Yudhistira A.N.M. MassardiPROVOKASI adalah rangsangan fisik maupun nonfisik yang menimbulkan kemarahan. Kebrutalan adalah tindakan kekerasan yang sewenang-wenang dan telengas.
Tentang ini, dalam pesan BlackBerry-nya, seorang mahasiswa Universitas YAI di Salemba, Jakarta Pusat—yang jalan depan kampusnya menjadi tempat aksi demonstrasi antipenaikan harga BBM pada 29 Maret 2012—membuat deskripsi yang pas:
"Tolong catat baik-baik yah, kami mahasiswa YAI gak memulai rusuh, kami hanya bereaksi atas serangan yang membabi buta ke arah kampus kami. Apakah kami salah bila kami gak mau ikut-ikutan demo? Kami tentu saja gak setuju BBM naik, tapi kami juga gak suka berbuat anarki. Pada saat kejadian, posisi kami terpojok di dlm kampus berusaha mengamankan pintu gerbang sambil menyelamatkan kendaraan-kendaran kami...."
Artinya, ketika itu, para mahasiswa YAI tidak terlibat dalam aksi demonstrasi yang berlangsung di depan kampusnya itu. Namun, mereka kemudian mengalami provokasi tersebut, dan menjadi korban dari kebrutalan, sebagaimana dilukiskan kemudian:
"Tapi yang ada kami malah diserang tembakan peluru karet, gas air mata dan bom molotov secara membabi-buta. Dan yang paling kami sesalkan, polisi yang seharusnya mengamankan justru jadi pihak yang menyerang. Kalian gak tahu betapa kalutnya kami di dalam kampus. Kalian juga gak tahu bahwa di dalam kami tidak bisa berbuat banyak memberikan pertolongan pertama pada teman-teman kami yang terluka akibat peluru karet dan penyakitnya kambuh karena shock dan terhirup gas air mata dengan obat-obatan seadanya, kami menghubungi ambulans, tapi gak ada yang bersedia datang. Lalu kalau teman-teman kami itu tidak dapat tertolong, apa kalian semua bisa mengganti nyawa orang-orang itu?"
Saling Tumpas
Dalam dua pekan terakhir sejak demo antipenaikan harga BBM marak di berbagai tempat, melalui media massa, khususnya televisi, kita menyaksikan betapa para anggota kepolisian bertindak brutal menghadapi para demonstran: memukuli, menendang, menginjak-injak dan menembakkan gas air mata serta meletupkan senjata api.
Di pihak lain, kita juga melihat para demonstran melakukan aksi pelemparan batu, pembakaran ban, bahkan membakar mobil serta merusak pos polisi.
Kedua belah pihak telah termakan provokasi yang, terutama, terpicu oleh posisi saling berhadapan, seakan-akan mereka adalah musuh bebuyutan yang harus saling tumpas. Status bahwa para demonstran adalah wakil yang coba menyuarakan aspirasi rakyat, dan polisi adalah penjaga ketertiban dan pengayom masyarakat, menguap di tempat kejadian. Ketika bentrokan meletus, tampak bahwa aksi kekerasan itulah yang seakan-akan mereka tunggu-tunggu, atau menjadi tujuan dari kehadiran mereka di tempat itu.
Kita juga melihat bahwa satuan polisi, yang didukung tentara—yang justru meningkatkan daya provokasi terhadap demonstran—bukannya mengambil posisi berjajar melindungi sarana umum, melainkan berbaris rapat menghadang para demonstran secara frontal. Sehingga, begitu kedua pihak kehilangan jarak, kekerasan yang diawali dengan aksi dorong-tahan pun berubah menjadi kebrutalan.
Polisi tidak mengambil langkah persuasi melainkan represi. Dengan demikian, keberingasan pun dilakukan, tidak hanya terhadap para demonstran, tetpi juga terhadap wartawan. Karena takut gambarnya disiarkan, mereka tidak hanya meminta hasil rekamannya, tatapi juga memukuli para jurnalis itu—menyempurnakan kebrutalan para petugas keamanan. Seperti di negara-negara totaliter yang ketinggalan zaman.
Kebrutalan Sesungguhnya
Sejauh ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh para demonstran di berbagai tempat, jika dikalkulasikan dengan uang, nilainya sesungguhnya tidak seberapa dibandingkan dengan harta negara yang dijarah para koruptor di bawah rezim Pemerintahan SBY. Apalagi para pelaku kejahatan yang luar biasa itu, sebagian besar masih bergentayangan dan dibiarkan terus menimbulkan kerusakan moral dan mental di seluruh tubuh bangsa.
Sesungguhnya jika para penegak hukum hendak menumpas gerombolan penghancur sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, para koruptor itulah yang pertama kali harus ditumpas sebengis-bengisnya, dan bukan para mahasiswa/demonstran.
Para pengunjuk rasa itu turun ke jalan bukan semata-mata karena terprovokasi rencana penaikan harga BBM, melainkan oleh para koruptor yang bersemayam di bawah kekuasaan. Bahwa SBY tak bersungguh-sungguh memberantas korupsi, itulah provokasi dan kebrutalan yang sesungguhnya, yang tidak hanya memakan korban para mahasiswa, melainkan mayoritas rakyat Indonesia.
Jika para koruptor itu ditumpas dengan keras dan seluruh harta mereka disita untuk negara, serta pajak-pajak dipungut serta dikumpulkan secara benar, bukan hanya harga BBM tidak perlu dinaikkan, melainkan fasilitas pendidikan dan kesehatan pun bisa digratiskan untuk seluruh bangsa!
Sumber : Lampost 9 April 2012
No comments:
Post a Comment