BUDI P.HATES
Bagian 1.
Di Kabupaten Lampung Barat, di ujung paling Utara dari Provinsi Lampung, ribuan tahun lalu sudah tercipta peradaban manusia yang menghasilkan menhir, dolmen, batu datar, batu berurut, dan batu kandang. Benda-benda zaman megalitik itu tersebar pada puluhan titik di kabupaten tersebut. Tapi, seolah tidak ada artinya bagi pemerintah daerah, kawasan arkeologik yang tidak ternilai itu, terlantar dalam rerimbun kebun kopi rakyat dan gairah anak-anak muda memadu cinta.
Kabupaten Lampung Barat, sebuah daerah hasil pemekaran Kabupaten Lampung Utara, selalu disinggung dalam setiap pembicaraan tentang geneologi orang Lampung (ullun Lappung) dan dikaitkan dengan keberadaan Gunung Pesagi di daerah itu. Dari kaki gunung yang senantiasa diselimuti kabut itu, telah lahir foklor-foklor yang menguatkan mitos tentang asal-muasal orang Lampung. Sebut saja foklor Skala Beghak, disebut sebagai sebuah kerajaan di kaki Gunung Pesagi dengan masyarakat marga yang terdiri dari empat buay: Bejalan Di Way, Belunguh, Nyerupa, dan Pernong.
Keturunan keempat buay inilah menjadi penghuni Kabupaten Lampung Barat, yang awalnya menyebar dari daerah asalnya perkampungan (tiyuh) di kaki Gunung Pesagih untuk membuka umbul (calon perkampungan) di daerah-daerah lain dan kemudian dijadikan tiyuh baru. Kota Liwa, ibu kota Kabupaten Lampung Barat, merupakan sebuah tiyuh yang muncul belakangan. Tiyuh yang dibangun masyarakat kebuayan itu perkembangannya lebih pesat dibanding tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi—begitu juga asal muasal tiyuh di daerah lain di Provinsi Lampung. Berdasarkan data etnohistori yang diperoleh Balai Arkeologi Bandung saat penelitian pada tahun 2000 dan 2002 di Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) di Kecamatan Tulangbawang Udik, Minak Kemala Kota dan Minak Ratu Guruh Malay—leluhur masyarakat di tiyuh setempat—disebut berasal dari Gunung Pesagi (Saptono, 2002: 91-94).
Seperti ketika orang menyinggung Pusuk Buhit Sianjur Mula sebagai asal muasal orang Batak, maka Gunung Pesagi diposisikan sebagai asal-muasal orang Lampung (ullun Lappung). Mereka yang tak percaya akan menilai geneologi semacam itu sangat kuat dipengaruhi pemikiran mitos, apalagi setelah Prof. Hilman Hadikusuma mengumumkan tiga skenario asal-muasal ullun Lappung dalam bukunya. Salah satu skenario itu menyebut ullun Lappung merupakan keturunan Ompu Silampoang yang mengungsi dari Sumatra Utara setelah sebuah gunung berapi—kemudian menjelma menjadi Danau Toba -- meletus di daerah itu. Kebenaran mitologi itu tetap dipercaya hingga kini, karena setiap orang tampaknya sukar untuk menemukan keterkaitan antara Gunung Pesagi dengan tiyuh-tiyuh lain di wilayah Provinsi Lampung.
Kondisi ini disebabkan perpindahan masyarakat dari tiyuh awal di kaki Gunung Pesagih ke umbulan yang dipersiapkan menjadi tiyuh, lebih banyak didorong oleh keinginan-keinginan mendasar dari masyarakat marga yang pindah untuk membentuk masyarakat baru yang memiliki sistem sosial berbeda dari masyarakat awal di tiyuh awal itu. Ketika sebuah daerah perpindahan masih berupa umbulan, daerah itu memiliki keterkaitan dalam segala sistem sosial budaya dengan system sosial budaya yang berlaku di tiyuh awal. Namun, setelah umbulan meningkat statusnya menjadi tiyuh, banyak dari masyarakat di daerah yang menjadi tiyuh baru itu akan membangun system sosial budaya sendiri. Meskipun banyak dari nilai-nilai budayanya masih mengadopsi nilai-nilai awal yang dibawa dari tiyuh awal, namun perubahan sistem sosial budaya mesti menghasilkan sistem pemerintah baru.
Masyarakat Lampung pada umumnya masyarakat adat. Di dalam masyarakat adat berdasarkan keluarga, dikenal istilah batin (pemimpin adat) dan masyarakat. Batin merupakan lingkungan keluarga adat yang oleh Belanda disebut sebagai perwatin (kaum priyanyi kalau dalam lingkungan masyarakat Jawa). Dalam sistem administrasi pemerintahan zaman Belanda kaum perwatin ini biasanya diberi kedudukan sebagai pesirah atau kepala kampung.
Sedangkan masyarakat biasa adalah rakyat (di zaman belanda disebut morwatin) dan sepanjang hidupnya selalu akan menjadi rakyat biasa di mata sistem adat. Tapi, di zaman Belanda melalui politik adu domba karena para batin tidak mau patuh pada Belanda – ini dibuktikan adanya pemberontakan oleh Radin Intan (bagian dari keluarga batin di Keratuan Darah Putih) terhadap Belanda—morwatin acap diangkat menjadi pesirah atau kepala kampung yang kemudian menabalkan diri sebagai keluarga batin bentukan Belanda.
Pemahaman tentang batin berangkat dari garis keturunan ayah (patrilinear) atau biasa disebut keluarga batin, yang memosisikan anak laki-laki sebagai ahli waris paling sah kepemimpinan adat. Anak sesungguhnya dalam keluarga Lampung adalah anak laki-laki, tetapi anak laki-laki pertama merupakan anak paling terhormat. Ada hirearki dalam lingkungan masyarakat adat Lampung yang tidak tergoyahkan, yang oleh Belanda ditentang karena membuat masyarakat Lampung jadi berkasta.
Dalam hirearki masyarakat adat tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi, posisi tertinggi dari keluar batin dijabat oleh anak laki-laki bertama dan diberi gelar Suntan. Berturut-turut kemudian anak kedua bergelar Raja, anak ketiga bergelar Batin, anak keempat Radin, anak kelima bergelar Minak dan seterusnya. Seorang Suntan merupakan seorang junjungan, penentu segala bentuk dinamika kehidupan masyarakat adapt, dan tidak akan tergantikan oleh anak kedua dan seterusnya sekalipun oleh kematian. Posisi itu hanya akan digantikan oleh anak pertama Suntan yang penobatannya dilakukan melalui sebuah acara adat yang disebut pepadun (singgasana raja).
Hierarki adat yang begitu ketat, mengalami perubahan makna yang sangat keliru setelah tradisi perpindahan dari tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi. Munculnya umbulan-umbulan yang kemudian menjadi tiyuh-tiyuh dan tersebar di berbagai pelosok Provinsi Lampung, membuat masyarakat di tiyuh-tiyuh baru itu melepaskan segala bentuk keterkaitannya dengan tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi. Termasuk dalam perubahan sistem adat, meskipun masih dilakukan adopsi terhadap sistem adat dari tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi.
Di lingkungan tiyuh baru, masyarakat akan menjadi masyarakat adat yang baru, yang juga membutuhkan kehadiran keluarga batin sebagai keluarga pemimpin adat. Keluarga batin di tiyuh baru ini merupakan keluarga pembuka umbulan, dimana posisi Suntan dipegang oleh motor pembuka umbulan.
Dalam perkembangan kemudian, banyak dari masyarakat di tiyuh-tiyuh baru itu menghapus segala bentuk keterkaitan (hubungan) dengan tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi. Penghapusan atau penghilangan ini berkaitan dengan kokohnya posisi kepemimpinan adat di hadapan masyarakat adat, sehingga berbagai kegiatan adat di tiyuh baru akan selalu memosisikan pemimpin adapt sebagai Suntan. Jika tidak diputus, posisi Suntan pemimpin adat pada tiyuh baru itu tetap berada di bawah bayang-bayang Suntan pada tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi.
Bersambung (Masyarakat Tiyuh Baru Lebih Dinamis)
Sumber : Catatan pada facebook Budi P. Hates.
Diandra Natakembahang
Luar biasa, sebuah catatan dan analisa yang bergizi dan menggelitik terutama jika dilihat dari faktor bahwa Puakhi Budi adalah Ulun Lampung yang datang dan berangkat dari clan Sumatera Utara, Lanjutkan Puakhi.............
06 April jam 18:58
Budi P Hatees
LK: Setuju, Bang. Ada Diandara di sini. Jadikan Lampung Barat Pusat Kebudayaan Lampung. Situs-situs Saya sendiri sudah memilih cara mendirikan Dewan Kebudayaan Lampung (Lampung Culture Center) bersama sejumlah dosen dan tokoh adat Lampung.
06 April jam 20:00
Oky Sanjaya
terbuka dan terbukalah semua...
06 April jam 21:58
Muhammad Aqil Irham
kita berterimakasih kepada Budi yang dengan sabar mengumpulkan informasi dan data sejarah kelampungan. kemudian coba kt diskusikan & diteliti apa kiprah raja-raja/sutan2/dalom/pangeran dlm perubahan sosial kontemporer? di mana posisi sosial-politik mereka skrg
Kam pukul 17:51
Budi P Hatees
Oky: sudah!
WS: Jengki, terima kasih kembali.
Imelda: apakah yang diinginkan dengan semua ini? yang terjadi dengan lampung bukan sekedar proses modernisasi. lampung sudah mencapai apa yang sebetulnya dicari orang zaman sekarang yaitu peradaban. Pada sejumlah tiyuh (kampung tua) di Lampung, selalu ditemukan pertapakan berupa benteng dengan kenali (parit) dan pembagian ruang-ruang seperti lapangan (publik spare), pasar, perkantoran, perkampungan yang menunjukkan kampung-kampung itu pada awalnya sudah moderen. Tata kota seperti itu bisa ditemukan disebagian besar kampung di Tulangbawang. Kenali dan benteng hanya muncul dari masyarakat yang telah mengenal strategi militer dan itu hanya dihasilkan oleh masyarakat yang memiliki sistem yang jelas. ... Lihat Selengkapnya
Apa yang ingin dicapai dengan mengungkap semua ini? Pertanyaan saya balik: "Kemana semua yang sudah dicapai orang lampung selama ini?"
MAI: Bang Aqil, itu pertanyaan subtansial. Sekelompok masyarakat porwatin di Tanggamus pernah mengusulkan kepada Pemda agar di kampung mereka dibangun lamban untuk Pangiran. Padahal, Pangiran masyarakat kampung itu sudah lama merantau dan tidak ada lagi ahli waris. Mereka memutuskan akan membangun LAMBAN AGUNG agar di kampung mereka ada rumah Pangiran meskipun tidak punya Pangiran lagi. Yang penting ada Lamban Agung itu. Sayangnya, Pemda tak memahami konsep budaya seperti itu dan tidak memenuhinya. Mereka (seperti kebanyak masyarakat Lampung) hidup tanpa pemimpin adat (komunitas batin).
Kam pukul 19:56
Oky Sanjaya
pergeseran nilai kelampungan yang tidak positif membawaku pada jalan optimis bahwa; sesuatu (yang sengaja ditutupi) telah terbuka. sesuatu yang disengaja itu akan ketahuan dalangnya. Aku teringat diskusi sastra Impian Usai WS di UKMBS Unila. Pesoalannya bukan siapa benar siapa salah tapi: Spiritualitas Lampungnya, mana? (mengingat perkataan WS ... Lihat SelengkapnyaKunci puisi-puisi saya adalah spiritualitas Bali). Jika kau datang ke Bandarlampung kita akan tertipu dengan menara sigernya. tapi jika kau datang ke makam-makam tua kau akan tahu spiritualitas watak masyarakat kami yang beradab. Kemana semua yang sudah dicapai orang Lampung selama ini? Dikanik Buha.
Fachruddin Dani
Lampung memang unik, bukan saja menhir, dolmen, batu berlubang dan batu bergores, tetapi di Kalianda diketemukan kapak primbas dan di Krui diketemukan sampah kerang. Lebih unik lagi di situs Pugung Raharjo, diketemukan budaya megalitik, prasasti dan naskah Islam dalam satu situs yang masih insitu. Luar biasa. Karena itu semua berada pada periode periode yang berbeda. Jadi Lampung ini memang sudah lama dihuniu manusia.
Sayang catatan Budi P. hates ini bunga rampai yang melilit kemana-mana tidak fokus pada satu permasalahan. Tapi gak apa ini sudah sangat bagus.
Menjadi catatan pentiung bahwa dahulu masyarakat menggunakan sungai sebagai sarana transportasinya, sehingga situs situs itu benyak bertebaran disepanjang aliran sungai sungai, tetapi areal sungai semakin mengecil, sehingga mengesankan mereka hidup di kaki bukit.... Lihat Selengkapnya
Sejarah mencatat kedatangan para perompak laut yang menelusuri sungai yang akhirnya dirasakan semakin mengusik ketenangan penduduk, yang juga menjadi faktor penyebab pesebaran masyarakat dari satu tempat ke trempat lain.
Tetapi perlawanan terhadap perompak tetap dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya pimpinan perompak dapat ditangkap, leher dan badannya dipisahkan, dan kepalanya dikubur di "Makam Cangok" Bukit Kemuning"
Kanwil Depdikbud Provinsi Lampung telah membebaskan telah membebaskan lahan situs sehingga situs tetap insitu, tetapi dengan kemampuan yang terbatas, lahan yang dibebaskan hanya sebatas zona inti. Padehal seharusnya zona penyangga situs harus dibebaskan juga. Pemerintah Pusat pada waktu itu berharap banyak agar Pemerintah Daerah berpastisipasi dalam pemeliharaan, pemanfaatan dan penjualan serta membebaskan zona penyangga.
Tetapi justeru stagnasi terjadi pada era otonomi, karena Dinas Pembina lebih cenderung menjual tinimbang memelihara dan mengembangkan. Tetapi ini semua tidak terlepas dari keterbatasan dana
26 menit yang lalu ·
Fachruddin Dani
Perkembangan di lampung tentu saja terbawa oleh arus perjalanan sejarah. Dari peradaban megalitik, prasejarah, sampai mengenal baca tulis yang ditandai dengan prasasti prasasti, Hindu, lalu masuk era Islam dan akhirnya babak penajajahan, Jadi jika kita selalu saja menginginkan adanya nilai nilai budaya lampung yang katanya genuin.
Piil pesenggiri umapamanya, yang sangat dipengaruhi oleh Islam, islam masuk antara lain melalui Banten. Maka yang terjadi adalah akulturasi budaya.
Sebenarnya tidak ada budaya yang orisinal, asli, budaya yang kita miliki ini adalah hasil kontak kontak budaya. ... Lihat Selengkapnya
Saya tidak sependapat dengan pihak pihak yang mengatakan bahwa Lampung ini semula menjadi jajahan perompak. karena buktinya akhirnya masyarakat berhasil melumpuhkan perompak dan membunuh pimpinan mereka.
Demak, Cirebon dan Banten juga bukan Kesultanan penjajah yang menjajah Lampung, karena karakter Kerajaan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten adalah sebagai Kerajaan dan Kesultanan dakwah. Yang kita dahulu tahu ada dua pihak yang menyelenggarakan dakwah yaitu "Ilmuan yang Saudagar" dan "Ilmuan Yang Kewsatria"
Hasil penelitian "Islamisasi" yang terekam di wilayah aliran sungai di Tulang bawang dan Sekampung menunjukkan adanya makam makam dari kedua unsur tersebut. Jangan heran karena wilayah Lampung ini memang merarik bagi para saudagar tingkat internasional, karena Lampung penghasil rempah rempah yang menyemarakkan pelabuhan Banten.
10 menit yang lalu
No comments:
Post a Comment