Dahulu ketika wilayah Lampung ini di huni oleh 98% lebih pendudimya yang buta huruf Latin, maka ketahulilah bahwa sejatinya hampir 90% dari penduduk berusia remaja dan dewasa di Lampung pada saat itu melek huruf al-Quran, huruf Lampung ka-ga-nga dan melek huruf Jawi. Huruf huruf ka-ga-nga mengusug informasi penting tentang resep makanan, pengobatan, ilmuu bela diri dan lain lain. sedang hurup Jawi mengusung informasi tentang agama Islam, hukum, sejarah serta ketatanegaraan dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan huruf Jawi adalah huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu. Huruf jawi ini berkembang dan berlaku di Indonesia, Malaysia, Brunai dan Thailand. Dan di tanah Arab sendiri jama'ah haji asal Indonesia, Malaysia, Brunai, Singapur dan Thailand mereka sebut sebagai jama'ah haji Jawi. Jadi kata Jawi itu bukan Jawa. Karena ada juga huruf Arab yang digunakan untuk menulis kata kata Jawa, Sunda dan Banten, dan huruf itu disebut dengan huruf 'Pegon' yang berasal dari kata Pegok yang artinya bebas tak beraturan.
Tuesday, October 29, 2013
Sunday, October 27, 2013
Kirab Pernikahan Agung Kerato Yogyakarta
Sekitar empat jam sebelum kirab pengantin KPH Yudanegara dan GKR Bendara berlangsung, suasana jalur kirab yang dimulai dari Kraton Yogyakarta hingga Bangsal Kepatihan dipadati ribuan warga, Selasa (18/10) sore. Dari anak-anak yang digendong hingga orang tua, mereka menjadi saksi Pernikahan Agung Kraton Yogyakarta.
Pasangan pengantin Kraton Yogyakarta, KPH Yudanegara (kanan) dan GKR Bendara menyapa warga masyarakat yang tumpah ruah di sepanjang jalan Malioboro menyaksikan Kirab Pengantin Pernikahan Agung Kraton Yogyakarta, Selasa (18/10)
Gegap Gempita Perkawinan Di Keraton Yogyakarta 2013.
-
-
-
-
VIVAnews - Pada prosesi akad nikah Selasa, 18 Oktober 2011, di masjid Panepen Keraton Yogyakarta, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegoro tampak gagah. Ia mengenakan beskap warna putih yang dipadu dengan kain corak klasik.
Sedangkan, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang bertindak sebagai wali dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, mengenakan surjan warna hijau. Akad nikah berlangsung hikmat, meskipun tak dihadiri GKR Bendara.
Kedua pengantin memang baru dipertemukan dalam prosesi panggih, yang digelar usai ijab kabul di bangsal Kencono, pukul 10.00 WIB. Dalam bahasa Jawa, panggih berarti bertemu.
Prosesi panggih ini diiringi tiga lantunan gending Jawa. Yang pertama adalah Gending Bindri untuk mengiringi kedatangan pengantin pria. Yang kedua Gending Ladrang Pengantin yang mengiringi upacara panggih--mulai dari balangan (saling melempar sirih), wijik dadi (pecah telur), hingga prosesi mencuci kaki suami. Yang terakhir: Gending Boyong/Gending Puspowarno untuk mengiringi kacar-kucur, lambang penyerahan nafkah dahar walimah.
Sedangkan, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang bertindak sebagai wali dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, mengenakan surjan warna hijau. Akad nikah berlangsung hikmat, meskipun tak dihadiri GKR Bendara.
Kedua pengantin memang baru dipertemukan dalam prosesi panggih, yang digelar usai ijab kabul di bangsal Kencono, pukul 10.00 WIB. Dalam bahasa Jawa, panggih berarti bertemu.
Prosesi panggih ini diiringi tiga lantunan gending Jawa. Yang pertama adalah Gending Bindri untuk mengiringi kedatangan pengantin pria. Yang kedua Gending Ladrang Pengantin yang mengiringi upacara panggih--mulai dari balangan (saling melempar sirih), wijik dadi (pecah telur), hingga prosesi mencuci kaki suami. Yang terakhir: Gending Boyong/Gending Puspowarno untuk mengiringi kacar-kucur, lambang penyerahan nafkah dahar walimah.
Dalam prosesi panggih ini, para tamu dan undangan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.
Saat menjalani prosesi panggih, kedua pengantin terlihat sangat memikat. Mereka tampak mempesona, mengenakan busana dodotan khas Yogyakarta. (umi)
Tuesday, October 22, 2013
Mbak Yu HIROMI Sinden Wayang Asal Jepang
SINDEN JEPANG GORO GORO
--
Siapa Hiromi.
HROMI KANO FROM JAPAN FOR SINDEN
Foto: Ganug Nugroho Adi
GENDING “Ketawang Kinanthi Sandhung Pelog Barang” itu terdengar bening. Lantunan sandhung pelog barang-nya terdengar panjang dan bulat. Diselingi suwuk, suara jernih perempuan itu kembali meliuk melantunkan macapat dhudhuk wuluh “Ayak-ayakan Mijil Sulastri Wolak-walik, beralih ke srepeg slendro manyura (jenis laras nada pentatonis). Ketika sampai pada bagian cengkok miring, penonton seperti menahan napas, terkesima lantunan nada-nada pentantonis yang dibawakan dengan sempurna oleh perempuan bertubuh mungil yang duduk di dekat dalang Ki Manteb Soedharsono di panggung pentas wayang kulit lebar tapi pendek itu. Perempuan itu Hiromi Kano, salah satu pesinden yang sering tampil bersama “dalang setan” Ki Manteb Soedharsono. Dari namanya sudah bisa ditebak ia perempuan Jepang. Namun kecuali nama yang menjadi tanda “kejepangannya” itu, sepintas memang hampir tak tampak lagi tanda-tanda lain bahwa ia berasal dari Negeri Sakura, meski kulit perempuan itu putih dan matanya sipit. Sosoknyanya sebagai orang Jepang seperti menguap, terlebih ketika ia nyinden dengan busana kebesarannya; kebaya lengkap dan sanggul besar khas Jawa.
Hiromi Kano namanya. Lahir di Chiba, Jepang, 31 Januari 1967. Sejak kecil ia menyukai musik. Ia belajar piano klasik sejak duduk di sekolah dasar. Tahun 1991, Hiromi adalah mahasiswa seni jurusan musik barat dan piano di Tokyo Ongaku Daigaku (Universitas Musik Tokyo).
--
Siapa Hiromi.
HROMI KANO FROM JAPAN FOR SINDEN
Foto: Ganug Nugroho Adi
GENDING “Ketawang Kinanthi Sandhung Pelog Barang” itu terdengar bening. Lantunan sandhung pelog barang-nya terdengar panjang dan bulat. Diselingi suwuk, suara jernih perempuan itu kembali meliuk melantunkan macapat dhudhuk wuluh “Ayak-ayakan Mijil Sulastri Wolak-walik, beralih ke srepeg slendro manyura (jenis laras nada pentatonis). Ketika sampai pada bagian cengkok miring, penonton seperti menahan napas, terkesima lantunan nada-nada pentantonis yang dibawakan dengan sempurna oleh perempuan bertubuh mungil yang duduk di dekat dalang Ki Manteb Soedharsono di panggung pentas wayang kulit lebar tapi pendek itu. Perempuan itu Hiromi Kano, salah satu pesinden yang sering tampil bersama “dalang setan” Ki Manteb Soedharsono. Dari namanya sudah bisa ditebak ia perempuan Jepang. Namun kecuali nama yang menjadi tanda “kejepangannya” itu, sepintas memang hampir tak tampak lagi tanda-tanda lain bahwa ia berasal dari Negeri Sakura, meski kulit perempuan itu putih dan matanya sipit. Sosoknyanya sebagai orang Jepang seperti menguap, terlebih ketika ia nyinden dengan busana kebesarannya; kebaya lengkap dan sanggul besar khas Jawa.
Hiromi Kano namanya. Lahir di Chiba, Jepang, 31 Januari 1967. Sejak kecil ia menyukai musik. Ia belajar piano klasik sejak duduk di sekolah dasar. Tahun 1991, Hiromi adalah mahasiswa seni jurusan musik barat dan piano di Tokyo Ongaku Daigaku (Universitas Musik Tokyo).
Wednesday, October 16, 2013
Politik Premordial Masih mengganjal ?
Pemilihan Presiden sejatinya tak lama lagi, kecuali Hanura belum ada partai yang telah menetapkan calonnya memang Abu Rizal bakri (ARB) sudah lama mensosialisasikan pemikirannya, Hatta Rajasa (PAN) telah menggejalakan keinginannya untuk Nypres, dan Surya Paloh sebenarnya juga sudah menampakkan birahi politiknya yang sulit disembunyikan, sementara Jusuf Kalla (JK) telah lama digadang gadang, sementara Machfud MD yang asli madura itu sering tertangkap tangan bermain mata. Masih menjadi kendala bagi para calon yang berasal dari luar Jawa, karena mereka tak cukup laku di tanah Jawa sementara pemilih justeru banyak terkonsentrasi di tanah Jawa ini. Politik premordial belum sepenuhnya terhapuskan. Maka Abu Rizal Bakry, Hatta Rajasa, Surya Paloh, Mahfud MD dan Jusuf Kalla, bila pada saatnya kelak akan maju sebagai Capres, maka dianjurkan untuk berpasangan dengan tokoh asal jawa.
Era Orde Baru.
Di era Orde Baru politik Jawanisasi sebenarnya sangat menonjol, apalagi pada saat itu calon Gubernur adalah droping dari pusat, Anggota DPRD Provinsi tinggal mengamini saja siapapun calon yang di drop dari pusat, pada tak peduli apapun perasaan orang daerah. Memang belum seluruh daerah yang mampu terjawanisasi, di Sumatera ini setidaknya ada empat Provinsi yang pusat harus berpikir dua kali mendrop calon gubernur asli Jawa, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Padang dan Sumatera Selatan. Sisanya telah dianggap terlepas dari sikap premordialistik. Atau kalaupun tidak setidaknya lembaga adat setempat memang tidak stressing merebut kekuasaan. Provinsi di Sumatera yang langganan dipimpin oleh Gubernur asal Jawa adalah Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung.
Memang setelah ditetapkannya Undang Undang Pemerintahan Pedesaan, maka lembaga adat semakin melemah adanya, tetapi ada beberapa Provinsi yang lembaga adatnya tidak langsung redup, mereka masih memiliki semangat menentang undang undang ini, sehingga lembaga adat seperti tak kunjung sirna. Berbeda halnya dengan Lampung, bengkulu, Jambi dan Riau tadi. Sampai dengan sekarang pengaruh lembaga adat masih bervariasi adanya, tak dapat dikatakan telah sepenuhnya hilang.
Era Orde Baru.
Di era Orde Baru politik Jawanisasi sebenarnya sangat menonjol, apalagi pada saat itu calon Gubernur adalah droping dari pusat, Anggota DPRD Provinsi tinggal mengamini saja siapapun calon yang di drop dari pusat, pada tak peduli apapun perasaan orang daerah. Memang belum seluruh daerah yang mampu terjawanisasi, di Sumatera ini setidaknya ada empat Provinsi yang pusat harus berpikir dua kali mendrop calon gubernur asli Jawa, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Padang dan Sumatera Selatan. Sisanya telah dianggap terlepas dari sikap premordialistik. Atau kalaupun tidak setidaknya lembaga adat setempat memang tidak stressing merebut kekuasaan. Provinsi di Sumatera yang langganan dipimpin oleh Gubernur asal Jawa adalah Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Lampung.
Memang setelah ditetapkannya Undang Undang Pemerintahan Pedesaan, maka lembaga adat semakin melemah adanya, tetapi ada beberapa Provinsi yang lembaga adatnya tidak langsung redup, mereka masih memiliki semangat menentang undang undang ini, sehingga lembaga adat seperti tak kunjung sirna. Berbeda halnya dengan Lampung, bengkulu, Jambi dan Riau tadi. Sampai dengan sekarang pengaruh lembaga adat masih bervariasi adanya, tak dapat dikatakan telah sepenuhnya hilang.
Malu Aku Jadi Orang Lampung
Oleh Hardi Hamzah
SEDERET perdebatan tentang pilgub kini sudah sampai titik nadir. Kenyataannya, belum ada titik kepastian. Padahal, perihalnya sederhana "anggaran tidak ada". Ini sungguh memalukan.
Gonjang-ganjing mekanisme politik di provinsi ini sebagai resultante tipis tanggung jawabnya elite politik kita, akibatnya membawa implikasi bermacam macam. Bayangkan, para bakal calon dibuat gamang, tim sukses melangkah tidak maksimal, semua dibuat floating alias mengambang.
Dalam skema mekanisme politik kedaerahan, teristimewa politik anggaran, hampir dapat dikatakan muskil bila Pemda yang bergelimang proyek kok tidak mampu mengadakan uang yang seyogianya sudah jauh-jauh harus dipikirkan.
SEDERET perdebatan tentang pilgub kini sudah sampai titik nadir. Kenyataannya, belum ada titik kepastian. Padahal, perihalnya sederhana "anggaran tidak ada". Ini sungguh memalukan.
Gonjang-ganjing mekanisme politik di provinsi ini sebagai resultante tipis tanggung jawabnya elite politik kita, akibatnya membawa implikasi bermacam macam. Bayangkan, para bakal calon dibuat gamang, tim sukses melangkah tidak maksimal, semua dibuat floating alias mengambang.
Dalam skema mekanisme politik kedaerahan, teristimewa politik anggaran, hampir dapat dikatakan muskil bila Pemda yang bergelimang proyek kok tidak mampu mengadakan uang yang seyogianya sudah jauh-jauh harus dipikirkan.
Politisasi Budaya (Lampung?).
Oleh Robi Cahyadi Kurniawan
DI tengah ketidakpastian jadwal pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung dengan perdebatan yang cenderung membosankan. Konflik kelembagaan antara KPU dan Pemerintah Provinsi Lampung (Gubernur) yang tak kunjung usai, ada hal menarik yang bisa dijadikan ulasan.
Lazimnya, di mana pun pergelaran pemilihan kepala daerah dilaksanakan, beragam cara dilakukan para calon untuk memikat hari pemilih. Proses memikat itu bisa dilakukan dengan cara santun, masif, terstruktur atau dilakukan dengan cara yang elegan dengan dibungkus balutan?balutan nuansa tertentu. Salah satunya adalah penggunaan simbol-simbol budaya dalam politik praktis pemilukada.
4 Modal Penting
Secara tidak tertulis, dalam proses pemilukada ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi jika ingin memenangkan pemilihan. Syarat pertama, yaitu modal politik, yakni seberapa besar kekuatan politik yang menopang pasangan calon. Kekuatan politik ini adalah partai politik pengusung pasangan.
DI tengah ketidakpastian jadwal pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung dengan perdebatan yang cenderung membosankan. Konflik kelembagaan antara KPU dan Pemerintah Provinsi Lampung (Gubernur) yang tak kunjung usai, ada hal menarik yang bisa dijadikan ulasan.
Lazimnya, di mana pun pergelaran pemilihan kepala daerah dilaksanakan, beragam cara dilakukan para calon untuk memikat hari pemilih. Proses memikat itu bisa dilakukan dengan cara santun, masif, terstruktur atau dilakukan dengan cara yang elegan dengan dibungkus balutan?balutan nuansa tertentu. Salah satunya adalah penggunaan simbol-simbol budaya dalam politik praktis pemilukada.
4 Modal Penting
Secara tidak tertulis, dalam proses pemilukada ada empat (4) syarat yang harus dipenuhi jika ingin memenangkan pemilihan. Syarat pertama, yaitu modal politik, yakni seberapa besar kekuatan politik yang menopang pasangan calon. Kekuatan politik ini adalah partai politik pengusung pasangan.
(Voting) Calon Gubernur Gunakan Politik Primordialisme
POLITIK yang menggunakan basis primordialisme masih terus berkembang di
Lampung. Masing-masing calon gubernur (cagub) pun masih meminta dukungan
sana-sini terhadap organisasi dengan basis primordial suku, etnis,
adat, dan agama.
"Kami mengundang Wali Kota Heman H.N. untuk hadir ke acara silaturahmi keluarga besar organisasi ini, tetapi dia mengatakan organisasi sejenis kami (kekerabatan, red) telah diurusi tangan kanannya," kata Udin, salah seorang pengurus organisasi kekerabatan asal daerah Sumatera itu, beberapa waktu lalu.
Akhirnya, mereka pun mengundang Ridho Ficardo dan mendapat sambutan hangat. Mereka pun mengapresiasinya dengan mengangkat Ridho sebagai salah seorang anggota kehormatan keluarga itu. "Kami tidak meminta apa-apa, cuma ingin mengenal calon kepada keluarga," kata dia.
Memang organisasi semacam ini terkadang hanya dimanfaatkan pengurusnya untuk mencari dana tak bertuan dari para cagub. Dengan menggelar acara tertentu, mereka sengaja mengundang kandidat agar bisa memberi perhatian dan dukungan materi tentunya.
Ada juga organisasi yang terang-terangan mendukung salah satu kandidat walaupun tak semua anggotanya setuju, seperti pasangan kandidat Amalsyah Tarmizi-Gunadi Ibrahim (Amal Berguna) yang mendapat dukungan dari Lembaga Adat Megou Pak Tulangbawang (LAMPTB).
Dukungan ini dibuktikan dengan kehadiran Ketua LAMPTB Wan Mauli Sanggem didampingi putrinya, Novelia Sanggem, di kediaman Amalsyah di Rawalaut, Bandar Lampung, awal September 2013.
Wan Mauli mengungkapkan dukungan atas pasangan Amal Berguna karena ada kesamaan visi dan misi serta sama-sama independen. "Kami siap memenangkan dan memperjuangkan pasangan Amal Berguna ini agar dapat terpilih sebagai gubernur Lampung. Amal Berguna adalah pasangan calon yang ideal dan terbaik untuk Lampung ke depan," kata dia.
Untuk itu, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. berharap organisasi yang berbasis adat, budaya, suku, etnis, dan agama tidak terlalu jauh masuk ke area politik. Lebih baik mereka melakukan pendekatan dan mengajak masyarakat mencegah aksi kriminalitas yang marak terjadi di Lampung. "Mereka bisa jadi alat pemersatu, bukannya malah dipecah," kata dia.
MPAL, misalnya, selain berperang mempererat rasa persaudaraan antarkalangan, juga tetap harus menjalankan tugas utamanya, yakni melestarikan budaya serta adat istiadat Lampung. Jika ini tidak dilestarikan, Gubernur khawatir masyarakat, khususnya generasi muda, tidak lagi mengenal adat istiadat dan budaya Lampung.
"Harus ada pengenalan berkelanjutan terkait adat budaya Lampung dan adat di Nusantara, khususnya kepada generasi muda," kata Sjachroedin yang diberi gelar adat Kanjeng Yang Tuan Sultan Mangku Negara Pemangku Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai. (CR7/CR13/U1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013
"Kami mengundang Wali Kota Heman H.N. untuk hadir ke acara silaturahmi keluarga besar organisasi ini, tetapi dia mengatakan organisasi sejenis kami (kekerabatan, red) telah diurusi tangan kanannya," kata Udin, salah seorang pengurus organisasi kekerabatan asal daerah Sumatera itu, beberapa waktu lalu.
Akhirnya, mereka pun mengundang Ridho Ficardo dan mendapat sambutan hangat. Mereka pun mengapresiasinya dengan mengangkat Ridho sebagai salah seorang anggota kehormatan keluarga itu. "Kami tidak meminta apa-apa, cuma ingin mengenal calon kepada keluarga," kata dia.
Memang organisasi semacam ini terkadang hanya dimanfaatkan pengurusnya untuk mencari dana tak bertuan dari para cagub. Dengan menggelar acara tertentu, mereka sengaja mengundang kandidat agar bisa memberi perhatian dan dukungan materi tentunya.
Ada juga organisasi yang terang-terangan mendukung salah satu kandidat walaupun tak semua anggotanya setuju, seperti pasangan kandidat Amalsyah Tarmizi-Gunadi Ibrahim (Amal Berguna) yang mendapat dukungan dari Lembaga Adat Megou Pak Tulangbawang (LAMPTB).
Dukungan ini dibuktikan dengan kehadiran Ketua LAMPTB Wan Mauli Sanggem didampingi putrinya, Novelia Sanggem, di kediaman Amalsyah di Rawalaut, Bandar Lampung, awal September 2013.
Wan Mauli mengungkapkan dukungan atas pasangan Amal Berguna karena ada kesamaan visi dan misi serta sama-sama independen. "Kami siap memenangkan dan memperjuangkan pasangan Amal Berguna ini agar dapat terpilih sebagai gubernur Lampung. Amal Berguna adalah pasangan calon yang ideal dan terbaik untuk Lampung ke depan," kata dia.
Untuk itu, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. berharap organisasi yang berbasis adat, budaya, suku, etnis, dan agama tidak terlalu jauh masuk ke area politik. Lebih baik mereka melakukan pendekatan dan mengajak masyarakat mencegah aksi kriminalitas yang marak terjadi di Lampung. "Mereka bisa jadi alat pemersatu, bukannya malah dipecah," kata dia.
MPAL, misalnya, selain berperang mempererat rasa persaudaraan antarkalangan, juga tetap harus menjalankan tugas utamanya, yakni melestarikan budaya serta adat istiadat Lampung. Jika ini tidak dilestarikan, Gubernur khawatir masyarakat, khususnya generasi muda, tidak lagi mengenal adat istiadat dan budaya Lampung.
"Harus ada pengenalan berkelanjutan terkait adat budaya Lampung dan adat di Nusantara, khususnya kepada generasi muda," kata Sjachroedin yang diberi gelar adat Kanjeng Yang Tuan Sultan Mangku Negara Pemangku Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai. (CR7/CR13/U1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013
(Voting) Era Matinya Politik Primordial
KEINGINAN pasangan calon gubernur/wakil gubernur (cagub/cawagub) Lampung
untuk melirik basis dari organisasi primordial gencar dilakukan. Namun,
mereka tak sadar hasil survei bahwa sejak 2009 rakyat Indonesia tidak
lagi suka dengan politik jenis tersebut.
Hal itu terbukti dari hasil hasil survei Lembaga Survei Independen (LSI). Sejak Pemilu 2009, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono menandai era baru politik Indonesia.
Masyarakat Indonesia tidak lagi memilih pemimpin berdasarkan kesukuan, agama, asal daerah, gender, maupun permintaan elite organisasi massa. "Politik primordial atau politik aliran telah mati dan yang membunuh adalah masyarakat pemilih itu sendiri," ujar salah seorang pendiri LSI, Saiful Mujani.
Berdasarkan penelitian (exit poll) yang dilakukan pada 8 Juli kemarin, pada hari pemungutan suara, LSI menemukan 1.948 pemilih yang berhasil diwawancarai tatap muka. Mereka yang telah memberikan suaranya di TPS tidak mempertimbangkan rasa primordialnya, melainkan pertimbangan perbaikan kondisi ekonom.
Hal ini, menurut Saiful, membuka pengetahuan baru, bahwa perilaku pemilih di Indonesia telah lebih rasional dalam membuat keputusan politik untuk memilih pemimpin.
Dalam exit poll yang dilakukan kemarin, LSI menggunakan populasi semua pemilih yang memberikan suara di TPS (nasional), ditetapkan 2.116 TPS, dipilih secara acak dari populasi TPS tersebut (proporsional). Sampel dipilih secara random, satu responden untuk satu TPS.
Dari 2.116 tersebut, ternyata LSI hanya berhasil mewawancarai 1.948 orang sebagai sampel responden. Wawancara tatap muka dilakukan pada pukul 09.00 kepada pemilih yang baru saja keluar dari TPS. Margin of error adalah 2,8% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasilnya, LSI menemukan satu petunjuk menarik bahwa pilihan masyarakat terhadap capres-cawapres tidak terpengaruh oleh pernyataan elite ormas Islam yang menjadi afiliasinya.
Data menunjukkan SBY-Boediono mendapat dukungan mayoritas pemilih yang mengaku sebagai warga NU (64%) maupun Muhammadiyah (58%). Sementara Mega-Prabowo mendapat dukungan mayoritas kedua dari warga NU (26%) dan Muhammadiyah (24%). Adapun JK-Wiranto, mendapat dukungan paling minimal dari warga NU (10%) dan Muhammadiyah (18%).
Menurut Saiful, fakta ini menunjukkan kesenjangan antara elite NU dan Muhammadiyah dengan massa di bawahnya. Seperti yang tampak dalam pernyataan-pernyataan para elite kedua ormas tersebut di media, lanjut Saiful, JK mendapat dukungan dari para elite NU (misal: Hasyim Muzadi) dan Muhammadiyah (misal: Buya Syafii Maarif).
Namun, kenyataannya, JK-Wiranto justru mendapat dukungan minoritas, justru SBY-Boediono yang mendapat dukungan mayoritas. "Ini seperti ada kesenjangan antara elite ormas tersebut terhadap massa di bawahnya. Untuk urusan politik, pernyataan para elite ormas itu ternyata tidak didengar oleh para massanya," kata Saiful. (U1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013
Hal itu terbukti dari hasil hasil survei Lembaga Survei Independen (LSI). Sejak Pemilu 2009, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono menandai era baru politik Indonesia.
Masyarakat Indonesia tidak lagi memilih pemimpin berdasarkan kesukuan, agama, asal daerah, gender, maupun permintaan elite organisasi massa. "Politik primordial atau politik aliran telah mati dan yang membunuh adalah masyarakat pemilih itu sendiri," ujar salah seorang pendiri LSI, Saiful Mujani.
Berdasarkan penelitian (exit poll) yang dilakukan pada 8 Juli kemarin, pada hari pemungutan suara, LSI menemukan 1.948 pemilih yang berhasil diwawancarai tatap muka. Mereka yang telah memberikan suaranya di TPS tidak mempertimbangkan rasa primordialnya, melainkan pertimbangan perbaikan kondisi ekonom.
Hal ini, menurut Saiful, membuka pengetahuan baru, bahwa perilaku pemilih di Indonesia telah lebih rasional dalam membuat keputusan politik untuk memilih pemimpin.
Dalam exit poll yang dilakukan kemarin, LSI menggunakan populasi semua pemilih yang memberikan suara di TPS (nasional), ditetapkan 2.116 TPS, dipilih secara acak dari populasi TPS tersebut (proporsional). Sampel dipilih secara random, satu responden untuk satu TPS.
Dari 2.116 tersebut, ternyata LSI hanya berhasil mewawancarai 1.948 orang sebagai sampel responden. Wawancara tatap muka dilakukan pada pukul 09.00 kepada pemilih yang baru saja keluar dari TPS. Margin of error adalah 2,8% dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasilnya, LSI menemukan satu petunjuk menarik bahwa pilihan masyarakat terhadap capres-cawapres tidak terpengaruh oleh pernyataan elite ormas Islam yang menjadi afiliasinya.
Data menunjukkan SBY-Boediono mendapat dukungan mayoritas pemilih yang mengaku sebagai warga NU (64%) maupun Muhammadiyah (58%). Sementara Mega-Prabowo mendapat dukungan mayoritas kedua dari warga NU (26%) dan Muhammadiyah (24%). Adapun JK-Wiranto, mendapat dukungan paling minimal dari warga NU (10%) dan Muhammadiyah (18%).
Menurut Saiful, fakta ini menunjukkan kesenjangan antara elite NU dan Muhammadiyah dengan massa di bawahnya. Seperti yang tampak dalam pernyataan-pernyataan para elite kedua ormas tersebut di media, lanjut Saiful, JK mendapat dukungan dari para elite NU (misal: Hasyim Muzadi) dan Muhammadiyah (misal: Buya Syafii Maarif).
Namun, kenyataannya, JK-Wiranto justru mendapat dukungan minoritas, justru SBY-Boediono yang mendapat dukungan mayoritas. "Ini seperti ada kesenjangan antara elite ormas tersebut terhadap massa di bawahnya. Untuk urusan politik, pernyataan para elite ormas itu ternyata tidak didengar oleh para massanya," kata Saiful. (U1)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Oktober 2013
Sebuah Kesepakatan Atas Nama Simbol
Oleh F. Moses
Simbol secara langsung memperkokoh kedigdayaan puisi itu sendiri, seperti kian melegitimasikan bahwa pembaca puisi ialah makhluk cerdas lantaran ketersedian kemampuan (hak otonomi) mengisi ruang interpretasi. Saat kegelisahan melanda bahkan mengancam si penyair, simbol pun menjadi penengah hebat di antara penyair dan pembaca.
15 April 1865, tepat usia ke-54, Lincoln terbunuh. Kematian presiden Amerika Serikat ke-16 tersebut membuat rakyatnya larut dalam duka. Bukan hanya Amerika Serikat, melainkan keseluruhan Amerika. Tapi beberapa waktu setelah kejadian itu, penyair While Whitman (1819-189¬2) pun “terganggu”—imajinasinya seperti tengah diserang puluhan tujahan; ia lantas membuat puisi atas kedukaannya terhadap Lincoln. Maka terbitlah sepuisi berjudul When Lilacs last in the Dooryard Bloom’d.
Puisi Whitman menyoal tanaman lilac yang sedang berbunga pada musim semi, kala saat itu presiden Lincoln terbunuh. Tambah Whitman, kedukaan memang tak lagi melanda keseluruhan Amerika, tapi juga termasuk alam dan binatang yang ada di sana. Bahkan burung hermit thrush pun bak mewakili duka orang-orang dengan menyanyikan lagu yang amat sedih.
Simbol secara langsung memperkokoh kedigdayaan puisi itu sendiri, seperti kian melegitimasikan bahwa pembaca puisi ialah makhluk cerdas lantaran ketersedian kemampuan (hak otonomi) mengisi ruang interpretasi. Saat kegelisahan melanda bahkan mengancam si penyair, simbol pun menjadi penengah hebat di antara penyair dan pembaca.
15 April 1865, tepat usia ke-54, Lincoln terbunuh. Kematian presiden Amerika Serikat ke-16 tersebut membuat rakyatnya larut dalam duka. Bukan hanya Amerika Serikat, melainkan keseluruhan Amerika. Tapi beberapa waktu setelah kejadian itu, penyair While Whitman (1819-189¬2) pun “terganggu”—imajinasinya seperti tengah diserang puluhan tujahan; ia lantas membuat puisi atas kedukaannya terhadap Lincoln. Maka terbitlah sepuisi berjudul When Lilacs last in the Dooryard Bloom’d.
Puisi Whitman menyoal tanaman lilac yang sedang berbunga pada musim semi, kala saat itu presiden Lincoln terbunuh. Tambah Whitman, kedukaan memang tak lagi melanda keseluruhan Amerika, tapi juga termasuk alam dan binatang yang ada di sana. Bahkan burung hermit thrush pun bak mewakili duka orang-orang dengan menyanyikan lagu yang amat sedih.
Perang Antar Kampung Warnai Iduladha
Oleh M. Lutfi
Akibat penyerangan warga Gunungsugih Baru ke Kampung Sukajawa, sedikitnya tiga warga Sukajawa luka bacok, seorang luka tembak, tujuh rumah dilempari hingga pecah kaca depannya, dan dua sepeda motor dibakar.
PERANG antarkampung di perbatasan Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng) dan Kabupaten Pesawaran mencoreng suasana Iduladha, kemarin, sekitar pukul 11.00.
Suasana menegangkan baru cair setelah digelar pertemuan tokoh antarkampung yang bertikai?Kampung Sukajawa, Kecamatan Bumiratu Nuban, Lamteng, dan Kampung Gunungsugih Baru, Kecamatan Tegineneng, Pesawaran, di Balai Kampung Sukajawa. Pertemuan difasilitasi Polres Lamteng dan Polres Lampung Selatan yang wilayah hukumnya juga meliputi Kabupaten Pesawaran.
Kedua pihak akhirnya sepakat tidak akan mengulangi tindakannya, menjaga situasi kondusif, dan menyerahkan proses hukum ke aparat penegak hukum.
Hadir dalam pertemuan itu, di antaranya Kapolres Lamteng AKBP Yulias, Kapolres Lampung Selatan AKBP Bayu Aji, Dandim Lamteng Letkol Ridwan Maulana. Kapolda Lampung Brigjen Heru Winarko juga hadir dalam pertemuan yang digelar selepas magrib hingga pukul 20.15 tersebut.
Akibat penyerangan warga Gunungsugih Baru ke Kampung Sukajawa, sedikitnya tiga warga Sukajawa luka bacok, seorang luka tembak, tujuh rumah dilempari hingga pecah kaca depannya, dan dua sepeda motor dibakar.
PERANG antarkampung di perbatasan Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng) dan Kabupaten Pesawaran mencoreng suasana Iduladha, kemarin, sekitar pukul 11.00.
Suasana menegangkan baru cair setelah digelar pertemuan tokoh antarkampung yang bertikai?Kampung Sukajawa, Kecamatan Bumiratu Nuban, Lamteng, dan Kampung Gunungsugih Baru, Kecamatan Tegineneng, Pesawaran, di Balai Kampung Sukajawa. Pertemuan difasilitasi Polres Lamteng dan Polres Lampung Selatan yang wilayah hukumnya juga meliputi Kabupaten Pesawaran.
Kedua pihak akhirnya sepakat tidak akan mengulangi tindakannya, menjaga situasi kondusif, dan menyerahkan proses hukum ke aparat penegak hukum.
Hadir dalam pertemuan itu, di antaranya Kapolres Lamteng AKBP Yulias, Kapolres Lampung Selatan AKBP Bayu Aji, Dandim Lamteng Letkol Ridwan Maulana. Kapolda Lampung Brigjen Heru Winarko juga hadir dalam pertemuan yang digelar selepas magrib hingga pukul 20.15 tersebut.
Tuesday, October 15, 2013
Sambutan Gelar Budaya dan Sendratari Sekala Brak Yogyakarta, 09 Oktober 2013
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera bagi kita semua,
Om swastiastu,
Yth. Sri Sultan Hamengkubuwono X,
Yang saya hormati, Bupati lampung Barat,
Para Sesepuh, Pembina dan Ketua IKPM Lampung Barat,
Hadirin serta seluruh Keluarga Besar Pelajar Mahasiswa Lampung Barat di Yogyakarta yang Berbagagia.
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadrat Tuhan Yang Maha Esa, atas limppahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita masih diberi kesempatan untuk hadir dan berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal’afiat.
Globalisasi memiliki dampak positif dan negatip. Dampak positif globalisasi berupa percepatan pembangunan di segala bidang karena iklim investasi yang terbuka lebar. Globalisasi juga melahirkan dialog peradaban Timur-Barat. Globalisasi pula yang membuat informasi menjadi sangat terbuka. Keterbukaan informasi membuat banyak pihak ( Pemerintah maupun swasta ) menerapkan prinsip pelayanan, akuntabel dan bersifat melayani.
Bentrok Antarkampung Pecah di Lampung Tengah
Bentrok terjadi antara Warga Kampung Suka Jawa, Bumiratu Nuban (Lamteng) dengan warga Kampung Gunung Sugih Baru, Tegineneng, Kabupaten Pesawaran. Sedikitnya empat orang luka, tujuh rumah rusak, satu unit mobil dan tiga sepeda motor hancur dalam bentrokan tersebut.
Polres Lampung Tengah dan Polres Lampung Selatan masih melakukan upaya perdamaian kedua warga berlainan kabupaten tersebut di Kampung SukaJawa. Polisi mengumpulkan tokoh masyarakat kedua kampung yang berdekatan tersebut.
Pertemuan dua kelompok warga berseteru tersebut dimediasi dua Kapolres Lampung Tengah AKBP Yulias dan Kapolres Lampung Selatan, AKBP Bayu Aji di balai pertemuan warga di Kampung Sukajawa.
Kapolres Bayu Aji, mengatakan bentrok antarkampung ini telah menyebabkan sedikitnya tujuh rumah rusak, dan beberapa kendaraan milik warga di Kampung Suka Jawa, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, Kabupaten Lampung Tengah. Dari penelusuran polisi, bentrok terjadi akibat kesalahfahaman warga setelah terjadi kecelakaan motor warga kedua kampung.
Friday, October 11, 2013
Rapat Pertama MPAL
Sebagai wajah baru sejatinya saya ingin lebuh banyak menyimak dalam rapat pertama yang dislenggarakan oleh Pengurus MPAL Lampung Rabu 9 Oktober 2013 di sekretariat MPAL Gg Nangka Jl. Zainal Abidin Pagaralam, rapat itu sebenarnya rapat terbatas, tetapi semua bagian ternyata terwakili. Ada beberaopa catatan saya yang barangkali akan bermanfaat Pertama tentang keinginan untuk mengeluarkan buku petunjuk tentang tata adat Lampung, gagasan ini sejatinya tak ada salahnya, jika memang MPAL memiliki tenaga untuk menyusunnya. Namun walaupun demikian perlu kita ingatkan bahwa masyarakat Lampung ini bukan saja terdiri dari Pepadun dan Saibatin, tetapi baik Pepadun maupun Saibatin memiliki sub sub yaitu marga dan kebuaiyan atau sebutan lainnya. yang satu dengan yang lain tak tertutup banyaknya perbedaan.
Niat baik MPAL yang akan diwujudkan dalam bentuk penulisan atau inventarisasi ini memang mulia, tetapi dalam waktu bersamaan justeru akan menjadi bumerang yang merendahkan MPAL manakala penulis tidak mencapai optimal dalam kelengkapannya, karena justeru akan muncul pihak pihak yang mempertanyakan apakah MPAL berniat untuk menghapus atau menambah dan bahkan akan merubah tradisi masyarakat. Atau penulisan itu harus bertahap, tahap pertama adalah inventarisasi yang dimintakan kepada masing kebuaian atau marga yang ada menuliskan sendiri sendiri aturan adat yang lazim mereka lakukan, apalagi pada umumnya kita hanya memahami adat dan tradisi kita masing masing, itu bukan jaminan akan pengetahuan kita terhadap kelompok yang relatif majemuk ini.
Thursday, October 3, 2013
Pidato Suttan Sangbimo Jagat Rasobayo
Selaku Pelaksana Ketua Harian Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dalam acara Pengukuhan Pengurus MPAL Periode 2013-2017. Di Balai Kratun Komplek Pemda Provinsi Lampung Rabu 2 Oktober 2013.
LAPORAN KELTUA PELAKSANA
PENGUKUHAN PENGURUS MPAL PROVINSI LAMPUNG
PERIODE 2013-2017
Assalaamu'alaikum Wr Wb
Tabik Ngalimpuro Sikam Pun
Kj. Yang Tuan ST. Mangkunegara Junjungan Pemangku Lampung SRBJ I.
Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa bahwa kita semua dapat hadir pada acara Pengukuhan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) di Balai Keratun in. Semoga kita mendapat berkah dan ridho Allah Swt. Amin.
Awal bebalah, disijo selah
Ngdepiy metiy, seunyen wariy
Dilem itaran, nigehken laporan
Semogo ngebo, kewawaian gham jejamo
Payew kidah, jejamo nengah
Gham piseniy, teninggal rebbiy
Sino warisan, tetep diandan
Adat budayo, aksara budayo
Di sijo selah, gham searah
Ngesaiken atiy, bepiil bepesenggiri
Ngebangun tanggan, sijo tujuan
Gham jejamo, negakken basso
Selanjutnya perkenankan kami laporan kegiatan ini sbb:
I. Dasar Hukum
1. UUD 1945 khususnya yang bersangkutan dengan pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional sebagai bentuk & Integritas bangsa Indonesia.
2. UU No. 17 / 2013 Tentang Organisasi kemasyarakatan.
3. PERMENDAGRI NO 39/2007 tentang Pedoman organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan keraton dan lembaga adat dalam pelestarian dan pembangunan budaya daerah.
4. PERMENDAGRI NO 40 / 2007 tentanbg pedoman bagi kepala daerah dalam pelestarian dan pengembangan budaya dan bahasa daerah.
5. PERDA Prov. Lampung NO 2/ 2008 tentang pemeliharaan kebudayaan Lampung
6. PERDA Prov. Lampung NO 5/ 2013 tentang Kelembagaan Masyarakat Adat Lampung (MPAL)
Mubes MPAL Prov. Lampung Juli 2013
8. SK Gubernur Lampung No. G/656/II/HK/2013 tentang pengukuhan Pengurus MPAL Provinsi Lampung periode 2013-2017.
II. Maksud dan Tujuan
MPAL adalah suatu wadah untuk membina dan melestarikan dan meberdayakan adat istiadat masyarakat Lampung. Masyarakat adat adalah masyarakat Lampung yang terdiri dari jurai pepadun dan jurai saibatin.
* Maksud :
1. Memberi wadah bagi organisasi yang bergerak untuk melestarikan dan memberdayakan adat istiadat (piil pesenggiri) dan budaya daerah, baik benda maupun tak benda.
2. Wadah yang membina kerukunan hidup dalam masyarakat adat di bumi sai bumu ruwa jurai ini dengan mengedepankan adat istiadat dan budaya sebagai identitas jatidiri bangsa.
* Tujuan.
1. Berperan serta dalam pembangunan sebagai mitra pembangunan.
2. Terciptanya pembangunan daerah yang memiliki identitas dan integritas yang khas sebagai kekayaan, "Bahasa Menegakkan Bangsa"
3. Berperan serta dalam membina hukum adatsebagai dasar strategi
pendekatan (socio cultural) dalam pembangunan daerah.
4. Lamun mak gham sapa lagi, lamun mak ganta kapan lagi.
III. Peserta Pengukuhan.
Adapun kepengurusan MPAL Lampung periode 2013-2017 yang akan
dikukuhkan adalah berasal dari jurai adat pepadun dan adat saibatin yang
berkomitmen untuk bersama sama dalam pembinaan, pengembangan dan pelestarian
adat istiadat semaksimal mungkin (hasil
muber MPAL bulan Juli dengan SK Gubernur G/656/II.3/HK/2013 tentang pengurus
MPAL Provinsi Lampung periode 2013-2017.
Demikian laporan yang dapat kami sampaikan dan kepada
kepengurusan periode yang lalu kami ucapkan banyak terima kasih atas sumbangannya, semoga menjadi amal yang
baik. Selanjutnya memohon kepada Bapak Gubernur selaku pembina lembaga
kemasyarakatan beliau Kanjeng Yang Tuan Suttan Mangkunegara Sai Bumi RTuwa
Jurai I dapat mengukuhkan MPAL Prov. Lampung periode 2013-2017 ini.
Bandar Lampung, 2 Oktober 2013
Majelis penyimbang Adat Lampung
Pelaksana Ketua Harian,
(Suttan Sangbimo Jagat Rasobayo)
Wednesday, October 2, 2013
MPAL Harus mampu Memuliakan Komunitas Pendukung Adat Lampung.
MPAL Lampung yang kepengurusannya baru dikukuhkan pada Hari Rabu 2 Oktober 2013 kemarin melengkapi struktur kepengurusannya dengan Bidang Agama dan Kerohanian yang dikomandani oleh Ustd. Drs. Hi. Baijuri Rasyd, M.Ag, yang kita kenal sebagai salah seorang Fungsionaris MUI Provinsi Lampung dan Ketua Pergerakan Daerah Muhammadiyah Kota Bandar Lampung, dari jabatan jabatan itu saja kita meyakini akan kepakarannya dalam hal agama dan kerohanian. Dibawah koordinasinya MPAL diyakini akan mampu memberikan sesuatu yang berarti bagi komunitas pendukung adat Lampung, sesuai dengan kondisi dan harapan masyarakat tentunya. Lalu apa sebenarnya yang diharapkan oleh masyarakat kepada para pemimpinnya, termasup pimpinan adat, tak lain dan tak bukan yang diharapkan adalah meningkatnyakemuliaan dalam hidup mereka, bersama lembaga adat yang menaunginya.
Eksistensi kepemimpinan saat ini adalah kepemimpinan yang memiliki kemampuan untuk memuliakan, dalam bahasa agama adalah kepemimpinan yang dapat menghantarkan tangan para komunitas yang dipimpinnya memiliki tangan di atas, menurut ajaran agama bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah, dengan kata lain para pemimpin itu hendaknya memiliki kemampuan untuk memuliakan komunitas yang dipimpinnya.
Eksistensi kepemimpinan saat ini adalah kepemimpinan yang memiliki kemampuan untuk memuliakan, dalam bahasa agama adalah kepemimpinan yang dapat menghantarkan tangan para komunitas yang dipimpinnya memiliki tangan di atas, menurut ajaran agama bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah, dengan kata lain para pemimpin itu hendaknya memiliki kemampuan untuk memuliakan komunitas yang dipimpinnya.
MPAL Bertanggungjawab Memberdayakan Lembaga Adat Lampung.
Kehadiran Msjelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) diharapkan adat dan budaya Lampung akan semakin maju, jangan sebaliknya justeru berjalan mundur. Demikian dikatakan oleh Gubernur Lampung dalam acara Pengukuhan Pengurus MPAL Lampung peruiode tahun 2013-2016. Di Gedung balai Kratun Komplek Pamda Provinsi Lampung Rabu 2 Oktober 2013. Selanjutnya Gubernur berharap agar para pengurus memiliki kreatifitas agar melakukan sesuatu program sehingga kehadiran MPAL dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adat dan pendukung budaya Lampung. MPAT harus berbuat sesuatu karena arti kehadiran kita adalah kita telah melakukan sesuatu, dan sesuatu itu yang dimaksudkan oleh Gubernur dapat kita pastikan yaitu sestu yang bermanfaat.
Kehadiran MPAL yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adat dalam waktu bersamaan harus juga dirasakan manfaatnya oleh lembaga lembaga adat yang ada yang secara pokoknya dapt dibagi dua, yaitu Pepadun dan Saibatin. Apalah artinya kehadiran MPAL manakala lembaga lembaga adat kita tidak mencapai berbagai kemajuan, karena MPL tidak akan mungkin dapat mengambil alih peran lembaga adat yang ada, bagi internal masing mssing adat. Kendatipun MPAL mengatasnamakan Majelis Penyimbang, tetapi untuk reprentatif mewakili marga marga yang adi Lampung pada saat ini dan mungkin hingga saat saat mendatang akanlah selalu mustahil adanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)