Oleh A.P. Edi Atmaja
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintahan lokal/daerah yang kita kenal sekarang berasal dari perkembangan praktik pemerintahan di Eropa pada abad ke-11 dan 12. Pada saat itu muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah membentuk suatu lembaga pemerintahan. Pada awalnya, satuan-satuan pemerintahan tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota), county (kabupaten), commune/gementee (desa).
Mungkin fenomena tersebut mirip dengan satuan komunitas asli penduduk Indonesia yang disebut dengan desa (Jawa), nagari (Sumatra Barat), huta (Sumatra Utara), marga (Sumatra Selatan), gampong (Aceh), kampung (Kalimantan Timur), dan lain-lain. Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan genealogis maupun teritorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang pada asalnya bersifat komunal.
Pada mulanya, satuan-satuan komunitas tersebut terbentuk atas kebutuhan anggotanya sendiri. Untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya, mereka membuat lembaga yang diperlukan, yang mencakup politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan.
Dalam perkembangan berikutnya, satuan-satuan komunitas tersebut dimasukkan ke dalam sistem administrasi negara dari suatu negara yang berdaulat. Untuk kepentingan administratif, satuan-satuan komunitas tersebut lalu ditentukan kategori-kategorinya, batas-batas geografisnya, kewenangannya, dan bentuk kelembagaannya. Melalui keputusan politik, satuan komunitas tersebut lalu dibentuk menjadi unit organisasi formal dalam sistem administrasi negara pada tingkat lokal. Sesuai dengan kepentingan politik negara yang bersangkutan, organisasi pemerintahan lokal dipilah menjadi dua: satuan organisasi perantara dan satuan organisasi dasar. Misal di Prancis, satuan organisasi perantara adalah department dan satuan dasarnya adalah commune. Di Indonesia, satuan organisasi dasarnya adalah kota, kabupaten, dan desa.[1]
Desa—dan pemerintahan desa—sebagai bagian struktural terkecil dari sistem otonomi daerah memiliki sifat yang khas dan tersendiri. Desa merupakan indikasi terdapatnya sistem pemerintahan yang demokratis, berhaluan kemusyawaratan dan kegotongroyongan, yang menjadi ciri khas bangsa kita sejak dulu kala. Jauh sebelum adanya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, yang mencirikan era reformasi, pemerintahan desa sudah menerapkan pemilihan secara langsung ini.
1.2. Permasalahan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja merupakan regulasi yang pertama kali mengatur pemerintahan desa. Undang-undang ini, pada era Orde-Baru, lantas diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kemudian, dengan lengsernya pemerintahan Orde-Baru Soeharto dan terbukanya keran demokrasi, reformasi, dan transparansi pada 1998, regulasi tentang pemerintahan daerah—termasuk pemerintahan desa di dalamnya—diperbarui lagi dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dirasa tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 lantas disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Setiap undang-undang pemerintahan daerah yang baru pada dasarnya merupakan koreksi dan penyempurnaan dari undang-undang dan peraturan yang lama, yang dianggap tidak sesuai lagi dengan amanah konstitusi dan perkembangan zaman. Begitu seterusnya, undang-undang pemerintahan daerah baru selalu membuat ketentuan-ketentuan baru guna memenuhi tuntutan aktual masyarakat lokal sebagi stakeholder dan kehendak pemerintah pusat sebagai shareholder.[2]
Tentu saja Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu lantas disempurnakan atau diterangkan lebih lanjut melalui pelbagai undang-undang dan peraturan pemerintah. Terkait dengan pengaturan terhadap pemerintahan desa, yang paling mutakhir ialah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Peraturan perundang-undangan (regulasi) yang bermacam-macam tadi tak pelak mencerminkan era macam apa saat itu. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja yang terbit pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde-Lama) mencerminkan nuansa otoritarian—jika kita menyempatkan diri mengkajinya, seperti yang hendak penulis lakukan. Begitu pun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diundangkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde-Baru). Karena, menurut Moh. Mahfud MD, Indonesia terbagi dalam tiga periode. Pertama, periode 1945-1959 dengan konfigurasi politik yang demokratis. Kedua, periode 1959-1966 dengan konfigurasi politik yang otoriter. Ketiga, periode 1966-1998 dengan konfigurasi politik yang otoriter yang didahului oleh masa pendek yang agak demokratis.[3]
Menjadi pertanyaan bagi kita semua, dengan demikian apa saja sebenarnya hal-hal yang menjadi pembeda antara substansi pada regulasi terhadap pemerintahan desa selama era pra-reformasi (sebelum tahun 1998) dengan regulasi terhadap pemerintahan desa selama era pasca-reformasi (setelah tahun 1998). Kesemuanya niscaya tercakup dalam tema-tema besar berikut.
1. Kedudukan dan tata-cara pemilihan kepala desa dan jajaran-jajaran di bawahnya,
2. Sistem pemisahan kekuasaan (baik legislatif maupun eksekutif) dalam pemerintahan desa, dan
3. Perimbangan keuangan antara Desa dengan struktur pemerintahan di atasnya.
Makalah dengan judul “Pemerintahan Desa: Antara Pra-Reformasi dengan Pasca-Reformasi” ini berupaya menjelaskan itu semua.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Susunan dan Kedudukan Pemerintahan Desa
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4]
Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berarti kesatuan masyarakat hukum tersebut mempunyai otonomi. Dengan demikian, desa mempunyai otonomi. Hanya saja, otonomi desa bukan otonomi formal seperti yang dimiliki pemerintah provinsi, kota, atau kabupaten. Akan tetapi otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat. Otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat adalah otonomi yang telah dimiliki sejak dulu kala dan telah menjadi adat-istiadat yang melekat dalam masyarakat desa yang bersangkutan.[5]
Otonomi yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota adalah otonomi formal/resmi. Artinya, urusan-urusan yang dimiliki atau menjadi kewenangannya ditentukan undang-undang. Sedangkan otonomi yang dimiliki pemerintah desa adalah otonomi berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat. Artinya, jika desa memang mempunyai urusan-urusan yang secara adat diatur atau diurus, urusan-urusan tersebut diakui oleh undang-undang.
Contoh urusan-urusan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota:
1. Urusan pendidikan dan kebudayaan,
2. Urusan kesehatan,
3. Urusan pertanian,
4. Urusan ketenagakerjaan.
Contoh urusan-urusan yang dimiliki pemerintah desa:
1. Urusan pengelolaan pasar desa,
2. Urusan lumbung desa,
3. Urusan pengelolaan makam keramat,
4. Urusan penyelenggaraan upacara adat.[6]
Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memerhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa harus memenuhi syarat:
1. jumlah penduduk,
2. luas wilayah,
3. bagian wilayah kerja,
4. perangkat, dan
5. sarana dan prasarana pemerintahan.
Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atu lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit lima tahun penyelenggaraan pemerintahan desa.[7]
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, desa tidak lagi di bawah kecamatan, melainkan di bawah kabupaten/kota. Dengan demikian, kepala desa langsung di bawah pembinaan bupati/walikota. Kecamatan bukan lagi sebagai suatu wilayah yang membawahi desa-desa tetapi hanya merupakan wilayah kerja camat. Camat sendiri bukan kepala wilayah dan penguasa tunggal di wilayahnya, melainkan hanya sebagai perangkat daerah kabupaten. Jadi, camat itu hanyalah staf daerah kabupaten yang mengurusi desa-desa.
Dalam wilayah desa dapat dibentuk Dusun atau sebutan lain yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa—yang disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan memerhatikan persyaratan: (1) luas wilayah, (2) jumlah penduduk, (3) sarana dan prasarana pemerintahan, (4) potensi ekonomi, (5) kondisi sosial-budaya masyarakat.[8]
Terdapat perbedaan yang cukup mencolok pada susunan pemerintahan desa antara susunan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, susunan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, susunan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan susunan pemerintahan desa pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, pemerintah desa terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Dalam melaksanakan fungsinya, pemerintah desa dibantu oleh perangkat desa, yang terdiri dari sekretariat desa dan kepala dusun-dusun.[9]
Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sudah mulai terdapat pembedaan istilah antara “pemerintahan desa” dengan “pemerintah desa”. Menurut undang-undang ini, pemerintahan desa adalah Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat desa—tidak disebutkan apa saja yang bisa dikategorikan sebagai perangkat desa.[10]
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berbicara lain lagi. Pemerintahan desa adalah Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat desa, yang terdiri dari Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya.[11]
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, sebagai peraturan yang paling mutakhir, menyatakan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD—tanpa menunjukkan kepanjangan BPD. Di pasal berikut tertulis pengaturan tentang Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa, Terdapat pengaturan yang lebih rinci mengenai Perangkat Desa, yakni terdiri dari Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya yang bisa berupa Sekretariat Desa, Pelaksana Teknis Lapangan, dan Unsur Kewilayahan.[12]
2.2. Kepala Desa
Kepala Desa adalah kepala pemerintahan desa. Kepala Desa mempunyai tugas pokok memimpin dan mengoordinasikan pemerintah desa dalam melaksanakan sebagian urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan umum, pembinaan dan pembangunan masyarakat, serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah atasnya. Kepala Desa memimpin para staf dalam menyelenggarakan pemerintahan desa.[13]
Mengenai syarat-syarat calon Kepala Desa, terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Sedangkan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sendiri tidak mencantumkan pasal tentang persyaratan calon Kepala Desa.
Secara umum, syarat-syarat yang terdapat pada kesemuanya, bahwa calon Kepala Desa harus: (1) penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (kecuali Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, dengan kalimat “Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah”), (3) berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau sederajat, (4) berumur sekurang-kurangnya 25 tahun (pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, ditambah ketentuan “dan setinggi-tingginya 60 tahun”), (5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan (pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa: “dengan hukuman paling singkat 5 tahun”; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah lebih spesifik: “hukuman penjara”), (6) tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, (7) penduduk desa setempat (pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa: “terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal tetap di Desa yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama 2 tahun terakhir dengan tidak terputus-putus, kecuali bagi putera Desa yang berada di luar Desa yang bersangkutan”).
Sedangkan ketentuan lain hanya pada peraturan perundang-undangan tertentu, seperti “tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam sesuatu kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, seperti G30S/PKI dan/atau kegiatan-kegiatan organisasi terlarang lainnya” (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah); “sehat jasmani dan rohani” (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah); “nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya” (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah); “berkelakuan baik, jujur, dan adil” (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah); “belum pernah menjabat sebagai Kepala Desa paling lama 10 tahun atau dua kali masa jabatan” (Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa).
Mengenai masa jabatan Kepala Desa, terdapat pula pelbagai macam perbedaan di antara peraturan perundang-undangan, yakni “8 (delapan) tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya” (sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa), “paling lama 10 (sepuluh) tahun atau 2 (dua) kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan” (sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah), dan “6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya” (sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa).
Perbedaan ketentuan di antara peraturan perundang-undangan tadi jelas mengindikasikan “nuansa” pemerintahan saat itu, seperti yang dipolakan secara bagus oleh Moh. Mahfud MD.[14]
2.3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
BPD—yang sebelumnya berturut-turut disebut dengan istilah Lembaga Musyawarah Desa, Badan Perwakilan Desa, sampai akhirnya Badan Permusyawaratan Desa[15]—adalah badan pembuat kebijakan dan pengawas pelaksanaan kebijakan desa. Anggota BPD dipilih oleh rakyat secara langsung, bebas, dan rahasia. BPD dipimpin oleh dan dari anggota BPD sendiri. BPD merupakan semacam DPRD kecil yang mewakili rakyat desa.
BPD adalah mitra Kepala Desa. BPD bersama Kepala Desa memikirkan desanya agar maju dan sejahtera. BPD tidak dibenarkan menjadi lawan Kepala Desa. Jika BPD menjadi lawan Kepala Desa, ketenteraman rakyat akan terganggu. Jalannya pemerintahan menjadi tidak stabil. Pembangunan tidak berjalan. Akhirnya rakyat menderita.[16]
Perkembangan sistem kelembagaan yang sampai akhirnya dinamakan sebagai Badan Permusyawaratan Desa ini adalah sebagai berikut:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Lembaga Musyawarah Desa didefinisikan sebagai lembaga permusyawaratan/ permufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka Masyarakat di Desa yang bersangkutan. Ketua Lembaga Musyawarah Desa adalah Kepala Desa. Sehingga, di sini sistem pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif tidak berjalan sebagaimana mestinya, khas Orde-Baru. Menjadi hal menarik pula, Sekretaris Desa menjabat juga sebagai Sekretaris Lembaga Musyawarah Desa.
2. Terjadi reformasi sistem sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, di mana Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota Badan Perwakilan Desa yang dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Kendati demikian, masih belum secara rinci diterangkan tentang masa jabatan dan struktur Badan Perwakilan Desa ini.
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengganti istilah Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa serta menambahkan masa jabatan anggota lembaga ini adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyempurnakan Badan Permusyawaratan Desa dengan menerangkan bahwa anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, dan tokoh serta pemuka masyarakat lainnya. Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang, dengan memerhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Pimpinan BPD terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang wakil ketua, dan 1 orang sekretaris. Dengan demikian, pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif, sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini, telah berjalan sebagaimana mestinya.
2.4. Perimbangan Keuangan Desa
Pengaturan mengenai Keuangan Desa paling lengkap dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur secara rinci dan komprehensif mengenai perimbangan keuangan desa. Maka, untuk subjudul ini, penulis menukil total Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa, pemerintahan daerah, dan pemerintahan pusat yang diselenggarakan pemerintah desa didanai masing-masing oleh anggaran pendapatan dan belanja desa, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan anggaran pendapatan dan belanja negara.[17]
Sumber pendapatan desa terdiri atas:
1. pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong-royong, dan pendapatan asli desa lain yang sah),
2. bagi hasil pajak Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa,
3. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa,
4. bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan,
5. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.[18]
Sumber pendapatan daerah yang berada di desa baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa. Pungutan retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut oleh desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Bagian desa dari perolehan bagian pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan pengalokasiannya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.[19]
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penulis berupaya menghubungkan antara butir-butir pada Permasalahan dengan Pembahasan yang dikaji, dan akhirnya penulis mendapatkan hasil-hasil sebagai berikut.
1. Desa mempunyai otonomi. Otonomi desa bukan otonomi formal seperti yang dimiliki pemerintah provinsi, kota, atau kabupaten. Akan tetapi otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat.
2. Desa tidak lagi di bawah kecamatan, melainkan di bawah kabupaten/kota.
3. Terdapat perbedaan yang mencolok antara susunan pemerintahan desa—yang mencakup Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa—yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang kesemuanya mencerminkan corak pemerintahan dalam negara.
4. Terdapat perbedaan persyaratan terkait dengan calon Kepala Desa pada masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut di atas, yang mencerminkan corak pemerintahan dalam negara.
5. Terdapat perbedaan fungsional pada sistem kelembagaan Badan Permusyawaratan Desa pada masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
6. Terdapat perbedaan perimbangan keuangan yang kontras antara pemerintahan desa sebelum reformasi dengan setelah reformasi. Bahkan, pada kondisi tertentu, perimbangan keuangan antara peraturan perundang-undangan setelah reformasi yang satu dengan yang lain berbeda cakupannya. Adanya kekurangsempurnaan pada peraturan perundang-undangan sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa mengindikasikan hal itu sehingga bisa disimpulkan bahwa penjabaran tentang Keuangan Daerah ketika itu hanya sebagai ihwal yang komplementer (baca: “pemanis”).
3.2. Saran
Melalui pelbagai konjungsi yang kait-mengait antara Permasalahan dengan Pembahasan sebagaimana coba diterangkan pada Kesimpulan, akhirnya penulis berupaya melontarkan saran-saran yang barangkali bisa menjadi renungan pemikiran.
1. Wacana otonomi daerah merupakan wacana yang pelik. Bermula dari gagasan Amien Rais, bapak penggerak reformasi kita, yang mengusulkan federalisme buat susunan negara Republik Indonesia. Bagi beliau, negara sebesar Indonesia akan lebih demokratis bila dikelola secara federal, karena cara itu lebih memberi kebebasan dan keleluasaan kepada negara-negara bagian atau daerah-daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri dengan tetap terikat kepada negara Republik Indonesia. Negara sebesar Indonesia akan cenderung otoriter jika dikelola dalam bentuk negara kesatuan, karena dengan bentuk itu pasti akan terjadi upaya penyeragaman yang bersifat memaksa. Namun, gagasan ini mendapat tantangan keras dari beberapa pihak, sampai Amien Rais menarik wacana itu. Abdurrahman Wahid, sebelum menjadi presiden, menengahi pertentangan dengan mengusulkan agar Indonesia tetap memakai bentuk negara kesatuan tetapi pembagian kekuasaannya bisa meniru negara federal. ‘Negara kesatuan rasa federal’, humor Abdurrahman Wahid ketika itu.[20] Dan akhirnya corak negara yang seperti ini yang berlanjut sampai sekarang.
2. Wacana demikian ternyata semakin berkembang sampai dengan satuan pemerintahan terkecil, yakni Desa, yang lantas mempunyai kadar otonomi tersendiri. Namun, dalam penerapannya, sistem pemerintahan desa memiliki kebopengan di sana-sini, sehingga perlu terus-menerus direvisi regulasi tentangnya. Perevisian ini tentu saja meliputi pemisahan kekuasaan yang konsisten dan konsekuen sesuai dengan cita-hukum yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, diharapkan demokratisasi yang menjadi harapan bersama berjalan sebagaiman mestinya, sehingga pada akhirnya tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sanggup terimplementasi secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Mahfud MD. 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo.
Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Wahid, Abdurrahman. 2002. Kumpulan Kolom dan Artikel selama Era Lengser. Yogyakarta: LKiS.
[1] Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Grasindo, 2005), hal. 1
[2] Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, Kata Pengantar, dalam Lili Romli, “Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. v
[3] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hal. 58. Cetak miring oleh penulis.
[4] Butir 5 dan 6 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
[5] Hanif Nurcholis, loc. cit., hal. 136
[6] Ibid, hal. 136
[7] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
[8] Pasal 3 dan 5 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
[9] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
[10] Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
[11] Pasal 202 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
[12] Pasal 11 dan 12 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
[13] Hanif Nurcholis, loc. cit., hal. 139
[14] Lihat Pendahuluan, hal. 3
[15] Lihat hal. 6
[16] Hanif Nurcholis, loc. cit., hal. 141
[17] Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
[18] Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
[19] Pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
[20] Antara lain bisa dibaca pada Moh. Mahfud MD, loc. cit., hal. 223
No comments:
Post a Comment