STRUKTUR PEMUKIMAN MASYARAKAT LAMPUNG PADA MASA LAMPAU
NANANG SAPTONO
Tim penelitian bersama masyarakat setempat
PENDAHULUAN
Masyarakat Lampung pada umumnya mengenal sistem “pemerintahan adat” Marga. Dalam satu Marga yang dikepalai oleh pasirah marga, terbagi atas beberapa kampung yang dipimpin oleh kepala kampung. Tiap-tiap kampung terdiri beberapa suku yang dipimpin kepala suku (Anonim, 2003: 1). Hierarkhi ini juga tercermin pada fisik pemukimannya. Masyarakat yang terdiri dari beberapa suku mendiami satu kawasan disebut tiyuh. Kelompok beberapa tiyuh membentuk satu marga. Kampung sebagai sistem organisasi pemerintahan adat, yang secara fisik disebut tiyuh, dapat mengalami pemekaran. Anggota masyarakat suatu tiyuh diperbolehkan membuka hutan untuk tanah garapan. Tanah garapan ini disebut umbulan. Apabila umbulan tersebut memenuhi berbagai persyaratan untuk lokasi tinggal, maka dapat berkembang menjadi tiyuh. Sebelum menjadi tiyuh, umbulan menginduk pada kampung asalnya. Masyarakat yang mendiami umbulan disebut tepuk. Apabila sudah memenuhi persyaratan adat, umbulan secara fisik dapat meningkat menjadi tiyuh, sedangkan secara organisasi pemerintahan berkembang menjadi kampung. Masyarakatnya berkembang dari tepuk menjadi suku. Dengan demikian umbulan merupakan cikal bakal suatu tiyuh.
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay, Kecamatan Tulangbawang Udik. Kedua kampung itu walaupun merupakan dua sistem administrasi yang berada namun berada pada satu wilayah. Dengan demikian secara tegas batas kedua wilayah kampung tersebut sedikit sulit diketahui. Namun demikian secara adat masyarakat di kedua kampung itu dengan mudah mengetahui perwilayahannya. Masyarakat Kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay secara adat termasuk dalam marga Buay Bulan. Pada masyarakat kampung ini terdapat ikatan emosi dengan situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou).
Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2000 dan 2002 telah melakukan penelitian di situs ini dalam bentuk observasi permukaan (Saptono, 2000: 135-136; 2002: 88-89). Berdasarkan data etnohistori yang diperoleh pada penelitian tersebut, situs Benteng Sabut berkaitkan dengan tokoh Minak Kemala Kota dan Minak Ratu Guruh Malay (Saptono, 2002: 91-94). Kedua tokoh ini sama-sama merupakan pendatang. Minak Kemala Kota merupakan keturunan Moyang Junjungan dari daerah Krui. Keturunan Moyang Junjungan bermigrasi ke daerah Sekalaberak dan pada masa Minak Kemala Kota mendirikan perkampungan di Bujung Menggalou (Benteng Sabut). Pada suatu saat di Bujung Menggalou datang Minak Guruh Malay. Masyarakat memperkirakan tokoh Minak Guruh Malay berasal dari Jambi atau Malaka. Di Tulangbawang Minak Guruh Malay mendiami Bujung Malay, sebelah tenggara Bujung Menggalou berjarak sekitar 2,5 km.
Minak Guruh Malay ketika meninggal dimakamkan di Kampung Pekurun, sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Abung Tengah, Kabupaten Lampung Utara. Pada saat sekarang keturunan Minak Kemala Kota merupakan masyarakat Kampung Gunungkatun Tanjungan dan keturunan Minak Guruh Malay merupakan masyarakat Gunungkatun Malay. Pada masa Minak Muttah Dibumi terjadi peristiwa konfrontasi antara Benteng Sabut dengan Gunung Terang (Way Kanan) yang melibatkan Prajurit Putinggelang.
Berkaitan dengan permukiman adat, konsep tiyuh pada masyarakat Tulangbawang dapat disamakan dengan konsep wanua pada masyarakat Austronesia pada umumnya. Wanua, Banua, atau Nua bagi masyarakat Kayuagung, Komering, dan Lampung merujuk pada permukiman masyarakat desa dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang otonom (Wiryomartono, 1995: 17). Wanua pada masyarakat Jawa Kuna juga merujuk pada permukiman masyarakat setingkat desa. Wanua pada masyarakat Jawa Kuna dipimpin oleh Rama (Sumadio, 1990: 190). Dalam masyarakat tiyuh terlihat sudah ada konsep kepemimpinan. Dapat dipastikan tiyuh sebagai wilayah untuk bertempat tinggal akan memuat masyarakat yang jenjang sosial dan pola kegiatannya berragam.
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) merupakan pemukiman yang dilengkapi benteng dan parit keliling. Pada lokasi tersebut juga dijumpai adanya makam tokoh. Persoalannya, bagaimanakah intensitas keberlangsungan pemukiman di kawasan situs tersebut. Permasalahan selanjutnya, dari segi fisik bagaimana pemanfaatan ruang pemukiman dalam skala semi mikro dan bagaimana watak permukiman yang pernah berlangsung. Secara kronologis, kapan penghunian situs berlangsung.
Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian di situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) dimaksudkan untuk mengungkap pola pemanfaatan lahan yang ada sesuai dengan ragam aktivitas yang pernah ada. Secara awal dapat diketahui bahwa penghunian di situs Benteng Sabut terdapat ragam aktivitas selain bertempat tinggal juga ada aktivitas industri. Sistem organisasi sosial masyarakat Tulangbawang pada umumnya, dikenal adanya jenjang pemerintahan adat berupa suku dan marga. Dalam satu kampung (tiyuh) ditempati satu suku, kadang-kadang beberapa suku. Beberapa suku ini kemudian membentuk satu marga. Dengan demikian kampung yang mempunyai status sebagai “ibukota” marga dimungkinkan mempunyai kekhususan tertentu. Dilihat dari aspek jenjang masyarakat adat tersebut, akan diungkap pula watak permukimannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian tipe gabungan antara eksploratif dan deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dalam bentuk observasi permukaan dan ekskavasi. Di samping itu pengumpulan data khususnya yang berkaitan dengan masyarakat adat dilakukan dalam bentuk kajian pustaka dan wawancara. Data hasil observasi, ekskavasi, serta wawancara dan kajian pustaka diharapkan dapat memberikan gambaran sebagaimana permasalahan yang ada sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Ruang lingkup penelitian ditekankan pada kondisi fisik objek arkeologis baik yang bersifat artefaktual maupun non artefaktual. Selain itu juga menyangkut kondisi lingkungan alam dan sejarah kemasyarakatan khususnya dalam hal masyarakat adat.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Situs
Situs Benteng Sabut secara geografis berada pada kelokan sungai utama (Way Kiri) pada posisi 430’20” LS dan 10500’21” BT, Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Sungai ini berhulu pada bukit kecil di sebelah utara situs, kemudian berkelok-kelok ke arah tenggara hingga timur dan bermuara di Way Kiri di sebelah selatan Benteng Sabut. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Sungai ini mengalir dari arah barat daya. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng. Lokasi Benteng Sabut oleh masyarakat setempat juga dikenal dengan sebutan Bujung Menggalou.
Fakta arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fitur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut sepanjang 110 m hingga sudut barat daya. Benteng dan parit kemudian belok ke arah utara agak ke timur hingga sepanjang 70 m yang merupakan pertengahan sisi barat laut benteng dan parit, selanjutnya agak berbelok ke arah timur hingga mencapai jarak 70 m yang juga merupakan sudut timur laut. Pada sudut ini parit ada yang ke arah barat laut sepanjang 20 m hingga ke Bawang Petahi, dan juga ada yang ke arah tenggara sejauh 110 m hingga Way Kiri. Parit pada bagian ini lebarnya berkisar antara 5 hingga 7 m dengan kedalaman berkisar 0,5 hingga 1,5 m. Lahan bagian ini merupakan inti pemukiman yang luasnya sekitar 1,4 hektar.
Fakta artefaktual yang pernah ditemukan di bagian ini berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias. Selain itu terdapat beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Fragmen tembikar yang merupakan bagian dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir.
Di sebelah barat laut bagian inti pemukiman berjarak sekitar 50 m terdapat parit membentang arah timur laut – barat daya. Pada Ujung timur laut bermula dari Bawang Petahi ke arah barat daya sejauh 150 m. Parit ini pada ujung barat daya lebarnya 12 m, sedangkan pada ujung timur laut lebarnya 7 m. Kedalam berkisar 1 – 1,5 m. Di ujung barat daya parit belok ke arah tenggara sepanjang 55 m dan selanjutnya tidak tampak lagi jejak-jejaknya. Parit yang membentang arah timur laut – barat daya kemudian belok ke arah tenggara ini membentuk lahan berpola segi empat dengan luas sekitar 0,7 hektar. Di tengah lahan ini terdapat fitur tumulus berdiameter sekitar 3 m tinggi 0,7 m. Di tempat ini pada sekitar tahun 1980 pernah ditemukan guci.
Di sebelah barat daya benteng, pada seberang Way Pikuk terdapat dua fitur tanggul. Fitur tanggul pertama terdapat di sebelah barat daya parit luar sisi barat laut. Dari ujung Way Pikuk tanggul tersebut membujur ke arah barat sepanjang 20 m kemudian belok ke arah barat daya hingga selatan sepanjang 30 m. Lebar tanggul sekitar 4 m dengan ketinggian sekitar 0,5 m. Tanggul kedua terletak di sebelah barat daya lahan benteng. Tanggul tersebut membujur arah timur laut – tenggara sepanjang 30 m. Lebar tanggul 8 m dengan ketinggian 1,5 – 2 m.
Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur makam kuna. Menurut keterangan masyarakat tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak dilengkapi nisan. Orientasi makam relatif ke arah utara – selatan (N 350 E). Lebar makam 2,16 m dan panjangnya 3,8 m.
Di sebelah tenggara situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) terdapat parit yang disebut kenali. Lokasi tersebut berada pada kelokan sungai yang membentuk suatu daratan memanjang yang dinamakan Bujung Malay. Keadaan parit membentang arah utara – selatan (N 323° E) menghubungkan kedua sisi sungai. Bagian atas parit lebarnya 4,30 m sedangkan bagian dasar lebarnya 3,60 m. Kedalaman 1,25 m.
Deskripsi Hasil Ekskavasi
Ekskavasi di situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) dilakukan pada empat kotak gali yaitu LU I, LU II, LU III, dan LU IV. Tiap-tiap kotak gali berukuran 1 X 1 m. Pembukaan kotak dilakukan dengan teknik spit. Penggalian spit pertama dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari titik nol bantu. Spit selanjutnya berinterval 10 cm.
Kotak LU I
Kotak LU I terletak di bagian pertengahan sisi tenggara benteng. Penggalian kotak ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang aktifitas yang pernah berlangsung, dengan pertimbangan pada penelitian terdahulu di lokasi tersebut banyak ditemukan manik-manik.
Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Artefak yang terdapat di permukaan kotak berupa kerak besi, fragmen tembikar, dan fragmen keramik asing.
Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari SDP. Tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Pada spit ini akar rumput dan akar singkong banyak dijumpai. Temuan berupa manik-manik, fragmen tembikar, fragmen keramik, dan logam.
Spit 2 hingga mencapai kedalaman 30 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Akar tanaman masih banyak dijumpai. Artefak berupa fragmen tembikar, manik-manik, fragmen keramik, dan kerak besi ditemukan merata di seluruh kotak gali.
Spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah sebagaimana spit sebelumnya yaitu berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Akar sudah mulai jarang dijumpai. Hingga kedalaman spit ini temuan berupa fragmen tembikar, fragmen keramik, dan kerak besi masih dijumpai namun sudah mulai menipis. Pada akhir spit, di sisi timur kotak ini dijumpai adanya konkresi.
Pada spit 4 hingga kedalaman 50 cm. Keadaan tanah ada perubahan, yaitu berwarna kecoklatan. Jenis dan teksturnya masih seperti pada tanah spit sebelumnya. Temuan berupa fragmen tembikar dan fragmen keramik masih dominan. Pada awal penggalian yaitu di kedalaman 40 cm dijumpai arang. Di bagian barat laut kotak pada dinding sisi utara pada kedalaman 43 cm ditemukan gigi vertebrata.
Penggalian spit 5 dilakukan hingga kedalaman 60 cm, keadaan tanah berpasir kecoklatan. Tekstur mengalami perubahan yaitu halus sampai sedang, agak padat. Temuan berupa fragmen tembikar mulai menipis, merata di seluruh kotak gali. Sisa arang ditemukan di bagian barat daya kotak pada kedalaman 57 cm dan 60 cm. Pada akhir spit, yaitu kedalaman 59 cm, di bagian barat laut kotak terdapat kerak besi.
Temuan pada penggalian spit 6 berkurang. Pada sisi barat kotak gali terdapat fetur dengan warna tanah kehitaman. Pada bagian ini ditemukan artefak berupa fragmen tembikar. Selain itu juga ditemukan arang. Spit 6 diakhiri hingga kedalaman 70 cm
Penggalian pada spit 7 dilakukan setengah kotak yaitu sisi barat. Temuan semakin sedikit, berupa fragmen tembikar. Arang ditemukan di bagian selatan sisi barat pada kedalaman 73 cm. Penggalian diakhiri hinggi spit ini. Pada akhir penggalian terlihat stratigrafi terdiri dari dua lapisan. Lapisan atas tanah berwarna hitam pasiran dan pada lapisan bawah tanah berwarna kecoklatan agak merah.
Kotak LU II
Kotak LU II terletak di bagian timur lahan situs, sebelah utara Kotak LU I. Penentuan lokasi kotak LU II karena pada permukaan tanah banyak ditemukan fragmen tembikar. Dengan ekskavasi di lokasi ini diharapkan dapat diketahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung. Permukaan tanah cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih rendah dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Artefak yang terdapat di permukaan kotak berupa fragmen tembikar yang terkonsentrasi di bagian barat laut kotak gali.
Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari SDP. Tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai sedang. Pada spit ini akar rumput dan umbi-umbian banyak dijumpai. Temuan berupa fragmen tembikar, dan fragmen keramik.
Spit 2 hingga mencapai kedalaman 30 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedikit berbeda dengan spit 1 yaitu sedang sampai kasar. Pada sudut barat laut dijumpai fetur humus berwarna hitam. Akar tanaman masih banyak dijumpai namun sudah berkurang. Artefak fragmen keramik ditemukan di sudut tenggara kotak gali.
Spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman tekstur kasar. Kandungan humus berkurang, akar sudah mulai jarang dijumpai. Hingga kedalaman spit ini temuan berupa fragmen tembikar dijumpai secara sporadis. Arang ditemukan di bagian tenggara kotak gali pada kedalaman 36 cm. Di bagian timur laut ditemukan kerak besi pada kedalaman 39 cm. Di sekitar temuan kerak besi ini tanah berupa pasir putih.
Pada spit 4 kedalaman hingga mencapai 50 cm. Keadaan tanah pada mulanya pasir kehitaman bercampur humus. Akar sudah tidak dijumpai lagi. Pada pertengahan kedalam spit ini tanah mulai berganti pasir putih. Di bagian tenggara, pada pasir berwarna putih ditemukan arang. Temuan artefaktual berupa fragmen tembikar antara lain bagian pegangan kibu. Pada dinding selatan bagian timur pada kedalaman 47 cm terdapat kumpulan fragmen tembikar.
Penggalian spit 5 dilakukan hingga kedalaman 60 cm, tanah bercampur pasir putih dengan tekstur kasar sangat dominan. Temuan berupa fragmen tembikar sedikit ditemukan. Temuan berupa fragmen tembikar terkonsentrasi di sudut tenggara. Di sudut barat laut ditemukan kerak besi. Tumpukan fragmen tembikar yang terdapat di dinding selatan bagian timur yang mulai terlihat pada spit 4 berlanjut hingga spit 5.
Penggalian spit 6 dilakukan setengah kotak yaitu bagian sisi selatan. Kondisi tanah bercampur pasir putih kekuningan. Hingga akhir spit sudah tidak ditemukan benda arkeologis lagi (steril). Spit 6 diakhiri hingga kedalaman 70 cm. Stratigrafi yang terlihat menunjukkan dua lapisan yaitu pada bagian atas tanah hitam pasiran dan di lapisan bawah tanah coklat kemerahan.
- Kotak LU III
Kotak LU III terletak di bagian tengah lahan situs. Penggalian kotak ini dimaksudkan untuk menguji apakah ada jejak aktifitas di bagian tengah lahan situs. Permukaan tanah cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah gembur berwarna coklat kekuningan tekstur halus sampai sedang. Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm. Tanah gembur berwarna coklat kekuningan merata di seluruh bagian kotak gali. Akar rumput dan pohon sejenis palmae banyak dijumpai, humus sangat sedikit. Pada spit ini temuan artefaktual berupa fragmen tembikar dan keramik.
Spit 2 keadaan tanah masih berwarna coklat kekuningan dengan tekstur halus sampai kasar. Pada spit ini tanah mulai padat. Akar rumput dan pohon jenis palmae masih dijumpai namun sangat sedikit. Temuan artefaktual berupa fragmen tembikar. Pada akhir spit 2 di sisi timur terdapat fragmen keramik. Penggalian dilakukan hingga kedalaman 30 cm.
Spit 3 keadaan tanah banyak mengandung pasir berwarna kecoklatan dengan tekstur kasar. Akar pohon jenis palmae masih dijumpai hingga akhir spit yaitu kedalaman 40 cm. Temuan berupa fragmen tembikar banyak terkonsentrasi di sisi utara kotak gali.
Pada spit 4 keadaan tanah di bagian sudut timur laut hingga sisi timur berwarna coklat kehitaman. Sedang di bagian sudut barat daya hingga sisi barat berwarna coklat kekuningan. Kedua jenis tanah ini agak padat bertekstur kasar. Temuan berupa fragmen tembikar sangat sedikit dijumpai. Penggalian diakhiri hingga mencapai kedalaman 50 cm.
Kotak LU IV
Kotak LU IV terletak di sudut selatan lahan situs. Observasi yang dilakukan pada penelitian terdahulu di lokasi ini banyak menemukan manik-manik dan kerak besi. Penggalian kotak ini diharapkan mendapatkan data tentang aktifitas yang ada hubungannya dengan temuan permukaan. Permukaan tanah cenderung rata. Keadaan permukaan ditumbuhi ilalang yang sangat tinggi. Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm. Tanah mengandung pasir berwarna kehitaman. Akar ilalang dan akar pohon kelapa sangat banyak. Keadaan seperti ini berlanjut hingga spit 2. Mula-mula penggalian dilakukan di kuadran IV (sudut barat daya). Benda arkeologis yang ditemukan terdiri fragmen tembikar, fragmen keramik, dan kerak besi. Ketika penggalian dilakukan pada bagian yang lain, keadaan tanah sama. Temuan fragmen tembikar dan fragmen keramik ditemukan lagi di kuadran II (sudut timur laut). Selain itu juga ditemukan lagi kerak besi.
Ekskavasi berlanjut pada spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berpasir hitam berangsur ke warna kecoklatan. Akar ilalang dan pohon kelapa masih dijumpai. Pada spit ini ditemukan fragmen tembikar dan kerak besi. Pada dinding selatan bagian timur dan bagian sudut tenggara, di akhir spit ditemukan fragmen tembikar dan arang.
Pada spit 4 penggalian dilanjutkan pada kuadran I dan II (bagian utara). Keadaan tanah berpasir warna kecoklatan. Temuan berupa fragmen tembikar dan manik-manik. Di tengah bagian utara ditemukan jejak fetur. Pada fetur tersebut tanah berwarna kehitaman.
ANALISIS TEMUAN
Temuan hasil penelitian setelah dilakukan pemilahan kemudian dianalisis. Pada penelitian kali ini, tujuan analisis temuan untuk mengetahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung dan kapan aktifitas tersebut berlangsung. Analisis terutama ditekankan pada temuan keramik asing. Anaslis keramik pada aspek tipologi dapat untuk mengetahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung, sedangkan pada aspek penanggalan untuk mengetahui kapan aktifitas itu berlangsung.
Ekskavasi di situs Benteng Sabut, Bujung Menggalou menemukan beberapa benda data arkeologis. Temuan hasil ekskavasi terdiri dari temuan artefaktual dan non artefaktual. Temuan artefaktual berupa fragmen alat yang terbuat dari batu, fragmen benda dari besi, fragmen benda dari perunggu, manik-manik, fragmen tembikar, dan fragmen keramik. Fragmen terdiri dari jenis earthenware, stoneware, porselain, dan kaca. Temuan non artefaktual berupa tatal batu, kerak besi, terakota, kulit kemiri (muncang, kemiling), getah damar, dan tulang/gigi.
Temuan hasil ekskavasi dapat memberikan gambaran persebaran baik secara horisontal maupun vertikal. Analisis temuan hasil ekskavasi ditekankan pada artefak keramik. Dari seluruh temuan keramik hasil ekskavasi tidak semuanya dianalisis. Keramik yang terlalu kecil atau kurang menunjukkan atribut kuat tidak dianalisis. Fragmen keramik yang dianalisis seluruhnya berjumlah 189 keping. Jumlah itu, dari kotak LU I sebanyak 117 keping, kotak LU II 24 keping, kotak LU III 8 keping, dan kotak LU IV 40 keping.
Hasil analisis secara tipologis, fragmen dari tipe mangkuk merupakan temuan terbanyak yaitu 109 keping (57,67 %). Di kotak LU I fragmen keramik dari tipe ini ditemukan sebanyak 73 keping (62,39 % dari temuan di kotak LU I atau 38,62 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan sebanyak 11 keping (45,83 % atau 5,82 %). Di kotak LU III ditemukan 3 keping (37,5 % atau 1,59 %). Di kotak LU IV ditemukan 22 keping (55 % atau 11,64 %).
Tipe selanjutnya adalah guci/tempayan yaitu 37 keping (19,58 %). Di kotak LU I fragmen keramik dari tipe ini ditemukan sebanyak 20 keping (17,09 % dari temuan di kotak LU I atau 10,58 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan sebanyak 7 keping (29,17 % atau 3,70 %). Di kotak LU III ditemukan 3 keping (37,50 % atau 1,59 %). Di kotak LU IV ditemukan 7 keping (17,50 % atau 3,70 %).
Terbanyak selanjutnya adalah tipe kendi yaitu 15 keping (7,94 %). Fragmen keramik dari tipe kendi hanya ditemukan di kotak LU I. Persentase berdasarkan pada seluruh temuan di kotak tersebut menunjukkan 12,82 %. Fragmen dari tipe cangkir ditemukan sebanyak 3 keping (1,59 %), dari tipe cepuk dan botol masing-masing 2 keping (1,06 %), dan dari tipe piring 1 keping (1,12 %). Selain itu sebanyak 20 keping (10,58 %) tidak dapat teridentifikasi tipologinya.
Analisis pada aspek penanggalan secara relatif diperoleh gambaran dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad III), Sui (abad VI – VII), T’ang (abad VII – X), Song (abad X – XIII), Yuan (abad XIII – XIV), Ming (abad XIV – XVII), Qing (abad XVII – XX), Thailand periode Shukothai (abad XIII – XIV), Annam (abad XV), dan Eropa (abad XIX – XX).
Hasil analisis penanggalan keramik menunjukkan bahwa keramik Cina masa dinasti Qing merupakan temuan terbanyak yaitu 32 keping (16,93 %). Temuan ini berasal dari kotak LU I sebanyak 25 keping (21,37 % dari temuan di kotak itu atau 13,22 % dari seluruh temuan) dan di kotak LU IV sebanyak 7 keping (17,5 % atau 3,70 %).
Fragmen keramik Cina masa dinasti Han dan keramik Thailand ditemukan masing-masing sebanyak 29 keping (15,34 %). Keramik Cina masa dinasti Han hanya ditemukan di kotak LU I. Sedang keramik dari Thailand ditemukan di kotak LU I sebanyak 16 keping (13,68 % dari temuan di kotak itu atau 8,47 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan 7 keping (29,17 % atau 3,70 %). Di kotak LU III ditemukan 1 keping (12,5 % atau 0,53 %). Di kotak LU IV ditemukan 5 keping (12,5 % atau 2,65 %).
Keramik Cina masa dinasti Ming ditemukan sebanyak 26 keping (13,76 %). Fragmen keramik ini di kotak LU I ditemukan sebanyak 14 keping (11,96 % atau 7,41 %). Di kotak LU II ditemukan 2 keping (8,33 % atau 1,06 %). Di kotak LU III ditemukan 1 keping (12,5 % atau 0,53 %). Di kotak LU IV ditemukan sebanyak 9 keping (22,5 % atau 4,76 %).
Keramik Cina masa dinasti Song dan Yuan masing-masing ditemukan 19 keping (10,05 %). Keramik masa dinasti Song di kotak LU I ditemukan sebanyak 10 keping (8,55 % atau 5,29 %). Di kotak LU II ditemukan 6 keping (25 % atau 3,17 %). Di kotak LU III ditemukan 2 keping (25 % atau 1,06 %). Di kotak LU IV ditemukan 1 keping (2,5 % atau 0,53 %). Keramik masa dinasti Yuan, di kotak LU I ditemukan sebanyak 7 keping (5,98 % atau 3,70 %). Di kotak LU II ditemukan 2 keping (1,71 % atau 1,06 %). Di kotak LU III ditemukan 2 keping (25 % atau 1,06 %). Di kotak LU IV ditemukan 8 keping (20 % atau 4,23 %).
Dari masa dinasti T’ang ditemukan sebanyak 11 keping (5,82 %). Fragmen keramik ini hanya ditemukan di kotak LU I. Persentase dari seluruh temuan di kotak itu sebanyak 9,40 %. Keramik dari Cina masa dinasti Sui ditemukan sebanyak 3 keping (1,59 %). Keramik dari Annam ditemukan sebanyak 2 keping (1,06 %). Keramik Eropa ditemukan 1 keping (0,53 %). Selain itu terdapat 18 keping (9,52 %) yang tidak dapat diidentifikasi penanggalannya.
SITUS BENTENG SABUT SEBAGAI PEMUKIMAN
Dalam skala lokal, pemukiman di Benteng Sabut mencirikan satu masyarakat “kota”. Beberapa data hasil ekskavasi memperlihatkan adanya multi subsistensi. Secara umum data yang ditemukan pada beberapa kotak gali menunjukkan kondisi yang sudah teraduk (disturb). Keteradukan secara vertikal diantaranya terlihat dari jejak fetur di kotak LU I dan LU IV. Secara horisontal keteradukan tidak terjadi secara intens. Dari kondisi semacam ini dapat menggambarkan pola keruangannya.
Artefak banyak ditemukan di kotak LU I, LU II, dan LU IV. Lokasi kotak gali ini berada pada bagian dekat tepian sungai. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemukiman (rumah) terkonsentrasi pada sisi dekat tepian sungai secara berjajar. Kotak LU III yang berada pada bagian tengah situs, kurang menghasilkan temuan. Bagian ini mungkin merupakan halaman kosong yang fungsinya bagi masyarakat secara komunal (public space).
Berdasarkan analisis tipologis terhadap temuan fragmen tembikar dan keramik menunjukkan bahwa ragam aktifitas masyarakat sangat dominan pada aktifitas rumah tangga. Dalam memenuhi kebutuhan juga terdapat aktifitas industri. Temuan fragmen manik-manik, lelehan bahan manik-manik, dan kerak besi menunjukkan adanya aktifitas industri. Dari temuan yang ada di Benteng Sabut menunjukkan adanya keragaman pola subsistensi. Pola yang demikian ini merupakan salah satu ciri masyarakat kota.
Secara fisik situs Benteng Sabut memang belum dapat dikatakan sebagai kota, yaitu bentuk pemukiman yang dianggap paling maju. Pengertian “kota”, hingga saat ini belum terdapat suatu batasan yang dapat diterapkan secara universal. Pada kebudayaan yang berbeda-beda, elemen-elemen yang berbeda telah digunakan sebagai persyaratan minimum bagi sebuah permukiman untuk dapat disebut sebagai kota (Rapoport, 1986: 22). Sebagai contoh pemukiman jaman pengaruh Islam di Indonesia, sudah dapat dikatakan kota apabila sudah dilengkapi kraton sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah (ritual), dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Dengan demikian keanekaragaman pengertian kota disebabkan pula karena perkembangan zaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan.
Max Weber (1977: 13) melalui pendekatan ekonomik melihat “kota” bukan berdasarkan ciri fisik. Suatu pemukiman disebut “kota” bila penduduk lokal memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonomi sehari-harinya di pasar lokal, kebanyakan dengan barang komoditas yang dihasilkan dengan berbagai cara oleh penduduk setempat atau daerah pemangku terdekat. Pasar lokal merupakan pusat ekonomi bagi koloni. Berkat ada kegiatan ekonomi maka penduduk kota maupun luar kota memenuhi kebutuhannya akan barang perdagangan. Bila hal itu merupakan suatu konfigurasi yang berlainan dengan pemukiman kecil, maka wajar bila kota menjadi tempat tinggal tuan tanah atau bangsawan. Melalui pendekatan ini tampak bahwa kota merupakan pusat dua hal yaitu oikos (rumah) dan pasar. Kota selain sebagai pasar biasa, pada waktu-waktu tertentu berfungsi pula sebagai pasar barang dari luar (asing) bagi saudagar perantau.
Berkaitan dengan dua hal yaitu oikos dan pasar, Benteng Sabut menurut cerita sejarah merupakan oikos bagi tokoh-tokoh diantaranya Minak Kemala Kota. Para pendatang kemudian membangun tempat tinggal di sekitarnya. Minak Ratu Guruh Malay bertempat tinggal di Bujung Malay. Sedang Prajurit Puting Gelang bertempat tinggal di Umbul Lebung. Benteng Sabut sebagai pusat pasar selain dari ragam artefak asing yang ditemukan terlihat juga dari berita asing. Berdasarkan data berita asing terutama dari Portugis, kawasan Tulangbawang terkenal dengan hasil hutannya di antaranya getah damar (Cortesão, 1967: 158-159). Sebutan Tulangbawang sangat mungkin untuk Benteng Sabut. Temuan beberapa fragmen tembikar yang didalamnya terdapat jejak getah damar, sesuai dengan keterangan dalam sumber sejarah tersebut.
Sebagai masyarakat kota, di Benteng Sabut terdapat jejak aktifitas industri. Adanya kerak besi menunjukkan bahwa industri logam sudah dikenal masyarakat penghuni Benteng Sabut. Pemenuhan kebutuhan akan manik-manik juga sudah dapat diatasi dengan cara diproduksi. Lelehan kaca dan manik-manik tidak sempurna menunjukkan limbah produksi manik-manik.
Aspek penting yang dapat tergambar dari hasil ekskavasi adalah penanggalan situs. Fragmen keramik selain dapat dilacak mengenai tipologinya, juga dapat diketahui negara pembuat dan masa pembuatannya. Ciri utama yang dapat dipakai untuk menentukan asal dan pertanggalan keramik adalah jenis bahan dasar, warna bahan dasar, pola hias, teknik hias, warna glasir, jejak pembakaran, dan ciri-ciri bentuk (Mc. Kinnon, 1996: 61). Dari seluruh kotak gali, secara umum didapatkan keramik sejak dari masa dinasti Han hingga dinasti Qing. Karena pada bagian atas keteradukan sangat tinggi, maka sulit untuk memastikan penanggalannya. Namun berdasarkan kuantitas artefak keramik yang ditemukan menunjukkan adanya dua fase yaitu fase pertama pada masa Han. Fase kedua intensif lagi pada masa T’ang, Song, Yuan, Ming, hingga Qing. Sedikitnya temuan keramik dari masa Sui menunjukkan bahwa pada masa itu di Benteng Sabut mengalami kemunduran. Cerita sejarah yang hidup di masyarakat sekarang ini berkisar pada fase kedua. Putusnya emosi masyarakat dengan peristiwa sejarah pada fase pertama menunjukkan adanya masa kemunduran.
SIMPULAN
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) merupakan situs pemukiman yang sudah kompleks. Secara fisik pola keruangan situs menunjukkan adanya deretan tempat tinggal yang berada di sisi tepi sungai yang dilengkapi public space. Tempat tinggal membelakangi sungai menghadap ke bagian public space. Masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sudah mengenal sektor industri.
Sebagai pemukiman, situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) berkenaan dengan oikos dan pasar. Peranannya dalam aspek tempat tinggal dikenal adanya beberapa tokoh sentral misalnya Minak Kemala Kota. Dalam kaitannya dengan pasar, daerah ini sudah menjalin hubungan perdagangan hingga kawasan regional.
Keberlangsungan aktifitas masa lalu di Benteng Sabut terjadi dalam dua fase. Fase pertama berkisar pada abad ke-3 dan fase kedua pada abad ke-7 – 17. Di antara kedua fase ini terdapat masa kemunduran.
KEPUSTAKAAN
Anonim. 2000. Uraian Ringkas Bagian Proyek Irigasi Way Rarem. Proyek Irigasi Lampung.
Anonim. 2003. Selayang Pandang Kabupaten Tulang Bawang. Menggala: Bagian Humas dan Komunikasi Setdakab Tulang Bawang.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Max Weber. 1977. ”Apakah Yang Disebut Kota” terj. Darsiti Soeratman dan Amin Soendoro. Dalam Sartono Kartodirdjo (ed.) Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Hlm. 11 – 42.
McKinnon, E Edwards. 1996. Buku Panduan Keramik. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Rapoport, Amos. 1986. “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese, (et al.). Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan. Bandung: Intermedia. Hlm. 21 – 44.
Saptono, Nanang. 2000. “Pemukiman Pada Masa Islam di Kawasan Way Kiri, Tulangbawang”. Dalam Edy Sunardi dan Agus Aris Munandar (ed.) Rona Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi ndonesia. Hlm. 129 – 152.
Saptono, Nanang. 2002. “Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.) Jelajah Masa Lalu. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi ndonesia. Hlm. 86 – 1001.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "Mozaik Arkeologi", hlm. 97 - 110. Editor: Dr. Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2003.
Sumber : Arkeologi Lampung Ngebrengoh Blog
No comments:
Post a Comment