Saturday, January 22, 2011
"PERSPEKTIF TENTANG KEMISKINAN"
"Kemiskinan" kultural bukanlah bawaan, melainkan akibat dari ketidak-mampuan menghadapi "kemiskinan" yang berkepanjangan."
Menurut Abdul Syani, "kemiskinan" dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupi dirinya atau keluarganya sendiri, seperti layaknya kehidupan orang lain, kelompok lain atau anggota-anggota "masyarakat" pada umumnya.
Penganut teori fungsional, Herbert Gans, menilai "kemiskinan" mempunyai fungsi dalam suatu sosial sistem, yaitu fungsi ekonomi, sosial, kultural dan politik.
Fungsi ekonomi dari "kemiskinan" meliputi:
a. Menyediakan tenaga untuk pekerjaan kotor dalam" masyarakat".
b. Menimbulkan dana-dana sosial (finds).
c. Membuka lapangan kerja baru karena dikehendaki oleh orang "miskin".
d. Pemanfaatan barang bekas yang tak dimanfaatkan oleh orang kaya.
Fungsi sosial dari "kemiskinan" meliputi:
a. "Kemiskinan" menguatkan norma-norma sosial utama dalam "masyarakat".
b. Menimbulkan altruisme terutama terhadap orang-orang "miskin" yang sangat memerlukan santunan.
c. Si kaya dapat merasakan kesusahan hidup miskin tanpa perlu mengalaminya sendiri dengan membayangkan kehidupan si "miskin".
d. Orang miskin menyediakan ukuran kemajuan (Rod) bagi kelas yang lain.
e. Membantu kelompok lain yang sedang berusaha sebagai anak tangganya.
f. "Kemiskinan" menyediakan alasan untuk munculnya kalangan orang kaya yang membantu orang miskin dengan berbagai badan amal.
Fungsi kultural dari "kemiskinan" meliputi:
a. "Kemiskinan" menyediakan tenaga fisik yang diperlukan untuk pembangunan monumen-monumen kebudayaan.
b. Kultur orang "miskin" sering diterima pula oleh strata sosial yang berada di atas mereka.
Fungsi Politik dari "kemiskinan" meliputi:
a. Orang miskin berjasa sebagai kelompok gelisah atau menjadi musuh bagi kelompok politik tertentu.
b. Pokok isu mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam "masyarakat" (terutama di AS) selalu diletakkan di atas masalah bagaimana membantu orang "miskin".
c. "Kemiskinan" menyebabkan sistem politik (di AS) menjadi lebih centrist dan lebih stabis.
Meskipun Gans mengemukakan sejumlah fungsi "kemiskinan", tapi itu tidak berarti bahwa ia setuju dengan institusi tersebut.
Implikasi dari pendapat Gans ini adalah bahwa jika orang ingin menyingkirkan "kemiskinan", maka orang harus mampu mencari alternatif untuk orang "miskin" berupa aneka macam fungsi baru. Alternatif yang diusulkan oleh Gans adalah otomatisasi. Otomatisasi dapat menggantikan fungsi si "miskin" yang semula mengerjakan pekerjaan kotor, utnuk kemudian dapat dialihkan kepada fungsi yang lain yang memberikan upah yang lebih tinggi.
Gans menyimpulkan adanya tiga alasan yang menyebabkan "kemiskinan" itu tetap berlangsung dalam "masyarakat":
a. "Kemiskinan" masih tetap fungsional terhadap berbagai unit dalam "masyarakat".
b. Belum adanya alternatif lain atau baru untuk berbagai pelaksanaan fungsi bagi orang "miskin".
c. Alternatif yang ada masih saja lebih mahal dari pada imbalan kesenangan yang diberikannya.
"Kemiskinan" akan lenyap melalui dua syarat:
a. Bila "kemiskinan" itu sudah sedemikian tidak berfungsi lagi bagi kemakmuran.
b. Bila orang "miskin" berusaha sekuat tenaga untuk mengubah sistem yang dominan dalam stratifikasi sosial.
"Kemiskinan" antara lain ditandai dengan keterbatasan/kurangnya kemampuan ekonomi, keterampilan, pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, rendahnya keadaan gizi keluarga, terbatasnya lapangan dan kesempatan kerja.
Apabila kondisi-kondisi tersebut dilihat dari pola hubungan sebab akibat, maka orang "miskin" adalah mereka yang serba kurang mampu dan terbelit di dalam lingkaran ketidak-berdayaan. Rendahnya pendapatan mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mempengaruhi produktivitas. Masalah mereka yang paling menonjol berkisar pada keterbatasan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa orang yang mengalami "kemiskinan" tidaklah akan banyak berdaya. Jangankan utnuk mengembangkan diri (jasmani maupun rohani), untuk bertahan menegakkan hidup fisiknya pada taraf yang subsisten saja terkadang tidak mampu. Kian "miskin" dan kian diper"miskin" hidup seseorang akan kian rendah dan menurun pulalah tingkat keberdayaannya. Kebeerdayaan ini merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan ber"masyarakat"nya itu dalam kenyataan akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan sosial budayanya (seperti misalnya posisi, status dan wawasan yang dipunyainya); dan sebaliknya, semua fasilitas sosial budaya yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya itu akan pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah "masyarakat". Ini merupakan suatu lingkaran setan, dimana orang-orang "miskin" yang tak berdaya acapkali terjebak di dalamnya, dan karena itu sulit melepaskan diri dari nasib buruknya itu. Maka, dari itu lahirlah sinyalemen yang menyatakan bahwa "kemiskinan": itu menghasilkan "kemiskinan", dan bahwa seseorang yang miskin itu "miskin" karena miskin.
Sedangkan menurut Ramlan Surbakti, "kemiskinan" ditinjau dari sifatnya dibedakan menjadi "kemiskinan" absolut dan "kemiskinan" relatif. "kemiskinan" suka rela dan "kemiskinan" terpaksa.
"Kemiskinan" absolut muncul dari nilai-nilai kemanusiaan (menyangkut harkat dan martabat manusia), sedanagkan "kemiskinan" relatif lebih menyangkut persepsi diri sebagai orang miskin karena adanya kesenjangan yang lebar dalam pemikiran dan/atau penguasaan harta benda dan dalam cara dan kecepatan memperolehnya. "Kemiskinan" absolut maupun "kemiskinan" relatif merupakan "kemiskinan" karena terpaksa. "Kemiskinan" sukarela lebih merupakan pilihan pandangan hidup yang dianggap lebih ideal. Para agamawan ataupun penghayat kebatinan yang lebih mementingkan dunia spiritual dari pada dunia wadah termasuk orang-orang yang memiliki pandangan hidup seperti ini. Dari faktor penyebabnya, "kemiskinan" dibedakan menjadi "kemiskinan" kultural, "kemiskinan" sumber daya ekonomi, dan "kemiskinan" struktural. Perasaan marjinalitas yang kuat, fatalisme, putus asa, ketergantungan dan inferioritas, kecurigaan dan apatisme merupakan sejumlah ciri-ciri kepribadian disfungsional yang timbul sebagai respon terhadap deprivasi ekonomi.
"Kemiskinan" kultural bukanlah bawaan, melainkan akibat dari ketidak-mampuan menghadapi "kemiskinan" yang berkepanjangan. "Kemiskinan" bukanlah sebab melainkan akibat. Sikap-sikap seperti ini diabadikan melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi.
"Kemiskinan" sumber daya ekonomi melihat akar "kemiskinan" terletak pada ketidak-punyaan sumber daya ekonomi, seperti tanah dan modal, pendidikan dan keterampilan, karena pertambahan penduduk yang pesat tidak seiring dengan sumber daya ekonomi yang tersedia. Akibatnya tidak hanya semakin banyak petani gurem dan buruh tani tetapi juga surplus tenaga kerja.
"Kemiskinan" struktural merupakan "kemiskinan" yang dibuat oleh manusia yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik. Perampasan dan akumulasi sumber daya ekonomi ini dilakukan oleh elit ekonomi dan politik yang tingga di kota dan atau di negara lain baik melalui mekanisasi dan komersialisasi pertanian di pedesaan maupun industrialisasi yang menggunakan teknologi padat modal. Perampasan dan akumulasi seperti ini tidak hanya dibenarkan tetapi juga dilaksanakan melalui kebijakan politik yang diputuskan dan diselenggarakan pemerintah. Akibatnya hanya sekelompok kecil orang pemilik sumber daya ekonomi dan atau orang-orang yang memiliki akses terhadap penggunaan sumber daya ekonomi politik saja yang beruntung menikmatinya. Sebagian "masyarakat" lainnya tidak hanya tak memiliki akses pada penggunaan sumber daya ekonomi tetapi juga akses pada kekuasaan politik. Disebut "kemiskinan" struktural karena yang membuat sebagian "masyarakat' miskin adalah bukan orang per orang melainkan struktural ekonomi dan politik yang tak hanya berifat eksploitatif terhadap pihak yang kurang memiliki sumber daya tetapi juga hanya berpihak kepada orang-orang yang memiliki akses ekonomi dan politik.
Kalau melihat begitu kompleksnya permasalahan "kemiskinan" ini, tidaj hanya akan mencegah kita membuat program yang asal ada program (supaya dianggap sudah memiliki komitmen dan telah bertindak) tetapi juga akan membuat kita rendah hati untuk berbagi tugas diantara pemerintah dan unsur-unsur "masyarakat" (seperti Lembaga Swadaya "Masyarakat"/LSM dan orang "miskin" sendiri) untuk menangani permasalahan ini. (Sumber : Hidup iti indah blog)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment