Saturday, January 22, 2011

MEMBIDIK ARAH KEBIJAKAN TRANSMIGRASI PASCA REFORMASI

Drs. Anharudin, Ir. Rukmini N Dewi, dan Ir. Retno Anggraini


Abstrak


Pembangunan Transmigrasi ke depan masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan Pada kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect policy). Sedangkan Kebijakan Transmigrasi diarahkan pada tiga hal pokok yaitu: (1) Penanggulangan kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat tinggal yang layak; (2) Memberi peluang berusaha dan kesempatan kerja; (3) Memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan perpindahan penduduk . Sementara itu, untuk wilayah KTI pembangunan transmigrasi diarahkan untuk (1) Mendukung pembangunan wilayah yang masih tertinggal, (2) Mendukung pembangunan wilayah perbatasan, dan (3) Mengembangkan permukiman transmigrasi yang telah ada, pembangunan permukiman baru secara selektif, dan pengembangan desa-desa/permukiman transmigrasi potensial. Dengan berlakunya UU no 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka tatacara penyelenggaraan transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah.




PENDAHULUAN

Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan amanat konstitusi[1], hingga kini pemerintah masih berkepentingan untuk menempatkan transmigrasi[2] sebagai satu model pembangunan. Hal ini berarti bahwa transmigrasi masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan pembangunan guna mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Transmigrasi juga relevan sebagai salah satu bentuk perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia (human rights), yaitu perlindungan negara atas hak-hak warga (negara) untuk berpindah dan menetap di dalam batas-batas wilayah negara-bangsanya. Oleh karena itu, Pemerintah tetap memberikan imperatif dan dukungan kepada pemerintah provinsi dan atau kabupaten-kota untuk menyelenggarakan transmigrasi[3], sepanjang tersedia sumber-sumber daya yang mendukungnya.

Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang selama bertahun-tahun berciri sentralistik, kini dihadapkan pada tantangan baru berupa penerapan asas desentralisasi dan otonomi, sehingga mengharuskan dilakukan perubahan baik pada tataran kebijakan maupun implementasi. Pertama, transmigrasi harus menjadi bagian integral dari pembangunan daerah dan sepenuhnya dilaksanakan sesuai karakteristik dan kondisi spesifik daerah.[4] Kedua, menguatnya artikulasi politis masyarakat lokal sebagai dampak langsung proses demokratisasi, mengharuskan implementasi transmigrasi berwawasan kultural.



KOREKSI ATAS PENDEKATAN LAMA

Aspek Kebijakan

Sebagai implikasi dari sistem pemerintahan yang sentralistik, kebijakan transmigrasi berciri terpusat dengan pendekatan perencanaan top-down dan standar. Setelah reformasi bergulir, kebijakan yang berciri sentralistik dan top-down menjadi tidak relevan, dan karena itu diperlukan perubahan sesuai asas otonomi dan desentralisasi. Namun demikian, dalam era reformasi pemikiran ke arah perubahan kebijakan masih berupa wacana, atau paradigma yang belum diikuti oleh perubahan perangkat legalnya. Implementasi UU No. 22/1999 yang telah berimplikasi pada perubahan tata pemerintahan dan struktur birokrasi, belum serta-merta diikuti oleh perubahan perangkat kebijakan makro dan berbagai instrumen legal pendukungnya. Koreksi atas kebijakan kebijakan transmigrasi mencakup:


Kebijakan Eksklusifisme, Sentralistik, dan Standar

Kebijakan pembinaan masyarakat transmigrasi yang sentralistik dan standar telah berimplikasi pada kuatnya budaya pendatang, sementara budaya lokal nyaris tidak berkembang. Akibatnya terjadi penegasian budaya setempat dan rusaknya perkembangan kultural masyarakat setempat. Pembinaan transmigrasi juga cenderung bias pendatang. Berbagai bantuan hanya diberikan kepada masyarakat di dalam UPT, sementara penduduk sekitar yang tidak kalah miskin kurang memperoleh perhatian. Hal ini mengakibatkan perkembangan UPT lebih cepat dibanding desa-desa sekitar sehingga menimbulkan kecemburuan yang rentan terhadap konflik. Kebijakan perencanaan kawasan transmigrasi yang berciri sepihak, dengan kurang (tidak) melibatkan masyarakat sekitar telah berimplikasi pada sikap dan apatisme masyarakat lokal. Hal ini disebabkan salah satunya oleh sikap dan pandangan jajaran birokrat yang memposisikan diri sebagai penentu segalanya. Kebijakan ini berimplikasi pada munculnya lokasi-lokasi yang tidak memiliki keterkaitan fungsional dengan permukiman (desa) sekitar.

Kebijakan Berorientasi Target Penempatan Kebijakan pengerahan yang kurang memperhitungkan kualitas transmigran, telah berimplikasi pada ketidak-sesuaian kondisi transmigran. Transmigran yang didatangkan pada suatu lokasi kurang sesuai dengan kebutuhan pengembangan wilayah dan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal, baik menyangkut kultur budaya dan tradisinya maupun kompetensi keahlian dan ketrampilannya. Hal ini bersumber dari orientasi target pemindahan, sistem rekruitmen yang tidak didasarkan kompetensi dan aspirasi masyarakat lokal, dan pendekatan supply dalam penempatan.


Peran Pemerintah dan Masyarakat

Selama lebih dari tiga puluh tahun pemerintah Indonesia telah menjadi penyelenggara dan pelaksana transmigrasi, dan berhasil membangun sejumlah besar unit permukiman transmigrasi yang berbasis pertanian. Peran ganda tersebut menunjukkan besarnya dominasi pemerintah dalam pembangunan transmigrasi. Kebijakan transmigrasi yang selama bertahun-tahun cenderung mengarahkan masyarakat untuk bekerja di sektor pertanian dengan usaha produksi berbasis tanah, telah berimplikasi pada kurangnya diversivikasi pola usaha transmigran. Kondisi ini merupakan implikasi dari UU No. 3 /1972, yang lebih menekankan peranan transmigrasi sebagai salah satu cara redistribusi tanah dan ekstensifikasi pertanian. Implementasi UU No. 15 tahun 1997 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1972, diharapkan dapat mendorong investasi swasta dalam pengembangan berbagai usaha termasuk kegiatan produksi lain di luar pertanian. Namun harus diakui bahwa pola-pola permukiman transmigrasi non-pangan yang dibangun sebagai rintisan belum dapat diperluas untuk dijadikan alternatif terhadap pola tanaman pangan dan pola perkebunan. Pola-pola permukiman dengan usaha pokok yang berbasis kelautan, jasa, pertambangan, dan peternakan masih belum sempat dilaksanakan secara besar-besaran dengan melibatkan investor swasta. Kondisi ini merupakan agenda yang tertunda di masa sebelum reformasi, khususnya pasca peluncuran UU no. 15 tahun 1997.


Aspek Pelaksanaan

Pada tataran implementasi, transmigrasi selama ini mengalami berbagai kendala besar, yang kemudian berdampak pada kesenjangan antara konsep (kebijakan) dan realitas pencapaian sasaran dan tujuan. Koreksi pada aspek pelaksanaan, mencakup berbagai hal, antara lain;


Perkembangan Kawasan

Pemukiman transmigrasi yang dibangun pemerintah selama ini belum sepenuhnya mampu mencapai tingkat perkembangan secara optimal, yang mampu menopang pengembangan wilayah (kawasan), baik wilayah itu sendiri atau wilayah lain yang sudah ada. Pembangunan UPT-UPT memang dirancang agar secara ekonomi dapat menopang pertumbuhan kawasan sekitarnya, dan memberikan kontribusi terhadap wilayah lain melalui distribusi barang dan jasa. Namun, dalam realitasnya banyak UPT dan atau kawasan transmigrasi belum sepenuhnya mampu menopang perkembangan wilayah, bahkan banyak lokasi yang dibangun justru berada pada posisi terpencil (terisolasi). Dengan demikian pembangunan kawasan transmigrasi belum sepenuhnya mampu mempercepat proses pembangunan daerah dengan mendorong terbentuknya pusat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dimasa depan prinsip yang dipegang dalam pembangunan kawasan atau lokasi transmigrasi adalah kesesuaian dengan RUTRD[5], dan memungkinkan bagi pengembangan spasial secara menyeluruh. Agenda penting bagi aparat pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota adalah bagaimana merumuskan konsep pembangunan kawasan transmigrasi secara ideal. Penentuan lokasi kawasan transmigrasi harus dapat mengakomodasikan kenyataan keragaman potensi. Dengan kata lain, pembangunan kawasan transmigrasi diarahkan untuk mempercepat perkembangan permukiman yang sudah ada tetapi masih tertinggal, serta desa-desa dan permukiman transmigrasi potensial agar dapat menopang pertumbuhan kawasan. Kultur masyarakat sekitar perlu diperhatikan, menyangkut penerimaan penduduk lokal terhadap pendatang dan status kepemilikan lahan. Penyiapan lokasi dan status lahan ke depan harus benar-benar bebas dari masalah baik secara sosial, kultural maupun legal. Lokasi transmigrasi yang dipilih dapat berada pada kawasan perbatasan, kawasan cepat tumbuh dan kawasan strategis. Pemerintah kabupaten/kota diharapkan mampu merumuskan konsep tentang kawasan transmigrasi yang dibangun atau dirancang sesuai potensi dan ketersediaan sumber daya yang ada.


Fasilitasi Perpindahan

Berdasarkan UU No.15/1997, fasilitasi perpindahan penduduk dalam kerangka transmigrasi dibedakan pada besarnya peranan pemerintah, swasta dan masyarakat, yaitu Transmigrasi Umum (TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB), dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). TU adalah jenis transmigrasi yang pelaksanaannya sepenuhnya disubsidi oleh Pemerintah. TSB adalah jenis transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah bekerjasama dengan Badan Usaha. Sedangkan TSM adalah transmigrasi yang dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan secara perseorangan atau kelompok, baik bekerjasama atau tidak bekerjasama dengan Badan Usaha. Pada pelaksanaan TSM campur tangan pemerintah seminimal mungkin. Meskipun masih ditemui kekurangan, mekanisme pelaksanaan TU lebih mantap dibandingkan kedua pola lainnya. Sedangkan pelaksanaan TSM paling tertinggal, karena pemikiran-pemikiran untuk mengembangkan konsep TSM belum banyak dilakukan. TSM yang diselenggarakan selama ini masih menggunakan konsep TU, padahal dalam TSM diperlukan kriteria yang berbeda dengan TU. Pelaksanaan TSB selama krisis ekonomi mengalami kendala karena investor yang berminat untuk berinvestasi di lokasi transmigrasi semakin berkurang, sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran untuk mengembangkan model TSB sebagai alternatif.
Pembinaan Masyarakat Transmigran Pemberdayaan masyarakat transmigrasi merupakan kegiatan pasca penempatan untuk memantapkan kehidupan sosial-ekonomi transmigran di permukiman yang telah dibangun. Transmigrasi ditempatkan dalam kultur masyarakat pedesaan yang memiliki komitmen tinggi terhadap nilai-nilai budaya, menghargai kebersamaan dan budaya lokal serta menghendaki kemajuan bersama. Namun demikian, pembinaan masyarakat transmigran selama ini cenderung membuat mereka sangat tergantung pada pemberian bantuan pemerintah. Oleh karena itu, kedepan pembangunan transmigrasi diarahkan pada (upaya) pemberdayaan. Sebaiknya transmigran tidak dimanjakan dengan pemberian bantuan yang menciptakan ketergantungan. Paket bantuan harus dirancang dalam kerangka pembinaan dan pemberdayaan masyarakat menjadi mandiri. Dalam kaitan ini penentuan sasaran pembinaan perlu menggunakan ukuran minimal. Pemerintah kabupaten harus mampu menentukan input yang diberikan kepada transmigran dan program pengembangan masyarakat secara teknis sehingga mereka mampu tumbuh secara mandiri.


Penyelesaian Masalah Lahan

Upaya penyediaan lahan untuk pembangunan kawasan transmigrasi di beberapa daerah belum sepenuhnya mencerminkan adanya prasyarat clear and clean, sehingga masih dijumpai begitu banyak kasus sengketa dan konflik lahan antara pemerintah dan masyarakat adat, dan proses penyelesaiannya cenderung berlarut-larut. Hampir di semua provinsi daerah tujuan transmigrasi dijumpai kasus sengketa tanah (lokasi) transmigrasi yang bersumber pada gugatan masyarakat adat kawasan yang sudah dibangun untuk permukiman transmigrasi. Upaya regoknisi yang selama ini ditempuh masih belum memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan transmigrasi, khususnya menyangkut status lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan transmigrasi. Oleh karena itu, ke depan diperlukan skema dan prosedur pembebasan dan penyediaan lahan untuk pembangnan transmigrasi yang secara legal bebas gugatan masyarakat lokal. Kerjasama antara masyarakat setempat (adat) dan pemerintah perlu ditingkatkan dalam upaya penyediaan lahan untuk kawasan transmigrasi. Dengan demikian pembebasan dan penyediaan tanah untuk pembangunan transmigrasi menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi masyarakat, transmigran maupun pemerintah daerah.



PARADIGMA BARU TRANSMIGRASI

Paradigma transmigrasi yang berciri demografis-sentris telah melahirkan berbagai kebijakan publik yang lebih menekankan pengerahan dan pemindahan penduduk secara besar-besaran. Pada periode pra-Pelita hingga periode Pelita I, misalnya, penyelenggaraan transmigrasi didasarkan atas kebutuhan untuk mendorong perpindahan penduduk sebanyak-banyaknya dari dan keluar luar Jawa. Implikasi kebijakan lainnya adalah bahwa transmigrasi diselenggarakan dengan mengejar target sasaran pemindahan secara kuantitatif. Betapapun sejak masa Pelita II penyelenggaraan transmigrasi mulai diarahkan pada upaya pembangunan daerah, namun paradigma yang mendasarinya masih berciri demografis sentrik, dengan tetap berorientasi pada pemindahan dan penyebaran penduduk secara besar-besaran ke luar Jawa.

Perubahan paradigma yang terjadi secara signifikan adalah pada masa Pelita III, yaitu perubahan dari paradigma sosial-demografis ke paradigma ekonomis. Peralihan posisi transmigrasi dalam pembangunan nasional, dari bidang kesejahteraan sosial ke bidang ekonomi dan keuangan, menunjukkan bahwa transmigrasi bukanlah sebuah program pembangunan yang semata-mata didasarkan atas pendangan philantopis dan charity, tetapi lebih merupakan program ekonomi. Program-program transmigrasi harus terkait langsung dengan sektor ekonomi, yang berarti bahwa biaya-biaya untuk transmigrasi harus diperhitungkan sebagai bagian dari investasi pemerintah. Implikasi yang sangat serius dari paradigma transmigrasi yang berciri demografis-sentris adalah rendahnya kualitas hasil pelaksanaan. Oleh karena itulah maka pada masa Pelita IV dan V, penyelenggaraan transmigrasi lebih diarahkan kepada peningkatan mutu (kualitas) penyelenggaraan dan sekaligus mutu kehidupan transmigran, mencakup kualitas pemukiman dengan mengembangkan pola-pola usaha lain selain pola pangan. Pada periode ini, realisasi target penempatan tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tolok-ukur kinerja kebijaksanaan.

Sejak masa Pelita VI, telah terjadi beberapa kali perubahan kabinet, yang secara langsung berpengaruh terhadap orientasi dan paradigma transmigrasi. Sejak masa Kabinet Reformasi, terjadilah perubahan mendasar pada tataran politis (political will) yang kemudian berdampak pada semakin menurunnya relevansi transmigrasi dalam pembangunan nasional. Ketika itu transmigrasi diletakkan sebagai komponen pembangunan wilayah dalam pembangunan daerah. Kemudian dalam periode Kabinet Persatuan Nasional, transmigrasi telah melebur kedalam konsep pembangunan multi-sektoral dan desentralisasi.[6] Perubahan perpolitikan nasional dan bergulirnya reformasi, telah menjadi prakondisi bagi terjadinya pergeseran posisi transmigrasi, dari program sektoral transmigrasi menjadi sektor pembangunan daerah dan transmigrasi. Sebagai konsekuensinya, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan untuk mendukung pembangunan daerah, mendorong persebaran penduduk dan tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan baru pada umumnya, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Hasil pencermatan terhadap dinamika perubahan pada masa lalu, dapat diperoleh suatu pemahaman, bahwa pembangunan transmigrasi harus didasarkan atas paradigma baru yang lebih relevan dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat. Paradigma baru yang diperlukan di masa mendatang mencakup berbagai hal dalam spektrum sebagai berikut:

• Pengalaman pembangunan transmigrasi yang lebih mengutamakan pertimbangan demografis-sentris, ternyata berimplikasi pada rendahnya solusi pemenuhan kepentingan masyarakat (pendatang dan lokal). Karena itu transmigrasi kedepan haruslah didasarkan atas paradigma pemenuhan kebutuhan masyarakat.

• Pengalaman pembangunan transmigrasi yang lebih menekankan upaya pemindahan penduduk, dalam implementasinya telah terjebak pada pencapaian target kuantitatif pemindahan penduduk setiap tahun. Karena itu transmigrasi kedepan haruslah didasarkan atas kebutuhan pengarahan dan persebaran penduduk secara permanen ke daerah yang membutuhkan dan sesuai dengan peruntukkannya.

• Pengalaman pembangunan transmigrasi yang lebih menekankan pemecahan masalah ketimpangan pembangunan antar-daerah, dalam implementasinya terjebak pada pemerataan proyek transmigrasi di seluruh wilayah. Karena itu, transmigrasi ke depan haruslah didasarkan atas kebutuhan pembangunan daerah.

• Pengalaman pembangunan transmigrasi yang lebih menekankan penyediaan fasilitas permukiman, akhirnya terjebak pada rendahnya perkembangan ekonomi karena kurang adanya jaminan prospek dan kepastian usaha. Karena itu, transmigrasi kedepan harus didasarkan atas kebutuhan untuk menyediakan peluang berusaha atau kesempatan kerja dengan prospek dan jaminan kepastian usaha.



SKENARIO MASA DEPAN



Skenario Optimistik

Transmigrasi masih diperlukan sebagai suatu pendekatan pembangunan dengan keberhasilan yang optimal, jika berbagai faktor eksternal turut mendukungnya, antara lain mencakup kondisi keamanan regional, dukungan masyarakat lokal (setempat), kemauan politik pemerintahan daerah, dukungan administrasi dan pendanaan (pembiayaan) anggaran daerah, serta tuntutan pembangunan daerah.

Pada kurun waktu 2004-2009, diperkirakan eforia politik kedaerahan telah semakin mereda.[7] Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang semakin membaik, proses pelembagaan politik nasional akan mengalami kemapanan, dan oleh karenanya diperkirakan bahwa pada tahun 2004-2009 kondisi politik dan keamanan cukup ideal, baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal. Tuntutan regionalisme (provinsialisme) akan semakin reda sebagai akibat langsung dari semakin kecilnya disparitas pembangunan antar daerah. Demikian juga, pertikaian etnik dan kultural semakin menyurut sebagai refleksi dari peningkatan kedewasaan politik dan semangat pluralisme, baik pada tingkat elite politik lokal maupun masyarakat (grassroots). Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga semakin tinggi akibat diterapkannya prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), dengan indikasi transparansi dan bersih dari segala bentuk KKN. Di atas keadaan sosial-politik dan ekonomi (nasional dan regional) semacam inilah maka seluruh sektor pembangunan, termasuk pembangunan transmigrasi, akan dapat meningkatkan kinerjanya. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan juga diharapkan tidak mengalami kendala serius apabila seluruh indikator ekonomi makro dalam asumsi optimistik ini dapat tercapai.

Dengan semakin mantapnya stabilitas politik baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal, kondisi perekonomian nasional akan segera pulih disertai proses demokratisasi ekonomi yang menjamin bangkitnya pengusaha kecil-menengah untuk maju dalam persaingan yang sehat. Pada tingkat regional, situasi ideal yang diharapkan adalah, sektor pertanian berkembang dengan meningkatnya investasi pada usaha agribisnis, sehingga penduduk yang merupakan jumlah terbesar bekerja di sektor ini, dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraannya. Dengan semakin mantapnya pelaksanaan otonomi daerah, kondisi politik, dan perekonomian, maka akan memacu terjadinya dinamika pembangunan antar-daerah. Dalam kondisi ini transmigrasi sangat diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah yang tertinggal, serta sebagai strategi nasional untuk perluasan kesempatan kerja di sektor pertanian dan pengentasan kemiskinan (melalui pembekalan akses ketrampilan, manajemen, penguasaan teknologi, akses modal dan pasar. Transmigrasi akan berjalan dengan kendala yang minimal apabila pendekatan multikultural, perubahan wawasan terhadap nilai dan norma dalam masyarakat (masyarakat pemukim maupun masyarakat sekitarnya) diakui dalam strategi pembangunan nasional sehingga tercipta alkuturasi dan tidak terjadi konflik sosial. Selanjutnya pembangunan permukiman transmigrasi dapat dilaksanakan dengan baik apabila prinsip clear and clean (baik secara sosial, kultural maupun legal dan tidak terjadi okupasi), mempunyai produktivitas berkesinambungan untuk berusaha, serta ramah lingkungan dipenuhi.


Skenario Pesimistik

Meskipun transmigrasi masih diperlukan, tetapi respon politis dan kebijakan pemerintah daerah masih sangat beragam. Hal ini akan terus terjadi jika proses pelembagaan otonomi daerah dan desentralisasi mengalami kemacetan akibat kurangnya pengetahuan yang cukup di kalangan aparatur daerah. Indikator ekonomi makro pada kurun waktu 2004-2009 diproyeksikan tidak mengalami kemajuan, akibat masih belum dicapai suatu sistem jaminan keamanan dan kepastian hukum yang diperlukan bagi investasi asing. Pemulihan ekonomi makro melalui penarikan investasi asing dan industrialisasi masih mengalami kendala besar, karena masih belum ada jaminan bahwa pemerintahan pada kurun masa tersebut mampu memulihkan kepercayaan inernasional.

Kondisi keamanan regional diperkirakan masih belum sepenuhnya dapat dikendalikan, karena potensi konflik masih akan tetap tumbuh sejauh upaya-upaya pembangunan dan pemecahan masalah ketimpangan belum dapat diselesaikan pada saat ini. Gejolak politik pada tingkat regional, termasuk sparatisme, masih akan menjadi batu sandungan proses pembangunan nasional. Pemerintah daerah masih akan disibukkan oleh semakin heterogennya tuntutan dan artikulasi kelompok-kelompok dengan kepentingan yang tidak puas akan kondisi pembangunan saat ini. Dalam suasana yang masih belum kondusif seperti itu, maka penyelenggaraan transmigrasi pada kurun 2004-2009 akan mengalami kendala besar, menyangkut kondisi instabilitas regional. Kendala lain adalah pada terbatasnya sumber pembiayaan negara (APBN).



Skenario Moderat

Penyelenggaraan transmigrasi pada kurun 2004-2009 diperkirakan tidak akan mengalami perubahan mendasar dari situasi dan kondisi saat ini. Situasi dan kondisi status-quo diperkirakan masih bertahan hingga akhir 2009. Dengan demikian maka kebijakan dan strategi penyelenggaraan transmigrasi dalam kurun tersebut hanya akan melanjutkan apa yang telah digariskan pada saat ini. Dalam suasana yang masih belum sepenuhnya kondusif, maka lebih realistik jika pada kurun tersebut dilakukan diseminasi wawasan ketransmigrasian secara lebih intensif kepada publik, di samping dilakukan upaya pembenahan pada tataran konsep, kebijakan dan implementasi.



KEBIJAKAN DAN STRATEGI KE DEPAN


Kebijakan

Pada kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect policy). Sedangkan Kebijakan transmigrasi diarahkan pada tiga hal pokok yaitu :

§ Ikut serta dalam penanggulangan kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat tinggal yang layak.

§ Memberi peluang berusaha dan kesempatan kerja kepada masyarakat.

§ Memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan perpindahan penduduk dan mendukung pemberdayaan potensi sumberdaya wilayah, kawasan dan lokasi yang pemanfaatannya kurang optimal agar berkembang lebih produktif.

Sementara itu, untuk wilayah KTI Pembangunan transmigrasi diarahkan:

§ Mendukung pembangunan wilayah yang masih tertinggal,

§ Mendukung pembangunan wilayah perbatasan,

§ Mengembangkan permukiman transmigrasi yang telah ada, pembangunan permukiman baru secara selektif, maupun pengembangan desa-desa/permukiman transmigrasi potensial.



Strategi

Pada kurun waktu 2004-2009, strategi pembangunan transmigrasi dirumuskan sebagai berikut:

Mempercepat Perkembangan Permukiman Transmigrasi Tertinggal
Upaya ini dilakukan melalui:

§ Pengembangan kewilayahan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan penyejahteraan masyarakat pemukim (transmigran) dan penduduk setempat (lokal).

§ Penanganan pada UPT tertinggal dengan melakukan rehabilitasi ringan, sedang maupun berat, agar dapat berkembang secara layak menjadi bagian dari pembangunan daerah.

§ Pemanfaatan lahan-lahan transmigran yang belum tergarap dan kebun-kebun plasma (perkebunan) yang belum diusahakan.



Meningkatkan Produktivitas Tenaga Kerja Transmigran dan Permukiman Transmigrasi
Upaya ini dilakukan melalui:

§ Pengembangan dan pemanfaatan teknologi unggulan spesifik lokasi , seleksi lokasi yang mantap, pembinaan kemandirian, pelatihan dan penyuluhan, konservasi lahan, serta pemasaran untuk meningkatkan produksi dan produktivitas transmigran.

§ Peningkatan sumberdaya manusia transmigran sebagai pelaku utama pembangunan daerah sehingga memiliki daya saing tinggi baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional.



Memacu Pertumbuhan Permukiman Transmigrasi dan Desa-desa Potensial Setempat
Upaya ini dilakukan melalui:

§ Pengembangan desa-desa potensial setempat dengan penambahan penduduk dan penyediaan infrastruktur lingkungan dan permkiman. Upaya ini penting mengingat masih banyak desa-desa potensial yang tidak dapat berkembang karena jumlah penduduknya sangat sedikit. Penempatan transmigran di desa-desa seperti ini sangat dibutuhkan untuk menyediakan Sumber Daya Manusia dan tenaga kerja dalam mempercepat pertumbuhan desa-desa potensial itu.

§ Pemberian perlakukan (input) kembali permukiman-permukiman transmigrasi potensial sebagai pusat produksi agar cepat berkembang dan dapat menarik kemajuan desa-desa sekitarnya. Kegiatannya mulai dari produksi, pengembangan keterkaitan pasar, pembangunan sarana dan prasarana pendukung, penyediaan tenaga kerja terampil dan input produksi, alih teknologi dan manajemen produksi, pengembangan jaringan informasi perlu dilakukan secara lebih terarah.

§ Mendorong terjadinya transmigrasi swakarsa mandiri terutama ke permukiman yang telah berkembang untuk berusaha secara mandiri. Pemerintah dapat memfasilitasi mereka dengan mendorong masuknya investor, menciptakan/menyediakan kebijakan (regulasi, insentif), memberikan informasi lokasi, kesempatan kerja, dan pemberian kredit usaha.

§ Membangun permukiman transmigrasi baru secara lebih selektif, terutama di lokasi-lokasi strategis yang tidak memerlukan biaya besar, dan pembangunan fisiknya dapat dilakukan secara padat karya.



Mendukung Pengembangan Kawasan Perbatasan

Kawasan perbatasan diartikan sebagai wilayah kabupaten/kota yang letaknya secara langsung berbatasan dengan negara tetangga. Pembangunan kawasan transmigrasi pada wilayah ini dimaksudkan untuk mendukung upaya pemerataan pembangunan. Kawasan perbatasan umumnya merupakan kawasan tertinggal dan mempunyai keterbatasan di bidang sarana dan prasarana dasar, SDM, dan keterbatasan terhadap akses ekonomi. Pembangunan transmigrasi pada wilayah ini dilakukan secara selektif melalui:

§ Pengkajian secara mendalam karakteristik wilayah perbatasan dan faktor-faktor pendorong pertumbuhan.

§ Penekanan pembangunan pada aspek pemerataan, pertumbuhan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

§ Penekanan pada pengembangan ekonomi, yang berakses pada potensi SDA lokal dengan peningkatan dukungan sektor pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan serta sarana dan prasarana transportasi.

§ Pengikut-sertaan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program-program pemberdayaan ekonomi.



Mendukung Pengembangan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Upaya ini dilakukan melalui :

§ Optimalisasi pengelolaan pesisir sebagai kawasan budidaya sekaligus pengembangan usaha perikanan;

§ Pemanfaatan kawasan darat pada pulau-pulau kecil yang potensial baik sebagai kawasan budidaya maupun usaha penangkapan ikan lepas pantai;

§ Mengembangkan dan mengimplementasikan konsep transmigrasi agro-marine secara komprehensif sehingga menjamin keberhasilan pembangunan transmigrasi pola nelayan dan perikanan.

§ Mendukung daerah-daerah yang memiliki kawasan kepulauan (pulau-pulau kecil) dan kawasan pesisir yang potensial untuk pembangunan kawasan transmigrasi.



Mendorong Keharmonisan Hubungan Antara Masyarakat Transmigran dan Penduduk Desa-desa Sekitar

Pembangunan permukiman transmigrasi harus mampu mempercepat keharmonisan hubungan antar budaya. Karena itu potensi konflik dan disintegrasi harus dihindari. Upaya untuk meminimalisasi potensi konflik dan disintegrasi dilakukan melalui:

§ Pemberian prioritas pada perlakukan desa-desa di sekitar pemukiman transmigrasi sama pentingnya dengan pembangunan pemukiman transmigrasi. Oleh karenanya diperlukan kerjasama dengan sektor-sektor lain untuk lebih intensif membangun desa-desa tersebut guna mengurangi kesenjangan yang mungkin terjadi.

§ Penggalakkan sosialisasi pembangunan transmigrasi pada masyarakat setempat, agar tercipta pemahaman yang proporsional di kalangan masyarakat setempat terhadap eksistensi pembangunan transmigrasi.

§ Pencegahan munculnya kecemburuan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal, melalui proses pembangunan kawasan yang berpihak pada kebutuhan pembangunan daerah, serta pengkondisian baik pada masyarakat pendatang maupun masyarakat lokal untuk membentuk satu masyarakat pedesaan yang harmonis.



Mendorong Kerjasama Antar-Daerah untuk Penyerasian Pembangunan Transmigrasi
Upaya ini dilakukan melalui :

§ Fasilitasi hubungan kerjasama antar daerah dalam penyelenggaraan transmigrasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah.

§ Kerjasama yang harmonis antar-daerah, antara daerah dengan sumberdaya yang melimpah tetapi kurang tenaga kerja dengan daerah yang berlebihan tenaga kerja, akan mempercepat proses perpindahan secara alami dan penuh dengan rasa aman.

§ Meningkatkan kerjasama antar-daerah untuk lebih mengefektifkan fungsi kawasan transmigrasi sebagai kawasan penyangga pusat pertumbuhan, antara lain dengan membangun akses yang menghubungkan kota–desa/permukiman transmigrasi. Dengan berfungsinya permukiman transmigrasi sebagai kawasan penyangga, berarti pula telah memberikan kontribusi pada upaya pembangunan dan pemberdayaan pedesaan dan mencegah arus urbanisasi.



Meningkatkan Peranan Masyarakat dan Swasta
Upaya ini dilakukan melalui :

§ Promosi pengembangan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan transmigrasi. Berbagai pihak dapat ikut berperan dalam pelaksanaan transmigrasi, antara lain masyarakat perseorangan maupun kelompok seperti para pakar dan ilmuwan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat, serta para pelaku ekonomi atau investor seperti Koperasi, BUMN, BUMD, Swasta, dan kelompok usaha.

§ Penggalakkan peran serta masyarakat dan pelaku ekonomi dalam bentuk sumbangan pemikiran atau informasi, temuan-temuan teknologi terapan, jasa pelayanan, pengadaan barang atau modal, bantuan tenaga sosial untuk penyuluhan, perpindahan, pendidikan dan pelatihan serta pembinaan masyarakat.

§ Pemberian peran serta masyarakat dan pelaku ekonomi secara sukarela atau atas dasar hubungan hukum tertentu dalam suatu kesepakatan antara perseorangan, kelompok masyarakat, Badan Usaha di satu pihak dengan Pemerintah (Menteri, Pemerintah Daerah) dan transmigran di pihak lain.

§ Pengoptimalan dukungan pemerintah daerah, lintas sektor serta partisipasi swasta dan masyarakat (lokal, nasional, maupun internasional) maka kawasan permukiman transmigrasi akan meningkat daya tariknya dan selanjutnya berkembang menjadi kawasan andalan daerah.

§ Memacu peluang investasi di daerah transmigrasi melalui berbagai skim kredit, penyediaan informasi tentang investasi/peluang usaha dan kesempatan kerja, serta fasilitasi investasi di permukiman transmigrasi.

§ Penyelenggaraan transmigrasi yang dikaitkan dengan peranserta investor ditujukan untuk sebanyak-banyak dapat menarik perpindahan penduduk secara mandiri yang pengembangan usahanya tidak selalu berorientasi pada lahan (land based).

§ Pengembangan kemitraan usaha melalui pembangunan transmigrasi, perlu ditekankan pada konsep pengembangan wilayah sebagai suatu pendekatan pembangunan daerah. Dengan demikian selain upaya pemerataan pembangunan dapat tercapai, dana investasi yang dibutuhkan dapat diperoleh melalui cara yang efisien dan efektif.



Memacu Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

Agar pembangunan transmigrasi dimasa datang tidak menambah ketimpangan pembangunan antara KBI dan KTI maka perlu dilakukan penetapan kebijakan dari pembangunan transmigrasi antara lain:

§ Jenis Transmigrasi. KBI relatif lebih berkembang dibanding dengan KTI karena infrastruktur pembangunan lebih maju sehingga KBI mempunyai daya tarik lebih besar dibanding KTI. Karena ketersediaan dana pemerintah untuk transmigrasi relatif lebih terbatas, maka komposisi perpindahan dan penempatan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di KBI diusahakan lebih besar dibanding Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB). Selanjutnya, TSB lebih besar dibanding dengan Transmigrasi Umum (TU). Untuk KTI dimana infrastrukturnya relatif belum maju dan mempunyai daya tarik rendah, sehingga subsidi untuk perpindahan dan penempatan di KTI harus lebih besar, dengan komposisi TU lebih besar dibanding TSB dan TSM.

§ Asal Transmigran. Kepadatan penduduk di KBI relatif lebih padat dan persebarannya cukup merata, maka perpindahan dan penempatan penduduk diprioritaskan antar desa antar kecamatan, antar kecamatan dalam kabupaten, antar kabupaten dalam propinsi dan antar propinsi dalam pulau. Untuk KTI kepadatan penduduknya relatif masih jarang dan persebarannya tidak merata, maka perpindahan dan penempatan penduduk diprioritaskan antar pulau di wilayah NKRI, antar propinsi, antar kabupaten, antar kecamatan dan antar desa.

§ Perluasan Areal Pertanian Baru. Lahan yang tersedia untuk perluasan areal pertanian baru di KBI sudah terbatas, dan sumberdaya kelautan juga sudah dieksploitasi secara intensif, maka prioritas pengembangannya adalah untuk tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Di KTI lahan yang tersedia relatif luas dan sumberdaya kelautan belum dieksploitasi secara intensif, maka prioritas pengembangannya yaitu perikanan kelautan dan perkebunan lebih besar dibanding dengan peternakan dan tanaman pangan.

§ Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Untuk Pertanian. Ketersediaan lahan dalam satu hamparan di KBI relatif terbatas, maka optimalisasi pemanfaatan lahannya diprioritaskan untuk program intensifikasi lebih besar daripada ekstensifikasi. Untuk KTI ketersediaan lahan dalam satu hamparan relatif masih tersedia, maka optimalisasi pemanfaatan lahannya diprioritaskan untuk ekstensifikasi lebih besar daripada intensifikasi.

§ Perwilayahan Ekologis. Perwilayahan ekologis baik untuk pengembangan lahan kering maupun lahan basah di KBI relatif terbatas, maka pengembangannya diprioritaskan untuk Kelompok Kecil Lahan Kering (KKLK), maupun Kelompok Kecil Lahan Basah (KKLB) lebih besar daripada Kelompok Besar Lahan Kering (KBLK) dan Kelompok Besar Lahan Basah (KBLB). Untuk KTI perwilayahan ekologis untuk pengembangan lahan kering maupun lahan basah relatif masih cukup besar, maka prioritas pengembangan KBLK dan KBLB lebih besar dibanding dengan KKLK dan KKLB.

§ Fasilitas Investasi. Di KBI infrastruktur pembangunan relatif sudah berkembang, maka akses faktor penunjang investasi lebih baik, sehingga dalam memfasilitasi penanaman investasi sebaiknya menggunakan dengan bunga komersial. Di KTI infrastruktur pembangunan relatif belum berkembang, maka akses kepada faktor-faktor penunjang investasi harus diberi subsidi dan tax holiday, sebagai insentif kepada para calon investor agar lebih tertarik untuk menanamkan investasinya ke KTI.

§ Izin Hak Guna Usaha (HGU). Untuk menarik minat investor menanamkan modalnya dalam pengembangan agribisnis perkebunan yang dikaitkan dengan penyelenggaraan transmigrasi, perlu dilakukan peningkatan periode waktu terhadap HGU yang diberikan. Untuk KBI, HGU perlu ditingkatkan lebih dari 30 tahun hingga mencapai periode penanaman kedua. Untuk mendukung percepatan pembangunan KTI, maka HGU yang diberikan lebih lama daripada di KBI.

§ Membangun Pusat Pertumbuhan. Di KBI relatif sudah berkembang dan banyak terbentuk pusat-pusat pertumbuhan, maka program pembangunan di KBI berfungsi untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan yang telah ada.Sedangkan di KTI program transmigrasi berfungsi untuk mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru.


Memacu Keberhasilan Implementasi Otonomi Daerah
Upaya ini dilakukan melalui :

§ Pemberian dampingan dan layanan atas peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan transmigrasi. Terjadinya proses perpindahan penduduk karena adanya daya tarik daerah lain sangat tergantung dari keberhasilan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, dengan kewenangannya secara otonom mengatur sumberdaya yang ada di daerah untuk pembangunan daerah.

§ Pemberian bimbingan, arahan, pelatihan dan supervisi untuk penyerasian pembangunan transmigrasi pada masing-masing daerah sangat diperlukan sehingga menciptakan dinamika pembangunan yang kondusif bagi terselenggaranya transmigrasi.



PENUTUP


Perubahan lingkungan strategis yang terjadi di Indonesia menjelang akhir abad 20 ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk menegasikan esensi konsep transmigrasi yang potensial besar untuk membawa kesejahteraan bagi penduduk. Harus diakui bahwa selama ini ada kesalahan dalam pelaksanaan transmigrasi yang bersumber pada penetapan target, penempatan yang tidak realistis dan mengakibatkan serangkaian kegagalan. Implikasi yang ditimbulkan dari program transmigrasi bukan hanya bersifat demografis (penambahan penduduk di suatu daerah) tetapi jauh lebih luas. Dengan demikian transmigrasi sebenarnya telah menjadi pendekatan pembangunan dengan spektrum implikasi yang sangat luas, dari penyediaan lapangan (kesempatan) kerja bagi penduduk miskin, pelaksanaan landreform (redistribusi lahan), ekstensifikasi pertanian, hingga penambahan infrastruktur yang cukup berarti dalam konteks pembangunan daerah.

Dengan berlakunya UU no 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka tatacara penyelenggaraan transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah. Peran pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan transmigrasi tercermin pada kewenangan masing-masing dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Dalam penyelenggaraan transmigrasi tidak hanya pemerintah saja yang berkepentingan. Berbagai pihak lain penting untuk ikut berperan dalam pelaksanaan transmigrasi, antara lain masyarakat perseorangan maupun kelompok seperti para pakar dan ilmuwan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat, serta para pelaku ekonomi atau investor seperti Koperasi, BUMN, BUMD, Swasta, dan kelompok usaha.

Pembangunan transmigrasi tahun 2004-2009 akan berjalan dengan baik apabila asumsi-asumsi sebagai berikut terpenuhi, yaitu : otonomi daerah berjalan dengan baik, kestabilan politik semakin mantap, perkembangan perekonomian cenderung membaik, serta kondisi sosial, budaya, dan lingkungan semakin positif



ACUAN PUSTAKA


Biro Perencanaan, 1998. Rumusan Seminar Reformasi Pembangunan Transmigrasi Departemen Transmigrasi dan PPH. Jakarta

Departemen Transmigrasi dan PPH, 1998. UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I, 2003. Reposisi Pengelolaan Transmigrasi Sebuah Policy Paper, Jakarta.

Ditjen Mobilitas Penduduk, 2002. Kebijakan Mobilitas Penduduk. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Ditjen Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi, 2001. Rumusan Seminar Perencanaan dan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Dalam Paradigma Baru. Jakarta,

Ditjen PSKT, 2002. Kebijakan Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Dit. Evaluasi Pembiayaan dan Informasi Keuangan Daerah, 2002. Keterpaduan Pembiayaan Antara Sektoral, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Djoko Puguh dkk, 2002. Kriteria Keberhasilan Kawasan Transmigrasi. Pusat Litbang Ketransmigrasian. Jakarta

Kantor Meneg Transmigrasi dan Kependudukan, 2000. Pokok-Pokok Pikiran Hasil Rakornas Pembangunan Transmigrasi dan Kependudukan. Tema Paradigma Baru dan Kebijakan Transmigrasi dan Kependudukan Dalam Rangka Memacu Pembangunan Daerah. Jakarta.

Keputusan Presiden R.I No. 177 Tahun 2000, tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Kep. Men. Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I No: Kep-23/Men/2001, tentang Organisasi dan Tata kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Kep. Mendagri No. 130 – 67 Tahun 2002, tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota. Jakarta

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2001, Rencana Strategik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2001-2004. Sekretariat Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Puslitbang Ketransmigrasian, 2002. Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2004-2009 (belum diterbitkan). Jakarta

Puslitbang Transmigrasi, 1999. Rumusan Seminar Nasional Visi Dan Misi Pembangunan Transmigrasi Dalam Mengantisipasi Pergeseran Tuntutan Pembangunan. Jakarta

Puslitbang Ketransmigrasian, 2001. Rumusan Fortasi Pengembangan Kebijakan Ketransmigrasian Dan Mobilitas Penduduk Mendukung Pembangunan Daerah. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Puslitbang Ketransmigrasian, 2001. Rumusan Workshop Pengembangan Kebijakan Ketransmigrasian Menuju Masa Depan. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta

PP No. 2 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Transmigrasi.

PP No. 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenagan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom.

Retno Anggraini,dkk, 2002. Studi Pengembangan Kebijakan Transmigrasi Ke Depan, Puslitbang Ketransmigrasian. Jakarta

UU RI. Nomor 25 Tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Penerbit CV. Tamita Utama. Jakarta


[1] Konstitusi yang utama dan terutama adalah UU No.15/1997, PP No.2 1999, dan PP No. 27. 1994, serta GBHN 1998.

[2] Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (UU. No. 15 Th 1999)

[3] Penyelenggaraan transmigrasi adalah kegiatan penataan dan persebaran penduduk melalui perpindahan ke dan di Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Lokasi Permukiman Transmigrasi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan kegiatan penyiapan permukiman, pengarahan dan penempatan serta pembinaan masyarakat transmigran dan pembinaan lingkungan permukiman transmigrasi (Bab Ketentuan Umum, PP No. 2 Th 1999).

[4] Penyelenggaraan transmigrasi oleh Pemerintah Daerah seyogyanya didasarkan atas kebutuhan pembangunan daerah, terutama kebutuhan akan sumber daya manusia (tenaga kerja produktif) guna pengembangan kawasan.

[5] Di samping harus mempertimbangkan persyaratan kelayakan sebagai tempat hunian dan tempat usaha, menyangkut ketersediaan sumber air bersih, kemiringan, dan kesuburan lahan yang baik.

[6] Hal ini dicirikan dengan tidak dicantumkannya transmigrasi secara eksplisit sebagai program dalam GBHN tahun 2000-2004. Berbeda dengan GBHN pada era sebelumnya yang mencantumkan transmigrasi di dalamnya, pada GBHN Tahun 2000-2004 transmigrasi dinyatakan secara implisit dalam berbagai arahan kebijakan pembangunan.

[7] Apalagi jika revisi atas UU No. 22/1999 dapat segera dilakukan, sehingga lebih mempertegas desentralisasi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat melaksanakan kewenangannya dengan baik. Pengaturan dan pelaksanaan peran dan kewenangan masing-masing tingkat pemerintahan diperkirakan semakin mantap. Kejelasan aturan pelaksanaan otonomi daerah sekaligus akan mempertegas otoritas pemerintah Pusat, Propinsi, serta Kabupaten/Kota. Selain upaya revisi atas UU 22/1999, juga dilakukan penataan ulang struktur organisasi pemerintahan daerah, termasuk pembenahan kualifikasi aparatur daerah. Prakarsa perbaikan menyeluruh atas aturan pelaksanaan otonomi daerah diperkirakan akan menghasilkan pemerintahan yang kuat, efektif, dan kredibel baik di Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

No comments:

Post a Comment