Fokus Lampost : Minggu, 9 Januari 2011
Ekonomi yang miskin berhadapan dengan gaya hidup tinggi, ditambah tingkat pendidikan rendah membuat warga mudah gelap mata.
Lengang sedang hinggap di Kampung Nambahdadi, Terbanggibesar, Lampung Tengah, siang (19-12) itu. Namun, suara sepeda motor matic seolah memecah langit dengan derunya yang mengedan. Padahal, kondisi jalan sangat tidak patut untuk ngebut, apalagi balapan.
Erangan mesin empat tak 110 cc itu tak ada jeda meski memasuki jalan yang rusak berlubang di sebilang tempat. Dan, “brak!”, suara itu mengakhiri desing engine yang seolah memburu.
Kecelakaan yang terjadi tak jauh dari permukiman itu seperti sudah hal lumrah. Saat Welly Aprijal (22), sang joki sepeda motor Yamaha Mio BE-3044-HO terjatuh di lokasi itu, seperti biasa, warga sekitar langsung hadir untuk memberi pertolongan. Beberapa orang datang dengan terburu-buru. Niatnya, agar korban segera tertolong jika terjadi cedera atau sesuatu yang butuh bantuan secepatnya. Juga, untuk mengobati rasa penasaran tentang siapa gerangan yang menjadi korban kecelakaan.
Namun, hari itu berbeda dengan kasus kecelakaan biasanya. Kali ini, saat hendak ditolong, sang korban justru telah bangkit dengan mata tajam. Spontan, Welly mengeluarkan sebentuk senjata api jenis pistol yang diselipkan di pinggang seraya menodongkan ke orang-orang yang akan menolong.
Para calon-calon “pahlawan” itu terbengong-bengong dengan sikap pengendara yang kecelakaan. Mereka mundur teratur dan memilih mematung dengan memandangi apa yang akan dibuat sang korban.
Welly mulai mengatur napas dan berusaha membangunkan sepeda motornya. Namun, dari arah belakang, beberapa sepeda motor, juga dengan kecepatan cukup tinggi, datang bersama. Tampak, matanya nanar memandang setiap sudut dengan curiga. Makin mendekat, Welly makin bingung karena sepeda motornya belum bisa dilarikan. Dan, teriakan begal dari serombongan orang yang mengendarai sepeda motor itu meneguhkan rasa penasaran warga. Ternyata, sepeda motor yang kecelakaan adalah hasil curian yang sedang dikejar pemiliknya dan kawan-kawan dari Tandus, Kampung tetangga.
Dengan mudah, Welly berada dalam tawanan. Emosi kerabat pemilik tak terbendung dengan menghakimi hingga berdarah-darah. Bahkan, warga yang semula hanya ingin menolong juga ikut geram dan menyumbang bogem mentah. Welly akhirnya tewas.
Kisah lengkap dari episode yang kemudian mengundang massa Kampung Tanjungratu Ilir, Kecamatan Way Pengubuan, dan warga Nambahdadi berhadap-hadapan dalam konflik antarkampung itu cukup gamblang beberapa pekan lalu. Welly dimakamkan. Parno, warga Nambahdadi yang semula hanya ingin menolong, ditangkap polisi dan ditahan. Parno memang yang paling ketiban sial.
Perang dingin terus menguasai atmosfer Lampung Tengah. Warga Nambahdadi merasa iba dengan nasib Parno. Sedangkan dalam suasana duka mendalam, warga Kampung Tanjungratu Ilir menaruh tanya, mengapa cuma satu orang yang ditahan. Itu pun justru warga Nambahdadi yang notabene bukan warga atau pemilik kendaraan yang dicuri.
Saling curiga itu bukan hanya pada wacana. Sebagai aksi solidaritas, warga Nambahdadi mengimpun massa untuk membebaskan Parno dari segala tuntutan kepada polisi. Mereka demo ke Mapolres dan mendesak Parno dibebaskan.
Mendangar itu, warga Tanjungratu Ilir berang. Mereka berangkat dengan senjata terhunus menuju Mapolres. Massa hampir berhadap-hadapan. Untungnya, polisi sudah mengevakuasi warga Nambahdadi. Massa Tanjungratu Ilir konvoi menuju Kampung Nambahdadi. Agustinus Bambang Hartanto (20), warga Kampung Pajarmataram, Seputih Mataram—yang kebetulan melintas di Kampung Nambahdadi—yang tak mengerti persoalan jadi korban.
Pelajar SMK Baturaja, Sumsel, yang mengendarai Yamaha Jupiter-Z BE-3413-HF, itu diadang. Tanpa ditanya apa-apa, beberapa orang dari mereka langsung membacok dan menusuk tubuh korban dengan senjata tajam. Agustinus terkapar dan motornya pun dirusak.
***
Peristiwa perang antarkampung Nambahdadi-Tanjungratu Ilir itu menutup 2010 di Lampung sebagai tragedi yang mencekam. Ini bukan satu-satunya. Setidaknya ada empat peristiwa sejenis pada 2010. Ada kerusuhan massal di Jabung, Lampung Timur, pada 21 November 2010, antara warga Desa Asahan dan Desa Blimbingsari. Masalah yang memicu juga relatif sama: soal pencurian sepeda motor.
Selang beberapa hari, kerusuhan kembali terjadi di Mesuji. Kali ini, akibat kalah judi sabung ayam, warga Kampung Pematangpanggang, OKI, Sumatera Selatan, yang marah dikeroyok warga hingga tewas di Kampung Wirabangun, Simpangpematang, Mesuji. Warga dua kampung bentrok dan tiga tewas. Dan hari perayaan tahun baru 2011, warga Kecamatan Gedongmeneng, Tulangbawang, nyaris terpancing kerusuhan akibat perkelahian pemuda.
Kasus-kasus horizontal ini memang sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan. Polda Lampung menjadi pihak yang paling sibuk dengan mengamankan situasi. Tak pelak, Kapolda Brigjen Sulistyo Ishak menggagas pertemuan tokoh daerah yang punya pengaruh besar terhadap kondisi ini. Jumat (7-1), para tokoh Jabung, Lampung Timur dijamu di Graha Pattimura, Telukbetung, untuk mengancah masalah. Sejumlah tokoh dan pakar hadir untuk memberi pikiran solusi.
Dalam sarasehan tersebut, selain Kapolda sebagai narasumber, juga ada yang didapuk menjadi pembicara: anggota DPR asal Lampung Abdul Hakim, sosiolog Universitas Lampung Abdul Syani, dan Danrem Garuda Hitam 043 Lampung Kolonal (Inf.) Hinsa Siburian. Sarasehan tersebut dihadiri 60-an perwakilan tokoh agama, toko adat, dan tokoh masyarakat dari Kecamatan Jabung, Gunungpelindung, Melenting, dan Labuhanmaringgai, Lampung Timur (Lamtim), Uspida serta jajaran Polda Lampung dan Polres Lamtim.
Dalam pemaparannya, Abdul Sani mengatakan kerawanan kamtibmas di Lamtim disebabkan beberapa faktor, salah satunya yang utama ialah kemiskinan. "Kalau masyarakat tidak kesulitan ekonominya, ngapain masyarakat berbuat kejahatan," ujar Abdul Syani yang merupakan dosen FISIP Unila.
Keadaan di mana seseorang, keluarga, atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Keadaan ini yang mendorong seseorang untuk berbuat dan menciptakan sendiri cara-cara pencapaian ekonominya secara subjektif dan di luar ketentuan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Selain itu, juga ada faktor perubahan sosial (kehidupan yang lebih materialitis dan konsumtif), sosio-kultural (budaya sosial), dan rendahnya sumber daya manusia. "Seperti masih ada masyarakat yang berpendidikannya rendah," ujar Abdul Syani.
Ia mengatakan timbulnya kejahatan bermula dari terganggunya stabilitas norma-norma masyarakat dan tidak dapat berfungsi dengan efektif dalam mengatur tingkah laku masyarakat. Dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, biasanya tumbuh pula berbagai nilai dan norma sosial yang baru. Dan dapat mengakibatkan bergesernya ukuran-ukuran taraf kehidupan tertentu, yang kemudian menembus batas norma-norma hukum, termasuk hukum adat. Selain itu juga faktor lingkungan menyumbang seseorang untuk berbuat kejahatan.
Dan juga menipisnya sumber daya alam, misalnya berkurangnya lahan perkebunan, dan kesenjangan ekonomi antardaerah.
Serta juga faktor lemahnya penegakan hukum oleh aparat kepolisian dan belum mantapnya demokratisasi di daerah tersebut. "Sehingga masyarakat di sana mudah diprovokasi oknum elite-elite politik," ujarnya.
Untuk itu, diperlukan kerja sama semua pihak untuk mengatasi permasalahan kamtibmas.
"Polisi harus bekerja sama dan bersinergi dengan tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan semua unsur masyarakat sehingga saling mendorong untuk menciptakan kamtibmmas yang kondusif," ujar Abdul Syani.
Polisi dalam bekerja sama dengan masyarakat mendapat kepercayaan masyarakat sehingga masyarakat mau berpartisipasi dan konsep polmas (polisi masyarakat) dapat terwujud.
Untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan di masyarakat, kita tidak dapat hanya mengandalkan aparat. Sehingga perlu peranan tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, peranan pemerintah serta peranan polisi untuk dapat mengatasi bersama-sama mengatasi masalah kamtibmas.
"Hubungan sosial untuk membangun kekompakan masyarakat dapat diawali dengan langkah sederhana dengan pengajian dengan dibimbing tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat," ujar Abdul Syani.
Toko adat memiliki peranan penting untuk membina dan mengendalikan sikap dan perilaku warganya agar sesuai dengan adat yang berlaku. Pengendalian adat umumnya dilakukan melalui musyawarah adat yang dihadiri para tokoh adat. Dalam musyawarah tersebut, tokoh adat dapat bermufakat untuk menyelesaikan setiap masalah yang bertentangan dengan adat tersebut. Tetapi tidak semua pelanggaran adat dapat diselesaikan dengan musyawarah karena tindakan pelanggaran terhadap hukum adat ada yang termasuk dalam kategori kriminal atau kejahatan. “Perbuatan kejahatan yang meresahkan masyarakat dapat ditangani langsung aparat kepolisian tanpa melalui proses adat,” ujar Abdul Syani. (TIM/M-1)
M. Ikhwanuddin
Hanafi Sampurna
No comments:
Post a Comment