Sunday, April 4, 2010

INDIKASI ASAK BAGI KEKAYAAN ADAT

Hak Intelektual

MIRANDA RISANG AYU

Cerita dari Jahab

Akhir tahun 2005. Seorang pemangku Adat masyarakat Dayak Benuaq di Jahab, Kalimantan Timur, menuturkan sebuah cerita sakral, bahwa bagi mereka, kayu-kayu hutan Kalimantan ternyata adalah leluhur dan tetangga yang harus selalu diperlakukan dengan hormat.

Namun, semua sudah berubah. Dengan secarik surat izin, para pendatang dari luar pulau dan bahkan luar negeri dapat menggunduli hutannya hingga akar dalam hitungan hari.

”Leluhur dan tetangga kami mati. Rumah Lamin kami berganti bedeng dan kami sulit membuat ukir-ukiran lagi. Orang-orang asing datang membuat obat dari kekayaan hutan dan tradisi kami di belakangkan. Kadang, kamilah justru yang dituduh sebagai perusak hutan atau pencuri kayu perusahaan.”



Cerita dari Amazon

Tahun 1986. Loren Miller memperoleh Paten dari Kantor Paten Amerika Serikat (AS) sebagai inventor varietas tanaman yang kabarnya dapat menjadi obat antikanker dan psikoterapi bernama tradisional Da Vine. Lucunya, Miller sebetulnya hanya ”menemukan” varietas itu dibudidayakan di satu kebun seorang anggota komunitas Amazon di Amerika Latin. Da Vine bagi masyarakat tradisional itu adalah tanaman sakral untuk obat bernama Ayahuascha.

Begitu tahu bahwa tanaman sakral mereka dipatenkan pihak luar, perwakilan masyarakat Amazon itu segera memohon agar Paten itu ditinjau ulang. Sayangnya, karena tidak ada bukti tertulis, upaya hukum untuk mencabut Paten itu gagal. Paten itu habis masa berlakunya tahun 2003.

Pertanyaan kritis

Adakah subsistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang bisa membuat sebuah produk tetap lekat dengan tanah asalnya? Adakah HKI yang berpihak kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat adat atau komunitas lokal?

Sejauh ini, hak-hak kebudayaan yang mengurusi perlindungan nilai-nilai ekonomi produk-produk budaya adalah HKI. Menurut versi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), HKI merupakan sistem besar berdasarkan Perjanjian Internasional tentang Aspek-aspek HKI yang Terkait dengan Perdagangan (TRIPS). Sistem ini terdiri dari sub-subsistem Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, Rahasia Dagang, Tata-Letak Sirkuit Terpadu, dan Indikasi Geografis.

Sayangnya, ketujuh subsistem itu punya dua karakter khas. Pertama, sebagai produk WTO, mereka justru cenderung mendukung ide perdagangan bebas, yang ingin membuat barang dan jasa mengalir bebas melintasi batas-batas negara, dan bukannya diam dalam satu wilayah negara. Kedua, sesuai dengan sejarah pemberian Paten di Eropa pasca-Abad Pencerahan, yang dilindungi adalah produk-produk budaya modern, dengan cara pembuktian modern yang mesti tertulis, dan pemegang hak perorangan. Padahal, bukti produk-produk warisan tradisi bersifat lisan. Kepemilikannya pun komunal.

Kabar baiknya, pengembangan perlindungan hukum di tingkat nasional negara anggota WTO tetap terbuka, selama semua isi TRIPS sudah diakomodasi. Maka, dengan cerdas Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia telah menambahkan pewayangan, kaligrafi, dan seni terapan batik sebagai obyek perlindungan.

Selain itu, ditentukan bahwa Negara memegang Hak Cipta atas obyek-obyek yang tidak diketahui penciptanya untuk kepentingan pencipta itu dan ahli warisnya, dengan perlindungan tanpa batas waktu. Pakar Hak Cipta, Eddy Damian, dan pakar perlindungan Folklor, Agus Sarjono, juga telah mengemukakan pentingnya pendataan kekayaan tradisi sebagai upaya preventif.

Namun, bagaimana dengan produk-produk budaya warisan tradisi yang sudah telanjur disahkan oleh sistem HKI WTO sebagai hak pihak-pihak asing?

Perlindungan HKI lain

Sebetulnya, perlindungan HKI lain bisa dicari dalam perjanjian-perjanjian internasional yang bukan dibuat WTO, tetapi Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Sebagai badan khusus PBB, WIPO selalu berusaha mengimbangi corak hukum WTO yang sering cenderung berpihak kepada kepentingan segelintir negara maju.

Perlindungan Indikasi Asal dalam Konvensi Paris versi WIPO, misalnya, adalah perlindungan terhadap tanda, nama atau indikasi yang menunjukkan asal suatu barang yang sebenarnya. Konvensi Paris melarang setiap barang beredar di pasar global memakai tempat asal yang salah atau menyesatkan.

Dalam hukum nasional Indonesia, Indikasi Asal sebetulnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Merek. Di situ disebutkan bahwa Indikasi Asal adalah Indikasi Geografis, tetapi belum terdaftar. Sayangnya, karena masih merupakan bagian dari Merek, sering terjadi salah paham, bahwa menghubungkan perlindungan Indikasi Asal dengan obyek Paten, Hak Varietas Tanaman atau karya-karya seni tradisional obyek Hak Cipta dianggap sudah ”salah” dari awal. Selain itu, karena pengaturannya hanya satu ayat, Indikasi Asal kesannya tidak penting.

Padahal, perlindungan Indikasi Asal bisa dipakai juga untuk memperkuat perlindungan sub- sistem HKI lainnya. Sebagai bagian dari Indikasi Geografis dalam arti luas, Indikasi Asal justru menghargai sejarah dan akar budaya setempat, termasuk tradisi pembuatannya, di samping faktor lingkungan dominan, seperti keadaan tanah dan iklim. Perlindungannya tidak mengenal batas waktu selama kualitasnya terjaga. Selain itu, kepemilikannya dipegang oleh kelompok masyarakat produsen yang tinggal dalam suatu kesatuan wilayah atau klaster.

Menariknya, kepemilikan bersama atas suatu Indikasi Asal amat mungkin. Misalnya, Indikasi Asal Batik Indonesia tentu merupakan milik bersama dari kelompok produsen batik-batik Jawa dan Palembang.

Belajar dari kasus Amazon

Belajar dari kegagalan Masyarakat Amazon, klaim atas Da Vine tidak cukup mengandalkan klaim satu subsistem HKI saja, misalnya Paten. Jika saja perlindungan Indikasi Asal juga turut dipakai, mungkin ceritanya akan lain. Klaim, menurut Indikasi Asal, bisa lewat nama Amerika Latinnya: Da Vine, yang mengindikasikan asalnya.

Pembuktian bahwa pengolahan Da Vine memiliki akar kultural yang panjang dalam tradisi masyarakat Amazon pun bisa dilakukan melalui banyak alat bukti. India telah melakukan upaya ini bagi beberapa strain Beras Basmati melawan pengusaha AS. Yunani juga melakukannya bagi keju Feta melawan pengusaha di beberapa negara Komunitas Eropa. Meski kontroversial, mereka berhasil.

Bagi masyarakat Dayak, tes kelayakan untuk memastikan hak mereka atas produk-produk Kayu Kalimantan bisa dilakukan. Misalnya, apakah produk - produk Kayu Kalimantan sudah punya reputasi tertentu, memiliki akar sejarah budaya lokal yang panjang, memiliki komunitas pemangku, memiliki cara-cara pembuatan tradisional tertentu, dan memiliki kesatuan wilayah produksi. Jika ya, produk- produk Kayu Kalimantan bisa menjadi HKI bersama komunitas-komunitas Dayak dengan binaan pemda setempat.

Produk-produk hasil hutan, pertanian, hingga kerajinan dan ekspresi seni tradisional yang reputasinya mencuat karena tempat asalnya, juga bisa dicoba dengan perlindungan penguat ini. Tinggal pemihakan dan keberanian dari pihak berwenang yang menentukan.

* Miranda Risang Ayu, PhD. Pemerhati masalah Hak-hak Kebudayaan. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 Oktober 2008

No comments:

Post a Comment