Kongres Masyarakat Adat
C. WAHYU AHRWO DAN NAWANG TUNGGAL
Kongres Masyarakat Adat Nasional atau KMAN III di Pontianak, Kalimantan Barat, 17-21 Maret 2007, berakhir dengan catatan penting: rawannya posisi masyarakat adat dan hukum adat ketika berhadapan dengan politik kepentingan negara di satu sisi, dan pragmatisme kepentingan modal di daerah.
Sebagai forum langka empat tahunan yang mempertemukan "keluarga bangsa" Indonesia melalui 850 komunitas adat, keluarnya Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh (JKMA) dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN ) di hari terakhir kongres misalnya, menjadi indikasi centang-perenangnya pemahaman masyarakat adat akan posisi mereka.
Di sisi lain, pengalaman buruk komunitas adat akibat tarikan kuat kepentingan politik demi tujuan di luar komunitas adat itu sendiri, telah menimbulkan penolakan terhadap peran negara, apalagi jika negara melalui birokrasinya cenderung menggerogoti eksistensi dan aspirasi politik komunitas masyarakat adat.
Keluarnya JKMA yang mewakili 74 kampung adat Aceh disebut-sebut karena buntunya dialog karena AMAN sebagai organisasi membutuhkan struktur organisasi tersentral sehingga kekuasaan organisasi itu harus berjenjang di tingkat pusat, wilayah (provinsi), daerah, dan seterusnya. "Kami trauma dengan mekanisme struktural organisasi. Kami menghendaki masyarakat adat tidak dibedakan dalam jenjang-jenjang organisasi di berbagai wilayah," kata Yurinus, Koordinator JKMA.
Bagi Wakil Ketua I KMAN Mina Susana Setra, pembuatan hierarki organisasi, merupakan risiko dari penguatan organisasi AMAN untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat adat.
Secara emosional, situasi organisasi adat, apa boleh buat bagai buah simalakama. Keunikan dan lokalitas tak mudah padu dengan kebutuhan organisasi yang solid, dengan garis komando lempeng yang (belum tentu juga) kokoh.
Salah satu hasil kongres yang berakhir pada dini hari 22 Maret 2007 kemarin adalah keluarnya 17 resolusi dari AMAN. Beberapa di antaranya tetap masih berkutat pada persoalan peran masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Butir pertama resolusi misalnya, AMAN mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melaksanakan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Konkretnya, seluruh Undang-Undang (UU) sektoral yang melecehkan hak-hak masyarakat adat seperti UU No 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No 11/1967 tentang Pertambangan harus diganti dengan UU Pengelolaan SDA yang menyeluruh, lintas sektoral, dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
AMAN juga menuntut pemerintah agar mencabut seluruh izin eksploitasi SDA di dalam wilayah adat yang diberikan tanpa persetujuan dari masyarakat adat.
Terkait dengan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat, AMAN mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat UU khusus sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 18B Ayat (2) Amandemen Kedua UUD 1945.
Diduga karena tekanan terus-menerus kepentingan kapital, dan kepentingan politik negara di pihak lain melalui peraturan, bahkan UU yang menguntungkan birokrasi departemen terkait, Sekretaris Jenderal AMAN Periode 2007-2012 Abdon Nababan di Pontianak, Rabu (21/3) malam, dalam pidatonya bahkan mendorong AMAN mesti masuk ke ranah politik, dan menjadikannya sebagai kekuatan politik. Tak ada jalan lain.
Abdon mengemukakan perjuangan terhadap pengakuan akan hak masyarakat adat akan lebih efektif jika kader masyarakat adat masuk dan mewarnai proses politik di setiap tingkatan. Untuk itu, AMAN akan bergerak menjadi sarana dalam mewujudkan demokrasi yang murah agar kader AMAN dapat berkiprah di kancah politik daerah maupun nasional.
"Untuk menjadi calon bupati saja orang harus ’membeli’ partai hingga Rp 10 miliar. Belum lagi untuk ’membeli’ tim suksesnya. Dengan mengonsolidasikan masyarakat adat, AMAN bisa punya posisi tawar sekaligus sarana yang murah saat kader yang akan berkiprah di politik itu harus berhadapan dengan partai politik," kata Abdon Nababan.
Seberapa tertindas masyarakat adat sebagai komunal mengalami trauma politik, agaknya bisa dilihat di sepanjang kongres ketiga di Pontianak ini. Selain gugatan keras dalam berbagai forum, persidangan, berbagai spanduk, dan suvenir-suvenir kaos bertuliskan kalimat bernada panas ini: "Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan mengakui negara". Tulisan itu terpampang pada spanduk di pagar Universitas Tanjungpura, Pontianak, tempat dilangsungkannya KMAN III.
Jangan heran mengapa kalimat-kalimat keras itu yang muncul. Kalimat yang terang-terangan hendak "memuntahkan" peran negara itu ternyata merupakan hasil Deklarasi AMAN pada kongres mereka (KMAN I) tahun 1999 di Yogyakarta. Pada KMAN II di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), tahun 2003 pun, agaknya cara pandang masyarakat adat terhadap negara tetap tidak berubah: negara sebagai ancaman.
Muncul pula tulisan lain: "Kami siap berkuah darah mempertahankan tanah adat BPRPI". BPRPI adalah Badan Perjuangan Rakyat Penonggol Indonesia, sebuah komunitas adat di Kampung Mabar, Sumatera Utara.
"Ini bekas luka digolok oleh orang yang tidak saya kenal sewaktu saya memimpin penolakan pembuldoseran lahan kami," kata pemasang spanduk tersebut, Pimpinan Badan Perjuangan Rakyat Penonggol Indonesia Kampung Mabar, Sumatera Utara, Muhammad Yusuf (52) kepada Kompas, Senin di sela-sela kongres.
Yusuf lalu menunjukkan bekas jahitan luka sepanjang sekitar 12 sentimeter di kening kanannya. "Sejak memperjuangkan tanah adat supaya kembali menjadi hak kami tahun 1979, saya sudah lebih dari 40 kali ditangkap dan ditahan aparat keamanan, ya polisi maupun aparat TNI. Saya juga pernah dipenjara atas putusan pengadilan selama enam bulan tahun 2006. Waktu itu gara-gara menghadang kembali pembuldoseran tanah adat kami untuk pembangunan industri dari investasi negara asing," tutur Yusuf dengan nada tinggi.
Konflik dan kekerasan yang dialami masyarakat adat telah mengubah bahkan mencabik-cabik batas-batas tanah ulayat, pranata sosial, dan nilai-nilai adat. Struktur lama itu harus mencair, sering pula musnah, karena perubahan sumber daya alam telah berimplikasi langsung pada struktur sosial mereka. Hukum adat, dan kearifan lokal, tak memperoleh ruang lagi dalam dinamika negara.
Karena itu, senada dengan Susana Setra, Abdon Nababan menegaskan, "Bagi kami, penegakan hukum adat sekarang menjadi benteng terakhir menyelamatkan keberadaan hutan alam di Indonesia. "
Prof Dr Hasanu Simon dan Dr San Afri Awang, keduanya pakar kehutanan dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, di berbagai tempat dan kesempatan menekankan pembelaan mereka kepada masyarakat adat.
Dari penelitian San Afri Awang dan pengakuan masyarakat adat pada forum mereka tahun 2005 di Yogyakarta misalnya, terungkap sekitar 50 persen kawasan hutan dan gunung yang statusnya diformalkan sebagai taman nasional (jumlahnya sekitar 60-an), umumnya kondisinya rusak parah. Status taman nasional, artinya daerah tertutup bagi masyarakat adat untuk memasukinya, apalagi memanfaatkannya sebagai pemukiman maupun lahan nafkah hidup.
Konflik
Peristiwa penembakan oleh aparat keamanan terhadap anggota masyarakat adat di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, baru-baru ini, terjadi akibat penolakan terhadap pembabatan hutan kopi. Tahun 2004, penembakan yang mengakibatkan tewasnya tiga anggota masyarakat adat Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, berawal dari penolakan masyarakat atas ekspansi kebun sawit yang menerjang tanah adat mereka. Kejadian serupa tahun 2004 terjadi lagi: tiga warga adat Tambusai, Riau, tewas ditembak saat menentang penguasaan lahan tanah adat mereka.
Daftar konflik bisa panjang. Sebut misalnya kasus di Desa Engkadik Pade, Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, baru-baru ini. Orang desa menyandera alat-alat berat milik PT ASJ yang membuka hutan untuk kebun sawit. Masyarakat memagari lahan mereka kembali, sebagai tradisi singa parak, karena perusahaan dianggap menggusur tanah makam adat leluhur mereka. Masyarakat adat lalu menuntut denda Rp 274 juta kepada PT ASJ yang mencaplok sebagian hutan adat mereka. Beberapa tahun lalu di Kecamatan Bonti, Sanggau, Kalbar, masyarakat adat juga menyita alat-alat berat milik PT MAS karena dianggap menggusur tanah warga. Pada awal tahun 2006, masyarakat Dayak Iban di Desa Semunying, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, juga menyita alat berat milik PT LL karena perusahaan ini dianggap menggusur lahan masyarakat adat tanpa ganti rugi. Masyarakat Kampung Selalong, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalbar, Juni 1999, membakar sejumlah alat berat dan barak pekerja perkebunan milik PT MJL.
Nyaris di tiap provinsi, sengketa tentang lahan dan kekayaan alam antara negara dan masyarakat adat pernah dan akan terus terjadi.
Mengapa itu terus terjadi? Jawabnya jelas sekali, karena hak adat begitu terpinggirkan. Dalam hukum positif negara kita, hak rakyat hanya dirumuskan sekilas pada Pasal 5 Ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechts gmeinschaap).
Menurut Ketua Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro Sulawesi Tenggara Rukmini Paata, luas wilayah ulayat masyarakat adat mencapai 22.950 hektar. Namun, sekitar 18.000 hektar di antaranya diklaim milik Taman Nasional Lorelindo sejak 1970.
"Dari 64 desa di Kabupaten Donggala dan Poso, baru ada dua desa yang mendapatkan pengakuan dan bisa untuk turut mengelola kawasan taman nasional. Di luar dua desa itu, jika ada masyarakat yang mengambil rotan akan ditangkap karena dianggap mencuri," kata Rukmini. Alex Sanggenafa, anggota Tim Asistensi Dewan Adat Daerah Yapen, Waropen, Papua, belum melihat dukungan negara dalam kebijakan otonomi sekarang.
Ungkapan-ungkapan panas lewat pernyataan atau spanduk kongres mestinya menjadi perhatian serius negara dan pemerintah lokal. "Pemerintah dan negara harus sejalan dengan masyarakat adat untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu masyarakat adil dan sejahtera," kata Direktur Eksekutif Institut Dayakologi John Bamba.
Yang jelas, sebagai bangsa kita mengalami kemunduran dahsyat dalam berbangsa. Apa mau dikata!
Sumber: Kompas, Kamis, 22 Maret 2007
No comments:
Post a Comment