Saturday, January 22, 2011

Anatomi Kemiskinan dan Infrastruktur Perdesaan


Opini Lampost : Jum'at, 21 Januari 2011

HARDI HAMZAH
Staf Ahli Mahar Foundation

Kemiskinan di perdesaan bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hal ini dikarenakan masyarakat kita yang mayoritas tinggal di perdesaan selalu mengalami fluktuasi sebagai akibat adanya policy. Di satu pihak terdapat kebijakan yang linear dan kurang antisipatif, di pihak lain adanya jeratan para tengkulak.

Desa-desa harus menjadi skala prioritas karena desa merupakan lumbung utama dari berbagai komoditas yang dinikmati masyarakat kota, dan elite perkotaan pula yang membuat kebijakan (policy) sehingga apakah masyarakat desa hanya menjadi objek policy, dan bagaimana pula agar mereka menjadi subject dari negara ini mengingat mereka merupakan anak bangsa mayoritas.

Apabila kita memahami kemiskinan sebagai suatu aspek yang rawan, korelasi terpenting yang harus kita kaitkan adalah antara persepsi tentang kemiskinan itu terlebih dahulu. Demikian, ekonom sekaligus ustaz, Dr. Syafii Antonio, mengatakan bahwa standar BPS yang mengungkap adanya 31 juta jiwa lebih penduduk miskin di Indonesia, tidak relevan bila standar kemiskinan itu dibanding dengan apa yang dikemukakan World Bank dalam Annual Report (Laporan Tahunan).

Kita ketahui bersama, bahwa standar penduduk miskin di Indonesia, adalah sosok manusia yang berpenghasilan Rp220 ribu per bulan. Sementara Word Bank menstandarisasi, bahwa masyarakat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dapat dikategorikan miskin apabila berpenghasilan 2 dolar AS per hari, ini berarti sekurangnya Rp 18 ribu per hari, yakni Rp540 ribu per bulan. Kalau mengikuti standardisasi ini, berarti terdapat lebih dari 90 juta penduduk miskin, belum lagi yang berada di bawah garis kemiskinan.

Survei Divisi Penelitian Mahar Foundation menunjukkan 65,8 juta jiwa di perdesaan mengalami kemiskinan absolut, dan lebih dari 15 juta jiwa mengalami kemiskinan antara struktural dan absolut. Survei itu juga menunjukkan bahwa angka masyarakat miskin di perdesaan dapat membeludak. Mahar Foundation yang mengikuti secara cermat laporan tahunan (annual report) World Bank maka dapatlah dijelaskan lebih perinci angka kemiskinan di perdesaan sudah sangat akut.

Kemiskinan di perdesaan lebih besar implikasinya dikarenakan masyarakat perdesaan belum banyak yang memahami komunikasi sosial. Sangat boleh jadi mereka akan mendapat informasi yang salah, yang akan melahirkan selain ketidakpahaman tentang program pemerintah, juga akan cepat memicu potensi konflik.

Kemiskinan memang tidak dapat dibiarkan. Kita harus mengubah culture institusi dari bawah sampai atas. Apabila culture birokrasi kita tidak diubah, kebijakan akan menyediakan "karpet merah" pada elite politik dan pelaku ekonomi di pusat. Inilah yang kemudian membuat kemiskinan di perdesaan disorientasi. Penduduk yang disorientasi akan menampilkan bentuk-bentuk skeptis, tidak produktif terhadap SDA, dan mencelakakan negara.

Penulis melihat bahwa kemiskinan, yang kemudian menjadi dua sisi mata uang, sesungguhnya akan terus-menerus absolut, apabila kita melihat dari aspek matrerial (fisik) saja. Dalam kaitan ini untuk mengatasi kemiskinan, tampaknya yang dapat menjadi rujukan adalah kemiskinan di perdesaan harus dilihat dari Infra struktur sosial yang ada di perdesaan, perlu dipertimbangkan infra struktur sosial perdesaan karena infrastruktur sosial di perdesaan mencerminkan tingkat kemampuan masyarakat desa di dalam mengelola perdesaan.

Dalam tahapan ini, pertanyaan pertanyaan penting yang harus kita jawab bersama adalah apakah sistem organisasi masyarakat di suatu desa sudah cukup mapan atau setidaknya mampu untuk mengantisipasi suatu proses pembangunan yang dicanangkan pemerintah, atau justru masih lemah sama sekali.

Hal ini perlu dipertanyakan karena dengan memahami infrastruktur sosial, kita akan memahami sampai sejauh mana kesiapan masyarakat perdesaan untuk menghadapi dan menjalankan program pemerintah. Ini berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan di perdesaan tidak hanya dengan pendekatan kuantitatif semata, tetapi juga pendekatan sosial. Di mana, kita perlu memahami sejauh mana kelompok sosial, seperti pemuka agama, pemilik tanah atau kelompok elite perdesaan bisa diberdayakan untuk turut berperan serta aktif sebagai suatu instrumen sosial agar dapat ikut aktif bersama pemerintah dalam melakukan perubahan.

Dan, yang juga amat penting kita perhatikan, apakah sarana seperti bank, pusat pasar, jalan, dan fasilitas angkutan, baik di dalam desa, kota-kota terdekat di perdesaan telah dapat dimanfaatkan secara baik. Nah, kalau hal ini kita maknai, bahwa pengentasan kemiskinan di perdesaan ekuivalen dengan kerja sama seluruh elemen, maka program yang telah dikoordinasikan oleh lima belas kementerian terkait untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya di perdesaan akan berjalan baik pula. n

No comments:

Post a Comment