Monday, April 26, 2010

FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT LAMPUNG

SEBUAH WACANA TERAPAN

Oleh ABDUL SYANI

Dari segi falsafah hidup pada hakekatnya masyarakat Lampung secara umum
memiliki kesamaan pandangan hidup yang disebut dengan fiil pesenggiri. Piil
Pesenggiri adalah tatanan moral yang merupakan pedoman bersikap dan berperilaku
masyarakat adat Lampung dalam segala aktivitas hidupnya. Falsafah hidup orang
Lampung sejak terbentuk dan tertatanya masyarakat adat adalah piil pesenggiri. Piil (fiil=arab) artinya perilaku, dan pesenggiri maksudnya bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, tahu hak dan kewajiban. Piil pesenggiri merupakan potensi sosial budaya daerah yang memiliki makna sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis
dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai positif, hidup terhormat dan dihargai di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagai konsekuensi untuk memperjuangkan
dan mempertahankan kehormatan dalam kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat
Lampung berkewajiban untuk mengendalikan perilaku dan menjaga nama baiknya
agar terhindar dari sikap dan perbuatan yang tidak terpuji. Piil pesenggiri sebagai
lambang kehormatan harus dipertahankan dan dijiwai sesuai dengan kebesaran Juluk-
adek yang disandang, semangat nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambaiyan
dalam tatanan norma Titie Gemattei.

Piil pesenggiri sebagai tatanan moral memberikan pedoman bagi perilaku pribadi dan
masyarakat adat Lampung untuk membangun karya-karyanya. Piil pesenggiri
merupakan suatu keutuhan dari unsur-unsur yang mencakup Juluk-adek, Nemui-
nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakai-Sambaiyan yang berpedoman pada Titie
Gemattei adat dari leluhur mereka. Apabila ke-4 unsur ini dapat dipenuhi, maka
masyarakat Lampung dapat dikatakan telah memiliki piil pesenggiri. Piil-pesenggiri
pada hakekatnya merupakan nilai dasar yang intinya terletak pada keharusan untuk
mempunyai hati nurani yang positif (bermoral tinggi atau berjiwa besar), sehingga
senantiasa dapat hidup secara logis, etis dan estetis. Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang
masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang
pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum
menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang
sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini
berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang
perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau
laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki
yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu
juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang
bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara
adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang
telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst.
Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya
tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat
Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud
prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas
dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat
menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku
dan karyanya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja
nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata
benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi
(pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap pemurah,
terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan
kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk
menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah
merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk
tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam
untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan
demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang
mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan
norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih
tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu
keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya
berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan
orang lain.

c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti
berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata
kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai
sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur
menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa
kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa
saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka
bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa
(toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap
ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan
tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil
suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah
untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib
dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat
Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah
menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga
menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian
menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan
yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa
depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat.
Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai penge-
tahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala
keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat
Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri
pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun
dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan,
menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam
bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung
menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu
kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial
berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami
makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menun-
jukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan
pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu
berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan
sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara
suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota
masyarakat lain yang membutuhkan.

Selanjutnya Titie Gemattei, yang terdiri dari dua suku kata titie dan gemattei. Titie
berasal dari kata titi yang berarti jalan, dan gemantie berarti lazim atau kebiasaan
leluhur yang dianggap baik. Wujud titie gemanttei secara konkrit berupa norma
yang sering disebut kebiasaan masyarakat adat. Kebiasaan masyarakat adat ini tidak
tertulis, yang terbentuk atas dasar kesepakatan masyarakat adat melalui suatu forum
khusus (rapat perwatin Adat/Keterem).

Titie gemattei tersebut berisi keharusan, kebolehan dan larangan (cepalo) untuk
berbuat dalam penerapan semua elemen Piil Pesenggiri. Memperhatikan proses
normatif hubungan sosial titie gemattei ini, maka dalam aktualisasi penerapannya
senantiasa amat lentur dan fleksibel mengikuti tuntutan perubahan (selalu terjadi
penyesuaian). Contoh; pada masa lalu setiap penyimbang suku di Anek, Kampung,
Tiyuh atau Pekon harus mempunyai tempat mandi khusus di sungai (disebut kuwaiyan, pakkalan), tetapi sekarang sesuai dengan perkembangan zaman diganti
dengan kamar mandi.

Titie gemattie juga mempunyai pengertian sopan santun untuk kebaikkan yang
diutamakan berdasarkan kelaziman dan kebiasaan. Kelaziman dan kebiasaan yang
berdasarkan kebaikkan ini pada hakekatnya menggambarkan bahwa masyarakat
Lampung mempunyai tatanan kehidupan sosial yang teratur. Sikap membina
kebiasaan yang berdasarkan kebaikkan merupakan modal dasar pembangunan dan
pemahaman terhadap budaya malu baik secara pribadi, keluarga maupun
masyarakat. Prinsip hidup yang terkandung dalam titie gemattei merupakan pedoman
dalam pelaksanaan pengawasan terhadap sikap perilaku yang melahirkan cepalo
(norma hukum) yang kongkrit dan terbentuknya tatanan hukum yang baru, sesuai
dengan kebutuhan hidup masyarakat.

Tata nilai budaya masyarakat Lampung sebagaimana diuraikan di atas, pada dasarnya
merupakan kebutuhan hidup dasar bagi seluruh anggota masyarakat setempat agar
survive secara wajar dalam membina kehidupan dan penghidupannya yang
tercermin dalam tata kelakuan sehari-hari, baik secara pribadi ataupun bersama
dengan anggota kelompok masyarakat maupun bermasyarakat secara luas.

Dalam membina kehidupan dan penghidupan yang wajar diperlukan rambu-rambu
normatif sebagai pedoman untuk berperilaku. Rambu-rambu dan pedoman itu
berwujud ketentuan-ketentuan, yang berisikan larangan (cepalo) dan keharusan (adat)
untuk diamalkan oleh setiap anggota masyarakat pendukungnya. Sudah menjadi
kenyataan bahwa pedoman hidup tersebut merupakan sarana untuk pembentukkan
sikap dan prilaku. Dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu ketenteraman
dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat Lampung juga mempunyai
strata (tingkatan) kehidupan, baik berdasarkan status genealogis (keturunan, Umur),
maupun status sosial dalam adat (penyimbang buwai, tiyuh, dan suku). Dalam
sistem strata kehidupan masyarakat adat sehari-hari terjadi interaksi antara anggota
kelompok intern satu keturunan adat dan antar kelompok masyarakat yang berbeda
keturunan adatnya. Dalam realitas aplikasi kultural senantiasa terjadi proses
penentuan status, hak, dan kewajiban masing-masing strata berdasarkan kesadaran
bersama.

Status sosial seorang anggota masyarakat dapat dikenali antara lain dari juluk
adeknya yang mencerminkan strata golongan kepenyimbangan. Di samping itu dapat
juga ketahui dari garis lurus status kepenyimbangannya, yaitu penyimbang
buwai/marga, tiyuh/anek atau penyimbang suku. Seseorang yang berstatus sebagai
penyimbang buwai, berarti ia memiliki tanggungjawabnya yang jauh lebih besar dari
pada golongan penyimbang-penyimbang lainnya.

1 comment:

  1. luarr biasa luhur dan mulia falsafah hidup ulun lampung, jd nambah pengetahuan nih,

    ReplyDelete