku ini hanya seorang minak.” Syaifurrohman, intelektual pemuda alumni sebuah kampus di Kota Bandar Lampung, yang sehari-hari bekerja sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan swasta, bicara dengan nada yang rendah.
Hari itu, akhir September 2015 lalu, saya sengaja menghubunginya lewat telepon genggam, minta tolong agar dia bersedia mendatangi tokoh adat di kampungnya. “Sampaikan kepada mereka bahwa kita akan sosialisasi sebuah program yang penting bagi masyarakat adat,” kata saya.
“Sehebat apa pun saya membicarakan hal itu,” kata dia, “suara saya tak akan bermanfaat di hadapan Suntan.”
Mula-mula saya tak memahami ucapannya. Saya duga dia punya persoalan personal dengan tokoh adat yang dipanggil Suntan itu. Tapi, ternyata, dugaan saya itu keliru. Syaifurrohman kemudian bicara tentang adat, tentang budaya Lampung. Dia membeberkan persoalan adok.
Saya mencoba menyimak, dan ingatan saya mundur ke beberapa tahun lalu ketika saya terlibat dalam sebuah penelitian tentang kebudayaan Lampung di wilayah pesisir Lampung Barat. Saya mencoba bandingkan ingatan saya dengan situasi yang dihadapi Syaifurrohman.
Dan, benar, geografi dan demografi kampung di mana Syaifurrohman lahir dan besar, masuk wilayah pesisir Lampung. Dia tinggal di sebuah kampung tua di Kecamatan Marga Punduh, Kabupaten Pesawaran.
Istilah kampung tua pertama kali muncul di jaman Gubernur Lampung Oemarsono, dipakai untuk membedakan kampung lama dan kampung baru untuk kepentingan program pemberdayaan ekonomi kampung tua.
Di lingkungan ini, tinggal masyarakat pesisir Lampung, kelompok kultural yang menyebar mulai dari kawasan pesisir Way Semaka sampai pesisir Teluk Betung.(*)
Bagian Kedua.
Saya belum pernah ke Kecamatan Marga Punduh—kecamatan yang dimekarkan dari Kecamatan Punduh Pidada itu. Meskipun pada tahun 1997 saya pernah sampai ke Desa Maja dan mengagumi lamban-lamban yang berdiri di kiri dan kanan jalan raya.
Saya pernah menginap di salah satu lamban, tapi saya lupa lamban mana yang pernah saya tiduri. Tapi saya bisa membayangkan seperti apa kampung tempat lahir dan tinggal Syaifurrohman itu.
“Kampung saya ini induk semua kampung di Kecamatan Marga Punduh,” katanya.
Mau tak mau saya buka lagi catatan-catatan lama tentang kebudayaan Lampung. Saya menemukan tulisan lama yang membahas tentang stratifikasi sosial di lingkungan jelma Lampung. Statifikasi sosial itu dibagi atas hierarki pemberian adok (gelar dalam adat). Disusun secara vertikal, stratifikasi itu terdiri dari suntan, raja, batin, radin, minak, kemas, dan mas.
Stratifikasi ini tidak seperti pembagian “kasta” dalam kebudayaan Hindu. Kebudayaan Hindu di Nusantara membagi manusia ke dalam kasta brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Pembagian ini bertujuan melihat manusia secara vertikal ke dalam kelas-kelas sosial tertentu. Antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dipandang hidup dalam perbedaan derajat sosial yang sangat signifikan.
Pengaruh budaya Hindu pernah dominan di negeri ini. Di beberapa daerah, soal kasta ini masih berlaku hingga kini. Pengaruh kebudayaan Hindu ini yang melahirkan feodalisme, nilai yang dipakai kolonialisme Belanda untuk memporaporandakan seluruh warga bangsa.
Di Lampung, di lingkungan masyarakat yang nilai-nilai budayanya identik dengan ajaran-ajaran agama Islam, pembagian berdasarkan adok tidak bisa dipahami sebagai pengkastaan. Agama Islam, yang identik dengan semua nilai budaya Lampung, memosisikan setiap manusia ke dalam derajat yang sama di mata Yang Maha Kuasa.
Tapi, bila disebut stratifikasi sosial di lingkungan masyarakat budaya Lampung dipengaruhi kebudayaan Hindu—masih membutuhkan penelitian lanjut—tampaknya bisa jadi acuan. Sejumlah situs purbakala membuktikan adanya pengaruh itu. Sebut saja situs kawasan peribadatan Hindu di wilayah Lampung Timur. Tapi, sejauh mana kebudayaan Hindu mempengaruhi realitas kebudayaan Lampung hari ini, masih banyak yang kabur perihal ini.(*)
Bagian Ketiga.
Jika dalam kebudayaan Hindu kasta brahmana adalah kasta yang dimiliki oleh para pemimpin spiritual, ksatria dimiliki para pejabat dan punggawa kerajaan, waisya (diberikan kepada mayarakat kecil seperti pedagang, nelayan, dan kaum buruh), dan sudra untuk para hamba sahaya dan mereka yang memiliki pekerjaan hina. Dalam kebudayaan Lampung, stratifikasi sosial sangat ditentukan oleh garis keturunan ayah (patrilinear). Kasta paling atas disebut suntan, https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7595095880655128474#editor/target=post;postID=1875527023421892615;onPublishedMenu=posts;onClosedMenu=posts;postNum=0;src=linkdimiliki oleh anak pertama laki-laki dalam keluarga masyarakat marga. Raja dimiliki anak kedua, batin untuk anak ketiga, radin anak keempat, minak anak kelima, kemas anak keenam, dan mas anak ketujuh.
Pembagian kasta ini sudah berlaku dalam kehidupan social budaya manusia Lampung sejak lama. Suntan dalam masyarakat marga di Lampung memiliki kedudukan sama persis seperti seorang raja dalam sistem monarki. Segala dinamika dalam kehidupan sosial masyarakat memosisikan seorang suntan dalam kedudukan paling tinggi, dan setiap ucapannya merupakan titah bagi kasta-kasta lain di bawahnya.
Suntan mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemaslahatan rakyatnya. Sebab itu, rakyat akan melakukan apa saja untuk suntan, diminta atau pun tidak. Kehendak untuk “mengabdi” kepada suntan merupakan warisan leluhur, yang tidak tergantikan oleh apa pun.
Sebab itu, Syaifurrohman yang berasal dari strata minak, tidak akan pernah berani menyampaikan keinginan saya kepada suntan. Dia hanya akan menerima, mendengarkan, dan menjalankan apa yang disampaikan suntan. Bukan sebaliknya.(*)
Bagian Keempat.
Meskipun begitu, saya masih kesulitan memahami filosofi adok dalam kebudayaan Lampung. Sepengetahuan saya, orang-orang Lampung adalah salah satu masyarakat di Indonesia yang menjadi pemeluk teguh ajaran Islam.
Soal ini ditegaskan oleh cukup banyak kepustakaan. Dr A Fauzi Nurdin dalam sebuah bukunya, Muakhi (2005), membuktikan betapa antara nilai-nilai sosial manusia Lampung sejalan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Begitu teguh mereka memeluknya sehingga Islam dijadikan bagian dari jatidiri mereka.
Stratifikasi sosial jelas tidak ada dalam nilai agama Islam. Semua orang sama di mata Tuhan Yang Maha Esa. Atau, masyarakat Lampung ini seperti juga Bugis maupun Batak, adalah masyarakat budaya yang tetap mempertahankan berbagai bentuk peninggalan religio-kultural pra-Islam.
Di lingkungan masyarakat Bugis, ada trah bangsawan tradisional yang selama ratusan tahun menempati lapisan teratas tatanan masyarakat. Mereka menandaskan diri sebagai keturunan langsung dari dewa-dewa purba. Tetapi trah ningrat penuh warna ini bukanlah despot dengan kekuasaan absolut: mereka memperoleh kekuasaan dengan semacam konsensus sosial yang ditandaskan oleh rakyat yang menawarkan kekuasaan itu kepada mereka.
Di Tanah Bugis, dan di tanah saudara-saudaranya di Sulawesi Selatan, rakyat memang lebih dahulu ada ketimbang raja. Dan rakyat yang tak puas pada pemerintahan seorang raja, bisa bertindak memakzulkan raja tersebut, atau membubarkan diri sebagai rakyat lalu berpindah menyeberangi laut untuk mendirikan komunitas baru yang lebih bermartabat, sambil mungkin tetap membawa cerita tentang tappi’ (pendamping jiwa), tentang kawali dan badik, yang memilih tuannya sendiri.
Saya putuskan tidak meminta Syaifurrohman. Saya pikir, ada baiknya saya sendiri yang bicara. Saya malah jadi tertarik untuk memahami persoalan budaya ini.(*)
Kalau saja apa yang ditulis oleh Budi Hutasuhud ini benar sebagiannya saja, ini bagi saya adalah kabar bagus, artinya para pemangku keadatan di Lampung masih memiliki kewenangan dan wibawa minimal di lingkungannya.
ReplyDeleteKita lihat sendiri betapa gigihnya Edwarsyah Prenong menegakkan persatuan di lingkungan pewaris Kerajaan Skala Brak, dan itu hasilnya masih kecil sekali dibanding dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan.
Dari mana kita menghitung kecilnya pengaruh itu, adalah dari kecilnya derajat keterpeliharaan budaya dan bahasa yang dijunjung oleh para pemangku adat itu. Kewibawaan dan kekuasaan para pemangku adat sudah lama mulai sirna sejalan dengan sirnanya budaya dan bahasa Lampung. Tambahkan narasumbernya untuk bisa menulis dengan hasil yang baik. Itu pendapat saya sobat, kebetulan saya di dalam komunitas seperti apa yang anda tuliskan itu. Maaf jika terlampau reaktif.