Sunday, August 15, 2010

KOLONIALISME BARU DALAM KEBUDAYAAN

Oleh BUDI HUTASUHUD
Peneliti Budaya Lampung untuk Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung





Konsep negara menjadi hagemoni baru di Lampung. Di tangan para ’’intelektual penjilat’’, konsep ini makin kuat daya cengkram cakarnya. Maka, masyarakat yang kaya akan nilai budaya –yang diwarisi dari ratusan marga dan masing-masing memiliki penyimbang atau saibatin– tanpa sadar dimiskinkan dengan hanya mengakui satu penyimbang atau satu saibatin.

***

DENGAN suka cita, masyarakat adat Lampung menyaksikan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) memberi gelar adat Kanjeng Yang Tuan Suntan Mangkunegara Junjungan Pemangku Sai Bumi Ruwa Jurai kepada Gubernur Lampung Sjachroeddin Z.P. dan Pun Yang Tuan Suntan Pengetahuan Pemangku Sai Bumi Ruwa Jurai kepada Ketua DPRD Marwan Cik Asan. Mereka tertawa, tersenyum, dan berbahagia, meski dimiskinkan secara budaya.

Posisi penyimbang atau saibatin dalam masyarakat marga di Lampung tak ada kaitannya dengan konsep negara. Seseorang menjadi penyimbang atau saibatin karena garis darah patriarkhi, yang didapat secara turun-temurun. Bukan pemberian, apalagi dikait-kaitkan status sosial dan kedudukan dalam sistem pemerintahan negara.

Sebab itu, pemberian gelar adat kepada gubernur dan ketua DPRD Lampung adalah kemunduran dalam tradisi budaya Lampung. Tak ada kearifan tradisional pada fenomena ini. Terlebih, dilihat sebagai peristiwa politik yang digadang-gadang segelintir elite karena ingin memperjuangkan kepentingan personalnya.

Pemberian gelar adat karena berorientasi kepada jabatan pernah berlangsung sangat fenomenal di lingkungan masyarakat adat Lampung di zaman kolonialisme Belanda. Ketika pemerintah Hindia Belanda ingin menancapkan kuku-kuku kekuasaan penjajahannya di lingkungan masyarakat adat Lampung pasca jatuhnya Kesultanan Banten, Belanda mesti berhadapan dengan perlawan-perlawanan sengit dari para penyimbang atau saibatin masyarakat adat yang salah satunya digelorakan Radin Intan.

Meski Radin Intan hanya seorang radin, bukanlah saibatin posisi tertinggi dalam kultur kesaibatinan masyarakat adat Lampung pesisir Selatan. Tapi, ia mampu memberikan perlawanan yang merepotkan Belanda. Keradinan yang melekat dalam dirinya adalah nilai seorang saibatin yang selalu memikirkan nasib dan masa depan dari masyarakat marganya, yang melihat betapa Belanda akan membawa mudarat bagi kehidupan seluruh lapisan masyarakat marga.

Karena Radin Intan hanyalah saibatin bagi masyarakat marganya, sedangkan Lampung terdiri atas ratusan masyarakat marga, gelora perlawanan terhadap Belanda yang diembuskannya hanya mampu memengaruhi masyarakat marga di mana Radin Intan menempati posisi sebagai radin. Belanda memahami konsep kesaibatinan ini, lalu memengaruhi masyarakat marga lain dan mengadu-domba.

Untuk memuluskan politik adu-dombanya, Belanda mengangkat tokoh-tokoh adat dari lingkungan masyarakat marga lainnya sebagai pesirah dalam sistem pemerintahan baru bentukan Belanda. Setiap pesirah yang ditunjuk, diberi gaji bulanan dan bekerja untuk Pemerintah Belanda dengan tugas-tugas mulia menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Kita tahu, Radin Intan kemudian menjadi musuh bersama. Saibatin masyarakat marga pesisir itu diposisikan sebagai pemberontak, diberi cap sebagai perompak. Lalu, sebagian besar masyarakat marga yang telah diberi kedudukan, posisi, dan kenyamanan jabatan oleh Belanda, beramai-ramai memusuhi Radin Intan sampai kemudian pejuang nasional itu tertangkap.

***

APA yang dilakukan Belanda di zaman kolonialisme, kini dicontoh MPAL. MPAL adalah organisasi non-pemerintah, tetapi organisasi yang dibentuk setelah gubernur Lampung dijabat Sjachroeddin Z.P. ini belakangan seolah-olah menjadi instansi/badan vertikal yang mengurusi masalah kebudayaan dalam sistem birokrasi Pemda Lampung –melampaui wewenang yang sudah inklud di tubuh dinas pariwisata dan kebudayaan serta dinas pendidikan. Organisasi ini dimodali dana APBD. Tapi, dana-dana itu tak sampai ke daerah, organisasi MPAL yang ada di kabupaten/kota.

Karena dimodali dana APBD meskipun tak pernah transparan bagaimana lembaga ini mengelola dana-dana rakyat itu, MPAL banyak melakukan kegiatan yang mengarahkan dirinya sebagai penjaga kebudayaan Lampung. Cuma, MPAL yang diisi para tokoh budaya dan sebagian besar berlatar belakang pejabat atau pegawai negeri sipil, tidak bekerja sebagai intelektual budaya. Mereka bekerja layaknya PNS, yang sangat ditentukan oleh hirarki kepangkatan sehingga ruang lingkup kerjanya banyak mencaplok hal-hal yang seharusnya menjadi beban kerja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung atau Dinas Pendidikan Lampung.

Kondisinya semakin parah ketika sebagai tokoh adat, tingkat pemahaman dan pengetahuan setiap anggota MPAL tentang nilai-nilai budaya masing-masing sangat kuat dipengaruhi oleh pengalaman mereka selama menjadi pejabat di pemerintahan. Artinya, konsep kebudayaan Lampung bagi mereka adalah konsep kebudayaan yang mengakar dari Bhinneka Tunggal Ika. Budaya Lampung dipahami hanya sebagai budaya Lampung sembari mengabaikan bahwa budaya Lampung merupakan representasi dari nilai-nilai yang diwariskan ratusan masyarakat marga Lampung.

Tapi, karena persepsi dan pemahaman penggerak MPAL bahwa kebudayaan identik dengan pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana di zaman Orde Baru konsep kebudayaan identik dengan Presiden Suharto yang berasal dari lingkungan kebudayan Jawa, maka kebudayaan Lampung identik dengan kebudayaan yang melahirkan Gubernur Lampung Sjachroeddin ZP.

Sebab itu, konsep kebudayaan Lampung yang diperkenalkan oleh MPAL dan didukung oleh intelektual kebudayaan dari Universitas Lampung, adalah kebudayaan yang memosisikan Sjachroeddin Z.P. sebagai penyimbang marga. Sementara posisi penyimbang atau saibatin ratusan marga lainnya berada di bawah bayang-bayang masyarakat marga yang melahirkan sosok Sjachroeddin Z.P.

Pada tataran inilah perlu dipertanyakan di mana posisi saibatin marga Paksi Pak Skala Brak, masyarakat marga yang diyakini sebagai leluhur budaya seluruh masyarakat adat Lampung? Sebab itu, bisa dibilang kebudayaan Lampung adalah kebudayaan politis. Kebudayaan yang perkembangannya, pemahamannya, dan pemikirannya, selalu mundur ke belakang. (*)

Sumber : Radar Lampung Edisi 28 Juli 2010

No comments:

Post a Comment