Tuesday, April 10, 2012
Kearifan Menata Pesisir
Ika Sudirahayu
Pemerhati Sosial
PERTENGAHAN Maret 2012 Pemerintah Kota Bandar Lampung menyerahkan draf usulan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penataan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ke DPRD.
Beberapa bulan ke depan draf raperda tersebut dikaji dan dibahas di legislatif untuk disahkan sebagai perda. Munculnya raperda tersebut tak terlepas dari kecurigaan banyak kalangan terkait dengan maraknya reklamasi pesisir di Bandar Lampung.
Secara normatif, dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut mencakup bagian laut yang dipengaruhi proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Pesisir juga memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang kaya. Namun, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan kecenderungan pembangunan yang masih berorientasi ke darat akhirnya menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa.
Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.
Kekayaan laut menimbulkan daya tarik berbagai pihak untuk memanfaatkan sumber dayanya dan berbagai instansi untuk mengatur pemanfaatannya.
Dilihat dari fungsinya, kawasan pesisir memiliki peran penting. Di pesisirlah pendatang dari berbagai daerah bertemu. Pesisir menjadi mozaik sosial dan budaya. Ekosistem yang paling beragam, rumit, dan produktif terletak di kawasan pesisir. Peran pesisir juga penting dalam pengadaan pangan. Pulau-pulau yang secara keseluruhan dapat dianggap sebagai kawasan pesisir menumbuhkan dan menjaga keunikan sosial, budaya, dan ekologi.
Persoalan Sosial
Pesatnya perkembangan pembangunan di pesisir secara langsung akan memengaruhi kondisi pantai. Apabila perkembangan pembangunan tersebut tidak memperhatikan tata ruang kota serta pengelolaan lingkungan yang lemah, dapat menimbulkan berbagai persoalan sosial.
Hal paling mudah dilihat adalah tumbuhnya daerah kumuh (slum) yang ditunjukkan dengan buruknya keadaan lingkungan, kurangnya fasilitas sosial, dan berbagai permasalahan lingkungan lainnya.
Data BPS menyebutkan Bandar Lampung memiliki garis pantai kurang lebih 27 km yang terbentang di tiga kecamatan: Panjang, Telukbetung Selatan, dan Teluk Betung Barat. Ironisnya, sampai kini hampir semua wilayah pesisir dalam kondisi memprihatinkan. Kemiskinan dan kekumuhan menjadi ikon yang melekat di benak masyarakat.
Supaya pembangunan kawasan pesisir bisa langgeng berkelanjutan, perlu adanya pembagian zonasi yang tepat dalam mengalokasikan ruang, memilah kegiatan sinergis, dan pengendaliannya. Dengan penerapan zonasi, berarti wilayah pesisir menjadi zona sesuai peruntukannya. Kegiatan yang saling mendukung memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan. Untuk itu, penerapan zonasi harus memperhatikan kebijakan pemerintah pusat/daerah dan kepentingan masyarakat.
Raperda Pesisir harus mampu menjawab beberapa isu dan permasalahan tersebut. Pertama, kemiskinan (kesejahteraan masyarakat). Aktivitas ekonomi masyarakat di pesisir Bandar Lampung cukup tinggi sehingga akan memberikan pengaruh besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Kita semua memahami masyarakat nelayan masih banyak yang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan dan tekanan ekonomi masyarakat pesisir memang tidak bisa dihindari. Masyarakat harus berpikir ekstra dan melakukan spekulasi yang terkadang berlebihan untuk melepaskan diri dari situasi serbakekurangan.
Penataan pesisir juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyaraka itut. Tumbuh-kembangnya ekonomi masyarakat di wilayah pesisir haruslah menjadi prioritas pemerintah. Yang menjadi catatan adalah tidak semua masyarakat pesisir berprofesi sebagai nelayan, ada pedagang kecil, buruh, dan pekerjaan lainnya. Untuk itu, diperlukan upaya konkret dan komprehensif mengatasi masalah tersebut.
Kedua, permukiman warga yang layak. Permukiman warga yang layak, sehat, dan tertata juga menjadi permasalahan krusial di pesisir. Butuh kearifan lokal dalam penataan pesisir. Satu sisi kondisi kumuh harus diatasi, tapi hak bermukin harus juga dipenuhi.
Jangan sampai nantinya peraturan yang dibuat tidak berpihak kepada mereka, dalam artian adanya penggusuran permukiman warga. Permukiman yang baik harus memperhatikan beberapa aspek, antara lain ketersediaan air bersih, sanitasi, dan infrastruktur pendukung lainnya.
Ketiga, lingkungan hidup. Tidak dapat dimungkiri buruknya penataan pesisir akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem. Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi tersebut, kebijakan lingkungan hidup ditujukan pada upaya mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan.
Ketegasan Pemerintah
Untuk menyukseskan pengelolaan lingkungan yang baik di wilayah pesisir, harus adanya ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum untuk menghindari perusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan. Dan yang tidak kalah penting ialah pelibatan peran serta masyarakat dan kekuatan ekonomi (pihak ketiga) dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Keempat, bahaya bencana alam. Bencana yang berpotensi besar terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, di antaranya tsunami, banjir, abrasi pantai, dan badai.
Upaya mengurangi dampak negatif akibat bencana itu perlu dilakukan tindakan penanggulangan, seperti sistem peringatan dini, pemindahan/relokasi, tata ruang/zonasi, pelatihan, dan simulasi mitigasi serta penetapan sempadan pantai.
Penataan pesisir harus menerapkan asas keadilan serta kearifan lokal. Sampai saat ini penataan pesisir Bandar Lampung belum menemukan arah yang jelas. Hal ini karena adanya ketidaksinkronan antara keinginan Pemkot dan masyarakat pesisir.
Politik kepentingan harus dienyahkan jauh-jauh dalam hal ini. Kepentingan masyarakatlah yang harus menjadi prioritas sebagai landasan kebijakan. Kita berharap eksekutif dan legislatif agar lebih arif membuat peraturan. Masyarakat tentu tidak menginginkan Bandar Lampung menjadi kota yang kumuh.
Sumber : Lampost Minggu 1 April 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment