GELAR ADAT
Ivan Adilla gelar Bagindo Sulaiman*
esai
Harian Kompas edisi 29 Agustus 2006 menurunkan berita berjudul "SBY Akan Terima Gelar Adat". Konon, gelar Yang Dipatuan Maharajo Pamuncak Sari Alam itu diberikan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau; lembaga adat yang kelahirannya dibidani militer dan pada masa Orde Baru merupakan salah satu pendukung utama Golkar.
Pemberian gelar adat untuk orang di luar Minangkabau bukanlah gejala baru. Di tahun 1950-an pernah ada rencana memberikan gelar adat Bundo Kandung kepada Fatmawati, yang saat itu menjadi Ibu Negara. Rencana itu batal setelah AA Navis berhasil meyakinkan pihak militer bahwa gelar yang berasal dari tokoh mitos itu tidak layak disandang oleh Ibu Negara.
Sejak beberapa tahun terakhir, gelar adat telah diberikan kepada Yusril Ihza Mahendra, Taufik Kiemas, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Surya Paloh, dan Anwar Nasution. Begitu pentingkah gelar adat bagi pejabat dan pengusaha negeri ini?
Bagi lelaki Minangkabau, gelar adat adalah sebuah kemestian. Pepatah adat mereka mengatakan, ’ketek banamo, gadang bagala’ (kecil punya nama, setelah dewasa diberi gelar). Setiap lelaki yang sudah menikah tentu diberi gelar adat, yang diumumkan dalam sebuah acara sederhana saat perhelatan kawin. Pemberian gelar itu merupakan pengakuan bahwa mereka kini telah menjadi lelaki dewasa, yang akan diikutsertakan dan diakui hak suaranya dalam musyawarah kaum.
Gelar merupakan warisan, bukan hak milik individu. Begitu seseorang meninggal dunia, maka gelar itu harus dikembalikan kepada kaum sebagai pemiliknya. Seseorang tidak berhak mewariskan gelar itu pada orang lain tanpa persetujuan kaum. Disebabkan setiap orang Minangkabau punya kaum, maka setiap lelaki dewasa akan selalu punya gelar. Jadi, gelar adat bukanlah sesuatu yang istimewa dalam masyarakat Minangkabau.
Masyarakat egaliter
Gelar layaknya tanda bagi sebuah alamat, yang akan diakui kebenarannya jika ia menunjuk pada alamat yang tepat. Pengakuan terhadap penyandang gelar ditentukan oleh kemampuannya menjalankan amanat sebagaimana tersirat pada gelar yang dipakainya. Sebaliknya, jika penyandang gelar tak ma-(mp)-u menjalankan amanat, maka gelar itu tidak akan berarti apa pun. Malah ia akan menjadi beban dan sumber cemooh.
Masyarakat Minangkabau dengan budaya egaliter menempatkan manusia dalam posisi sejajar. Bertolak dari sikap pragmatis, penilaian mereka terhadap manusia didasarkan pada kemampuan seseorang menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Orang pintar akan dihargai bila ia mampu diajak berunding, dan seorang kaya dihargai jika bisa menjadi tempat mengadu saat kesulitan.
Begitupun halnya dengan pemegang gelar adat. Ketidakmampuan seorang penyandang gelar adat menjalankan fungsi yang diharapkan, dapat mengakibatkan dia dipandang rendah. Masyarakat akan menggunakan hukum sendiri; melupakan gelar lama dan memberi gelar baru yang dipandang lebih cocok.
Beberapa tahun lalu, ada penghulu yang digelari Datuk Gelung dan Datuk Togel. Sesungguhnya mereka penyandang gelar penghulu yang sah dan diakui kerapatan adat. Tapi karena penghulu itu lebih mementingkan profesinya sebagai penangkap dan penjual ular daripada mengurus anak-kemenakan, digelarilah ia Datuk Gelung. Yang satunya, lebih menonjol sebagai agen toto gelap (togel) daripada menjadi ninik mamak, maka diberi gelar sesuai kesukaannya itu. Begitulah bentuk protes masyarakat terhadap mereka.
Padahal, jika dipikir-pikir, gelar adat itu begitu beratnya dan sulit diwujudkan di dunia nyata. Bayangkan saja, ada gelar Datuk Sutan di Langit, padahal ia lahir dan mencari hidup di bumi. Atau gelar Sutan Menjinjing Alam, padahal menjinjing telinga sendiri pun ia tak mampu karena tangannya buntung beberapa saat setelah gelar itu diberikan. Ada juga yang bergelar Sutan Bandaharo Kayo, tetapi nasib menggariskan ia hidup melarat karena harta kaumnya telah habis tergadai.
Dalam banyak kasus, pemegang gelar adat lebih tertarik menjalankan fungsi dan menjadi terkenal di bidang lain. Gelar adat yang disandangnya menjadi kurang populer dan seakan tidak melekat pada diri pemakainya.
Begitulah misalnya, HAMKA lebih dikenal sebagai ulama dan penulis daripada sebagai seorang penghulu yang bergelar Datuk Indomo. Atau M Natsir lebih dikenal sebagai pemikir dan ulama daripada penghulu bergelar Datuk Sinaro Panjang. Juga Ibrahim Datuk Tan Malaka lebih dikenal sebagai pemikir pejuang daripada ahli adat, meskipun nama adatnya itu lebih populer dibanding nama kecilnya.
Feodalisme baru
Setidaknya, sejak tahun 1980-an, di Sumatera Barat banyak birokrat dan pengusaha yang memburu gelar adat. Gelar datuk merupakan gelar yang paling disenangi.
Hal itu lazim berlangsung menjelang pemilihan anggota legislatif atau kepala daerah. Itulah saat koran dipenuhi iklan ucapan selamat atas peresmian pengangkatan gelar. Gelar yang diberikan itu sebagiannya memang menurut garis silsilah keluarga. Hanya saja peresmiannya ’disesuaikan’ dengan musim pemilu atau pilkada.
Bagi yang berada di luar silsilah, mereka memburu gelar itu di tempat lain. Dengan kemampuan bersilat lidah, para calo gelar mengutak-atik silsilah kaum lain agar cocok dengan pemesan gelar.
Singkat kata, berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan gelar adat. Seakan-akan prestasi dan kehebatan seorang (calon) pejabat atau anggota legislatif atau pengusaha belum lengkap tanpa menyandang gelar adat.
Sikap para pemburu gelar itu merupakan kelanjutan dari pandangan mitologis dari zaman prasejarah. Pada sebagian besar kebudayaan dunia ada pandangan bahwa seorang raja dan kaum aristokrat tidak (boleh) sama dengan rakyat biasa. Mereka adalah makhluk luar biasa, sejak dari kelahiran, kekuasaan hingga gelarnya.
Di Eropa, silsilah raja-raja dikaitkan dengan Dewa Zeus, di Nusantara ada raja yang lahir dari buih ludah sapi jantan, menikah dengan penguasa samudra, atau berkat kekeramatannya ia hamil tanpa suami. Berbagai mitos dibuat untuk meyakinkan masyarakat tentang keluarbiasaan itu. Tujuannya jelas, melanggengkan kekuasaan. Itulah yang kemudian melahirkan sikap feodalistis di kalangan aristokrat.
Pada era reformasi di abad ke-21 ini, ternyata berbagai mitos dan sikap feodal itu masih melekat erat di sebagian masyarakat kita. Pemberian gelar adat merupakan contoh yang jelas untuk hal ini. Dari sudut pandang adat, tak ada alasan yang bisa menjelaskan kenapa gelar adat diberikan kepada para pejabat yang bermukim di Jakarta.
Fakta itu baru bisa dipahami jika dikaitkan dengan menguatnya sikap feodalistis di sebagian masyarakat daerah. Dalam pandangan kaum feodal, pejabat yang berada di lingkaran pusat kekuasaan adalah seorang atasan dengan nilai kebangsawanan dan kekuasaan yang lebih tinggi daripada mereka di daerah.
Jika pejabat pusat datang, maka kalang kabutlah para pejabat daerah menyiapkan acara penyambutan dan pelayanan. Mereka mengharapkan berkah dan hadiah dari atasannya. Pemberian gelar rupanya juga salah satu modus efektif untuk itu.
Ironisnya, pertunjukan feodalistis itu berlangsung di Minangkabau. Sebuah negeri yang dibanggakan karena pandangan budayanya yang egaliter. Sebuah negeri yang menyumbangkan banyak pejuang, pemikir, seniman, wartawan, ulama, dan sastrawan bagi bangsa ini di masa lalu. Sebuah negeri yang berani bergolak untuk mengoreksi pusat kekuasaan yang salah arah. Negeri di mana kini rasa rendah diri dipelihara dan dipupuk untuk menyenangkan hati pejabat pusat. Negeri yang kini ngeri memandang pusat kekuasaan.
Ivan Adilla gelar Bagindo Sulaiman, Mengajar di Fakultas Sastra Universitas Andalas
Sumber: http://www.kompas.com, Sabtu, 30 September 2006
Catatan Udo Z. Karzi
Feodalisme semacam ini seperti ini juga terjadi di Lampung. Hampir semua petinggi negara seperti Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas, mantan Mendagri Hari Sabarno, dan lain-lain yang berkunjung ke Lampung selalu mendapatkan gelar adat (bahasa Lampung: adok).
Tak kecuali pejabat Lampung sendiri yang berkunjung ke daerah-daerah, juga mendapatkan adok.
Kritik soal ini berkali-kali saya tulis di Lampung Post.
No comments:
Post a Comment