Sunday, April 4, 2010

LAMPUNG MILIK SEMUA KULTUR

Oleh ICHLAS SYUKURIE dan Y. WIBOWO


Dipublikasikan di Lampung Post edisi 5 Agustus 2006

BELAKANGAN muncul di sekitar kita sekelompok masyarakat yang menyebut diri Formala (Forum Masyarakat Lampung). Kelompok ini menjadi potret heterogenitas kultural masyarakat yang hidup di provinsi ini karena ditata dari penganut kultur-kultur yang beragam. Ada Jawa, Sunda, Bali, Semendo, Batak, Bugis, Banten, dan lain sebagainya, yang selama ini menjadi inheren dengan pembentukan sejarah antropologi masyarakat di Provinsi Lampung.

Terhadap kehadiran kelompok ini, yang secara politis berusaha menegaskan eksistensinya sebagai bagian dari realitas dinamika kehidupan di provinsi ini, ada banyak hal positif sekaligus negatif yang dapat mengemuka. Salah satu hal positif itu, kehadiran Formala terasa ingin menegaskan eksistensi ragam kultur penatanya sebagai bagian realitas kehidupan di provinsi ini. Penegasan itu terlihat dari usaha terlibat dinamika konflik elite dengan menyeru pentingnya rekonsiliasi sebagai konsensus.

Namun, justru karena hal positif inilah akhirnya terungkap hal negatif bahwa upaya penegasan eksistensi ini menjadi sangat kuat dipengaruhi politik, sehingga memberi kesan hendak mendukung salah satu kubu dalam dua mainstream elite yang konflik. Tetapi, terhadap hal negatif itu kita abaikan dalam tulisan ini sambil berupaya meminimalisasi dampaknya terhadap dinamika kehidupan sosial masyarakat Lampung. Sebaliknya, kita pantas mendukung mengingat Formala menjadi sebuah ikon untuk melebur segala perbedaan kultur yang ada dalam semangat kebersamaan dalam konsep masyarakat Lampung.

Satu soal pokok yang hendak ditegaskan adalah kenyataan provinsi ini menjadi milik semua penganut kultur yang ada. Dengan cara masing-masing, kultur-kultur itu memberi warna yang cemerlang terhadap dinamika sosial masyarakat. Warna yang pantas dicatat sebagai potret dari sebuah kerja sosial yang serius untuk menjaga dan melestarikan integritas tanpa menimbulkan resistensi terhadap setiap kultur penatanya.

Dengan begitu, hal ini sekaligus menegaskan sebagai terbukanya sebuah fase dalam sejarah antropologi di Lampung bahwa sudah bukan zamannya lagi membesar-besarkan klaim tentang Lampung hanya memilik kultur utama (first of culture) atau mainstream kultur, yakni kultur Lampung, sedangkan kultur-kultur lain merupakan kultur kedua (second of culture). Pada era Orde Baru, selama hampir 30 tahun klaim serupa itu menjadi sebuah bentuk perlawanan daerah atas hegemonisasi pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Jakarta.

Kita menyadari betul hegemonisasi pemerintah pusat ditancapkan dalam tubuh birokrasi negara lewat penempatan tokoh-tokoh tertentu sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di daerah, sehingga untuk waktu sangat lama posisi-posisi sentral seperti kepala daerah tidak akan pernah bisa dinikmati tokoh-tokoh di daerah.

Posisi-posisi itu didesain pemerintah pusat menjadi posisi yang mesti dipegang kaki tangan pemerintah, yang bisa diatur, diberi komando, dan dibubarkan sekehendak pemegang kekuasaan negara. Pemerintah pusat sangat kuat sebagai sebuah rezim yang mengooptasi segala dinamika masyarakat, sehingga mampu melamahkan tokoh-tokoh di daerah. Terhadap negara yang sentralistik seperti itu, daya kritis masyarakat di daerah menjadi tidak berarti, lalu mengkristal menjadi gerutuan-gerutuan personal yang tak bisa diungkapkan kepada publik.

Ketika reformasi bergulir, gerutuan personal itu menemukan signifikansinya dalam sebuah gerakan sosio-kultural untuk mempertegas eksistensi masyarakat daerah dengan mengedepankan konsep putra daerah. Namun, dalam perkembangannya hingga hari ini, konsep putra daerah dimaknai secara tidak produktif, yakni sebagai perlawanan atas hegemonisasi pemerintah pusat di daerah.

Sementara itu, konsep pusat untuk masyarakat Lampung bukan dalam pemahaman tentang birokrasi pemerintah semata, tetapi juga segala sesuatu yang pernah dilakukan dan diberikan pemerintah pusat, termasuk program-program nasional berupa transmigrasi.

Disebut tidak produktif karena perlawanan tidak semestinya ditujukan kepada pemerintah pusat, tetapi terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di daerah seperti kemiskinan, lemahnya akses terhadap barang-barang produksi, rendahnya tingkat pendidikan, berbagai jenis penyakit, dan lain sebagai.

Namun, karena semua mengarahkan perlawanan terhadap pemerintah pusat, kesan yang ditangkap akhirnya adalah sikap chauvanistik kultur. Konsep first of culture makin kuat memengaruhi pilihan sikap sosial dan kultural, dan sadar atau tidak hal ini seperti sebuah upaya menjaga kemurnian kultur, sesuatu hal yang sukar dilakukan pada zaman yang serbaterbuka kini.

Kita tahu, struktur antropologi masyarakat Lampung pascatransmigrasi tidak cuma ditata dari unsur-unsur kultur Lampung, tetapi ada unsur kultur lain yang tak bisa diabaikan peranannya. Mereka ikut andil menghidupkan struktur sosial yang ada, memunculkan komunitas-komunitas sosial, dan memainkan peran aktif dalam bidang-bidang produksi seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan.

Sayang, dalam proses sangat panjang selama ini, peran unsur-unsur dari kultur lain itu selalu diposisikan sebagai "pendatang", terutama sangat dirasakan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan kebudayaan yang dilakukan pemerintah daerah. Kita tidak pernah melihat ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk menjaga, melestarikan, dan memajukan kultur-kultur di luar kultur Lampung, seperti kebijakan yang dirumuskan untuk berusaha menjaga kultur Lampung.

Cara pandang seperti ini tidak seharusnya dimiliki lagi masyarakat Lampung. Jika dilihat dari komposisi demografi, jumlah penduduk yang menganut kultur Lampung lebih sedikit dibandingkan penduduk yang menganut kultur-kultur lain. Berdasarkan data Bappeda Lampung, penganut kultur Lampung cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk Lampung. Sisanya, 67% total penduduk menganut kultur Jawa, Sunda, Banten, Bali, Sumatera Selatan, Bugis, Flores, Batak, Irian, Ambon, dan lain sebagainya.

Sebab itu, jika perhatian pemerintah terhadap penganut kultur-kultur lain yang ternyata dominan dianut penduduk Lampung tetap saja dengan cara berpikir second culture, dampaknya akan sangat serius terutama bagi masa depan pembangunan daerah. Lampung hanya akan menjadi laboratorium persoalan bagi kultur-kultur lain, sehingga provinsi ini tidak pernah bisa memikirkan secara serius bagaimana melaksanakan pembangunan daerah.

No comments:

Post a Comment