Tuesday, April 10, 2012

Bahaya Laten Konflik Lahan

Fajar Kurnianto

Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
KASUS Mesuji tampaknya belum usai. Setelah menjadi isu nasional, ratusan orang tak dikenal menyerbu kompleks perkantoran Divisi I PT BSMI Februari lalu. Tak hanya menyerbu kompleks perkantoran, massa diduga membakar gedung-gedung di kompleks perkantoran tersebut.

Rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pimpinan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana belum cukup ampuh menyelesaikan masalah. Rekomendasi tim tidak menyentuh masalah substantif, yakni sengketa lahan.

Belum tuntasnya masalah agraria, seperti di Mesuji, menunjukkan rendahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria di negeri ini. Pemerintah masih saja berperan seperti pemadam kebakaran. Ketika konflik berujung tindak kekerasan dan perang fisik antarpihak yang bersengketa, barulah pemerintah turun tangan.

Ketika sudah banyak jatuh korban, baru pemerintah datang. Petugas keamanan tampaknya juga lemah mengantisipasi. Malah terkesan, mereka berada di salah satu kubu yang berseteru. Biasanya, di pihak para pengusaha dan pengelola lahan. Mereka dibayar untuk menjaga. Padahal, mereka seharusnya bersikap netral.

Fungsikan BPN

Masalah utama sebenarnya adalah sengketa lahan. Tentang batas-batas lahan, antara milik pengusaha atau pengelola dan milik warga sekitar. Seharusnya ini yang diselesaikan dulu, misalnya dengan cara pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pengusaha atau pengelola lahan juga mestinya menyadari jika status tanah belum jelas betul, usaha di situ jangan diteruskan.

Sayangnya, ini tidak mereka lakukan. Mereka terus saja melakukan aktivitas usaha sambil mempertahankannya dengan membayar aparat keamanan. Ini yang akhirnya memicu kemarahan warga sekitar. Tindakan kekerasan warga juga tidak bisa dibenarkan. Tapi, tetap meneruskan usaha di lahan sengketa juga sama tidak bisa dibenarkan.

Ini masalah konflik lahan antara warga dan pengusaha dan resolusi konflik perlu melibatkan pemerintah sebagai mediator. Kasus Mesuji yang belum lama memakan korban tewas beberapa warga, lalu terulang kembali, meski yang baru-baru ini tidak memakan korban jiwa. Ini menjadi gambaran bahwa peran pemerintah begitu minimal.

Pemerintah seperti tidak punya kemauan politik untuk menyelesaikan konflik, padahal sebenarnya tidak terlalu sulit. Rendahnya kemauan politik pemerintah membuat situasi seperti tidak menentu. Tidak ada kepastian. Baik warga maupun pengusaha pada akhirnya akan tetap dengan pendiriannya, berada dalam situasi tegang dan saling curiga. Berbagai rumor dan isu akan dengan mudah menjadi pemantik pecahnya konflik.

Pembakaran gedung milik PT BSMI menurut warga karena ada isu bahwa pihak perusahaan akan mendatangkan lebih banyak lagi aparat keamanan untuk menjaga tetap berjalannya aktivitas di situ. Artinya, perkembangan ke arah penyelesaian masalah tidak kunjung menemukan titik terang.

Isu ini bisa jadi benar, bisa juga tidak. Dalam situasi ketegangan dan kondisi penuh ketidakpastian, sebuah isu bisa meledakkan masalah dan memicu konflik baru yang terus-menerus. Apa susahnya pemerintah mempertemukan pihak yang bersengketa, duduk bersama, membicarakan persoalan? Tidak ada asap kalau tidak ada api.

Konflik akan terus terjadi, dan peristiwa yang sama akan terulang, jika pemerintah tidak kunjung memberi kepastian penyelesaian yang tuntas dan bisa diterima masing-masing pihak. Membiarkan masalah sama dengan membiarkan bara-bara dalam sekam menjadi api yang sewaktu-waktu akan berkobar.

Netralitas Pemerintah

Dalam setiap konflik lahan antara warga dan pengusaha selain kemauan politik yang rendah, pemerintah kerap mengambil posisi yang tidak adil. Terlalu berpihak kepada pengusaha dengan mengorbankan warga. Atau, bisa juga sebaliknya.

Masalahnya bukanlah soal keberpihakan pemerintah di salah satu kubu, tapi berpihak kepada kebenaran dan menjunjung tinggi asas keadilan. Warga tentu saja tidak selalu benar, seperti juga pengusaha yang menjadi lawan sengketanya.

Pemerintah juga tidak selalu benar. Tapi, pemerintah bisa berperan menjadi penyelesai sengketa secara baik dan adil jika taat hukum dan aturan main yang berlaku untuk penyelesaian konflik. Pemerintah, misalnya, punya BPN, yang bertugas menata dan menangani persoalan-persoalan pertanahan. Badan ini perlu dilibatkan secara maksimal.

Selama ini, akar konflik lahan yang banyak berujung pada tindakan anarki sebenarnya berakar dari sengketa lahan. Ini masalah paling mendasar yang harus diselesaikan. Pemerintah atau aparat jangan hanya terpaku pada kejadian di permukaan, misalnya kerusuhan, kekerasan, pembakaran, dan sejenisnya, tanpa melihat akarnya.

Tidak maksimalnya penyelesaian sengketa tanah bisa menjadi bahaya laten, dan sewaktu-waktu bisa meledak menjadi prahara. Apa yang terjadi belum lama ini menjadi bukti nyatanya.

Peran maksimal pemerintah sebenarnya sangat diharapkan. Tidak hanya pada kasus sengketa lahan di Mesuji, tapi juga di wilayah-wilayah lain. Pemerintah bisa menjadi jembatan yang membangun tradisi dialog dan menghidupkan komunikasi yang tampaknya seperti mati antara pihak-pihak yang bersengketa.

Sayangnya, ini yang tampaknya luput dari perhatian pemerintah. Tidak hanya itu, reaksi pemerintah juga terkesan lambat, tidak hanya dalam hal penyelesaian, tapi juga dalam hal antisipasi ledakan konflik. Aparat keamanan yang seharusnya menjadi garda depan yang mengantisipasi sering memosisikan diri tidak sebagai pihak netral yang menjaga situasi agar tetap kondusif, tapi malah menjadi bagian dari konflik karena berpihak kepada pengusaha yang membayar jasa keamanan kepada mereka. Sikap keberpihakan ini yang harus dibongkar dan diganti dengan netralitas untuk menyelesaikan konflik secara adil. n

No comments:

Post a Comment