BANGKITNYA JAMI' AL-ANWAR SETELAH TSUNAMI
MELETUSNYA Gunung Krakatau pada Agustus 1883 mengakibatkan tsunami yang menghanyutkan banyak bangunan di kawasan Teluk Lampung, termasuk musala yang dibangun pada 1839. (Cikal bakal Masjid Jami Al Anwar, Lampung Post edisi Minggu, 15 Agustus 2010).
Seiring pulihnya kehidupan masyarakat di Teluk Lampung, kebutuhan terhadap tempat ibadah dirasa mendesak.
Menurut buku Risalah Masjid Jami Al Anwar, salah satu keluarga yang selamat dari tragedi itu Daeng Sawiji yang juga berasal dari Sulawesi. Melalui usaha keras keluarga ini, dibangun musala yang lebih besar dan permanen di atas tanah yang lebih luas pada 1888. Pembangunan surau ini didirikan di atas lokasi atau tempat yang sama dengan bangunan pertama yang lenyap disapu gelombang besar.
Konon, tanah yang dibangun itu milik keluarga Daeng Sawiji yang diwakafkan. Musala ini kemudian berfungsi sebagai masjid yang menampung jemaah dari seluruh kampung di sekitar langgar itu.
Masjid ini adalah yang pertama kali berdiri di Bandar Lampung dan satu-satunya tempat ibadah yang berada di kawasan Telukbetung sejak 1883—1930. Bangunan yang memiliki enam penyangga utama itu memiliki luas 25 x 25 meter, tempat bersuci 10 x 15 meter, kolam air wudu seluas 8 x 8 meter, bangunan WC, sumur, dan tambahan di sayap kiri, kanan, dan belakang.
Nama masjid itu semula Jami Al Anwar pada periode 1888—1962. Setelah berdiri kokoh, syiar Islam dilanjutkan H. Sulaiman yang merupakan saudara K.H. Muhammad Soleh yang wafat pada 1885 dan dimakamkan di kaki Gunung Kunyit.
Berdirinya Masjid Jami itu menjadi kebanggaan bagi umat Islam dan berdampak berkembangnya agama itu di Bandar Lampung. Terbukti, masyarakat yang datang ke “rumah Allah” itu berasal dari berbagai kampung, antara lain dari Talang, Gedungpakuan, Gulak-Galik, Sumurbatu, Kahuripan, dan Kangkung.
Keberadaan Masjid Jami kemudian menjadi patokan umat di berbagai daerah dalam setiap kegiatan, misalnya Ramadan.
Di halaman Masjid Jami itu juga terdapat meriam kuno peninggalan Portugis pada 1811. Bunyi meriam ini kemudian menjadi tanda umat Islam sebagai awal berpuasa.
"Meriam kuno ini dibunyikan pada waktu-waktu tertentu yakni untuk menyerukan ibadah salat magrib, subuh, dan saat berbuka puasa," kata Ki Agus H. Tjek Mat Zein, takmir Masjid Jami Al Anwar. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost Edisi Rabu 18 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment