Masyarakat Adat dan Kebangsaan
TERNYATA tidaklah mudah menata ulang identitas suatu bangsa, terlebih ketika jejak historis bagaimana dan di mana hulu kebangsaan itu muncul makin kabur dan sayup. Rumitnya lagi, di tengah itu semua selalu muncul keinginan untuk menata ulang kesadaran ihwal sebuah bangsa dengan identitas yang berhulu dari apa yang sesungguhnya telah lama ada, setelah berbagai pilihan dilakukan dan ternyata tak pernah bisa menjawab kekinian. Alih-alih memberi jawaban pada identitas, berbagai pilihan itu justru membuat bangsa ini mengalienasi sejarah dirinya sendiri. Bangsa ini akhirnya hidup dalam identitas yang tak berakar sekaligus tak berpucuk.
Pilgrim 2009--charcoal, pensil, akrilik di atas kanvas karya Ibnu Thalha. (SALIHARA)
Kembali menoleh pada masyarakat adat demi memaknai identitas kebangsaan mungkin tak ubahnya sebuah tamsil ihwal ziarah waktu yang jauh dan tak mudah. Cara pandang terhadap masyarakat adat senantiasa dibebani oleh cara pandang tentang masa lalu yang kolot dan lapuk, sistem nilai yang irasional, dan anggapan ketidakmampuan mereka mengikuti perubahan. Belum lagi kebijakan politik negara yang melabeli mereka sebagai suku terasing.
Oleh karena itulah, menoleh kembali pada masyarakat adat demi memaknai identitas kebangsaan sesungguhnya mengharuskan banyak orang mengenali identitas masyarakat adat itu sendiri seraya melepaskan godaan untuk mendefinisikan mereka menurut definisi tertentu yang selama ini diimani. Termasuk dalam mengimani waktu. Spirit dan filosofi waktu dalam sistem nilai masyarakat adat mestilah disendirikan dari bagaimana modernitas selama ini mengajarkannya. Dan inilah yang dimaknai oleh W.S. Rendra dengan ungkapannya, "Kemarin dan esok adalah hari ini". Waktu dalam ruang yang mengalir menjadi identitas kebersatuan.
Membaca kembali masyarakat adat demi menata ulang kesadaran ihwal identitas kebangsaan ini mengemuka dalam seminar di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Rabu (28/10), hasil kerja sama panitia dengan berbagai pihak, termasuk H.U. Pikiran Rakyat. Seminar ini mengawali serangkaian program dari event Bandung Mengenang Rendra yang berlangsung hingga 16 November 2009. Seminar bertajuk "Hukum Adat dalam Perspektif Kebangsaan" ini menemukan momentum yang tepat dalam konteks peringatan Sumpah Pemuda.
Perbincangan pun melepaskan dirinya dari batasan-batasan persoalan hukum adat, meluas hingga persoalan-persoalan sejarah, bahasa, demokratisasi, pluralisme, dengan sejumlah persinggungannya ke berbagai pemikiran. Dari mulai pelacakan ke dalam biografi pemikiran Rendra tentang masyarakat adat, pemaknaan spirit masyarakat adat yang tidak melulu bersandar pada masa lampau, hingga kemungkinan memformulasikan desa adat dalam masyarakat kontemporer di tengah revolusi teknologi komunikasi.
**
SEMINAR yang menghadirkan pembicara Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat (Aman) dan budayawan Taufik Rahzen ini berlangsung dalam suasana lesehan di ruang serba putih di tengah karya-karya lukisan Hanafi yang sedang dipamerkan. Dipandu Aat Suratin, berbagai pandangan mengemuka dan menawarkan sejumlah pemikiran ihwal masyarakat adat dan hubungannya dengan kesadaran identitas kebangsaan, seraya menegaskan kembali posisi sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagai bagian dari potensi budaya lokal yang akhir-akhir ini banyak kembali ditoleh setelah berbagai ideologi politik, ekonomi, dan budaya ternyata malah membuat bangsa ini makin kehilangan identitas dan harga dirinya.
Abdon Nababan banyak mengurai ihwal masyarakat adat, serta apa yang membedakan mereka dengan komunitas masyarakat di luar dirinya. Abdon menolak asumsi bahwa hukum adat bisa menjadi representasi pemahaman perihal masyarakat adat. Baginya hukum adat hanyalah salah satu subsistem yang termaktub dalam sistem nilai masyarakat adat. Di bagian lain uraian Abdon menarik karena ia memberi sejumlah penjelasan perihal proses tergerusnya komunitas adat yang dimulai ketika munculnya konsep negara, dari mulai kerajaan dan kesultanan hingga negara modern hari ini. Konsep kuasa negara semacam ini tak hanya meniadakan komunitas adat, tetapi juga mengaburkan batasan antara pengertian bangsa, negara, dan pemerintah. Pengaburan ini makin membuat komunitas adat termarginalkan, termasuk dalam konteks kebangsaan. Ini menjadi sebuah ironi sebab lahirnya kesadaran kebangsaan sebagai suatu identitas di negeri ini tidaklah bisa disendirikan dari masyarakat adat.
"Sumpah Pemuda yang kita digaungkan selalu hanya menyangkut tiga poin, padahal kalau kita periksa seluruh dokumen keputusan Kongres Pemuda tahun 1928 di bawahnya ada beberapa poin yang salah satunya adalah soal hukum adat, landasan dari semua kebersamaan kita sebagai bangsa itu adalah hukum adat. Itulah yang selalu dibicarakan oleh Rendra. Sumpah Pemuda tidak diurus oleh bangsa ini secara utuh, termasuk didalamnya hukum adat," kata Abdon, seraya menegaskan bagaimana pendekatan terhadap masyarakat adat bisa menjadi ruang yang reflektif untuk menata ulang kesadaran identitas kita sebagai sebuah bangsa.
Taufik Rahzen melihat bahwa peristiwa Sumpah Pemuda bukanlah peristiwa yang berhubungan dengan konsep kenegaraan, melainkan esensi yang lebih menekan pada identitas kebangsaan. Adanya kesatuan tanah dan air merupakan sumbangan penting masyarakat adat terhadap identitas kebersamaan sebagai suatu bangsa. Termasuk juga bagaimana mereka menyerahkan hak-hak kebahasaan mereka pada bahasa Melayu.
"Kelahiran kesadaran suatu bangsa di Indonesia menjadi unik karena ia bukan hasil dari suatu ideologi, agama, atau yang dibentuk oleh negara. Tetapi dari keyakinan bahwa kita memiliki satu bahasa dan tanah air yang sama," ujarnya.
Secara menarik Taufik Rahzen mengurai perjalanan masyarakat adat dalam membangun peradaban di Nusantara dan hubungannya dengan sistem simbol, sampai kemudian terbentuknya sekelompok elite yang menguasai bahasa dan aksara penandaan, yang secara perlahan mengalienasikan komunitas adat dari organisasi pembagian kekuasaan bernama negara (kerajaan dan kesultanan).
Kompleksitas seluruh sistem kebudayaan di Nusantara, kata dia, berawal dari sistem simbol yang telah ada sejak 1000 SM. Mulai abad ke-4 sampai abad ke-13 aksara yang menyimpan pengetahuan dan sistem hukum hanya dimiliki oleh kalangan elite Brahmana dan masyarakat tidak boleh masuk ke dalamnya. Itulah yang membangun kebudayaan kerajaan seperti Pajajaran, Majapahit, dan Sriwijaya. "Soalnya sekarang bagaimana mengintegrasikan pengaruh yang hidup dari masyarakat adat ke dalam sebuah sistem kesadaran bersama seperti sekarang?" ujarnya.
**
PERBINCANGAN dalam seminar kemudian lebih mengerucut pada bagaimana sebenarnya mentransformasikan kesadaran sistem nilai masyarakat adat dalam konteks kekinian. Sejumlah penanggap mencoba menggiring cara pandang lebih jauh terhadap posisi masyarakat adat, termasuk mempertanyakan kemampuan dinamika perubahan mereka. Terhadap hal ini, Abdon Nababan menolak jika masyarakat adat dibaca sebagai komunitas yang statis. Dalam pandangannya, bentuk dinamika masyarakat adat tidaklah bisa diukur dari definisi umum karena hal itu berhubungan dengan bentuk pilihan sosial mereka. "Masyarakat adat tidak pernah tidak siap dalam kehidupan demokrasi. Tetapi demokrasi mereka bukanlah demokrasi representatif, melainkan deliberatif yang lebih menekan pada musyawarah. Satu orang saja tidak setuju, maka musyawarah akan terus berlangsung. Maka soalnya apakah mereka yang tidak siap, atau jangan-jangan kita sendiri yang tidak siap memahami mereka," ujar Abdon.
Menanggapi perihal hubungan masyarakat adat dan otonomi daerah (otda), Abdon merasa pesimistis bahwa otda akan memberi kontribusi positif pada masayarakat adat. Ia menenggarai tak lama lagi UU Otda akan dibagi menjadi tiga, yang salah satunya mengatur desa. Di sinilah ia berharap bahwa desa akan menjadi ruang yang leluasa untuk mengintegrasikan nilai-nilai masyarakat adat.
Bersambung dengan ide ihwal desa adat, Taufik Rahzen justru lebih menariknya ke dalam fenomena masyarakat kontemporer yang bersandar pada revolusi teknologi informasi. Dalam fenomena itu desa adat yang dimaksud Abdon tidak melulu bersandar pada desa adat dalam pengertian lama.
Desa adat yang baru, kata dia, bisa muncul di jejaring sosial Facebook atau Twitter. Di dalamnya ada etik, aturan, dan pemangku. Masyarakat desa adat yang disampaikan Abdon bisa diterapkan dalam situasi kontemporer sekarang. Kita sedang menuju ke sana, di mana sandaran menuju ke suatu etik tidak hanya dari masa lampau, tetapi juga di masa depan.
Seminar ini akhirnya memang meninggalkan jejak pemikiran betapa masyarakat adat haruslah diletakkan dalam konteks masa depan untuk menjawab situasi kekinian. Rendra menjadi tempat pertemuan ketika banyak orang percaya bahwa kemarin, esok, adalah hari ini. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 1 November 2009
No comments:
Post a Comment