Al Anwar, Basis Perjuangan Kemerdekaan
MEMASUKI periode 1922—1962, keberadaan Masjid Jami Al Anwar memberikan makna besar terhadap nilai-nilai perjuangan menghadapi penjajahan Belanda. Masjid Al Anwar menjadi basis pendidikan dan pembinaan kader pejuang muslim.
Menurut buku Risalah Masjid Jami Al Anwar, semangat yang ditunjukkan jemaah luar biasa untuk mengikuti setiap kegiatan pembinaan mental dan spiritual oleh ulama di masjid itu. Saat itu, jemaah diajarkan sekaligus ditanamkan sikap-sikap mengenai semangat perjuangan dan nasionalisme.
Kedudukan Masjid Al Anwar yang sangat strategis dari aspek perjuangan, membuat ulama dan jemaah mencari solusi terbaik dan efektif menggalang dan mengorganisasikan kekuatan umat Islam di medan perjuangan. Kemudian, pada Oktober 1946, dibentuk Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin A. Rauf Ali dan H. Harun.
Setelah dibentuknya Hizbullah dan Sabilillah, potensi persatuan antarumat Islam semakin erat untuk berjuang menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang.
Setelah zaman kemerdekaan, kepengurusan Masjid Jami Al Anwar mengalami pembaruan, baik dari sumber daya manusia maupun pengorganisasiannya. Akhirnya, pada 1950 terbentuk kepengurusan baru yang diketuai Kgs. Abdul Hakim, sedangkan pembina umat dipercayakan kepada K.H. Nawawi dan K.H. Ahmad Toha dibantu para ulama, seperti K.H. S.D.M. Hadi Sulaiman, K.H.A. Majid Hamid, K.H.A. Rauf Ali, Ibrahim Magad, Kgs. H. M. Soleh Thoib, Ustaz Ramli, dan Kgs. M. Saleh Amin.
Sejalan dengan perkembangan zaman, tahun 1962 strategi dalam hal pola pembinaan umat Islam mengalami perubahan dan penyempurnaan, yakni mewujudkan pembangunan sekolah keagamaan, seperti (middle arabische school (MAS) dengan pimpinannya seorang keturunan Arab yang memiliki predikat sayid, yaitu Mohammad Said Ali. Lalu, pembangunan madrasah ibtidaiah (MI) di depan Masjid Al Anwar. Pembangunan ini diprakarsai Mas Agus Muhammad Amin alias H. Item bersama ulama dan saudagar Arab yang konon berjumlah 29 orang. Di sekolah ini pucuk pimpinan dipercayakan kepada Subroto.
Sedangkan bangunan tempat pembinaan dan pendidikan yang terakhir, yakni sekolah Muhammadiyah yang diprakarsai Kgs. H. Ateh, Kgs. H. Anang, dan Somad Solichin di Kelurahan Gedungpakuon dipindahkan ke Jalan Kampung Upas.
Semakin lama kondisi “rumah Allah” itu memprihatinkan. Pada 1962, masjid tertua di Bandar Lampung ini direnovasi untuk pertama kali tanpa mengubah bentuk aslinya. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost 18 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment