KEPURBAKALAAN: Ditemukan Kerangka Manusia Usia 2.000 Tahun
GIANYAR (Lampost/Ant): Kerangka manusia purba dalam peti jenazah yang terbuat dari batu—yang disebut sarkofagus—ditemukan di Subak Saba, Desa Keramas, Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (28-8).
Dua peti jenazah manusia dari zaman prasejarah yang masih utuh itu diperkirakan berusia 2.000 tahun. "Hari ini kami temukan dua peti batu, tapi baru satu yang berhasil dibuka dan ternyata masih berisi kerangka manusia purba," kata peneliti pada Balai Arkeologi Denpasar Ayu Kusumawati di lokasi penemuan kemarin (28-8).
Ayu menyebutkan dua buah peti batu yang di bagian ujungnya dilengkapi aksesori mirip kepala kura-kura itu pertama kali ditemukan oleh penggali tanah di lokasi pembuatan batu bata. Dari temuan itu, tim Balai Arkeologi Denpasar kemudian melakukan pendalaman. Ternyata, kedua peti merupakan benda peninggalan purbakala yang disebut sarkofagus.
Ayu mengatakan salah satu dari dua barang temuan itu sudah berhasil dibuka bagian penutupnya oleh petugas dan ternyata masih berisi kerangka manusia dalam susunan tulang-belulang yang lengkap. "Sementara yang satunya lagi masih dalam keadaan utuh sehingga kami belum tahu isinya," ujarnya.
Ia menambahkan selain kerangka manusia, dalam peti jenazah manusia purba itu juga ditemukan sebuah kendi tua. "Kendi dengan panjang 15 cm itu berada persis di samping tengkorak kerangka manusia yang terkujur dalam peti," kata Ayu menjelaskan.
Ia mengatakan berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dua sarkofagus yang ditemukan memiliki ukuran yang berbeda. "Sarkofgus yang utuh merupakan peti mati tipe kecil dengan ukuran panjang 150 cm dan lebar 50 cm, sedangkan sarkofagus yang sudah dibuka memiliki ukuran panjang 100 cm dan lebar 12 cm," ujar dia.
Mengenai umur sarkofagus itu, Ayu Kusumawati memperkirakan kedua kerangka sudah ada sejak 2.000 tahun yang lalu atau sejak zaman prasejarah. "Pada zaman itu manusia telah mengenal masa perundagian serta alat logam. Hal ini dibuktikan dengan adanya tonjolan wajah manusia atau kedok yang mirip kura-kura pada bagian ujung sarkofagus yang kini ditemukan," kata dia.
Selain telah mengenal logam, kata Kusumawati, pada zaman itu juga sudah dikenal istilah gotong royong dan rasa persatuan dan kesatuan. "Tujuan dibuatkan kedok di bagian ujung peti kubur itu dimaksudkan untuk memberikan jalan bagi sang arwah menuju dunia lain," ujar dia.
Ia menjelaskan biasanya pemakaman dengan sarkofagus itu untuk orang yang berpengaruh pada zaman itu. "Hanya kaum bangsawan dan orang yang berpengaruh yang menggunakan peti kubur semacam itu," ujarnya.
Saat ini, kata Kusumawati, pihaknya bersama petugas lain masih melakukan peneitian lebih lanjut soal penemuan dua sarkofagus itu. "Kami masih harus di lokasi untuk melakukan penelitian lanjutan sebelum kedua sarkofagus itu dievakuasi ke Balai Pelestarian Benda Purbakala," kata dia.
Sumber : Lampost Edisi 29 Agustus 2010
Saturday, August 28, 2010
Thursday, August 26, 2010
TUBAGUS YAHYA MUSYAFIR PENYIAR QURAN DI KAHURIPAN
JEJAK ISLAM MASUK LAMPUNG (12)
PINTU masuk dari jalur selatan diyakini paling berpengaruh terhadap penyebaran Islam di Lampung. Hal tersebut ditandai dengan keberadaan situs-situs sejarah, seperti makam keramat.
Selain makam Tubagus Machdum di Kuala, Telukbetung Selatan, di Kahuripan, Telukbetung Barat, juga terdapat makam Tubagus Yahya. Kedua ulama ini masih memiliki keterkaitan keluarga, yakni berasal dari keturunan Sultan Hasanuddin, Banten.
Sama halnya seperti Tubagus Machdum, makam Tubagus Yahya juga acap dijadikan tujuan peziarah dari berasal warga sekitar maupun luar Lampung, seperti Pulau Jawa, tepatnya dari Serang, Banten. Biasanya peziarah memenuhi lokasi makam saat menjelang Ramadan dan Idulfitri.
Juru kunci makam Masarim mengatakan Tubagus Yahya merupakan musafir yang datang dari Kenari, Jawa. Ia datang ke Lampung sekitar 1900-an. Saat pertama kali datang, Tubagus Yahya menetap di rumah H. Yusuf.
"Dalam kesehariannya, Tubagus Yahya yang dikenal sebagai musafir ini kerap menyiarkan ajaran-ajaran Islam, terutama tentang pengetahuan dan pandangan terhadap Alquran," kata Masarim, Minggu (22-8).
Menurut Masarim yang juga masih keturunan H. Yusuf, dalam syiarnya, Tubagus Yahya cenderung menggunakan media pengajian dan pondok pesantren.
Saat giat-giatnya menyebarkan Islam sekitar 1930, Tubagus Yahya meninggal dunia karena sakit. Setelah meninggal, Tubagus Yahya dimakamkan di Kahuripan, Telukbetung Barat, dan H. Yusuf kemudian menjadi juru kuncinya.
Kabar meninggalnya Tubagus Yahya, menurut Masarim, terdengar keluarganya di Pulau Jawa. Ahli waris Tubagus Yahya bernama H. Euyem kemudian datang dan melanjutkan syiar Islam orang tuanya.
Namun, pada 1950 H. Euyem kemudian meninggal dan dikebumikan di samping makam Tubagus Yahya.
Salah seorang pengunjung yang juga warga sekitar makam, Siti Khadijah, mengatakan dia rutin mengunjungi makam tersebut saat menjelang Ramadan maupun Idulfitri. Tujuannya, selain mengirimkan doa, juga menghargai dan mengenang jasa Tubagus Yahya yang menyiarkan Islam di Kahuripan, Telukbetung Barat. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost edisi 22 Agustus 2010
PINTU masuk dari jalur selatan diyakini paling berpengaruh terhadap penyebaran Islam di Lampung. Hal tersebut ditandai dengan keberadaan situs-situs sejarah, seperti makam keramat.
Selain makam Tubagus Machdum di Kuala, Telukbetung Selatan, di Kahuripan, Telukbetung Barat, juga terdapat makam Tubagus Yahya. Kedua ulama ini masih memiliki keterkaitan keluarga, yakni berasal dari keturunan Sultan Hasanuddin, Banten.
Sama halnya seperti Tubagus Machdum, makam Tubagus Yahya juga acap dijadikan tujuan peziarah dari berasal warga sekitar maupun luar Lampung, seperti Pulau Jawa, tepatnya dari Serang, Banten. Biasanya peziarah memenuhi lokasi makam saat menjelang Ramadan dan Idulfitri.
Juru kunci makam Masarim mengatakan Tubagus Yahya merupakan musafir yang datang dari Kenari, Jawa. Ia datang ke Lampung sekitar 1900-an. Saat pertama kali datang, Tubagus Yahya menetap di rumah H. Yusuf.
"Dalam kesehariannya, Tubagus Yahya yang dikenal sebagai musafir ini kerap menyiarkan ajaran-ajaran Islam, terutama tentang pengetahuan dan pandangan terhadap Alquran," kata Masarim, Minggu (22-8).
Menurut Masarim yang juga masih keturunan H. Yusuf, dalam syiarnya, Tubagus Yahya cenderung menggunakan media pengajian dan pondok pesantren.
Saat giat-giatnya menyebarkan Islam sekitar 1930, Tubagus Yahya meninggal dunia karena sakit. Setelah meninggal, Tubagus Yahya dimakamkan di Kahuripan, Telukbetung Barat, dan H. Yusuf kemudian menjadi juru kuncinya.
Kabar meninggalnya Tubagus Yahya, menurut Masarim, terdengar keluarganya di Pulau Jawa. Ahli waris Tubagus Yahya bernama H. Euyem kemudian datang dan melanjutkan syiar Islam orang tuanya.
Namun, pada 1950 H. Euyem kemudian meninggal dan dikebumikan di samping makam Tubagus Yahya.
Salah seorang pengunjung yang juga warga sekitar makam, Siti Khadijah, mengatakan dia rutin mengunjungi makam tersebut saat menjelang Ramadan maupun Idulfitri. Tujuannya, selain mengirimkan doa, juga menghargai dan mengenang jasa Tubagus Yahya yang menyiarkan Islam di Kahuripan, Telukbetung Barat. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost edisi 22 Agustus 2010
PENGARUH FATAHILLAH HINGGA LEMPASING
JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (10)
Agama Islam masuk ke Lampung sekitar abad ke-15 melalui tiga pintu utama, salah satunya yaitu dari arah selatan atau Banten oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, melalui Labuhanmaringgai di Keratuan Pugung pada 1525.(Lampung Post, 11 Agustus 2010)
Pintu masuk Islam dari jalur ini diyakini merupakan yang paling berpengaruh. Hal tersebut ditandai dengan keberadaan situs-situs sejarah seperti makam keramat Tubagus Machdum di Kuala, Telukbetung Selatan, dan makam Tubagus Yahya di Lempasing, Kahuripan. Diduga, kedua musafir yang membawa ajaran Islam ke Lampung ini masih keturunan Sultan Hasanudin, Banten.
Keberadaan situs-situs ini tidak jarang dijadikan warga sebagai tempat ziarah, seperti menjelang Ramadan dan Idulfitri. Mereka menilai makam keramat tersebut mempunyai arti tersendiri karena memilki nilai sejarah dalam penyebaran Islam.
Penjaga makam keramat Tubagus Machdum, M. Nadir, mengatakan kuburan yang dijaganya itu sering dikunjungi peziarah dari dalam dan luar Lampung, seperti Pulau Jawa.
Banyaknya peziarah yang datang dari Jawa menguatkan sosok Tubagus Machdum berasal dari tanah Jawa yang menyiarkan Islam di Sai Bumi Ruwa Jurai.
Ulama itu pertama kali menginjakkan kaki di Lampung pada awal 1700. Sebagai seorang perantau, dalam menyiarkan Islam, Tubagus Machdum hidupnya sering berpindah-pindah ke berbagai daerah di Lampung.
Dalam syiar keagamaan yang dibawanya, kata Nadir, Tubagus Machdum menekankan pada Alquran, salah satunya yaitu surat Yasin. Hal tersebut diketahui karena Tubagus Machdum selalu mengamalkan Yasin dalam menyiarkan Islam.
Tubagus Machdum meninggal dunia pada akhir 1700. Menurut Nadir, tokoh Islam itu meninggal karena dibunuh penjahat di bilangan pesisir.
Setelah wafat, jasad Tubagus Machdum dimakamkan tidak jauh dari lokasi saat dia terbunuh, yakni di daerah Kuala, Telukbetung Selatan. Sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari pinggiran laut di bilangan Jalan Yos Sudarso, Panjang.
Makam keramat itu menyerupai rumah yang di dalamnya terdapat tiga kuburan. Menurut Nadir, makam-makam tersebut di antaranya tempat peristirahatan terakhir Tubagus Machdum (diselimuti kelambu), lalu Hasanudin (juru kunci makam Tubagus Machdum), dan satu lainnya konon bukan makam manusia, melainkan kuburan benda-benda peninggalan Tubagus Machdum. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost edisi22 Agustus 2010
Agama Islam masuk ke Lampung sekitar abad ke-15 melalui tiga pintu utama, salah satunya yaitu dari arah selatan atau Banten oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, melalui Labuhanmaringgai di Keratuan Pugung pada 1525.(Lampung Post, 11 Agustus 2010)
Pintu masuk Islam dari jalur ini diyakini merupakan yang paling berpengaruh. Hal tersebut ditandai dengan keberadaan situs-situs sejarah seperti makam keramat Tubagus Machdum di Kuala, Telukbetung Selatan, dan makam Tubagus Yahya di Lempasing, Kahuripan. Diduga, kedua musafir yang membawa ajaran Islam ke Lampung ini masih keturunan Sultan Hasanudin, Banten.
Keberadaan situs-situs ini tidak jarang dijadikan warga sebagai tempat ziarah, seperti menjelang Ramadan dan Idulfitri. Mereka menilai makam keramat tersebut mempunyai arti tersendiri karena memilki nilai sejarah dalam penyebaran Islam.
Penjaga makam keramat Tubagus Machdum, M. Nadir, mengatakan kuburan yang dijaganya itu sering dikunjungi peziarah dari dalam dan luar Lampung, seperti Pulau Jawa.
Banyaknya peziarah yang datang dari Jawa menguatkan sosok Tubagus Machdum berasal dari tanah Jawa yang menyiarkan Islam di Sai Bumi Ruwa Jurai.
Ulama itu pertama kali menginjakkan kaki di Lampung pada awal 1700. Sebagai seorang perantau, dalam menyiarkan Islam, Tubagus Machdum hidupnya sering berpindah-pindah ke berbagai daerah di Lampung.
Dalam syiar keagamaan yang dibawanya, kata Nadir, Tubagus Machdum menekankan pada Alquran, salah satunya yaitu surat Yasin. Hal tersebut diketahui karena Tubagus Machdum selalu mengamalkan Yasin dalam menyiarkan Islam.
Tubagus Machdum meninggal dunia pada akhir 1700. Menurut Nadir, tokoh Islam itu meninggal karena dibunuh penjahat di bilangan pesisir.
Setelah wafat, jasad Tubagus Machdum dimakamkan tidak jauh dari lokasi saat dia terbunuh, yakni di daerah Kuala, Telukbetung Selatan. Sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari pinggiran laut di bilangan Jalan Yos Sudarso, Panjang.
Makam keramat itu menyerupai rumah yang di dalamnya terdapat tiga kuburan. Menurut Nadir, makam-makam tersebut di antaranya tempat peristirahatan terakhir Tubagus Machdum (diselimuti kelambu), lalu Hasanudin (juru kunci makam Tubagus Machdum), dan satu lainnya konon bukan makam manusia, melainkan kuburan benda-benda peninggalan Tubagus Machdum. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost edisi22 Agustus 2010
JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (10)
K.H. Gholib Bangun 27 Masjid dan Pesantren
DARI usia anak-anak, K.H. Gholib memang sudah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar penyebar Islam. Saat berusia 6 tahun dia diserahkan ibunya, Muksiti, kepada kiai di Mojosantren untuk belajar Alquran, ilmu fikih, tauhid, akhlak dan sebagainya.
Guru pertamanya adalah Kiai Ali Mojosantren yang masyhur di kampungnya. Setelah itu, dia belajar dengan beberapa alim ulama di seluruh Jawa Timur, antara lain Hadratusyekh K.H. Hasyim Asyari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dan K.H. Khalil di Bangkalan, Madura.
Dalam waktu tak terlalu lama, K.H. Gholib telah hafal ribuan hadis Nabi saw. Kepada para gurunya, dia tidak hanya mempelajari ilmu yang berhubungan dengan ubudiyah, tetapi juga ilmu hikmah. Sewaktu-waktu ilmu hikmahnya diperlihatkan untuk menarik perhatian masyarakat saat menyebarkan Islam di 27 kota dan desa, mulai dari desa-desa di Jawa Timur hingga Johor dan Singapura, terakhir di Pringsewu.
Di tiap tempat yang disinggahi, selalu membangun masjid dan pesantren. Saat pesantren telah maju dan syiar Islam semarak, dia hibahkan ke masyarakat setempat dan pergi ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama.
Dalam biografi yang ditulis salah satu santri K.H. Gholib, H. Akbar Moesa Achmad (alm), banyak kelebihan yang dimiliki tokoh penyebar Islam di Pringsewu dan sekitarnya ini. Kelebihan itu pernah diperlihatkan kepada muridnya dan membuat geger masyarakat sekitar. Sejak itu K.H. Gholib yang sebelumnya dikenal seperti orang biasa mulai disegani dan ditakuti.
Ceritanya, pada suatu malam K.H. Gholib mendatangi murid-muridnya seraya berpesan jangan takut dengan apa yang bakal dilihat mereka. Tiba-tiba muncul seekor harimau besar yang sedang mengaum di tengah murid-muridnya. Tentu saja muridnya ketakutan dan berteriak-teriak.
Namun K.H. Gholib meminta jangan takut. Kepala harimau ia tepuk-tepuk dengan telapak tangannya dan berubah menjadi beduk. Ternyata harimau menakutkan itu hanya penjelmaan dari beduk masjid. Beduk ini masih tersimpan di masjid peninggalan tokoh ini.
Pesantren K.H. Gholib saat itu sangat sederhana. Pesantren dengan tiga lokal hanya berlantai tanah, berdinding geribik, dan mampu menampung 100 santri. Selain K.H. Gholib, guru pertama yang mengajar di pesentren ini Ustaz M. Nuh dari Cianjur, Jawa Barat.
Awalnya, santri yang belajar hanya 20 orang. Namun, dalam tempo tak teralu lama perkembangan santri sangat pesat. Atas izin K.H. Gholib, Ustaz M. Nuh mengundang saudara iparnya, Ustaz Muhyidin untuk membantu mengajar.
Pada 1934, K.H. Gholib kedatangan Asisten Demang Najamuddin bersama adiknya, Ustaz Ja'far. Kedua orang ini hanya ingin berziarah pada tokoh penyebar Islam di Pringsewu itu. Namun, atas permintaan K.H. Gholib, Ustaz Ja'far akhirnya mengajar di pesantren menggantikan Ustaz M. Nuh yang telah kembali ke Cianjur, Jawa Barat.
Baru setahun Ustaz Ja'far mengajar, pesantren kedatangan dua guru keturunan Arab, yakni Aa Iji Ismail dari Cilegon, Banten, yang juga pernah nyantri di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dan Sayid Alwi Almahdali dari Telukbetung. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)
Sumber : Lampos 20 Agustus 2010
DARI usia anak-anak, K.H. Gholib memang sudah menunjukkan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar penyebar Islam. Saat berusia 6 tahun dia diserahkan ibunya, Muksiti, kepada kiai di Mojosantren untuk belajar Alquran, ilmu fikih, tauhid, akhlak dan sebagainya.
Guru pertamanya adalah Kiai Ali Mojosantren yang masyhur di kampungnya. Setelah itu, dia belajar dengan beberapa alim ulama di seluruh Jawa Timur, antara lain Hadratusyekh K.H. Hasyim Asyari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dan K.H. Khalil di Bangkalan, Madura.
Dalam waktu tak terlalu lama, K.H. Gholib telah hafal ribuan hadis Nabi saw. Kepada para gurunya, dia tidak hanya mempelajari ilmu yang berhubungan dengan ubudiyah, tetapi juga ilmu hikmah. Sewaktu-waktu ilmu hikmahnya diperlihatkan untuk menarik perhatian masyarakat saat menyebarkan Islam di 27 kota dan desa, mulai dari desa-desa di Jawa Timur hingga Johor dan Singapura, terakhir di Pringsewu.
Di tiap tempat yang disinggahi, selalu membangun masjid dan pesantren. Saat pesantren telah maju dan syiar Islam semarak, dia hibahkan ke masyarakat setempat dan pergi ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama.
Dalam biografi yang ditulis salah satu santri K.H. Gholib, H. Akbar Moesa Achmad (alm), banyak kelebihan yang dimiliki tokoh penyebar Islam di Pringsewu dan sekitarnya ini. Kelebihan itu pernah diperlihatkan kepada muridnya dan membuat geger masyarakat sekitar. Sejak itu K.H. Gholib yang sebelumnya dikenal seperti orang biasa mulai disegani dan ditakuti.
Ceritanya, pada suatu malam K.H. Gholib mendatangi murid-muridnya seraya berpesan jangan takut dengan apa yang bakal dilihat mereka. Tiba-tiba muncul seekor harimau besar yang sedang mengaum di tengah murid-muridnya. Tentu saja muridnya ketakutan dan berteriak-teriak.
Namun K.H. Gholib meminta jangan takut. Kepala harimau ia tepuk-tepuk dengan telapak tangannya dan berubah menjadi beduk. Ternyata harimau menakutkan itu hanya penjelmaan dari beduk masjid. Beduk ini masih tersimpan di masjid peninggalan tokoh ini.
Pesantren K.H. Gholib saat itu sangat sederhana. Pesantren dengan tiga lokal hanya berlantai tanah, berdinding geribik, dan mampu menampung 100 santri. Selain K.H. Gholib, guru pertama yang mengajar di pesentren ini Ustaz M. Nuh dari Cianjur, Jawa Barat.
Awalnya, santri yang belajar hanya 20 orang. Namun, dalam tempo tak teralu lama perkembangan santri sangat pesat. Atas izin K.H. Gholib, Ustaz M. Nuh mengundang saudara iparnya, Ustaz Muhyidin untuk membantu mengajar.
Pada 1934, K.H. Gholib kedatangan Asisten Demang Najamuddin bersama adiknya, Ustaz Ja'far. Kedua orang ini hanya ingin berziarah pada tokoh penyebar Islam di Pringsewu itu. Namun, atas permintaan K.H. Gholib, Ustaz Ja'far akhirnya mengajar di pesantren menggantikan Ustaz M. Nuh yang telah kembali ke Cianjur, Jawa Barat.
Baru setahun Ustaz Ja'far mengajar, pesantren kedatangan dua guru keturunan Arab, yakni Aa Iji Ismail dari Cilegon, Banten, yang juga pernah nyantri di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dan Sayid Alwi Almahdali dari Telukbetung. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)
Sumber : Lampos 20 Agustus 2010
KH. GHOLIB TERANGI PRINGSEWU
JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (9): K.H. Gholib Terangi Pringsewu
PERGERAKAN agama Islam, yang masuk Lampung lewat tiga pintu utama (barat, utara, dan selatan) pada abad ke-15, terus berkembang hingga pelosok daerah ini. Di Pringsewu, Islam mulai berkembang sekitar 1927 setelah kedatangan K.H Gholib.
Dalam biografi KH. Gholib yang ditulis salah satu santrinya, H. Akbar Moesa Achmad (alm.) pada 1973, berdasarkan penuturan langsung K.H. Gholib dan yang dilihat serta dirasakan H. Akbar Moesa Achmad saat mengajar di Pesantren K.H. Gholib, saat itu Pringsewu diliputi “kegelapan”.
Wilayah itu menjadi sarang judi, tempat sabung ayam, praktek prostitusi merajalela hingga ada anggapan “istrimu adalah istriku”. Dalam kondisi masyarakat yang sakit seperti inilah, K.H. Gholib yang saat itu berusia 45 tahun datang mengajarkan agama Islam
Pria kelahiran desa kecil Majasantren di Krian, Jawa Timur, ini masuk Pringsewu atas permintaan M. Anwar Sanpawiro, sahabatnya yang sempat bertemu dengannya di Singapura.
Ketika itu, M. Anwar Sanpawiro menceritakan tentang kolonisasi di Lampung dari Jawa kepada K.H. Gholib. Namun, perpindahan orang ini tidak diikuti dengan misi keislaman sehingga ajaran Islam tidak terlihat dalam kolonisasi tersebut.
Cerita M. Anwar Sanpawiro ini menarik perhatiannya. Setelah bermusyawarah dengan istrinya, Sa'yah, K.H Gholib menemui M. Anwar Sanpawiro untuk ikut ke Lampung. Keesokan harinya, mereka berangkat ke Lampung dari Singapura menumpang kapal laut.
Setibanya di Lampung, K.H. Gholib tinggal sementara di rumah M. Anwar Sanpawiro di Pagelaran. Setelah mempelajari situasi Pagelaran dan Pringsewu, dia lalu membeli sebidang tanah di Desa Fajaresuk. Di atas tanah inilah dibangun rumah tinggal dan masjid.
Tak lama K.H. Gholib tinggal di Fajaresuk. Setelah masjidnya selesai dibangun, dia pindah ke Bambuseribu (kini Pringsewu). Masjid ia serahkan pada masyarakat di Fajaresuk. Di Bambuseribu, dia membeli sebidang tanah di sebelah utara, sekitar 750 meter dari pasar Pringsewu sekarang. Di atas tanah ini, dia membuat sebuah gubuk, berlantai tanah, berdinding geribik, dan beratap alang-alang.
Berdiamlah K.H. Gholib bersama istri di rumah darurat ini beberapa lama. Setelah itu, ia mendirikan masjid berlantai semen, berdinding papan, dan beratap genting. Meskipun tidak besar, masjid ini bisa menampung jemaah di sekitar tempat tinggalnya.
Seolah tak ingin membuang waktu, ia mengajarkan Islam kepada orang-orang tua dan anak-anak. Mulailah masjid dipakai untuk belajar agama dan mengaji Alquran. Beberapa waktu kemudian, datang seorang paruh baya bernama M. Toib. Tujuannya membantu kiai mengajar mengaji Alquran dan menjadi muazin di masjid. Inilah masjid pertama di Pringsewu.
Menurut penulis biografi K.H. Gholib, H. Akbar Moesa Achmad, banyak kelebihan yang dimiliki tokoh penyebar Islam di Pringsewu dan sekitarnya ini. Kelebihan itu pernah dia perlihatkan kepada muridnya dan membuat geger masyarakat sekitar. Sejak itu kiai yang sebelumnya dikenal seperti orang biasa itu mulai disegani.
Ceritanya, setelah M. Toib membantu K.H. Gholib mengajarkan penduduk sekitar mengaji Alquran, pada suatu malam K.H. Gholib mendatangi murid-muridnya. Tiba-tiba muncul seekor harimau besar yang sedang mengaum di tengah murid-muridnya, tentu muridnya ketakutan. Namun K.H. Gholib meminta jangan takut dan kepala harimau itu ditepuk-tepuk dengan telapak tangannya. Rupanya harimau menakutkan itu jelmaan beduk masjid. Ketika biografi ini ditulis, beduk tersebut masih ada. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)
Sumber : Lampost 19 AGUSTUS 2010
PERGERAKAN agama Islam, yang masuk Lampung lewat tiga pintu utama (barat, utara, dan selatan) pada abad ke-15, terus berkembang hingga pelosok daerah ini. Di Pringsewu, Islam mulai berkembang sekitar 1927 setelah kedatangan K.H Gholib.
Dalam biografi KH. Gholib yang ditulis salah satu santrinya, H. Akbar Moesa Achmad (alm.) pada 1973, berdasarkan penuturan langsung K.H. Gholib dan yang dilihat serta dirasakan H. Akbar Moesa Achmad saat mengajar di Pesantren K.H. Gholib, saat itu Pringsewu diliputi “kegelapan”.
Wilayah itu menjadi sarang judi, tempat sabung ayam, praktek prostitusi merajalela hingga ada anggapan “istrimu adalah istriku”. Dalam kondisi masyarakat yang sakit seperti inilah, K.H. Gholib yang saat itu berusia 45 tahun datang mengajarkan agama Islam
Pria kelahiran desa kecil Majasantren di Krian, Jawa Timur, ini masuk Pringsewu atas permintaan M. Anwar Sanpawiro, sahabatnya yang sempat bertemu dengannya di Singapura.
Ketika itu, M. Anwar Sanpawiro menceritakan tentang kolonisasi di Lampung dari Jawa kepada K.H. Gholib. Namun, perpindahan orang ini tidak diikuti dengan misi keislaman sehingga ajaran Islam tidak terlihat dalam kolonisasi tersebut.
Cerita M. Anwar Sanpawiro ini menarik perhatiannya. Setelah bermusyawarah dengan istrinya, Sa'yah, K.H Gholib menemui M. Anwar Sanpawiro untuk ikut ke Lampung. Keesokan harinya, mereka berangkat ke Lampung dari Singapura menumpang kapal laut.
Setibanya di Lampung, K.H. Gholib tinggal sementara di rumah M. Anwar Sanpawiro di Pagelaran. Setelah mempelajari situasi Pagelaran dan Pringsewu, dia lalu membeli sebidang tanah di Desa Fajaresuk. Di atas tanah inilah dibangun rumah tinggal dan masjid.
Tak lama K.H. Gholib tinggal di Fajaresuk. Setelah masjidnya selesai dibangun, dia pindah ke Bambuseribu (kini Pringsewu). Masjid ia serahkan pada masyarakat di Fajaresuk. Di Bambuseribu, dia membeli sebidang tanah di sebelah utara, sekitar 750 meter dari pasar Pringsewu sekarang. Di atas tanah ini, dia membuat sebuah gubuk, berlantai tanah, berdinding geribik, dan beratap alang-alang.
Berdiamlah K.H. Gholib bersama istri di rumah darurat ini beberapa lama. Setelah itu, ia mendirikan masjid berlantai semen, berdinding papan, dan beratap genting. Meskipun tidak besar, masjid ini bisa menampung jemaah di sekitar tempat tinggalnya.
Seolah tak ingin membuang waktu, ia mengajarkan Islam kepada orang-orang tua dan anak-anak. Mulailah masjid dipakai untuk belajar agama dan mengaji Alquran. Beberapa waktu kemudian, datang seorang paruh baya bernama M. Toib. Tujuannya membantu kiai mengajar mengaji Alquran dan menjadi muazin di masjid. Inilah masjid pertama di Pringsewu.
Menurut penulis biografi K.H. Gholib, H. Akbar Moesa Achmad, banyak kelebihan yang dimiliki tokoh penyebar Islam di Pringsewu dan sekitarnya ini. Kelebihan itu pernah dia perlihatkan kepada muridnya dan membuat geger masyarakat sekitar. Sejak itu kiai yang sebelumnya dikenal seperti orang biasa itu mulai disegani.
Ceritanya, setelah M. Toib membantu K.H. Gholib mengajarkan penduduk sekitar mengaji Alquran, pada suatu malam K.H. Gholib mendatangi murid-muridnya. Tiba-tiba muncul seekor harimau besar yang sedang mengaum di tengah murid-muridnya, tentu muridnya ketakutan. Namun K.H. Gholib meminta jangan takut dan kepala harimau itu ditepuk-tepuk dengan telapak tangannya. Rupanya harimau menakutkan itu jelmaan beduk masjid. Ketika biografi ini ditulis, beduk tersebut masih ada. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)
Sumber : Lampost 19 AGUSTUS 2010
JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (8)
Al Anwar, Basis Perjuangan Kemerdekaan
MEMASUKI periode 1922—1962, keberadaan Masjid Jami Al Anwar memberikan makna besar terhadap nilai-nilai perjuangan menghadapi penjajahan Belanda. Masjid Al Anwar menjadi basis pendidikan dan pembinaan kader pejuang muslim.
Menurut buku Risalah Masjid Jami Al Anwar, semangat yang ditunjukkan jemaah luar biasa untuk mengikuti setiap kegiatan pembinaan mental dan spiritual oleh ulama di masjid itu. Saat itu, jemaah diajarkan sekaligus ditanamkan sikap-sikap mengenai semangat perjuangan dan nasionalisme.
Kedudukan Masjid Al Anwar yang sangat strategis dari aspek perjuangan, membuat ulama dan jemaah mencari solusi terbaik dan efektif menggalang dan mengorganisasikan kekuatan umat Islam di medan perjuangan. Kemudian, pada Oktober 1946, dibentuk Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin A. Rauf Ali dan H. Harun.
Setelah dibentuknya Hizbullah dan Sabilillah, potensi persatuan antarumat Islam semakin erat untuk berjuang menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang.
Setelah zaman kemerdekaan, kepengurusan Masjid Jami Al Anwar mengalami pembaruan, baik dari sumber daya manusia maupun pengorganisasiannya. Akhirnya, pada 1950 terbentuk kepengurusan baru yang diketuai Kgs. Abdul Hakim, sedangkan pembina umat dipercayakan kepada K.H. Nawawi dan K.H. Ahmad Toha dibantu para ulama, seperti K.H. S.D.M. Hadi Sulaiman, K.H.A. Majid Hamid, K.H.A. Rauf Ali, Ibrahim Magad, Kgs. H. M. Soleh Thoib, Ustaz Ramli, dan Kgs. M. Saleh Amin.
Sejalan dengan perkembangan zaman, tahun 1962 strategi dalam hal pola pembinaan umat Islam mengalami perubahan dan penyempurnaan, yakni mewujudkan pembangunan sekolah keagamaan, seperti (middle arabische school (MAS) dengan pimpinannya seorang keturunan Arab yang memiliki predikat sayid, yaitu Mohammad Said Ali. Lalu, pembangunan madrasah ibtidaiah (MI) di depan Masjid Al Anwar. Pembangunan ini diprakarsai Mas Agus Muhammad Amin alias H. Item bersama ulama dan saudagar Arab yang konon berjumlah 29 orang. Di sekolah ini pucuk pimpinan dipercayakan kepada Subroto.
Sedangkan bangunan tempat pembinaan dan pendidikan yang terakhir, yakni sekolah Muhammadiyah yang diprakarsai Kgs. H. Ateh, Kgs. H. Anang, dan Somad Solichin di Kelurahan Gedungpakuon dipindahkan ke Jalan Kampung Upas.
Semakin lama kondisi “rumah Allah” itu memprihatinkan. Pada 1962, masjid tertua di Bandar Lampung ini direnovasi untuk pertama kali tanpa mengubah bentuk aslinya. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost 18 Agustus 2010
MEMASUKI periode 1922—1962, keberadaan Masjid Jami Al Anwar memberikan makna besar terhadap nilai-nilai perjuangan menghadapi penjajahan Belanda. Masjid Al Anwar menjadi basis pendidikan dan pembinaan kader pejuang muslim.
Menurut buku Risalah Masjid Jami Al Anwar, semangat yang ditunjukkan jemaah luar biasa untuk mengikuti setiap kegiatan pembinaan mental dan spiritual oleh ulama di masjid itu. Saat itu, jemaah diajarkan sekaligus ditanamkan sikap-sikap mengenai semangat perjuangan dan nasionalisme.
Kedudukan Masjid Al Anwar yang sangat strategis dari aspek perjuangan, membuat ulama dan jemaah mencari solusi terbaik dan efektif menggalang dan mengorganisasikan kekuatan umat Islam di medan perjuangan. Kemudian, pada Oktober 1946, dibentuk Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang dipimpin A. Rauf Ali dan H. Harun.
Setelah dibentuknya Hizbullah dan Sabilillah, potensi persatuan antarumat Islam semakin erat untuk berjuang menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang.
Setelah zaman kemerdekaan, kepengurusan Masjid Jami Al Anwar mengalami pembaruan, baik dari sumber daya manusia maupun pengorganisasiannya. Akhirnya, pada 1950 terbentuk kepengurusan baru yang diketuai Kgs. Abdul Hakim, sedangkan pembina umat dipercayakan kepada K.H. Nawawi dan K.H. Ahmad Toha dibantu para ulama, seperti K.H. S.D.M. Hadi Sulaiman, K.H.A. Majid Hamid, K.H.A. Rauf Ali, Ibrahim Magad, Kgs. H. M. Soleh Thoib, Ustaz Ramli, dan Kgs. M. Saleh Amin.
Sejalan dengan perkembangan zaman, tahun 1962 strategi dalam hal pola pembinaan umat Islam mengalami perubahan dan penyempurnaan, yakni mewujudkan pembangunan sekolah keagamaan, seperti (middle arabische school (MAS) dengan pimpinannya seorang keturunan Arab yang memiliki predikat sayid, yaitu Mohammad Said Ali. Lalu, pembangunan madrasah ibtidaiah (MI) di depan Masjid Al Anwar. Pembangunan ini diprakarsai Mas Agus Muhammad Amin alias H. Item bersama ulama dan saudagar Arab yang konon berjumlah 29 orang. Di sekolah ini pucuk pimpinan dipercayakan kepada Subroto.
Sedangkan bangunan tempat pembinaan dan pendidikan yang terakhir, yakni sekolah Muhammadiyah yang diprakarsai Kgs. H. Ateh, Kgs. H. Anang, dan Somad Solichin di Kelurahan Gedungpakuon dipindahkan ke Jalan Kampung Upas.
Semakin lama kondisi “rumah Allah” itu memprihatinkan. Pada 1962, masjid tertua di Bandar Lampung ini direnovasi untuk pertama kali tanpa mengubah bentuk aslinya. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost 18 Agustus 2010
Wednesday, August 18, 2010
JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (7)
BANGKITNYA JAMI' AL-ANWAR SETELAH TSUNAMI
MELETUSNYA Gunung Krakatau pada Agustus 1883 mengakibatkan tsunami yang menghanyutkan banyak bangunan di kawasan Teluk Lampung, termasuk musala yang dibangun pada 1839. (Cikal bakal Masjid Jami Al Anwar, Lampung Post edisi Minggu, 15 Agustus 2010).
Seiring pulihnya kehidupan masyarakat di Teluk Lampung, kebutuhan terhadap tempat ibadah dirasa mendesak.
Menurut buku Risalah Masjid Jami Al Anwar, salah satu keluarga yang selamat dari tragedi itu Daeng Sawiji yang juga berasal dari Sulawesi. Melalui usaha keras keluarga ini, dibangun musala yang lebih besar dan permanen di atas tanah yang lebih luas pada 1888. Pembangunan surau ini didirikan di atas lokasi atau tempat yang sama dengan bangunan pertama yang lenyap disapu gelombang besar.
Konon, tanah yang dibangun itu milik keluarga Daeng Sawiji yang diwakafkan. Musala ini kemudian berfungsi sebagai masjid yang menampung jemaah dari seluruh kampung di sekitar langgar itu.
Masjid ini adalah yang pertama kali berdiri di Bandar Lampung dan satu-satunya tempat ibadah yang berada di kawasan Telukbetung sejak 1883—1930. Bangunan yang memiliki enam penyangga utama itu memiliki luas 25 x 25 meter, tempat bersuci 10 x 15 meter, kolam air wudu seluas 8 x 8 meter, bangunan WC, sumur, dan tambahan di sayap kiri, kanan, dan belakang.
Nama masjid itu semula Jami Al Anwar pada periode 1888—1962. Setelah berdiri kokoh, syiar Islam dilanjutkan H. Sulaiman yang merupakan saudara K.H. Muhammad Soleh yang wafat pada 1885 dan dimakamkan di kaki Gunung Kunyit.
Berdirinya Masjid Jami itu menjadi kebanggaan bagi umat Islam dan berdampak berkembangnya agama itu di Bandar Lampung. Terbukti, masyarakat yang datang ke “rumah Allah” itu berasal dari berbagai kampung, antara lain dari Talang, Gedungpakuan, Gulak-Galik, Sumurbatu, Kahuripan, dan Kangkung.
Keberadaan Masjid Jami kemudian menjadi patokan umat di berbagai daerah dalam setiap kegiatan, misalnya Ramadan.
Di halaman Masjid Jami itu juga terdapat meriam kuno peninggalan Portugis pada 1811. Bunyi meriam ini kemudian menjadi tanda umat Islam sebagai awal berpuasa.
"Meriam kuno ini dibunyikan pada waktu-waktu tertentu yakni untuk menyerukan ibadah salat magrib, subuh, dan saat berbuka puasa," kata Ki Agus H. Tjek Mat Zein, takmir Masjid Jami Al Anwar. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost Edisi Rabu 18 Agustus 2010
MELETUSNYA Gunung Krakatau pada Agustus 1883 mengakibatkan tsunami yang menghanyutkan banyak bangunan di kawasan Teluk Lampung, termasuk musala yang dibangun pada 1839. (Cikal bakal Masjid Jami Al Anwar, Lampung Post edisi Minggu, 15 Agustus 2010).
Seiring pulihnya kehidupan masyarakat di Teluk Lampung, kebutuhan terhadap tempat ibadah dirasa mendesak.
Menurut buku Risalah Masjid Jami Al Anwar, salah satu keluarga yang selamat dari tragedi itu Daeng Sawiji yang juga berasal dari Sulawesi. Melalui usaha keras keluarga ini, dibangun musala yang lebih besar dan permanen di atas tanah yang lebih luas pada 1888. Pembangunan surau ini didirikan di atas lokasi atau tempat yang sama dengan bangunan pertama yang lenyap disapu gelombang besar.
Konon, tanah yang dibangun itu milik keluarga Daeng Sawiji yang diwakafkan. Musala ini kemudian berfungsi sebagai masjid yang menampung jemaah dari seluruh kampung di sekitar langgar itu.
Masjid ini adalah yang pertama kali berdiri di Bandar Lampung dan satu-satunya tempat ibadah yang berada di kawasan Telukbetung sejak 1883—1930. Bangunan yang memiliki enam penyangga utama itu memiliki luas 25 x 25 meter, tempat bersuci 10 x 15 meter, kolam air wudu seluas 8 x 8 meter, bangunan WC, sumur, dan tambahan di sayap kiri, kanan, dan belakang.
Nama masjid itu semula Jami Al Anwar pada periode 1888—1962. Setelah berdiri kokoh, syiar Islam dilanjutkan H. Sulaiman yang merupakan saudara K.H. Muhammad Soleh yang wafat pada 1885 dan dimakamkan di kaki Gunung Kunyit.
Berdirinya Masjid Jami itu menjadi kebanggaan bagi umat Islam dan berdampak berkembangnya agama itu di Bandar Lampung. Terbukti, masyarakat yang datang ke “rumah Allah” itu berasal dari berbagai kampung, antara lain dari Talang, Gedungpakuan, Gulak-Galik, Sumurbatu, Kahuripan, dan Kangkung.
Keberadaan Masjid Jami kemudian menjadi patokan umat di berbagai daerah dalam setiap kegiatan, misalnya Ramadan.
Di halaman Masjid Jami itu juga terdapat meriam kuno peninggalan Portugis pada 1811. Bunyi meriam ini kemudian menjadi tanda umat Islam sebagai awal berpuasa.
"Meriam kuno ini dibunyikan pada waktu-waktu tertentu yakni untuk menyerukan ibadah salat magrib, subuh, dan saat berbuka puasa," kata Ki Agus H. Tjek Mat Zein, takmir Masjid Jami Al Anwar. (IYAR JARKASIH/U-3)
Sumber : Lampost Edisi Rabu 18 Agustus 2010
KONSEPSI DAN STRUKTUR PEMUKIMAN DI SITUS BATU PUTIH, GUNUNG TERANG TULANGBAWANG
MENELUSURI PERKAMPUNGAN KUNO DI WAYKANAN
NANANG SAPTONO
PENDAHULUAN
Situs Batu Putih merupakan salah satu situs di kawasan Tulangbawang yang berada di aliran Way Kanan. Penelitian di situs Batu Putih pertama kali dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2000. Pada penelitian itu diperoleh keterangan bahwa situs Batu Putih merupakan lokasi Kampung Gunung Terang lama. Kondisi situs pada waktu itu banyak ditumbuhi rumput-rumputan hingga tingginya sekitar 2 m. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin tinggi.
Pada bagian barat daya, di puncak tanggul alam, terdapat makam Minak Pangeran Buay Sugih. Keadaan makam tanpa jirat dan sebelumnya juga tanpa nisan. Nisan yang ada sekarang merupakan nisan baru. Makam dilengkapi cungkup dari bahan bilik bambu. Di sekitar makam Minak Pangeran Buay Sugih, terutama di sebelah selatannya terdapat beberapa makam yang merupakan makam masyarakat. Indikator bekas pemukiman yang terdapat di situs Batu Putih berupa sebaran fragmen artefak (Saptono, 2000: 20). Dilihat dari temuan arkeologis dan data historis yang ada, masyarakat pendukung situs Batu Putih berasal dari kurun waktu setelah abad ke-16.
Pada tahun 2004 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di Kampung Gunung Terang. Salah satu keterangan tradisi lisan yang didapatkan dalam penelitian itu yaitu mengenai proses perpindahan masyarakat Kampung Gunung Terang. Sumber ini memang kurang valid, namun hingga sekarang sumber sejarah Gunung Terang yang validitasnya tinggi belum ditemukan. Dalam tradisi lisan tersebut diceritakan bahwa masyarakat Gunung Terang sebelum bermukim di Way Kanan, Tulangbawang, mula-mula bermukim di Way Besai, Sekala Berak, kemudian pindah ke Batu Putih, Way Kanan. Ketika itu di seberang sungai sebelah hilir terdapat perkampungan orang Melayu, karena lokasi Batu Putih dinilai tidak tepat lalu mengekspansi kampung Melayu dan pemukiman pindah ke Kampung Melayu. Sejak itu Batu Putih ditinggalkan (Saptono, 2004: 44).
Tradisi lisan ini menggambarkan bahwa permukiman di Batu Putih bersifat sementara dan tidak berlangsung lama. Alasan perpindahan ke Gunung Terang karena Batu Putih dinilai tidak tepat. Sementara itu bila dilihat dari fakta arkeologis yang terdapat di situs Batu Putih, misalnya berupa ragam fragmen keramik asing dan fetur makam Minak Pangeran Buay Sugih, tergambar bahwa permukiman berlangsung dalam kurun waktu lama dalam arti sudah berada pada fase menetap.
Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2005 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di situs Batu Putih. Penelitian itu untuk mengungkap permasalahan menyangkut pola pemukiman di Batu Putih. Permasalahan ini dikaitkan dengan penilaian pada tradisi lisan masyarakat bahwa Batu Putih tidak tepat untuk pemukiman. Pada beberapa kasus, penilaian tidak tepat ini dapat dilihat dari aspek konsepsi dapat juga dari aspek sumber daya alam yang kurang memadai. Permasalahan lainnya berkaitan dengan kurun waktu permukiman. Gambaran permukiman di Batu Putih secara sementara menurut tradisi lisan kurang didukung fakta arkeologis. Gambaran sementara inilah yang perlu mendapat penjelasan baik dari sisi historis maupun arkeologis.
Pengungkapan permasalahan di atas, bertujuan pada paradigma rekonstruksi kehidupan manusia masa lampau dan penyusunan sejarah budaya (Binford, 1972: 80 - 81). Pada kasus situs Batu Putih, rekonstruksi kehidupan dan penyusunan sejarah budaya dibatasi pada masalah permukiman yaitu dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai struktur dan pola pemukiman. Berdasarkan struktur dan pola pemukiman tersebut, diharapkan dapat diketahui konsepsi tentang pemukiman yang berlaku pada masyarakat Gunung Terang khususnya, serta strategi adaptasi lingkungan. Tujuan berikutnya adalah mendapatkan gambaran kurun waktu permukiman di Batu Putih. Berdasarkan dua hal tersebut akan dijawab permasalahan sekitar permukiman di Batu Putih dan perpindahannya ke Gunung Terang.
Dalam kaitannya dengan tingkat permukiman, permasalahan situs Batu Putih menyangkut pemukiman pada jenjang semimikro. Pemukiman pada tingkat ini dipengaruhi beberapa faktor antara lain: lingkungan dan teknologi mata pencaharian, organisasi keluarga dan kekerabatan, kelompok kelas, agama dan etnik, spesialisasi, nilai dan orientasi, serta kosmologi (Mundardjito, 1990: 21 – 26).
DATA ARKEOLOGI SITUS BATU PUTIH
Proses Pengumpulan
Pengumpulan data di situs Batu Putih dilakukan dengan teknik survei permukaan dan ekskavasi disertai wawancara dengan masyarakat. Di areal situs dilakukan ekskavasi. Survey lokasi objek penelitian, khususnya terhadap lingkungan, dilakukan dengan menggunakan bantuan peta topografi. Peta topografi yang dipergunakan yaitu peta topografi lembar 30 daerah Gedongratu, skala 1 : 100.000, edisi 1942 yang diterbitkan oleh Djawatan Geologi Bandung. Di setiap objek dilakukan plotting lokasi dengan menggunakan GPS dan peta topografi. Ekskavasi dilakukan sebanyak lima kotak gali masing-masing berukuran 1 x 1 m. Kotak gali tersebut diberi kode Kotak LU I hingga LU V. Ekskavasi dilakukan dengan teknik spit berinterval 10 cm.
Data non artefaktual yang bersifat etnohistori didapatkan melalui wawancara dengan beberapa informan yang mengetahui seluk-beluk situs. Selain itu juga didapatkan dari berbagai sumber pustaka. Pengumpulan data etnohistori dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data arkeologis. Hal ini dimaksudkan agar hubungan antara data arkeologis dengan data etnohistoris jelas terlihat.
Survei
Kawasan Batu Putih secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Menurut cerita sejarah yang disampaikan Bapak Thoyib, keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.
Moyang-moyang yang tinggal di perkampungan Batu Putih pada suatu saat merasa perlu untuk memperluas wilayah. Perluasan ditujukan ke Kampung Melayu yang terdapat di seberang sungai. Moyang-moyang Batu Putih kemudian membangun perkampungan di dekat Kampung Melayu yang sekarang menjadi Kampung Gunung Terang. Keramat Batu Putih kemudian ditinggalkan.
Menurut keterangan Bapak Alwi Syahbana – Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat Kampung Gunung Terang – yang didasarkan pada cerita orang-orang tua dahulu, perkampungan di Batu Putih tidak sebagaimana lazimnya kampung orang Lampung. Kampung di Batu Putih berjajar memotong sungai tidak mengikuti aliran sungai. Sehingga dinilai tidak baik untuk pemukiman. Oleh karena itulah maka pindah ke Gunung Terang sekarang.
Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan, pada posisi 04°24’50,9” LS dan 105°03’57” BT. Geografis kawasan Batu Putih merupakan pedataran bergelombang dengan bukit-bukit kecil berada di sebelah selatan. Salah satu bukit kecil tersebut bernama Gunung Kerikil. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sungai-sungai tersebut adalah Way Kermeting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat aliran sungai kecil yang dinamakan Kali Gendi. Situs Batu Putih berada di antara Way Mejelapai dan Kali Gendi.
Pengamatan pada situs Batu Putih mendapatkan gambaran bahwa luas situs sekitar 250 X 300 m. Situs diapit dua cekungan yang disebut dengan istilah kandungan. Di sebelah hulu bernama Kandungan Potat dan di sebelah hilir bernama Kandungan Semidi. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin meninggi.
Pada kawasan situs terdapat beberapa fakta arkeologis yaitu fetur makam, tumulus, dan sebaran artefak. Pada bagian barat laut situs, pada tanggul alam, terdapat beberapa makam dengan tokoh utama Minak Buay Sugih. Di sekitar makam ini dijumpai pula beberapa makam.
Fetur tumulus ada dua, pertama terletak di sebelah timur makam berjarak sekitar 50 m. Tumulus ini berdiameter sekitar 3 m dengan tinggi sekitar 1,5 m. Tumulus kedua terdapat di sebelah timur tumulus pertama berjarak sekitar 150 m. Tumulus ini lebih kecil bila dibandingkan dengan tumulus pertama. Pada bagian tengah lahan terdapat kawasan genangan banjir (flood plain/back swamp). Sebaran artefak ditemukan di tepian back swamp sebelah timur, memanjang dari utara ke selatan.
Situasi Situs Batu Putih
Bapak Thoyib yang menghuni Batu Putih, sejak sekitar tahun 1977 telah menemukan beberapa benda yang dianggap “aneh”. Benda-benda tersebut adalah pecahan keramik menggambarkan kepala manusia berwarna kehijauan berukuran panjang 3,5 cm lebar 3 cm dan tebal 2 cm, beberapa batuan seperti kalsedon, nodule, dan andesit, fosil moluska, manik bahan perunggu, dua beliung persegi dari batuan kalsedon. Beliung pertama berwarna merah kecoklatan berukuran panjang 8 cm, lebar bagian pangkal 3 cm, lebar bagian ujung 4 cm, tebal 3 cm. Beliung kedua berwarna putih dan coklat kekuningan berukuran panjang 6,5 cm, lebar bagian pangkal 2,7 cm, lebar bagian ujung 3,8 cm, dan tebal 1,3 cm
Ekskavasi
Kotak LU I
Kotak LU I berada di bagian timur laut situs. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata, bagian sisi barat lebih rendah daripada sisi utara. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak tidak ditemukan artefak. Ekskavasi di kotak ini dilakukan hingga kedalaman 45 cm. Kondisi tanah terdiri dua lapisan. Lapisan pertama berupa humus bercampur pasir berwarna hitam. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 15 hingga 20 cm. Lapisan tanah selanjutnya berupa tanah liat berwarna kekuningan yang dijumpai hingga akhir ekskavasi. Artefak sangat jarang ditemukan. Sedikit fragmen keramik asing ditemukan pada lapisan tanah humus.
Kotak LU II
Kotak gali kedua berada di sebelah selatan kotak LU I berjarak sekitar 83 m. Sebagaimana kotak LU I, Kotak LU II juga merupakan lahan yang banyak ditumbuhi semak dan ilalang. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah terdiri tiga lapis. Lapisan pertama berupa tanah humus berpasir berwarna kehitaman gembur, tekstur halus sampai kasar. Kondisi tanah seperti ini setebal sekitar 20 cm. Di bawah lapisan tanah ini merupakan tanah berpasir berwarna kecoklatan, tekstur halus sampai kasar agak padat dengan ketebalan sekitar 10 cm. Lapisan tanah selanjutnya berupa lempung pasiran berwarna putih. Tekstur halus sampai sedang dalam kondisi padat. Pada beberapa bagian terselingi tanah liat berwarna kemerahan. Ekskavasi di kotak ini tidak ditemukan data berupa artefak maupun non artefak.
Kotak LU III
Di sebelah barat kotak LU II berjarak sekitar 15 m, dibuka kotak LU III. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi selatan kotak lebih rendah dari sisi utara. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terdapat artefak berupa pecahan keramik, tembikar, dan bata.
Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Lapisan tanah pertama berupa humus berpasir berwarna kehitaman dengan tekstur halus sampai kasar. Lapisan tanah seperti ini ketebalannya sekitar 10 cm. Pada lapisan ini terdapat artefak berupa fragmen keramik dan bata.
Di bawah lapisan humus terdapat lapisan tanah berwarna coklat kekuningan bertekstur halus sampai kasar. Kondisi tanah seperti ini hingga kedalaman 40 cm. Benda arkeologis yang ditemukan berupa pecahan keramik berada pada kedalaman 20 cm hingga 30 cm.
Kotak LU IV
Di sebelah barat agak ke utara kotak LU III berjarak sekitar 20 m digali kotak LU IV. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi barat kotak gali lebih rendah dari sisi timur. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terlihat banyak artefak berupa pecahan keramik. Artefak tersebut terkonsentrasi di sisi utara kotak gali.
Ekskavasi pada kotak ini juga dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Sebagaimana pada kotak gali yang lain, pada kotak gali ini lapisan tanah juga terdiri dari dua lapis. Lapisan tanah bagaian atas merupakan humus berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai kasar. Lapisan tanah humus pada kotak ini dijumpai hingga kedalaman 20 cm. Pada lapisan tanah ini banyak ditemukan fragmen keramik dan tembikar.
Konsentrasi temuan artefak pada Kotak LU IV Spit 1
Ekskavasi pada kedalaman antara 20 cm hingga 30 cm, tanah humus berwarna hitam berseling dengan tanah berwarna putih kecoklatan mengandung kerikil. Tekstur tanah sedang sampai kasar. Benda arkeologis berupa pecahan keramik masih mendominasi di samping fragmen logam, tembikar, dan limbah produksi manik. Pada akhir kedalaman 30 cm keadaan tanah mulai berubah berwarna kemerahan.
Ekskavasi hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berupa lempung berwarna coklat kemerahan sedikit padat. Tekstur halus sampai kasar. Pada kedalaman spit ini tidak ada temuan berupa artefak maupun non artefak.
Kotak LU V
Kotak gali LU V berada di sebelah barat daya kotak LU IV berjarak sekitar 15 m. Lahan ini banyak ditumbuhi tanaman keras. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi barat kotak gali lebih rendah dari sisi timur. Keadaan permukaan kotak tertutup sampah daun kering. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terlihat adanya jejak aktivitas masyarakat memasang jerat.
Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Ekskavasi hingga mencapai kedalaman 20 cm, kondisi tanah berupa humus berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai kasar. Pada lapisan ini ditemukan sampah moderen seperti paku, arang, dan pecahan bata. Artefak yang ditemukan berupa pecahan keramik dan tembikar.
Ekskavasi pada kedalaman antara 20 cm hingga 30 cm, keadaan tanah humus sedikit mengalami perubahan warna yaitu hitam kecoklatan mengandung kerikil. Tekstur tanah sedang sampai kasar. Pada lapisan ini dijumpai pecahan keramik dan tembikar dalam jumlah sedikit.
Selanjutnya, pada kedalaman hingga 40 cm, keadaan tanah berupa lempung berwarna coklat kekuningan sedikit padat. Tekstur halus sampai kasar. Pada kedalaman lapisan ini tidak ada temuan berupa artefak maupun non artefak.
PERMUKIMAN DI SITUS BATU PUTIH
Pemukiman berkembang dari yang sangat sederhana hingga ke bentuk yang sangat kompleks. Mula-mula, pada masyarakat yang sudah menetap bentuk tempat tinggalnya berupa desa-desa kecil dengan beberapa tempat tinggal yang dibangun secara tidak beraturan. Perkembangan selanjutnya, ketika jumlah populasi bertambah, tempat tinggal dibangun di atas tiang dengan ukuran lebih besar. Perubahan ini sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mulai mengenal pengelompokkan dan sistem komunal (Soejono, 1990: 197). Perubahan pola pemukiman yang sejalan dengan sistem sosial ini menurut V. Gordon Childe berlangsung pada masa paleolitik hingga neolitik. Transformasi yang terjadi tersebut bersifat evolutif dan progresif. Masyarakat pemburu-peramu yang nomadik dalam masa paleolitik berkembang pesat menjadi masyarakat hortikultularis yang menetap pada masa neolitik (Kaplan dan Manners, 2002: 59). Masyarakat Lampung pada umumnya pada awalnya menempati pemukiman yang berada di tepi sungai atau dekat sungai. Tempat tinggal pada pemukiman tersebut dibangun secara mengelompok rapat dan hampir-hampir tidak ada halaman. Pola semacam ini disebabkan semua kegiatan orang Lampung berada di ladang. Kampung merupakan tempat istirahat dan berkumpul para anggota kerabat untuk upacara adat, dan sebagainya (Hadikusuma, 1977/1978: 17). Dengan demikian secara umum pola pemukiman masyarakat lampung adalah over bounded city, yaitu suatu pemukiman yang wilayah teritorialnya lebih luas dari wilayah perkampungan (Yunus, 2000: 113). Dengan pola semacam ini kampung sebagai pemukiman masyarakat Lampung akan relatif kecil.
Pola pemukiman di situs Batu Putih dapat dilacak berdasarkan sebaran tinggalan yang ada. Hasil survei dan ekskavasi menunjukkan bahwa tinggalan arkeologi di situs Batu Putih sangat beragam baik berupa artefak maupun non artefak. Secara fisik, pemukiman di Batu Putih berada di antara Kandungan Potat dan Kandungan Semedi. Sisi utara merupakan aliran sungai utama yaitu Way Kanan. Berdasarkan tinggalan yang ada, kawasan pemukiman Batu Putih terbagi dalam dua zona yaitu zona sakral dan zona profan. Zona sakral ditandai dengan makam keramat dan tumulus. Zona ini berada di bagian utara pemukiman.
Makam keramat yang terdapat di Batu Putih dengan tokoh yang dikeramatkan Minak Buay Sugih menggambarkan mengandung makna tertentu. Minak Buay Sugih merupakan salah satu dari lima moyang masyarakat Gunung Terang. Pengkeramatan makam merupakan salah satu permanensi etnografis dalam penghormatan leluhur. Dalam beberapa tradisi, kematian tidak diakui. Mati sebagai salah satu rangkaian proses biologis yang menimpa makhluk hidup, disamarkan dengan istilah “kembali ke alam dewa”, “hilang”, “sirna” dan sebagainya. Makam tidak diartikan sebagai kubur tetapi merupakan tempat bersemayam “astana” atau “tempat ketenangan” (Ambary, 1998: 42). Tokoh yang bersemayam di makam dirasakan masih berada di lingkungan kerabat dan generasi penerusnya. Penempatan makam Minak Buay Sugih pada puncak tanggul alam juga menyiratkan suatu tradisi pemujaan kepada arwah leluhur sebagaimana nekropolis raja-raja Mataram di Imogiri dan raja-raja Cirebon di komplek makam Gunung Jati di Gunung Sembung (Ambary, 1998: 43).
Dua tumulus yang terdapat di ujung barat dan timur situs menggambarkan adanya konsepsi tentang gunung suci. Pada beberapa kampung di sekitar Batu Putih terdapat juga tradisi yang berkaitan dengan konsepsi gunung suci. Di kampung Gunung Katon terdapat Gunung Nuri. Kampung Gunung Terang meniliki Gunung Srigandaw sebagai gunung suci. Tumulus dapat merupakan replika dari gunung suci. Quaritch Wales dalam kajiannya menarik suatu simpulan tentang kaitan konsep gunung suci (Mahameru) dengan kekuatan dan kesuburan (Quaritch Wales, 1953: 88). Keberadaan dua tumulus di Batu Putih memberikan suatu gambaran bahwa lokasi tersebut dijaga dua kekuatan yang juga memberikan kesuburan.
Berdasarkan temuan hasil survei dan ekskavasi, zona profan terlihat berada di sisi timur pedataran limpah banjir (back swam). Pemukiman di Batu Putih berpola memanjang mengikuti tepian sebelah timur pedataran limpah banjir. Pola demikian terlihat ada usaha dalam konservasi lahan sumber daya (Yunus, 2000: 113). Lahan sumber daya berupa pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai rawa atau kolam untuk menjebak ikan yang disebut lebung. Pada musim hujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasuki lebung. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional (Djausal, 1996: 3). Pada beberapa kasus misalnya pada suku Indian Kwakiutl dan Nootka, mereka merupakan masyarakat pemburu dan peramu yang handal. Hal ini karena mereka tinggal di lingkungan alami yang kaya sehingga mereka mampu mencapai suatu taraf kecanggihan yang tidak ada bandingnya di kalangan masyarakat pemburu dan peramu lain. Beberapa antropolog berpendapat bahwa suku-suku Indian yang tinggal di kawasan Pasifik ini tidak tepat disebut pemburu dan peramu tetapi lebih mengena disebut “petani ikan” (Kaplan dan Manners, 2002: 105). Dengan mendasarkan pada kasus ini, masyarakat Batu Putih mungkin juga bisa dikatakan sebagai masyarakat “petani ikan” yang berkembang karena dukungan sumberdaya alam.
Dengan memperhatikan keberadaan masyarakat Melayu yang menghuni di wilayah seberang sungai dan tradisi lisan tentang moyang masyarakat Batu Putih, tergambar bahwa masyarakat Batu Putih merupakan suatu struktur sosial yang merupakan organisasi keturunan segmentaris (segmentary lineage organization). Masyarakat ini bertempat tinggal pada pemukiman setingkat semacam pedukuhan yang dihuni oleh rumpun keturunan minimal. Masyarakat semacam ini sering melakukan perpindahan wilayah, dan secara konsisten memperluas wilayahnya. Perpindahan dan perluasan ini di antaranya didasari oleh sumberdaya alam (Kaplan dan Manners, 2002: 109). Dengan demikian alasan perpindahan masyarakat dari Batu Putih ke Gunung Terang yang dapat dikatakan menginvasi masyarakat Melayu cenderung berkaitan dengan masalah sumberdaya alam penunjang kehidupan.
Ekskavasi yang dilakukan pada lima kotak gali, kotak LU IV menunjukkan tingkat hunian yang sangat tinggi. Temuan berupa fragmen keramik, tembikar, dan limbah industri manik kaca. Selanjutnya ekskavasi pada kotak LU V menunjukkan adanya aktifitas spesifik. Temuan berupa fragmen tembikar dari tipe tempayan, menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan di dapur. Dengan demikian lokasi ini merupakan bagian belakang pemukiman. Artefak berupa fragmen keramik kebanyakan berasal dari Cina masa dinasti Song (abad ke-10 – 13), Yuan (abad ke-13 – 14), Ming (abad ke-14 – 17), dan Qing (abad ke-17 – 20). Selain itu juga terdapat keramik Thailand periode Shukothai (abad ke-13 – 14), Annam (abad ke-15), Jepang (abad ke-20), dan Eropa (abad ke-19 – 20).
SIMPULAN
Situs Batu Putih di Kampung Gunung Terang merupakan satu situs bekas kampung yang memiliki konsep dan pola spesifik yaitu menyangkut pembagian ruang secara tegas antara zona sakral dan zona profan. Zona sakral menempati kawasan punggung tanggul alam sejajar sungai utama. Sedangkan zona profan menempati tepian kawasan genangan banjir (flood plain/back swamp).
Pola pemukiman tidak sebagaimana umumnya pemukiman di Lampung yaitu sejajar dengan sungai utama, tetapi secara tegak lurus dengan sungai utama. Orientasi pemukiman terlihat tidak pada sungai utama tetapi pada tepian pedataran limpah banjir. Berdasarkan data hasil survei dan ekskavasi terlihat bahwa pemukiman di Batu Putih berlangsung dalam waktu lama. Faktor utama penyebab pindahnya ke Kampung Gunung Terang karena mulai berkurangnya sumberdaya alam yang bisa dieksploitasi.
Catatan:
In memoriam Drs. W. Anwar Falah, Kamis 19 Oktober 2006. Beliau pernah bertugas sebagai peneliti di Balai Arkeologi Bandung yang merintis penelitian arkeologi daerah Lampung.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif
1998 Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Binford, Lewis R
1972 An Archaeological Perspectives. New York: Seminar Press.
Djausal Anshori
1996 “Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang”. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).
Hadikusuma, Hilman et al.
1977/1978 Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kaplan, David dan Robert A. Manners
2002 Teori Budaya. Penerjemah Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mundardjito
1990 “Metode Penelitian Permukiman Arkeologi”. Dalam Monumen Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono, Lembaran Sastra, Seri Penerbitan Ilmiah No. 11. Edisi Khusus. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Depok. Hlm. 19 – 30.
Quaritch Wales, H.G.
1953 The Mountain of God: A Study In Early Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch, Ltd.
Saptono, Nanang
2000 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Pemukiman Masa Islam Daerah Tulangbawang, Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
2004 “Struktur ‘Kota’ Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 42 – 54.
Soejono, RP (ed.)
1990 “Jaman Prasejarah di Indonesia”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yunus, Hadi Sabari
2000 Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "Widyasancaya", hlm. 91 - 102. Editor, Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2006.
Sumber : Arkeologi Lampung Ngeberengoh
NANANG SAPTONO
PENDAHULUAN
Situs Batu Putih merupakan salah satu situs di kawasan Tulangbawang yang berada di aliran Way Kanan. Penelitian di situs Batu Putih pertama kali dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2000. Pada penelitian itu diperoleh keterangan bahwa situs Batu Putih merupakan lokasi Kampung Gunung Terang lama. Kondisi situs pada waktu itu banyak ditumbuhi rumput-rumputan hingga tingginya sekitar 2 m. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin tinggi.
Pada bagian barat daya, di puncak tanggul alam, terdapat makam Minak Pangeran Buay Sugih. Keadaan makam tanpa jirat dan sebelumnya juga tanpa nisan. Nisan yang ada sekarang merupakan nisan baru. Makam dilengkapi cungkup dari bahan bilik bambu. Di sekitar makam Minak Pangeran Buay Sugih, terutama di sebelah selatannya terdapat beberapa makam yang merupakan makam masyarakat. Indikator bekas pemukiman yang terdapat di situs Batu Putih berupa sebaran fragmen artefak (Saptono, 2000: 20). Dilihat dari temuan arkeologis dan data historis yang ada, masyarakat pendukung situs Batu Putih berasal dari kurun waktu setelah abad ke-16.
Pada tahun 2004 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di Kampung Gunung Terang. Salah satu keterangan tradisi lisan yang didapatkan dalam penelitian itu yaitu mengenai proses perpindahan masyarakat Kampung Gunung Terang. Sumber ini memang kurang valid, namun hingga sekarang sumber sejarah Gunung Terang yang validitasnya tinggi belum ditemukan. Dalam tradisi lisan tersebut diceritakan bahwa masyarakat Gunung Terang sebelum bermukim di Way Kanan, Tulangbawang, mula-mula bermukim di Way Besai, Sekala Berak, kemudian pindah ke Batu Putih, Way Kanan. Ketika itu di seberang sungai sebelah hilir terdapat perkampungan orang Melayu, karena lokasi Batu Putih dinilai tidak tepat lalu mengekspansi kampung Melayu dan pemukiman pindah ke Kampung Melayu. Sejak itu Batu Putih ditinggalkan (Saptono, 2004: 44).
Tradisi lisan ini menggambarkan bahwa permukiman di Batu Putih bersifat sementara dan tidak berlangsung lama. Alasan perpindahan ke Gunung Terang karena Batu Putih dinilai tidak tepat. Sementara itu bila dilihat dari fakta arkeologis yang terdapat di situs Batu Putih, misalnya berupa ragam fragmen keramik asing dan fetur makam Minak Pangeran Buay Sugih, tergambar bahwa permukiman berlangsung dalam kurun waktu lama dalam arti sudah berada pada fase menetap.
Berdasarkan hal tersebut, pada tahun 2005 Balai Arkeologi Bandung mengadakan penelitian di situs Batu Putih. Penelitian itu untuk mengungkap permasalahan menyangkut pola pemukiman di Batu Putih. Permasalahan ini dikaitkan dengan penilaian pada tradisi lisan masyarakat bahwa Batu Putih tidak tepat untuk pemukiman. Pada beberapa kasus, penilaian tidak tepat ini dapat dilihat dari aspek konsepsi dapat juga dari aspek sumber daya alam yang kurang memadai. Permasalahan lainnya berkaitan dengan kurun waktu permukiman. Gambaran permukiman di Batu Putih secara sementara menurut tradisi lisan kurang didukung fakta arkeologis. Gambaran sementara inilah yang perlu mendapat penjelasan baik dari sisi historis maupun arkeologis.
Pengungkapan permasalahan di atas, bertujuan pada paradigma rekonstruksi kehidupan manusia masa lampau dan penyusunan sejarah budaya (Binford, 1972: 80 - 81). Pada kasus situs Batu Putih, rekonstruksi kehidupan dan penyusunan sejarah budaya dibatasi pada masalah permukiman yaitu dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai struktur dan pola pemukiman. Berdasarkan struktur dan pola pemukiman tersebut, diharapkan dapat diketahui konsepsi tentang pemukiman yang berlaku pada masyarakat Gunung Terang khususnya, serta strategi adaptasi lingkungan. Tujuan berikutnya adalah mendapatkan gambaran kurun waktu permukiman di Batu Putih. Berdasarkan dua hal tersebut akan dijawab permasalahan sekitar permukiman di Batu Putih dan perpindahannya ke Gunung Terang.
Dalam kaitannya dengan tingkat permukiman, permasalahan situs Batu Putih menyangkut pemukiman pada jenjang semimikro. Pemukiman pada tingkat ini dipengaruhi beberapa faktor antara lain: lingkungan dan teknologi mata pencaharian, organisasi keluarga dan kekerabatan, kelompok kelas, agama dan etnik, spesialisasi, nilai dan orientasi, serta kosmologi (Mundardjito, 1990: 21 – 26).
DATA ARKEOLOGI SITUS BATU PUTIH
Proses Pengumpulan
Pengumpulan data di situs Batu Putih dilakukan dengan teknik survei permukaan dan ekskavasi disertai wawancara dengan masyarakat. Di areal situs dilakukan ekskavasi. Survey lokasi objek penelitian, khususnya terhadap lingkungan, dilakukan dengan menggunakan bantuan peta topografi. Peta topografi yang dipergunakan yaitu peta topografi lembar 30 daerah Gedongratu, skala 1 : 100.000, edisi 1942 yang diterbitkan oleh Djawatan Geologi Bandung. Di setiap objek dilakukan plotting lokasi dengan menggunakan GPS dan peta topografi. Ekskavasi dilakukan sebanyak lima kotak gali masing-masing berukuran 1 x 1 m. Kotak gali tersebut diberi kode Kotak LU I hingga LU V. Ekskavasi dilakukan dengan teknik spit berinterval 10 cm.
Data non artefaktual yang bersifat etnohistori didapatkan melalui wawancara dengan beberapa informan yang mengetahui seluk-beluk situs. Selain itu juga didapatkan dari berbagai sumber pustaka. Pengumpulan data etnohistori dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data arkeologis. Hal ini dimaksudkan agar hubungan antara data arkeologis dengan data etnohistoris jelas terlihat.
Survei
Kawasan Batu Putih secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Menurut cerita sejarah yang disampaikan Bapak Thoyib, keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.
Moyang-moyang yang tinggal di perkampungan Batu Putih pada suatu saat merasa perlu untuk memperluas wilayah. Perluasan ditujukan ke Kampung Melayu yang terdapat di seberang sungai. Moyang-moyang Batu Putih kemudian membangun perkampungan di dekat Kampung Melayu yang sekarang menjadi Kampung Gunung Terang. Keramat Batu Putih kemudian ditinggalkan.
Menurut keterangan Bapak Alwi Syahbana – Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat Kampung Gunung Terang – yang didasarkan pada cerita orang-orang tua dahulu, perkampungan di Batu Putih tidak sebagaimana lazimnya kampung orang Lampung. Kampung di Batu Putih berjajar memotong sungai tidak mengikuti aliran sungai. Sehingga dinilai tidak baik untuk pemukiman. Oleh karena itulah maka pindah ke Gunung Terang sekarang.
Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan, pada posisi 04°24’50,9” LS dan 105°03’57” BT. Geografis kawasan Batu Putih merupakan pedataran bergelombang dengan bukit-bukit kecil berada di sebelah selatan. Salah satu bukit kecil tersebut bernama Gunung Kerikil. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sungai-sungai tersebut adalah Way Kermeting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat aliran sungai kecil yang dinamakan Kali Gendi. Situs Batu Putih berada di antara Way Mejelapai dan Kali Gendi.
Pengamatan pada situs Batu Putih mendapatkan gambaran bahwa luas situs sekitar 250 X 300 m. Situs diapit dua cekungan yang disebut dengan istilah kandungan. Di sebelah hulu bernama Kandungan Potat dan di sebelah hilir bernama Kandungan Semidi. Pada tepi sebelah selatan Way Kanan terdapat tanggul alam yang membujur dari arah timur laut (tepi Way Kanan) ke arah barat daya. Semakin ke arah barat daya tanggul alam tersebut semakin meninggi.
Pada kawasan situs terdapat beberapa fakta arkeologis yaitu fetur makam, tumulus, dan sebaran artefak. Pada bagian barat laut situs, pada tanggul alam, terdapat beberapa makam dengan tokoh utama Minak Buay Sugih. Di sekitar makam ini dijumpai pula beberapa makam.
Fetur tumulus ada dua, pertama terletak di sebelah timur makam berjarak sekitar 50 m. Tumulus ini berdiameter sekitar 3 m dengan tinggi sekitar 1,5 m. Tumulus kedua terdapat di sebelah timur tumulus pertama berjarak sekitar 150 m. Tumulus ini lebih kecil bila dibandingkan dengan tumulus pertama. Pada bagian tengah lahan terdapat kawasan genangan banjir (flood plain/back swamp). Sebaran artefak ditemukan di tepian back swamp sebelah timur, memanjang dari utara ke selatan.
Situasi Situs Batu Putih
Bapak Thoyib yang menghuni Batu Putih, sejak sekitar tahun 1977 telah menemukan beberapa benda yang dianggap “aneh”. Benda-benda tersebut adalah pecahan keramik menggambarkan kepala manusia berwarna kehijauan berukuran panjang 3,5 cm lebar 3 cm dan tebal 2 cm, beberapa batuan seperti kalsedon, nodule, dan andesit, fosil moluska, manik bahan perunggu, dua beliung persegi dari batuan kalsedon. Beliung pertama berwarna merah kecoklatan berukuran panjang 8 cm, lebar bagian pangkal 3 cm, lebar bagian ujung 4 cm, tebal 3 cm. Beliung kedua berwarna putih dan coklat kekuningan berukuran panjang 6,5 cm, lebar bagian pangkal 2,7 cm, lebar bagian ujung 3,8 cm, dan tebal 1,3 cm
Ekskavasi
Kotak LU I
Kotak LU I berada di bagian timur laut situs. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata, bagian sisi barat lebih rendah daripada sisi utara. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak tidak ditemukan artefak. Ekskavasi di kotak ini dilakukan hingga kedalaman 45 cm. Kondisi tanah terdiri dua lapisan. Lapisan pertama berupa humus bercampur pasir berwarna hitam. Ketebalan lapisan ini berkisar antara 15 hingga 20 cm. Lapisan tanah selanjutnya berupa tanah liat berwarna kekuningan yang dijumpai hingga akhir ekskavasi. Artefak sangat jarang ditemukan. Sedikit fragmen keramik asing ditemukan pada lapisan tanah humus.
Kotak LU II
Kotak gali kedua berada di sebelah selatan kotak LU I berjarak sekitar 83 m. Sebagaimana kotak LU I, Kotak LU II juga merupakan lahan yang banyak ditumbuhi semak dan ilalang. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah terdiri tiga lapis. Lapisan pertama berupa tanah humus berpasir berwarna kehitaman gembur, tekstur halus sampai kasar. Kondisi tanah seperti ini setebal sekitar 20 cm. Di bawah lapisan tanah ini merupakan tanah berpasir berwarna kecoklatan, tekstur halus sampai kasar agak padat dengan ketebalan sekitar 10 cm. Lapisan tanah selanjutnya berupa lempung pasiran berwarna putih. Tekstur halus sampai sedang dalam kondisi padat. Pada beberapa bagian terselingi tanah liat berwarna kemerahan. Ekskavasi di kotak ini tidak ditemukan data berupa artefak maupun non artefak.
Kotak LU III
Di sebelah barat kotak LU II berjarak sekitar 15 m, dibuka kotak LU III. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi selatan kotak lebih rendah dari sisi utara. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terdapat artefak berupa pecahan keramik, tembikar, dan bata.
Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Lapisan tanah pertama berupa humus berpasir berwarna kehitaman dengan tekstur halus sampai kasar. Lapisan tanah seperti ini ketebalannya sekitar 10 cm. Pada lapisan ini terdapat artefak berupa fragmen keramik dan bata.
Di bawah lapisan humus terdapat lapisan tanah berwarna coklat kekuningan bertekstur halus sampai kasar. Kondisi tanah seperti ini hingga kedalaman 40 cm. Benda arkeologis yang ditemukan berupa pecahan keramik berada pada kedalaman 20 cm hingga 30 cm.
Kotak LU IV
Di sebelah barat agak ke utara kotak LU III berjarak sekitar 20 m digali kotak LU IV. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi barat kotak gali lebih rendah dari sisi timur. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi semak dan ilalang. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terlihat banyak artefak berupa pecahan keramik. Artefak tersebut terkonsentrasi di sisi utara kotak gali.
Ekskavasi pada kotak ini juga dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Sebagaimana pada kotak gali yang lain, pada kotak gali ini lapisan tanah juga terdiri dari dua lapis. Lapisan tanah bagaian atas merupakan humus berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai kasar. Lapisan tanah humus pada kotak ini dijumpai hingga kedalaman 20 cm. Pada lapisan tanah ini banyak ditemukan fragmen keramik dan tembikar.
Konsentrasi temuan artefak pada Kotak LU IV Spit 1
Ekskavasi pada kedalaman antara 20 cm hingga 30 cm, tanah humus berwarna hitam berseling dengan tanah berwarna putih kecoklatan mengandung kerikil. Tekstur tanah sedang sampai kasar. Benda arkeologis berupa pecahan keramik masih mendominasi di samping fragmen logam, tembikar, dan limbah produksi manik. Pada akhir kedalaman 30 cm keadaan tanah mulai berubah berwarna kemerahan.
Ekskavasi hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berupa lempung berwarna coklat kemerahan sedikit padat. Tekstur halus sampai kasar. Pada kedalaman spit ini tidak ada temuan berupa artefak maupun non artefak.
Kotak LU V
Kotak gali LU V berada di sebelah barat daya kotak LU IV berjarak sekitar 15 m. Lahan ini banyak ditumbuhi tanaman keras. Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi barat kotak gali lebih rendah dari sisi timur. Keadaan permukaan kotak tertutup sampah daun kering. Setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Pada permukaan kotak terlihat adanya jejak aktivitas masyarakat memasang jerat.
Ekskavasi dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Ekskavasi hingga mencapai kedalaman 20 cm, kondisi tanah berupa humus berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai kasar. Pada lapisan ini ditemukan sampah moderen seperti paku, arang, dan pecahan bata. Artefak yang ditemukan berupa pecahan keramik dan tembikar.
Ekskavasi pada kedalaman antara 20 cm hingga 30 cm, keadaan tanah humus sedikit mengalami perubahan warna yaitu hitam kecoklatan mengandung kerikil. Tekstur tanah sedang sampai kasar. Pada lapisan ini dijumpai pecahan keramik dan tembikar dalam jumlah sedikit.
Selanjutnya, pada kedalaman hingga 40 cm, keadaan tanah berupa lempung berwarna coklat kekuningan sedikit padat. Tekstur halus sampai kasar. Pada kedalaman lapisan ini tidak ada temuan berupa artefak maupun non artefak.
PERMUKIMAN DI SITUS BATU PUTIH
Pemukiman berkembang dari yang sangat sederhana hingga ke bentuk yang sangat kompleks. Mula-mula, pada masyarakat yang sudah menetap bentuk tempat tinggalnya berupa desa-desa kecil dengan beberapa tempat tinggal yang dibangun secara tidak beraturan. Perkembangan selanjutnya, ketika jumlah populasi bertambah, tempat tinggal dibangun di atas tiang dengan ukuran lebih besar. Perubahan ini sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mulai mengenal pengelompokkan dan sistem komunal (Soejono, 1990: 197). Perubahan pola pemukiman yang sejalan dengan sistem sosial ini menurut V. Gordon Childe berlangsung pada masa paleolitik hingga neolitik. Transformasi yang terjadi tersebut bersifat evolutif dan progresif. Masyarakat pemburu-peramu yang nomadik dalam masa paleolitik berkembang pesat menjadi masyarakat hortikultularis yang menetap pada masa neolitik (Kaplan dan Manners, 2002: 59). Masyarakat Lampung pada umumnya pada awalnya menempati pemukiman yang berada di tepi sungai atau dekat sungai. Tempat tinggal pada pemukiman tersebut dibangun secara mengelompok rapat dan hampir-hampir tidak ada halaman. Pola semacam ini disebabkan semua kegiatan orang Lampung berada di ladang. Kampung merupakan tempat istirahat dan berkumpul para anggota kerabat untuk upacara adat, dan sebagainya (Hadikusuma, 1977/1978: 17). Dengan demikian secara umum pola pemukiman masyarakat lampung adalah over bounded city, yaitu suatu pemukiman yang wilayah teritorialnya lebih luas dari wilayah perkampungan (Yunus, 2000: 113). Dengan pola semacam ini kampung sebagai pemukiman masyarakat Lampung akan relatif kecil.
Pola pemukiman di situs Batu Putih dapat dilacak berdasarkan sebaran tinggalan yang ada. Hasil survei dan ekskavasi menunjukkan bahwa tinggalan arkeologi di situs Batu Putih sangat beragam baik berupa artefak maupun non artefak. Secara fisik, pemukiman di Batu Putih berada di antara Kandungan Potat dan Kandungan Semedi. Sisi utara merupakan aliran sungai utama yaitu Way Kanan. Berdasarkan tinggalan yang ada, kawasan pemukiman Batu Putih terbagi dalam dua zona yaitu zona sakral dan zona profan. Zona sakral ditandai dengan makam keramat dan tumulus. Zona ini berada di bagian utara pemukiman.
Makam keramat yang terdapat di Batu Putih dengan tokoh yang dikeramatkan Minak Buay Sugih menggambarkan mengandung makna tertentu. Minak Buay Sugih merupakan salah satu dari lima moyang masyarakat Gunung Terang. Pengkeramatan makam merupakan salah satu permanensi etnografis dalam penghormatan leluhur. Dalam beberapa tradisi, kematian tidak diakui. Mati sebagai salah satu rangkaian proses biologis yang menimpa makhluk hidup, disamarkan dengan istilah “kembali ke alam dewa”, “hilang”, “sirna” dan sebagainya. Makam tidak diartikan sebagai kubur tetapi merupakan tempat bersemayam “astana” atau “tempat ketenangan” (Ambary, 1998: 42). Tokoh yang bersemayam di makam dirasakan masih berada di lingkungan kerabat dan generasi penerusnya. Penempatan makam Minak Buay Sugih pada puncak tanggul alam juga menyiratkan suatu tradisi pemujaan kepada arwah leluhur sebagaimana nekropolis raja-raja Mataram di Imogiri dan raja-raja Cirebon di komplek makam Gunung Jati di Gunung Sembung (Ambary, 1998: 43).
Dua tumulus yang terdapat di ujung barat dan timur situs menggambarkan adanya konsepsi tentang gunung suci. Pada beberapa kampung di sekitar Batu Putih terdapat juga tradisi yang berkaitan dengan konsepsi gunung suci. Di kampung Gunung Katon terdapat Gunung Nuri. Kampung Gunung Terang meniliki Gunung Srigandaw sebagai gunung suci. Tumulus dapat merupakan replika dari gunung suci. Quaritch Wales dalam kajiannya menarik suatu simpulan tentang kaitan konsep gunung suci (Mahameru) dengan kekuatan dan kesuburan (Quaritch Wales, 1953: 88). Keberadaan dua tumulus di Batu Putih memberikan suatu gambaran bahwa lokasi tersebut dijaga dua kekuatan yang juga memberikan kesuburan.
Berdasarkan temuan hasil survei dan ekskavasi, zona profan terlihat berada di sisi timur pedataran limpah banjir (back swam). Pemukiman di Batu Putih berpola memanjang mengikuti tepian sebelah timur pedataran limpah banjir. Pola demikian terlihat ada usaha dalam konservasi lahan sumber daya (Yunus, 2000: 113). Lahan sumber daya berupa pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai rawa atau kolam untuk menjebak ikan yang disebut lebung. Pada musim hujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasuki lebung. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional (Djausal, 1996: 3). Pada beberapa kasus misalnya pada suku Indian Kwakiutl dan Nootka, mereka merupakan masyarakat pemburu dan peramu yang handal. Hal ini karena mereka tinggal di lingkungan alami yang kaya sehingga mereka mampu mencapai suatu taraf kecanggihan yang tidak ada bandingnya di kalangan masyarakat pemburu dan peramu lain. Beberapa antropolog berpendapat bahwa suku-suku Indian yang tinggal di kawasan Pasifik ini tidak tepat disebut pemburu dan peramu tetapi lebih mengena disebut “petani ikan” (Kaplan dan Manners, 2002: 105). Dengan mendasarkan pada kasus ini, masyarakat Batu Putih mungkin juga bisa dikatakan sebagai masyarakat “petani ikan” yang berkembang karena dukungan sumberdaya alam.
Dengan memperhatikan keberadaan masyarakat Melayu yang menghuni di wilayah seberang sungai dan tradisi lisan tentang moyang masyarakat Batu Putih, tergambar bahwa masyarakat Batu Putih merupakan suatu struktur sosial yang merupakan organisasi keturunan segmentaris (segmentary lineage organization). Masyarakat ini bertempat tinggal pada pemukiman setingkat semacam pedukuhan yang dihuni oleh rumpun keturunan minimal. Masyarakat semacam ini sering melakukan perpindahan wilayah, dan secara konsisten memperluas wilayahnya. Perpindahan dan perluasan ini di antaranya didasari oleh sumberdaya alam (Kaplan dan Manners, 2002: 109). Dengan demikian alasan perpindahan masyarakat dari Batu Putih ke Gunung Terang yang dapat dikatakan menginvasi masyarakat Melayu cenderung berkaitan dengan masalah sumberdaya alam penunjang kehidupan.
Ekskavasi yang dilakukan pada lima kotak gali, kotak LU IV menunjukkan tingkat hunian yang sangat tinggi. Temuan berupa fragmen keramik, tembikar, dan limbah industri manik kaca. Selanjutnya ekskavasi pada kotak LU V menunjukkan adanya aktifitas spesifik. Temuan berupa fragmen tembikar dari tipe tempayan, menunjukkan aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan di dapur. Dengan demikian lokasi ini merupakan bagian belakang pemukiman. Artefak berupa fragmen keramik kebanyakan berasal dari Cina masa dinasti Song (abad ke-10 – 13), Yuan (abad ke-13 – 14), Ming (abad ke-14 – 17), dan Qing (abad ke-17 – 20). Selain itu juga terdapat keramik Thailand periode Shukothai (abad ke-13 – 14), Annam (abad ke-15), Jepang (abad ke-20), dan Eropa (abad ke-19 – 20).
SIMPULAN
Situs Batu Putih di Kampung Gunung Terang merupakan satu situs bekas kampung yang memiliki konsep dan pola spesifik yaitu menyangkut pembagian ruang secara tegas antara zona sakral dan zona profan. Zona sakral menempati kawasan punggung tanggul alam sejajar sungai utama. Sedangkan zona profan menempati tepian kawasan genangan banjir (flood plain/back swamp).
Pola pemukiman tidak sebagaimana umumnya pemukiman di Lampung yaitu sejajar dengan sungai utama, tetapi secara tegak lurus dengan sungai utama. Orientasi pemukiman terlihat tidak pada sungai utama tetapi pada tepian pedataran limpah banjir. Berdasarkan data hasil survei dan ekskavasi terlihat bahwa pemukiman di Batu Putih berlangsung dalam waktu lama. Faktor utama penyebab pindahnya ke Kampung Gunung Terang karena mulai berkurangnya sumberdaya alam yang bisa dieksploitasi.
Catatan:
In memoriam Drs. W. Anwar Falah, Kamis 19 Oktober 2006. Beliau pernah bertugas sebagai peneliti di Balai Arkeologi Bandung yang merintis penelitian arkeologi daerah Lampung.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif
1998 Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Binford, Lewis R
1972 An Archaeological Perspectives. New York: Seminar Press.
Djausal Anshori
1996 “Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang”. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan).
Hadikusuma, Hilman et al.
1977/1978 Adat Istiadat Daerah Lampung. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kaplan, David dan Robert A. Manners
2002 Teori Budaya. Penerjemah Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mundardjito
1990 “Metode Penelitian Permukiman Arkeologi”. Dalam Monumen Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono, Lembaran Sastra, Seri Penerbitan Ilmiah No. 11. Edisi Khusus. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Depok. Hlm. 19 – 30.
Quaritch Wales, H.G.
1953 The Mountain of God: A Study In Early Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch, Ltd.
Saptono, Nanang
2000 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Pemukiman Masa Islam Daerah Tulangbawang, Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
2004 “Struktur ‘Kota’ Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 42 – 54.
Soejono, RP (ed.)
1990 “Jaman Prasejarah di Indonesia”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yunus, Hadi Sabari
2000 Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Catatan: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "Widyasancaya", hlm. 91 - 102. Editor, Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2006.
Sumber : Arkeologi Lampung Ngeberengoh
Tuesday, August 17, 2010
PEMUKIMAN SITUS BENTENG SABUT (BUJUNG MENGGALOU) TULANGBAWANG LAMPUNG
STRUKTUR PEMUKIMAN MASYARAKAT LAMPUNG PADA MASA LAMPAU
NANANG SAPTONO
Tim penelitian bersama masyarakat setempat
PENDAHULUAN
Masyarakat Lampung pada umumnya mengenal sistem “pemerintahan adat” Marga. Dalam satu Marga yang dikepalai oleh pasirah marga, terbagi atas beberapa kampung yang dipimpin oleh kepala kampung. Tiap-tiap kampung terdiri beberapa suku yang dipimpin kepala suku (Anonim, 2003: 1). Hierarkhi ini juga tercermin pada fisik pemukimannya. Masyarakat yang terdiri dari beberapa suku mendiami satu kawasan disebut tiyuh. Kelompok beberapa tiyuh membentuk satu marga. Kampung sebagai sistem organisasi pemerintahan adat, yang secara fisik disebut tiyuh, dapat mengalami pemekaran. Anggota masyarakat suatu tiyuh diperbolehkan membuka hutan untuk tanah garapan. Tanah garapan ini disebut umbulan. Apabila umbulan tersebut memenuhi berbagai persyaratan untuk lokasi tinggal, maka dapat berkembang menjadi tiyuh. Sebelum menjadi tiyuh, umbulan menginduk pada kampung asalnya. Masyarakat yang mendiami umbulan disebut tepuk. Apabila sudah memenuhi persyaratan adat, umbulan secara fisik dapat meningkat menjadi tiyuh, sedangkan secara organisasi pemerintahan berkembang menjadi kampung. Masyarakatnya berkembang dari tepuk menjadi suku. Dengan demikian umbulan merupakan cikal bakal suatu tiyuh.
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay, Kecamatan Tulangbawang Udik. Kedua kampung itu walaupun merupakan dua sistem administrasi yang berada namun berada pada satu wilayah. Dengan demikian secara tegas batas kedua wilayah kampung tersebut sedikit sulit diketahui. Namun demikian secara adat masyarakat di kedua kampung itu dengan mudah mengetahui perwilayahannya. Masyarakat Kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay secara adat termasuk dalam marga Buay Bulan. Pada masyarakat kampung ini terdapat ikatan emosi dengan situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou).
Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2000 dan 2002 telah melakukan penelitian di situs ini dalam bentuk observasi permukaan (Saptono, 2000: 135-136; 2002: 88-89). Berdasarkan data etnohistori yang diperoleh pada penelitian tersebut, situs Benteng Sabut berkaitkan dengan tokoh Minak Kemala Kota dan Minak Ratu Guruh Malay (Saptono, 2002: 91-94). Kedua tokoh ini sama-sama merupakan pendatang. Minak Kemala Kota merupakan keturunan Moyang Junjungan dari daerah Krui. Keturunan Moyang Junjungan bermigrasi ke daerah Sekalaberak dan pada masa Minak Kemala Kota mendirikan perkampungan di Bujung Menggalou (Benteng Sabut). Pada suatu saat di Bujung Menggalou datang Minak Guruh Malay. Masyarakat memperkirakan tokoh Minak Guruh Malay berasal dari Jambi atau Malaka. Di Tulangbawang Minak Guruh Malay mendiami Bujung Malay, sebelah tenggara Bujung Menggalou berjarak sekitar 2,5 km.
Minak Guruh Malay ketika meninggal dimakamkan di Kampung Pekurun, sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Abung Tengah, Kabupaten Lampung Utara. Pada saat sekarang keturunan Minak Kemala Kota merupakan masyarakat Kampung Gunungkatun Tanjungan dan keturunan Minak Guruh Malay merupakan masyarakat Gunungkatun Malay. Pada masa Minak Muttah Dibumi terjadi peristiwa konfrontasi antara Benteng Sabut dengan Gunung Terang (Way Kanan) yang melibatkan Prajurit Putinggelang.
Berkaitan dengan permukiman adat, konsep tiyuh pada masyarakat Tulangbawang dapat disamakan dengan konsep wanua pada masyarakat Austronesia pada umumnya. Wanua, Banua, atau Nua bagi masyarakat Kayuagung, Komering, dan Lampung merujuk pada permukiman masyarakat desa dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang otonom (Wiryomartono, 1995: 17). Wanua pada masyarakat Jawa Kuna juga merujuk pada permukiman masyarakat setingkat desa. Wanua pada masyarakat Jawa Kuna dipimpin oleh Rama (Sumadio, 1990: 190). Dalam masyarakat tiyuh terlihat sudah ada konsep kepemimpinan. Dapat dipastikan tiyuh sebagai wilayah untuk bertempat tinggal akan memuat masyarakat yang jenjang sosial dan pola kegiatannya berragam.
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) merupakan pemukiman yang dilengkapi benteng dan parit keliling. Pada lokasi tersebut juga dijumpai adanya makam tokoh. Persoalannya, bagaimanakah intensitas keberlangsungan pemukiman di kawasan situs tersebut. Permasalahan selanjutnya, dari segi fisik bagaimana pemanfaatan ruang pemukiman dalam skala semi mikro dan bagaimana watak permukiman yang pernah berlangsung. Secara kronologis, kapan penghunian situs berlangsung.
Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian di situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) dimaksudkan untuk mengungkap pola pemanfaatan lahan yang ada sesuai dengan ragam aktivitas yang pernah ada. Secara awal dapat diketahui bahwa penghunian di situs Benteng Sabut terdapat ragam aktivitas selain bertempat tinggal juga ada aktivitas industri. Sistem organisasi sosial masyarakat Tulangbawang pada umumnya, dikenal adanya jenjang pemerintahan adat berupa suku dan marga. Dalam satu kampung (tiyuh) ditempati satu suku, kadang-kadang beberapa suku. Beberapa suku ini kemudian membentuk satu marga. Dengan demikian kampung yang mempunyai status sebagai “ibukota” marga dimungkinkan mempunyai kekhususan tertentu. Dilihat dari aspek jenjang masyarakat adat tersebut, akan diungkap pula watak permukimannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian tipe gabungan antara eksploratif dan deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dalam bentuk observasi permukaan dan ekskavasi. Di samping itu pengumpulan data khususnya yang berkaitan dengan masyarakat adat dilakukan dalam bentuk kajian pustaka dan wawancara. Data hasil observasi, ekskavasi, serta wawancara dan kajian pustaka diharapkan dapat memberikan gambaran sebagaimana permasalahan yang ada sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Ruang lingkup penelitian ditekankan pada kondisi fisik objek arkeologis baik yang bersifat artefaktual maupun non artefaktual. Selain itu juga menyangkut kondisi lingkungan alam dan sejarah kemasyarakatan khususnya dalam hal masyarakat adat.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Situs
Situs Benteng Sabut secara geografis berada pada kelokan sungai utama (Way Kiri) pada posisi 430’20” LS dan 10500’21” BT, Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Sungai ini berhulu pada bukit kecil di sebelah utara situs, kemudian berkelok-kelok ke arah tenggara hingga timur dan bermuara di Way Kiri di sebelah selatan Benteng Sabut. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Sungai ini mengalir dari arah barat daya. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng. Lokasi Benteng Sabut oleh masyarakat setempat juga dikenal dengan sebutan Bujung Menggalou.
Fakta arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fitur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut sepanjang 110 m hingga sudut barat daya. Benteng dan parit kemudian belok ke arah utara agak ke timur hingga sepanjang 70 m yang merupakan pertengahan sisi barat laut benteng dan parit, selanjutnya agak berbelok ke arah timur hingga mencapai jarak 70 m yang juga merupakan sudut timur laut. Pada sudut ini parit ada yang ke arah barat laut sepanjang 20 m hingga ke Bawang Petahi, dan juga ada yang ke arah tenggara sejauh 110 m hingga Way Kiri. Parit pada bagian ini lebarnya berkisar antara 5 hingga 7 m dengan kedalaman berkisar 0,5 hingga 1,5 m. Lahan bagian ini merupakan inti pemukiman yang luasnya sekitar 1,4 hektar.
Fakta artefaktual yang pernah ditemukan di bagian ini berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias. Selain itu terdapat beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Fragmen tembikar yang merupakan bagian dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir.
Di sebelah barat laut bagian inti pemukiman berjarak sekitar 50 m terdapat parit membentang arah timur laut – barat daya. Pada Ujung timur laut bermula dari Bawang Petahi ke arah barat daya sejauh 150 m. Parit ini pada ujung barat daya lebarnya 12 m, sedangkan pada ujung timur laut lebarnya 7 m. Kedalam berkisar 1 – 1,5 m. Di ujung barat daya parit belok ke arah tenggara sepanjang 55 m dan selanjutnya tidak tampak lagi jejak-jejaknya. Parit yang membentang arah timur laut – barat daya kemudian belok ke arah tenggara ini membentuk lahan berpola segi empat dengan luas sekitar 0,7 hektar. Di tengah lahan ini terdapat fitur tumulus berdiameter sekitar 3 m tinggi 0,7 m. Di tempat ini pada sekitar tahun 1980 pernah ditemukan guci.
Di sebelah barat daya benteng, pada seberang Way Pikuk terdapat dua fitur tanggul. Fitur tanggul pertama terdapat di sebelah barat daya parit luar sisi barat laut. Dari ujung Way Pikuk tanggul tersebut membujur ke arah barat sepanjang 20 m kemudian belok ke arah barat daya hingga selatan sepanjang 30 m. Lebar tanggul sekitar 4 m dengan ketinggian sekitar 0,5 m. Tanggul kedua terletak di sebelah barat daya lahan benteng. Tanggul tersebut membujur arah timur laut – tenggara sepanjang 30 m. Lebar tanggul 8 m dengan ketinggian 1,5 – 2 m.
Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur makam kuna. Menurut keterangan masyarakat tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak dilengkapi nisan. Orientasi makam relatif ke arah utara – selatan (N 350 E). Lebar makam 2,16 m dan panjangnya 3,8 m.
Di sebelah tenggara situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) terdapat parit yang disebut kenali. Lokasi tersebut berada pada kelokan sungai yang membentuk suatu daratan memanjang yang dinamakan Bujung Malay. Keadaan parit membentang arah utara – selatan (N 323° E) menghubungkan kedua sisi sungai. Bagian atas parit lebarnya 4,30 m sedangkan bagian dasar lebarnya 3,60 m. Kedalaman 1,25 m.
Deskripsi Hasil Ekskavasi
Ekskavasi di situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) dilakukan pada empat kotak gali yaitu LU I, LU II, LU III, dan LU IV. Tiap-tiap kotak gali berukuran 1 X 1 m. Pembukaan kotak dilakukan dengan teknik spit. Penggalian spit pertama dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari titik nol bantu. Spit selanjutnya berinterval 10 cm.
Kotak LU I
Kotak LU I terletak di bagian pertengahan sisi tenggara benteng. Penggalian kotak ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang aktifitas yang pernah berlangsung, dengan pertimbangan pada penelitian terdahulu di lokasi tersebut banyak ditemukan manik-manik.
Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Artefak yang terdapat di permukaan kotak berupa kerak besi, fragmen tembikar, dan fragmen keramik asing.
Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari SDP. Tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Pada spit ini akar rumput dan akar singkong banyak dijumpai. Temuan berupa manik-manik, fragmen tembikar, fragmen keramik, dan logam.
Spit 2 hingga mencapai kedalaman 30 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Akar tanaman masih banyak dijumpai. Artefak berupa fragmen tembikar, manik-manik, fragmen keramik, dan kerak besi ditemukan merata di seluruh kotak gali.
Spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah sebagaimana spit sebelumnya yaitu berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Akar sudah mulai jarang dijumpai. Hingga kedalaman spit ini temuan berupa fragmen tembikar, fragmen keramik, dan kerak besi masih dijumpai namun sudah mulai menipis. Pada akhir spit, di sisi timur kotak ini dijumpai adanya konkresi.
Pada spit 4 hingga kedalaman 50 cm. Keadaan tanah ada perubahan, yaitu berwarna kecoklatan. Jenis dan teksturnya masih seperti pada tanah spit sebelumnya. Temuan berupa fragmen tembikar dan fragmen keramik masih dominan. Pada awal penggalian yaitu di kedalaman 40 cm dijumpai arang. Di bagian barat laut kotak pada dinding sisi utara pada kedalaman 43 cm ditemukan gigi vertebrata.
Penggalian spit 5 dilakukan hingga kedalaman 60 cm, keadaan tanah berpasir kecoklatan. Tekstur mengalami perubahan yaitu halus sampai sedang, agak padat. Temuan berupa fragmen tembikar mulai menipis, merata di seluruh kotak gali. Sisa arang ditemukan di bagian barat daya kotak pada kedalaman 57 cm dan 60 cm. Pada akhir spit, yaitu kedalaman 59 cm, di bagian barat laut kotak terdapat kerak besi.
Temuan pada penggalian spit 6 berkurang. Pada sisi barat kotak gali terdapat fetur dengan warna tanah kehitaman. Pada bagian ini ditemukan artefak berupa fragmen tembikar. Selain itu juga ditemukan arang. Spit 6 diakhiri hingga kedalaman 70 cm
Penggalian pada spit 7 dilakukan setengah kotak yaitu sisi barat. Temuan semakin sedikit, berupa fragmen tembikar. Arang ditemukan di bagian selatan sisi barat pada kedalaman 73 cm. Penggalian diakhiri hinggi spit ini. Pada akhir penggalian terlihat stratigrafi terdiri dari dua lapisan. Lapisan atas tanah berwarna hitam pasiran dan pada lapisan bawah tanah berwarna kecoklatan agak merah.
Kotak LU II
Kotak LU II terletak di bagian timur lahan situs, sebelah utara Kotak LU I. Penentuan lokasi kotak LU II karena pada permukaan tanah banyak ditemukan fragmen tembikar. Dengan ekskavasi di lokasi ini diharapkan dapat diketahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung. Permukaan tanah cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih rendah dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Artefak yang terdapat di permukaan kotak berupa fragmen tembikar yang terkonsentrasi di bagian barat laut kotak gali.
Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari SDP. Tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai sedang. Pada spit ini akar rumput dan umbi-umbian banyak dijumpai. Temuan berupa fragmen tembikar, dan fragmen keramik.
Spit 2 hingga mencapai kedalaman 30 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedikit berbeda dengan spit 1 yaitu sedang sampai kasar. Pada sudut barat laut dijumpai fetur humus berwarna hitam. Akar tanaman masih banyak dijumpai namun sudah berkurang. Artefak fragmen keramik ditemukan di sudut tenggara kotak gali.
Spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman tekstur kasar. Kandungan humus berkurang, akar sudah mulai jarang dijumpai. Hingga kedalaman spit ini temuan berupa fragmen tembikar dijumpai secara sporadis. Arang ditemukan di bagian tenggara kotak gali pada kedalaman 36 cm. Di bagian timur laut ditemukan kerak besi pada kedalaman 39 cm. Di sekitar temuan kerak besi ini tanah berupa pasir putih.
Pada spit 4 kedalaman hingga mencapai 50 cm. Keadaan tanah pada mulanya pasir kehitaman bercampur humus. Akar sudah tidak dijumpai lagi. Pada pertengahan kedalam spit ini tanah mulai berganti pasir putih. Di bagian tenggara, pada pasir berwarna putih ditemukan arang. Temuan artefaktual berupa fragmen tembikar antara lain bagian pegangan kibu. Pada dinding selatan bagian timur pada kedalaman 47 cm terdapat kumpulan fragmen tembikar.
Penggalian spit 5 dilakukan hingga kedalaman 60 cm, tanah bercampur pasir putih dengan tekstur kasar sangat dominan. Temuan berupa fragmen tembikar sedikit ditemukan. Temuan berupa fragmen tembikar terkonsentrasi di sudut tenggara. Di sudut barat laut ditemukan kerak besi. Tumpukan fragmen tembikar yang terdapat di dinding selatan bagian timur yang mulai terlihat pada spit 4 berlanjut hingga spit 5.
Penggalian spit 6 dilakukan setengah kotak yaitu bagian sisi selatan. Kondisi tanah bercampur pasir putih kekuningan. Hingga akhir spit sudah tidak ditemukan benda arkeologis lagi (steril). Spit 6 diakhiri hingga kedalaman 70 cm. Stratigrafi yang terlihat menunjukkan dua lapisan yaitu pada bagian atas tanah hitam pasiran dan di lapisan bawah tanah coklat kemerahan.
- Kotak LU III
Kotak LU III terletak di bagian tengah lahan situs. Penggalian kotak ini dimaksudkan untuk menguji apakah ada jejak aktifitas di bagian tengah lahan situs. Permukaan tanah cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah gembur berwarna coklat kekuningan tekstur halus sampai sedang. Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm. Tanah gembur berwarna coklat kekuningan merata di seluruh bagian kotak gali. Akar rumput dan pohon sejenis palmae banyak dijumpai, humus sangat sedikit. Pada spit ini temuan artefaktual berupa fragmen tembikar dan keramik.
Spit 2 keadaan tanah masih berwarna coklat kekuningan dengan tekstur halus sampai kasar. Pada spit ini tanah mulai padat. Akar rumput dan pohon jenis palmae masih dijumpai namun sangat sedikit. Temuan artefaktual berupa fragmen tembikar. Pada akhir spit 2 di sisi timur terdapat fragmen keramik. Penggalian dilakukan hingga kedalaman 30 cm.
Spit 3 keadaan tanah banyak mengandung pasir berwarna kecoklatan dengan tekstur kasar. Akar pohon jenis palmae masih dijumpai hingga akhir spit yaitu kedalaman 40 cm. Temuan berupa fragmen tembikar banyak terkonsentrasi di sisi utara kotak gali.
Pada spit 4 keadaan tanah di bagian sudut timur laut hingga sisi timur berwarna coklat kehitaman. Sedang di bagian sudut barat daya hingga sisi barat berwarna coklat kekuningan. Kedua jenis tanah ini agak padat bertekstur kasar. Temuan berupa fragmen tembikar sangat sedikit dijumpai. Penggalian diakhiri hingga mencapai kedalaman 50 cm.
Kotak LU IV
Kotak LU IV terletak di sudut selatan lahan situs. Observasi yang dilakukan pada penelitian terdahulu di lokasi ini banyak menemukan manik-manik dan kerak besi. Penggalian kotak ini diharapkan mendapatkan data tentang aktifitas yang ada hubungannya dengan temuan permukaan. Permukaan tanah cenderung rata. Keadaan permukaan ditumbuhi ilalang yang sangat tinggi. Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm. Tanah mengandung pasir berwarna kehitaman. Akar ilalang dan akar pohon kelapa sangat banyak. Keadaan seperti ini berlanjut hingga spit 2. Mula-mula penggalian dilakukan di kuadran IV (sudut barat daya). Benda arkeologis yang ditemukan terdiri fragmen tembikar, fragmen keramik, dan kerak besi. Ketika penggalian dilakukan pada bagian yang lain, keadaan tanah sama. Temuan fragmen tembikar dan fragmen keramik ditemukan lagi di kuadran II (sudut timur laut). Selain itu juga ditemukan lagi kerak besi.
Ekskavasi berlanjut pada spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berpasir hitam berangsur ke warna kecoklatan. Akar ilalang dan pohon kelapa masih dijumpai. Pada spit ini ditemukan fragmen tembikar dan kerak besi. Pada dinding selatan bagian timur dan bagian sudut tenggara, di akhir spit ditemukan fragmen tembikar dan arang.
Pada spit 4 penggalian dilanjutkan pada kuadran I dan II (bagian utara). Keadaan tanah berpasir warna kecoklatan. Temuan berupa fragmen tembikar dan manik-manik. Di tengah bagian utara ditemukan jejak fetur. Pada fetur tersebut tanah berwarna kehitaman.
ANALISIS TEMUAN
Temuan hasil penelitian setelah dilakukan pemilahan kemudian dianalisis. Pada penelitian kali ini, tujuan analisis temuan untuk mengetahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung dan kapan aktifitas tersebut berlangsung. Analisis terutama ditekankan pada temuan keramik asing. Anaslis keramik pada aspek tipologi dapat untuk mengetahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung, sedangkan pada aspek penanggalan untuk mengetahui kapan aktifitas itu berlangsung.
Ekskavasi di situs Benteng Sabut, Bujung Menggalou menemukan beberapa benda data arkeologis. Temuan hasil ekskavasi terdiri dari temuan artefaktual dan non artefaktual. Temuan artefaktual berupa fragmen alat yang terbuat dari batu, fragmen benda dari besi, fragmen benda dari perunggu, manik-manik, fragmen tembikar, dan fragmen keramik. Fragmen terdiri dari jenis earthenware, stoneware, porselain, dan kaca. Temuan non artefaktual berupa tatal batu, kerak besi, terakota, kulit kemiri (muncang, kemiling), getah damar, dan tulang/gigi.
Temuan hasil ekskavasi dapat memberikan gambaran persebaran baik secara horisontal maupun vertikal. Analisis temuan hasil ekskavasi ditekankan pada artefak keramik. Dari seluruh temuan keramik hasil ekskavasi tidak semuanya dianalisis. Keramik yang terlalu kecil atau kurang menunjukkan atribut kuat tidak dianalisis. Fragmen keramik yang dianalisis seluruhnya berjumlah 189 keping. Jumlah itu, dari kotak LU I sebanyak 117 keping, kotak LU II 24 keping, kotak LU III 8 keping, dan kotak LU IV 40 keping.
Hasil analisis secara tipologis, fragmen dari tipe mangkuk merupakan temuan terbanyak yaitu 109 keping (57,67 %). Di kotak LU I fragmen keramik dari tipe ini ditemukan sebanyak 73 keping (62,39 % dari temuan di kotak LU I atau 38,62 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan sebanyak 11 keping (45,83 % atau 5,82 %). Di kotak LU III ditemukan 3 keping (37,5 % atau 1,59 %). Di kotak LU IV ditemukan 22 keping (55 % atau 11,64 %).
Tipe selanjutnya adalah guci/tempayan yaitu 37 keping (19,58 %). Di kotak LU I fragmen keramik dari tipe ini ditemukan sebanyak 20 keping (17,09 % dari temuan di kotak LU I atau 10,58 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan sebanyak 7 keping (29,17 % atau 3,70 %). Di kotak LU III ditemukan 3 keping (37,50 % atau 1,59 %). Di kotak LU IV ditemukan 7 keping (17,50 % atau 3,70 %).
Terbanyak selanjutnya adalah tipe kendi yaitu 15 keping (7,94 %). Fragmen keramik dari tipe kendi hanya ditemukan di kotak LU I. Persentase berdasarkan pada seluruh temuan di kotak tersebut menunjukkan 12,82 %. Fragmen dari tipe cangkir ditemukan sebanyak 3 keping (1,59 %), dari tipe cepuk dan botol masing-masing 2 keping (1,06 %), dan dari tipe piring 1 keping (1,12 %). Selain itu sebanyak 20 keping (10,58 %) tidak dapat teridentifikasi tipologinya.
Analisis pada aspek penanggalan secara relatif diperoleh gambaran dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad III), Sui (abad VI – VII), T’ang (abad VII – X), Song (abad X – XIII), Yuan (abad XIII – XIV), Ming (abad XIV – XVII), Qing (abad XVII – XX), Thailand periode Shukothai (abad XIII – XIV), Annam (abad XV), dan Eropa (abad XIX – XX).
Hasil analisis penanggalan keramik menunjukkan bahwa keramik Cina masa dinasti Qing merupakan temuan terbanyak yaitu 32 keping (16,93 %). Temuan ini berasal dari kotak LU I sebanyak 25 keping (21,37 % dari temuan di kotak itu atau 13,22 % dari seluruh temuan) dan di kotak LU IV sebanyak 7 keping (17,5 % atau 3,70 %).
Fragmen keramik Cina masa dinasti Han dan keramik Thailand ditemukan masing-masing sebanyak 29 keping (15,34 %). Keramik Cina masa dinasti Han hanya ditemukan di kotak LU I. Sedang keramik dari Thailand ditemukan di kotak LU I sebanyak 16 keping (13,68 % dari temuan di kotak itu atau 8,47 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan 7 keping (29,17 % atau 3,70 %). Di kotak LU III ditemukan 1 keping (12,5 % atau 0,53 %). Di kotak LU IV ditemukan 5 keping (12,5 % atau 2,65 %).
Keramik Cina masa dinasti Ming ditemukan sebanyak 26 keping (13,76 %). Fragmen keramik ini di kotak LU I ditemukan sebanyak 14 keping (11,96 % atau 7,41 %). Di kotak LU II ditemukan 2 keping (8,33 % atau 1,06 %). Di kotak LU III ditemukan 1 keping (12,5 % atau 0,53 %). Di kotak LU IV ditemukan sebanyak 9 keping (22,5 % atau 4,76 %).
Keramik Cina masa dinasti Song dan Yuan masing-masing ditemukan 19 keping (10,05 %). Keramik masa dinasti Song di kotak LU I ditemukan sebanyak 10 keping (8,55 % atau 5,29 %). Di kotak LU II ditemukan 6 keping (25 % atau 3,17 %). Di kotak LU III ditemukan 2 keping (25 % atau 1,06 %). Di kotak LU IV ditemukan 1 keping (2,5 % atau 0,53 %). Keramik masa dinasti Yuan, di kotak LU I ditemukan sebanyak 7 keping (5,98 % atau 3,70 %). Di kotak LU II ditemukan 2 keping (1,71 % atau 1,06 %). Di kotak LU III ditemukan 2 keping (25 % atau 1,06 %). Di kotak LU IV ditemukan 8 keping (20 % atau 4,23 %).
Dari masa dinasti T’ang ditemukan sebanyak 11 keping (5,82 %). Fragmen keramik ini hanya ditemukan di kotak LU I. Persentase dari seluruh temuan di kotak itu sebanyak 9,40 %. Keramik dari Cina masa dinasti Sui ditemukan sebanyak 3 keping (1,59 %). Keramik dari Annam ditemukan sebanyak 2 keping (1,06 %). Keramik Eropa ditemukan 1 keping (0,53 %). Selain itu terdapat 18 keping (9,52 %) yang tidak dapat diidentifikasi penanggalannya.
SITUS BENTENG SABUT SEBAGAI PEMUKIMAN
Dalam skala lokal, pemukiman di Benteng Sabut mencirikan satu masyarakat “kota”. Beberapa data hasil ekskavasi memperlihatkan adanya multi subsistensi. Secara umum data yang ditemukan pada beberapa kotak gali menunjukkan kondisi yang sudah teraduk (disturb). Keteradukan secara vertikal diantaranya terlihat dari jejak fetur di kotak LU I dan LU IV. Secara horisontal keteradukan tidak terjadi secara intens. Dari kondisi semacam ini dapat menggambarkan pola keruangannya.
Artefak banyak ditemukan di kotak LU I, LU II, dan LU IV. Lokasi kotak gali ini berada pada bagian dekat tepian sungai. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemukiman (rumah) terkonsentrasi pada sisi dekat tepian sungai secara berjajar. Kotak LU III yang berada pada bagian tengah situs, kurang menghasilkan temuan. Bagian ini mungkin merupakan halaman kosong yang fungsinya bagi masyarakat secara komunal (public space).
Berdasarkan analisis tipologis terhadap temuan fragmen tembikar dan keramik menunjukkan bahwa ragam aktifitas masyarakat sangat dominan pada aktifitas rumah tangga. Dalam memenuhi kebutuhan juga terdapat aktifitas industri. Temuan fragmen manik-manik, lelehan bahan manik-manik, dan kerak besi menunjukkan adanya aktifitas industri. Dari temuan yang ada di Benteng Sabut menunjukkan adanya keragaman pola subsistensi. Pola yang demikian ini merupakan salah satu ciri masyarakat kota.
Secara fisik situs Benteng Sabut memang belum dapat dikatakan sebagai kota, yaitu bentuk pemukiman yang dianggap paling maju. Pengertian “kota”, hingga saat ini belum terdapat suatu batasan yang dapat diterapkan secara universal. Pada kebudayaan yang berbeda-beda, elemen-elemen yang berbeda telah digunakan sebagai persyaratan minimum bagi sebuah permukiman untuk dapat disebut sebagai kota (Rapoport, 1986: 22). Sebagai contoh pemukiman jaman pengaruh Islam di Indonesia, sudah dapat dikatakan kota apabila sudah dilengkapi kraton sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah (ritual), dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Dengan demikian keanekaragaman pengertian kota disebabkan pula karena perkembangan zaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan.
Max Weber (1977: 13) melalui pendekatan ekonomik melihat “kota” bukan berdasarkan ciri fisik. Suatu pemukiman disebut “kota” bila penduduk lokal memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonomi sehari-harinya di pasar lokal, kebanyakan dengan barang komoditas yang dihasilkan dengan berbagai cara oleh penduduk setempat atau daerah pemangku terdekat. Pasar lokal merupakan pusat ekonomi bagi koloni. Berkat ada kegiatan ekonomi maka penduduk kota maupun luar kota memenuhi kebutuhannya akan barang perdagangan. Bila hal itu merupakan suatu konfigurasi yang berlainan dengan pemukiman kecil, maka wajar bila kota menjadi tempat tinggal tuan tanah atau bangsawan. Melalui pendekatan ini tampak bahwa kota merupakan pusat dua hal yaitu oikos (rumah) dan pasar. Kota selain sebagai pasar biasa, pada waktu-waktu tertentu berfungsi pula sebagai pasar barang dari luar (asing) bagi saudagar perantau.
Berkaitan dengan dua hal yaitu oikos dan pasar, Benteng Sabut menurut cerita sejarah merupakan oikos bagi tokoh-tokoh diantaranya Minak Kemala Kota. Para pendatang kemudian membangun tempat tinggal di sekitarnya. Minak Ratu Guruh Malay bertempat tinggal di Bujung Malay. Sedang Prajurit Puting Gelang bertempat tinggal di Umbul Lebung. Benteng Sabut sebagai pusat pasar selain dari ragam artefak asing yang ditemukan terlihat juga dari berita asing. Berdasarkan data berita asing terutama dari Portugis, kawasan Tulangbawang terkenal dengan hasil hutannya di antaranya getah damar (Cortesão, 1967: 158-159). Sebutan Tulangbawang sangat mungkin untuk Benteng Sabut. Temuan beberapa fragmen tembikar yang didalamnya terdapat jejak getah damar, sesuai dengan keterangan dalam sumber sejarah tersebut.
Sebagai masyarakat kota, di Benteng Sabut terdapat jejak aktifitas industri. Adanya kerak besi menunjukkan bahwa industri logam sudah dikenal masyarakat penghuni Benteng Sabut. Pemenuhan kebutuhan akan manik-manik juga sudah dapat diatasi dengan cara diproduksi. Lelehan kaca dan manik-manik tidak sempurna menunjukkan limbah produksi manik-manik.
Aspek penting yang dapat tergambar dari hasil ekskavasi adalah penanggalan situs. Fragmen keramik selain dapat dilacak mengenai tipologinya, juga dapat diketahui negara pembuat dan masa pembuatannya. Ciri utama yang dapat dipakai untuk menentukan asal dan pertanggalan keramik adalah jenis bahan dasar, warna bahan dasar, pola hias, teknik hias, warna glasir, jejak pembakaran, dan ciri-ciri bentuk (Mc. Kinnon, 1996: 61). Dari seluruh kotak gali, secara umum didapatkan keramik sejak dari masa dinasti Han hingga dinasti Qing. Karena pada bagian atas keteradukan sangat tinggi, maka sulit untuk memastikan penanggalannya. Namun berdasarkan kuantitas artefak keramik yang ditemukan menunjukkan adanya dua fase yaitu fase pertama pada masa Han. Fase kedua intensif lagi pada masa T’ang, Song, Yuan, Ming, hingga Qing. Sedikitnya temuan keramik dari masa Sui menunjukkan bahwa pada masa itu di Benteng Sabut mengalami kemunduran. Cerita sejarah yang hidup di masyarakat sekarang ini berkisar pada fase kedua. Putusnya emosi masyarakat dengan peristiwa sejarah pada fase pertama menunjukkan adanya masa kemunduran.
SIMPULAN
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) merupakan situs pemukiman yang sudah kompleks. Secara fisik pola keruangan situs menunjukkan adanya deretan tempat tinggal yang berada di sisi tepi sungai yang dilengkapi public space. Tempat tinggal membelakangi sungai menghadap ke bagian public space. Masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sudah mengenal sektor industri.
Sebagai pemukiman, situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) berkenaan dengan oikos dan pasar. Peranannya dalam aspek tempat tinggal dikenal adanya beberapa tokoh sentral misalnya Minak Kemala Kota. Dalam kaitannya dengan pasar, daerah ini sudah menjalin hubungan perdagangan hingga kawasan regional.
Keberlangsungan aktifitas masa lalu di Benteng Sabut terjadi dalam dua fase. Fase pertama berkisar pada abad ke-3 dan fase kedua pada abad ke-7 – 17. Di antara kedua fase ini terdapat masa kemunduran.
KEPUSTAKAAN
Anonim. 2000. Uraian Ringkas Bagian Proyek Irigasi Way Rarem. Proyek Irigasi Lampung.
Anonim. 2003. Selayang Pandang Kabupaten Tulang Bawang. Menggala: Bagian Humas dan Komunikasi Setdakab Tulang Bawang.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Max Weber. 1977. ”Apakah Yang Disebut Kota” terj. Darsiti Soeratman dan Amin Soendoro. Dalam Sartono Kartodirdjo (ed.) Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Hlm. 11 – 42.
McKinnon, E Edwards. 1996. Buku Panduan Keramik. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Rapoport, Amos. 1986. “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese, (et al.). Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan. Bandung: Intermedia. Hlm. 21 – 44.
Saptono, Nanang. 2000. “Pemukiman Pada Masa Islam di Kawasan Way Kiri, Tulangbawang”. Dalam Edy Sunardi dan Agus Aris Munandar (ed.) Rona Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi ndonesia. Hlm. 129 – 152.
Saptono, Nanang. 2002. “Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.) Jelajah Masa Lalu. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi ndonesia. Hlm. 86 – 1001.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "Mozaik Arkeologi", hlm. 97 - 110. Editor: Dr. Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2003.
Sumber : Arkeologi Lampung Ngebrengoh Blog
NANANG SAPTONO
Tim penelitian bersama masyarakat setempat
PENDAHULUAN
Masyarakat Lampung pada umumnya mengenal sistem “pemerintahan adat” Marga. Dalam satu Marga yang dikepalai oleh pasirah marga, terbagi atas beberapa kampung yang dipimpin oleh kepala kampung. Tiap-tiap kampung terdiri beberapa suku yang dipimpin kepala suku (Anonim, 2003: 1). Hierarkhi ini juga tercermin pada fisik pemukimannya. Masyarakat yang terdiri dari beberapa suku mendiami satu kawasan disebut tiyuh. Kelompok beberapa tiyuh membentuk satu marga. Kampung sebagai sistem organisasi pemerintahan adat, yang secara fisik disebut tiyuh, dapat mengalami pemekaran. Anggota masyarakat suatu tiyuh diperbolehkan membuka hutan untuk tanah garapan. Tanah garapan ini disebut umbulan. Apabila umbulan tersebut memenuhi berbagai persyaratan untuk lokasi tinggal, maka dapat berkembang menjadi tiyuh. Sebelum menjadi tiyuh, umbulan menginduk pada kampung asalnya. Masyarakat yang mendiami umbulan disebut tepuk. Apabila sudah memenuhi persyaratan adat, umbulan secara fisik dapat meningkat menjadi tiyuh, sedangkan secara organisasi pemerintahan berkembang menjadi kampung. Masyarakatnya berkembang dari tepuk menjadi suku. Dengan demikian umbulan merupakan cikal bakal suatu tiyuh.
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay, Kecamatan Tulangbawang Udik. Kedua kampung itu walaupun merupakan dua sistem administrasi yang berada namun berada pada satu wilayah. Dengan demikian secara tegas batas kedua wilayah kampung tersebut sedikit sulit diketahui. Namun demikian secara adat masyarakat di kedua kampung itu dengan mudah mengetahui perwilayahannya. Masyarakat Kampung Gunungkatun Tanjungan dan Gunungkatun Malay secara adat termasuk dalam marga Buay Bulan. Pada masyarakat kampung ini terdapat ikatan emosi dengan situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou).
Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2000 dan 2002 telah melakukan penelitian di situs ini dalam bentuk observasi permukaan (Saptono, 2000: 135-136; 2002: 88-89). Berdasarkan data etnohistori yang diperoleh pada penelitian tersebut, situs Benteng Sabut berkaitkan dengan tokoh Minak Kemala Kota dan Minak Ratu Guruh Malay (Saptono, 2002: 91-94). Kedua tokoh ini sama-sama merupakan pendatang. Minak Kemala Kota merupakan keturunan Moyang Junjungan dari daerah Krui. Keturunan Moyang Junjungan bermigrasi ke daerah Sekalaberak dan pada masa Minak Kemala Kota mendirikan perkampungan di Bujung Menggalou (Benteng Sabut). Pada suatu saat di Bujung Menggalou datang Minak Guruh Malay. Masyarakat memperkirakan tokoh Minak Guruh Malay berasal dari Jambi atau Malaka. Di Tulangbawang Minak Guruh Malay mendiami Bujung Malay, sebelah tenggara Bujung Menggalou berjarak sekitar 2,5 km.
Minak Guruh Malay ketika meninggal dimakamkan di Kampung Pekurun, sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Abung Tengah, Kabupaten Lampung Utara. Pada saat sekarang keturunan Minak Kemala Kota merupakan masyarakat Kampung Gunungkatun Tanjungan dan keturunan Minak Guruh Malay merupakan masyarakat Gunungkatun Malay. Pada masa Minak Muttah Dibumi terjadi peristiwa konfrontasi antara Benteng Sabut dengan Gunung Terang (Way Kanan) yang melibatkan Prajurit Putinggelang.
Berkaitan dengan permukiman adat, konsep tiyuh pada masyarakat Tulangbawang dapat disamakan dengan konsep wanua pada masyarakat Austronesia pada umumnya. Wanua, Banua, atau Nua bagi masyarakat Kayuagung, Komering, dan Lampung merujuk pada permukiman masyarakat desa dengan status sosial, politik, dan ekonomi yang otonom (Wiryomartono, 1995: 17). Wanua pada masyarakat Jawa Kuna juga merujuk pada permukiman masyarakat setingkat desa. Wanua pada masyarakat Jawa Kuna dipimpin oleh Rama (Sumadio, 1990: 190). Dalam masyarakat tiyuh terlihat sudah ada konsep kepemimpinan. Dapat dipastikan tiyuh sebagai wilayah untuk bertempat tinggal akan memuat masyarakat yang jenjang sosial dan pola kegiatannya berragam.
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) merupakan pemukiman yang dilengkapi benteng dan parit keliling. Pada lokasi tersebut juga dijumpai adanya makam tokoh. Persoalannya, bagaimanakah intensitas keberlangsungan pemukiman di kawasan situs tersebut. Permasalahan selanjutnya, dari segi fisik bagaimana pemanfaatan ruang pemukiman dalam skala semi mikro dan bagaimana watak permukiman yang pernah berlangsung. Secara kronologis, kapan penghunian situs berlangsung.
Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian di situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) dimaksudkan untuk mengungkap pola pemanfaatan lahan yang ada sesuai dengan ragam aktivitas yang pernah ada. Secara awal dapat diketahui bahwa penghunian di situs Benteng Sabut terdapat ragam aktivitas selain bertempat tinggal juga ada aktivitas industri. Sistem organisasi sosial masyarakat Tulangbawang pada umumnya, dikenal adanya jenjang pemerintahan adat berupa suku dan marga. Dalam satu kampung (tiyuh) ditempati satu suku, kadang-kadang beberapa suku. Beberapa suku ini kemudian membentuk satu marga. Dengan demikian kampung yang mempunyai status sebagai “ibukota” marga dimungkinkan mempunyai kekhususan tertentu. Dilihat dari aspek jenjang masyarakat adat tersebut, akan diungkap pula watak permukimannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian tipe gabungan antara eksploratif dan deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dalam bentuk observasi permukaan dan ekskavasi. Di samping itu pengumpulan data khususnya yang berkaitan dengan masyarakat adat dilakukan dalam bentuk kajian pustaka dan wawancara. Data hasil observasi, ekskavasi, serta wawancara dan kajian pustaka diharapkan dapat memberikan gambaran sebagaimana permasalahan yang ada sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Ruang lingkup penelitian ditekankan pada kondisi fisik objek arkeologis baik yang bersifat artefaktual maupun non artefaktual. Selain itu juga menyangkut kondisi lingkungan alam dan sejarah kemasyarakatan khususnya dalam hal masyarakat adat.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Situs
Situs Benteng Sabut secara geografis berada pada kelokan sungai utama (Way Kiri) pada posisi 430’20” LS dan 10500’21” BT, Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Sungai ini berhulu pada bukit kecil di sebelah utara situs, kemudian berkelok-kelok ke arah tenggara hingga timur dan bermuara di Way Kiri di sebelah selatan Benteng Sabut. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Sungai ini mengalir dari arah barat daya. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng. Lokasi Benteng Sabut oleh masyarakat setempat juga dikenal dengan sebutan Bujung Menggalou.
Fakta arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fitur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut sepanjang 110 m hingga sudut barat daya. Benteng dan parit kemudian belok ke arah utara agak ke timur hingga sepanjang 70 m yang merupakan pertengahan sisi barat laut benteng dan parit, selanjutnya agak berbelok ke arah timur hingga mencapai jarak 70 m yang juga merupakan sudut timur laut. Pada sudut ini parit ada yang ke arah barat laut sepanjang 20 m hingga ke Bawang Petahi, dan juga ada yang ke arah tenggara sejauh 110 m hingga Way Kiri. Parit pada bagian ini lebarnya berkisar antara 5 hingga 7 m dengan kedalaman berkisar 0,5 hingga 1,5 m. Lahan bagian ini merupakan inti pemukiman yang luasnya sekitar 1,4 hektar.
Fakta artefaktual yang pernah ditemukan di bagian ini berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias. Selain itu terdapat beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Fragmen tembikar yang merupakan bagian dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir.
Di sebelah barat laut bagian inti pemukiman berjarak sekitar 50 m terdapat parit membentang arah timur laut – barat daya. Pada Ujung timur laut bermula dari Bawang Petahi ke arah barat daya sejauh 150 m. Parit ini pada ujung barat daya lebarnya 12 m, sedangkan pada ujung timur laut lebarnya 7 m. Kedalam berkisar 1 – 1,5 m. Di ujung barat daya parit belok ke arah tenggara sepanjang 55 m dan selanjutnya tidak tampak lagi jejak-jejaknya. Parit yang membentang arah timur laut – barat daya kemudian belok ke arah tenggara ini membentuk lahan berpola segi empat dengan luas sekitar 0,7 hektar. Di tengah lahan ini terdapat fitur tumulus berdiameter sekitar 3 m tinggi 0,7 m. Di tempat ini pada sekitar tahun 1980 pernah ditemukan guci.
Di sebelah barat daya benteng, pada seberang Way Pikuk terdapat dua fitur tanggul. Fitur tanggul pertama terdapat di sebelah barat daya parit luar sisi barat laut. Dari ujung Way Pikuk tanggul tersebut membujur ke arah barat sepanjang 20 m kemudian belok ke arah barat daya hingga selatan sepanjang 30 m. Lebar tanggul sekitar 4 m dengan ketinggian sekitar 0,5 m. Tanggul kedua terletak di sebelah barat daya lahan benteng. Tanggul tersebut membujur arah timur laut – tenggara sepanjang 30 m. Lebar tanggul 8 m dengan ketinggian 1,5 – 2 m.
Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur makam kuna. Menurut keterangan masyarakat tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak dilengkapi nisan. Orientasi makam relatif ke arah utara – selatan (N 350 E). Lebar makam 2,16 m dan panjangnya 3,8 m.
Di sebelah tenggara situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) terdapat parit yang disebut kenali. Lokasi tersebut berada pada kelokan sungai yang membentuk suatu daratan memanjang yang dinamakan Bujung Malay. Keadaan parit membentang arah utara – selatan (N 323° E) menghubungkan kedua sisi sungai. Bagian atas parit lebarnya 4,30 m sedangkan bagian dasar lebarnya 3,60 m. Kedalaman 1,25 m.
Deskripsi Hasil Ekskavasi
Ekskavasi di situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) dilakukan pada empat kotak gali yaitu LU I, LU II, LU III, dan LU IV. Tiap-tiap kotak gali berukuran 1 X 1 m. Pembukaan kotak dilakukan dengan teknik spit. Penggalian spit pertama dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari titik nol bantu. Spit selanjutnya berinterval 10 cm.
Kotak LU I
Kotak LU I terletak di bagian pertengahan sisi tenggara benteng. Penggalian kotak ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang aktifitas yang pernah berlangsung, dengan pertimbangan pada penelitian terdahulu di lokasi tersebut banyak ditemukan manik-manik.
Permukaan tanah pada kotak ini cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Artefak yang terdapat di permukaan kotak berupa kerak besi, fragmen tembikar, dan fragmen keramik asing.
Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari SDP. Tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Pada spit ini akar rumput dan akar singkong banyak dijumpai. Temuan berupa manik-manik, fragmen tembikar, fragmen keramik, dan logam.
Spit 2 hingga mencapai kedalaman 30 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Akar tanaman masih banyak dijumpai. Artefak berupa fragmen tembikar, manik-manik, fragmen keramik, dan kerak besi ditemukan merata di seluruh kotak gali.
Spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah sebagaimana spit sebelumnya yaitu berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedang sampai kasar. Akar sudah mulai jarang dijumpai. Hingga kedalaman spit ini temuan berupa fragmen tembikar, fragmen keramik, dan kerak besi masih dijumpai namun sudah mulai menipis. Pada akhir spit, di sisi timur kotak ini dijumpai adanya konkresi.
Pada spit 4 hingga kedalaman 50 cm. Keadaan tanah ada perubahan, yaitu berwarna kecoklatan. Jenis dan teksturnya masih seperti pada tanah spit sebelumnya. Temuan berupa fragmen tembikar dan fragmen keramik masih dominan. Pada awal penggalian yaitu di kedalaman 40 cm dijumpai arang. Di bagian barat laut kotak pada dinding sisi utara pada kedalaman 43 cm ditemukan gigi vertebrata.
Penggalian spit 5 dilakukan hingga kedalaman 60 cm, keadaan tanah berpasir kecoklatan. Tekstur mengalami perubahan yaitu halus sampai sedang, agak padat. Temuan berupa fragmen tembikar mulai menipis, merata di seluruh kotak gali. Sisa arang ditemukan di bagian barat daya kotak pada kedalaman 57 cm dan 60 cm. Pada akhir spit, yaitu kedalaman 59 cm, di bagian barat laut kotak terdapat kerak besi.
Temuan pada penggalian spit 6 berkurang. Pada sisi barat kotak gali terdapat fetur dengan warna tanah kehitaman. Pada bagian ini ditemukan artefak berupa fragmen tembikar. Selain itu juga ditemukan arang. Spit 6 diakhiri hingga kedalaman 70 cm
Penggalian pada spit 7 dilakukan setengah kotak yaitu sisi barat. Temuan semakin sedikit, berupa fragmen tembikar. Arang ditemukan di bagian selatan sisi barat pada kedalaman 73 cm. Penggalian diakhiri hinggi spit ini. Pada akhir penggalian terlihat stratigrafi terdiri dari dua lapisan. Lapisan atas tanah berwarna hitam pasiran dan pada lapisan bawah tanah berwarna kecoklatan agak merah.
Kotak LU II
Kotak LU II terletak di bagian timur lahan situs, sebelah utara Kotak LU I. Penentuan lokasi kotak LU II karena pada permukaan tanah banyak ditemukan fragmen tembikar. Dengan ekskavasi di lokasi ini diharapkan dapat diketahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung. Permukaan tanah cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih rendah dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah berwarna kehitaman. Artefak yang terdapat di permukaan kotak berupa fragmen tembikar yang terkonsentrasi di bagian barat laut kotak gali.
Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm dari SDP. Tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur halus sampai sedang. Pada spit ini akar rumput dan umbi-umbian banyak dijumpai. Temuan berupa fragmen tembikar, dan fragmen keramik.
Spit 2 hingga mencapai kedalaman 30 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman, tekstur sedikit berbeda dengan spit 1 yaitu sedang sampai kasar. Pada sudut barat laut dijumpai fetur humus berwarna hitam. Akar tanaman masih banyak dijumpai namun sudah berkurang. Artefak fragmen keramik ditemukan di sudut tenggara kotak gali.
Spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berpasir berwarna kehitaman tekstur kasar. Kandungan humus berkurang, akar sudah mulai jarang dijumpai. Hingga kedalaman spit ini temuan berupa fragmen tembikar dijumpai secara sporadis. Arang ditemukan di bagian tenggara kotak gali pada kedalaman 36 cm. Di bagian timur laut ditemukan kerak besi pada kedalaman 39 cm. Di sekitar temuan kerak besi ini tanah berupa pasir putih.
Pada spit 4 kedalaman hingga mencapai 50 cm. Keadaan tanah pada mulanya pasir kehitaman bercampur humus. Akar sudah tidak dijumpai lagi. Pada pertengahan kedalam spit ini tanah mulai berganti pasir putih. Di bagian tenggara, pada pasir berwarna putih ditemukan arang. Temuan artefaktual berupa fragmen tembikar antara lain bagian pegangan kibu. Pada dinding selatan bagian timur pada kedalaman 47 cm terdapat kumpulan fragmen tembikar.
Penggalian spit 5 dilakukan hingga kedalaman 60 cm, tanah bercampur pasir putih dengan tekstur kasar sangat dominan. Temuan berupa fragmen tembikar sedikit ditemukan. Temuan berupa fragmen tembikar terkonsentrasi di sudut tenggara. Di sudut barat laut ditemukan kerak besi. Tumpukan fragmen tembikar yang terdapat di dinding selatan bagian timur yang mulai terlihat pada spit 4 berlanjut hingga spit 5.
Penggalian spit 6 dilakukan setengah kotak yaitu bagian sisi selatan. Kondisi tanah bercampur pasir putih kekuningan. Hingga akhir spit sudah tidak ditemukan benda arkeologis lagi (steril). Spit 6 diakhiri hingga kedalaman 70 cm. Stratigrafi yang terlihat menunjukkan dua lapisan yaitu pada bagian atas tanah hitam pasiran dan di lapisan bawah tanah coklat kemerahan.
- Kotak LU III
Kotak LU III terletak di bagian tengah lahan situs. Penggalian kotak ini dimaksudkan untuk menguji apakah ada jejak aktifitas di bagian tengah lahan situs. Permukaan tanah cenderung rata. Bagian sisi utara kotak lebih tinggi dari sisi selatan. Keadaan permukaan kotak ditumbuhi rumput, setelah dibersihkan terlihat tanah gembur berwarna coklat kekuningan tekstur halus sampai sedang. Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm. Tanah gembur berwarna coklat kekuningan merata di seluruh bagian kotak gali. Akar rumput dan pohon sejenis palmae banyak dijumpai, humus sangat sedikit. Pada spit ini temuan artefaktual berupa fragmen tembikar dan keramik.
Spit 2 keadaan tanah masih berwarna coklat kekuningan dengan tekstur halus sampai kasar. Pada spit ini tanah mulai padat. Akar rumput dan pohon jenis palmae masih dijumpai namun sangat sedikit. Temuan artefaktual berupa fragmen tembikar. Pada akhir spit 2 di sisi timur terdapat fragmen keramik. Penggalian dilakukan hingga kedalaman 30 cm.
Spit 3 keadaan tanah banyak mengandung pasir berwarna kecoklatan dengan tekstur kasar. Akar pohon jenis palmae masih dijumpai hingga akhir spit yaitu kedalaman 40 cm. Temuan berupa fragmen tembikar banyak terkonsentrasi di sisi utara kotak gali.
Pada spit 4 keadaan tanah di bagian sudut timur laut hingga sisi timur berwarna coklat kehitaman. Sedang di bagian sudut barat daya hingga sisi barat berwarna coklat kekuningan. Kedua jenis tanah ini agak padat bertekstur kasar. Temuan berupa fragmen tembikar sangat sedikit dijumpai. Penggalian diakhiri hingga mencapai kedalaman 50 cm.
Kotak LU IV
Kotak LU IV terletak di sudut selatan lahan situs. Observasi yang dilakukan pada penelitian terdahulu di lokasi ini banyak menemukan manik-manik dan kerak besi. Penggalian kotak ini diharapkan mendapatkan data tentang aktifitas yang ada hubungannya dengan temuan permukaan. Permukaan tanah cenderung rata. Keadaan permukaan ditumbuhi ilalang yang sangat tinggi. Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman 20 cm. Tanah mengandung pasir berwarna kehitaman. Akar ilalang dan akar pohon kelapa sangat banyak. Keadaan seperti ini berlanjut hingga spit 2. Mula-mula penggalian dilakukan di kuadran IV (sudut barat daya). Benda arkeologis yang ditemukan terdiri fragmen tembikar, fragmen keramik, dan kerak besi. Ketika penggalian dilakukan pada bagian yang lain, keadaan tanah sama. Temuan fragmen tembikar dan fragmen keramik ditemukan lagi di kuadran II (sudut timur laut). Selain itu juga ditemukan lagi kerak besi.
Ekskavasi berlanjut pada spit 3 hingga kedalaman 40 cm. Keadaan tanah berpasir hitam berangsur ke warna kecoklatan. Akar ilalang dan pohon kelapa masih dijumpai. Pada spit ini ditemukan fragmen tembikar dan kerak besi. Pada dinding selatan bagian timur dan bagian sudut tenggara, di akhir spit ditemukan fragmen tembikar dan arang.
Pada spit 4 penggalian dilanjutkan pada kuadran I dan II (bagian utara). Keadaan tanah berpasir warna kecoklatan. Temuan berupa fragmen tembikar dan manik-manik. Di tengah bagian utara ditemukan jejak fetur. Pada fetur tersebut tanah berwarna kehitaman.
ANALISIS TEMUAN
Temuan hasil penelitian setelah dilakukan pemilahan kemudian dianalisis. Pada penelitian kali ini, tujuan analisis temuan untuk mengetahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung dan kapan aktifitas tersebut berlangsung. Analisis terutama ditekankan pada temuan keramik asing. Anaslis keramik pada aspek tipologi dapat untuk mengetahui gambaran aktifitas yang pernah berlangsung, sedangkan pada aspek penanggalan untuk mengetahui kapan aktifitas itu berlangsung.
Ekskavasi di situs Benteng Sabut, Bujung Menggalou menemukan beberapa benda data arkeologis. Temuan hasil ekskavasi terdiri dari temuan artefaktual dan non artefaktual. Temuan artefaktual berupa fragmen alat yang terbuat dari batu, fragmen benda dari besi, fragmen benda dari perunggu, manik-manik, fragmen tembikar, dan fragmen keramik. Fragmen terdiri dari jenis earthenware, stoneware, porselain, dan kaca. Temuan non artefaktual berupa tatal batu, kerak besi, terakota, kulit kemiri (muncang, kemiling), getah damar, dan tulang/gigi.
Temuan hasil ekskavasi dapat memberikan gambaran persebaran baik secara horisontal maupun vertikal. Analisis temuan hasil ekskavasi ditekankan pada artefak keramik. Dari seluruh temuan keramik hasil ekskavasi tidak semuanya dianalisis. Keramik yang terlalu kecil atau kurang menunjukkan atribut kuat tidak dianalisis. Fragmen keramik yang dianalisis seluruhnya berjumlah 189 keping. Jumlah itu, dari kotak LU I sebanyak 117 keping, kotak LU II 24 keping, kotak LU III 8 keping, dan kotak LU IV 40 keping.
Hasil analisis secara tipologis, fragmen dari tipe mangkuk merupakan temuan terbanyak yaitu 109 keping (57,67 %). Di kotak LU I fragmen keramik dari tipe ini ditemukan sebanyak 73 keping (62,39 % dari temuan di kotak LU I atau 38,62 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan sebanyak 11 keping (45,83 % atau 5,82 %). Di kotak LU III ditemukan 3 keping (37,5 % atau 1,59 %). Di kotak LU IV ditemukan 22 keping (55 % atau 11,64 %).
Tipe selanjutnya adalah guci/tempayan yaitu 37 keping (19,58 %). Di kotak LU I fragmen keramik dari tipe ini ditemukan sebanyak 20 keping (17,09 % dari temuan di kotak LU I atau 10,58 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan sebanyak 7 keping (29,17 % atau 3,70 %). Di kotak LU III ditemukan 3 keping (37,50 % atau 1,59 %). Di kotak LU IV ditemukan 7 keping (17,50 % atau 3,70 %).
Terbanyak selanjutnya adalah tipe kendi yaitu 15 keping (7,94 %). Fragmen keramik dari tipe kendi hanya ditemukan di kotak LU I. Persentase berdasarkan pada seluruh temuan di kotak tersebut menunjukkan 12,82 %. Fragmen dari tipe cangkir ditemukan sebanyak 3 keping (1,59 %), dari tipe cepuk dan botol masing-masing 2 keping (1,06 %), dan dari tipe piring 1 keping (1,12 %). Selain itu sebanyak 20 keping (10,58 %) tidak dapat teridentifikasi tipologinya.
Analisis pada aspek penanggalan secara relatif diperoleh gambaran dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad III), Sui (abad VI – VII), T’ang (abad VII – X), Song (abad X – XIII), Yuan (abad XIII – XIV), Ming (abad XIV – XVII), Qing (abad XVII – XX), Thailand periode Shukothai (abad XIII – XIV), Annam (abad XV), dan Eropa (abad XIX – XX).
Hasil analisis penanggalan keramik menunjukkan bahwa keramik Cina masa dinasti Qing merupakan temuan terbanyak yaitu 32 keping (16,93 %). Temuan ini berasal dari kotak LU I sebanyak 25 keping (21,37 % dari temuan di kotak itu atau 13,22 % dari seluruh temuan) dan di kotak LU IV sebanyak 7 keping (17,5 % atau 3,70 %).
Fragmen keramik Cina masa dinasti Han dan keramik Thailand ditemukan masing-masing sebanyak 29 keping (15,34 %). Keramik Cina masa dinasti Han hanya ditemukan di kotak LU I. Sedang keramik dari Thailand ditemukan di kotak LU I sebanyak 16 keping (13,68 % dari temuan di kotak itu atau 8,47 % dari seluruh temuan). Di kotak LU II ditemukan 7 keping (29,17 % atau 3,70 %). Di kotak LU III ditemukan 1 keping (12,5 % atau 0,53 %). Di kotak LU IV ditemukan 5 keping (12,5 % atau 2,65 %).
Keramik Cina masa dinasti Ming ditemukan sebanyak 26 keping (13,76 %). Fragmen keramik ini di kotak LU I ditemukan sebanyak 14 keping (11,96 % atau 7,41 %). Di kotak LU II ditemukan 2 keping (8,33 % atau 1,06 %). Di kotak LU III ditemukan 1 keping (12,5 % atau 0,53 %). Di kotak LU IV ditemukan sebanyak 9 keping (22,5 % atau 4,76 %).
Keramik Cina masa dinasti Song dan Yuan masing-masing ditemukan 19 keping (10,05 %). Keramik masa dinasti Song di kotak LU I ditemukan sebanyak 10 keping (8,55 % atau 5,29 %). Di kotak LU II ditemukan 6 keping (25 % atau 3,17 %). Di kotak LU III ditemukan 2 keping (25 % atau 1,06 %). Di kotak LU IV ditemukan 1 keping (2,5 % atau 0,53 %). Keramik masa dinasti Yuan, di kotak LU I ditemukan sebanyak 7 keping (5,98 % atau 3,70 %). Di kotak LU II ditemukan 2 keping (1,71 % atau 1,06 %). Di kotak LU III ditemukan 2 keping (25 % atau 1,06 %). Di kotak LU IV ditemukan 8 keping (20 % atau 4,23 %).
Dari masa dinasti T’ang ditemukan sebanyak 11 keping (5,82 %). Fragmen keramik ini hanya ditemukan di kotak LU I. Persentase dari seluruh temuan di kotak itu sebanyak 9,40 %. Keramik dari Cina masa dinasti Sui ditemukan sebanyak 3 keping (1,59 %). Keramik dari Annam ditemukan sebanyak 2 keping (1,06 %). Keramik Eropa ditemukan 1 keping (0,53 %). Selain itu terdapat 18 keping (9,52 %) yang tidak dapat diidentifikasi penanggalannya.
SITUS BENTENG SABUT SEBAGAI PEMUKIMAN
Dalam skala lokal, pemukiman di Benteng Sabut mencirikan satu masyarakat “kota”. Beberapa data hasil ekskavasi memperlihatkan adanya multi subsistensi. Secara umum data yang ditemukan pada beberapa kotak gali menunjukkan kondisi yang sudah teraduk (disturb). Keteradukan secara vertikal diantaranya terlihat dari jejak fetur di kotak LU I dan LU IV. Secara horisontal keteradukan tidak terjadi secara intens. Dari kondisi semacam ini dapat menggambarkan pola keruangannya.
Artefak banyak ditemukan di kotak LU I, LU II, dan LU IV. Lokasi kotak gali ini berada pada bagian dekat tepian sungai. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemukiman (rumah) terkonsentrasi pada sisi dekat tepian sungai secara berjajar. Kotak LU III yang berada pada bagian tengah situs, kurang menghasilkan temuan. Bagian ini mungkin merupakan halaman kosong yang fungsinya bagi masyarakat secara komunal (public space).
Berdasarkan analisis tipologis terhadap temuan fragmen tembikar dan keramik menunjukkan bahwa ragam aktifitas masyarakat sangat dominan pada aktifitas rumah tangga. Dalam memenuhi kebutuhan juga terdapat aktifitas industri. Temuan fragmen manik-manik, lelehan bahan manik-manik, dan kerak besi menunjukkan adanya aktifitas industri. Dari temuan yang ada di Benteng Sabut menunjukkan adanya keragaman pola subsistensi. Pola yang demikian ini merupakan salah satu ciri masyarakat kota.
Secara fisik situs Benteng Sabut memang belum dapat dikatakan sebagai kota, yaitu bentuk pemukiman yang dianggap paling maju. Pengertian “kota”, hingga saat ini belum terdapat suatu batasan yang dapat diterapkan secara universal. Pada kebudayaan yang berbeda-beda, elemen-elemen yang berbeda telah digunakan sebagai persyaratan minimum bagi sebuah permukiman untuk dapat disebut sebagai kota (Rapoport, 1986: 22). Sebagai contoh pemukiman jaman pengaruh Islam di Indonesia, sudah dapat dikatakan kota apabila sudah dilengkapi kraton sebagai pusat kekuasaan, masjid sebagai pusat kegiatan ibadah (ritual), dan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Dengan demikian keanekaragaman pengertian kota disebabkan pula karena perkembangan zaman yang mengakibatkan terjadinya perubahan.
Max Weber (1977: 13) melalui pendekatan ekonomik melihat “kota” bukan berdasarkan ciri fisik. Suatu pemukiman disebut “kota” bila penduduk lokal memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonomi sehari-harinya di pasar lokal, kebanyakan dengan barang komoditas yang dihasilkan dengan berbagai cara oleh penduduk setempat atau daerah pemangku terdekat. Pasar lokal merupakan pusat ekonomi bagi koloni. Berkat ada kegiatan ekonomi maka penduduk kota maupun luar kota memenuhi kebutuhannya akan barang perdagangan. Bila hal itu merupakan suatu konfigurasi yang berlainan dengan pemukiman kecil, maka wajar bila kota menjadi tempat tinggal tuan tanah atau bangsawan. Melalui pendekatan ini tampak bahwa kota merupakan pusat dua hal yaitu oikos (rumah) dan pasar. Kota selain sebagai pasar biasa, pada waktu-waktu tertentu berfungsi pula sebagai pasar barang dari luar (asing) bagi saudagar perantau.
Berkaitan dengan dua hal yaitu oikos dan pasar, Benteng Sabut menurut cerita sejarah merupakan oikos bagi tokoh-tokoh diantaranya Minak Kemala Kota. Para pendatang kemudian membangun tempat tinggal di sekitarnya. Minak Ratu Guruh Malay bertempat tinggal di Bujung Malay. Sedang Prajurit Puting Gelang bertempat tinggal di Umbul Lebung. Benteng Sabut sebagai pusat pasar selain dari ragam artefak asing yang ditemukan terlihat juga dari berita asing. Berdasarkan data berita asing terutama dari Portugis, kawasan Tulangbawang terkenal dengan hasil hutannya di antaranya getah damar (Cortesão, 1967: 158-159). Sebutan Tulangbawang sangat mungkin untuk Benteng Sabut. Temuan beberapa fragmen tembikar yang didalamnya terdapat jejak getah damar, sesuai dengan keterangan dalam sumber sejarah tersebut.
Sebagai masyarakat kota, di Benteng Sabut terdapat jejak aktifitas industri. Adanya kerak besi menunjukkan bahwa industri logam sudah dikenal masyarakat penghuni Benteng Sabut. Pemenuhan kebutuhan akan manik-manik juga sudah dapat diatasi dengan cara diproduksi. Lelehan kaca dan manik-manik tidak sempurna menunjukkan limbah produksi manik-manik.
Aspek penting yang dapat tergambar dari hasil ekskavasi adalah penanggalan situs. Fragmen keramik selain dapat dilacak mengenai tipologinya, juga dapat diketahui negara pembuat dan masa pembuatannya. Ciri utama yang dapat dipakai untuk menentukan asal dan pertanggalan keramik adalah jenis bahan dasar, warna bahan dasar, pola hias, teknik hias, warna glasir, jejak pembakaran, dan ciri-ciri bentuk (Mc. Kinnon, 1996: 61). Dari seluruh kotak gali, secara umum didapatkan keramik sejak dari masa dinasti Han hingga dinasti Qing. Karena pada bagian atas keteradukan sangat tinggi, maka sulit untuk memastikan penanggalannya. Namun berdasarkan kuantitas artefak keramik yang ditemukan menunjukkan adanya dua fase yaitu fase pertama pada masa Han. Fase kedua intensif lagi pada masa T’ang, Song, Yuan, Ming, hingga Qing. Sedikitnya temuan keramik dari masa Sui menunjukkan bahwa pada masa itu di Benteng Sabut mengalami kemunduran. Cerita sejarah yang hidup di masyarakat sekarang ini berkisar pada fase kedua. Putusnya emosi masyarakat dengan peristiwa sejarah pada fase pertama menunjukkan adanya masa kemunduran.
SIMPULAN
Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) merupakan situs pemukiman yang sudah kompleks. Secara fisik pola keruangan situs menunjukkan adanya deretan tempat tinggal yang berada di sisi tepi sungai yang dilengkapi public space. Tempat tinggal membelakangi sungai menghadap ke bagian public space. Masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sudah mengenal sektor industri.
Sebagai pemukiman, situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) berkenaan dengan oikos dan pasar. Peranannya dalam aspek tempat tinggal dikenal adanya beberapa tokoh sentral misalnya Minak Kemala Kota. Dalam kaitannya dengan pasar, daerah ini sudah menjalin hubungan perdagangan hingga kawasan regional.
Keberlangsungan aktifitas masa lalu di Benteng Sabut terjadi dalam dua fase. Fase pertama berkisar pada abad ke-3 dan fase kedua pada abad ke-7 – 17. Di antara kedua fase ini terdapat masa kemunduran.
KEPUSTAKAAN
Anonim. 2000. Uraian Ringkas Bagian Proyek Irigasi Way Rarem. Proyek Irigasi Lampung.
Anonim. 2003. Selayang Pandang Kabupaten Tulang Bawang. Menggala: Bagian Humas dan Komunikasi Setdakab Tulang Bawang.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Max Weber. 1977. ”Apakah Yang Disebut Kota” terj. Darsiti Soeratman dan Amin Soendoro. Dalam Sartono Kartodirdjo (ed.) Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Hlm. 11 – 42.
McKinnon, E Edwards. 1996. Buku Panduan Keramik. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Rapoport, Amos. 1986. “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese, (et al.). Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan. Bandung: Intermedia. Hlm. 21 – 44.
Saptono, Nanang. 2000. “Pemukiman Pada Masa Islam di Kawasan Way Kiri, Tulangbawang”. Dalam Edy Sunardi dan Agus Aris Munandar (ed.) Rona Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi ndonesia. Hlm. 129 – 152.
Saptono, Nanang. 2002. “Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.) Jelajah Masa Lalu. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi ndonesia. Hlm. 86 – 1001.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "Mozaik Arkeologi", hlm. 97 - 110. Editor: Dr. Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2003.
Sumber : Arkeologi Lampung Ngebrengoh Blog
LEBAK-LEBUNG DALAM KONTEKS PRADABAN TINGGI DI TULANGBAWANG
MENGGALI KEJAYAAN MASYARAKAT LAMPUNG
NANANG SAPTONO
Pendahuluan
Kehidupan sehari-hari manusia seperti halnya makhluk hidup lainnya dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya. Berbeda dengan makhluk hidup lainnya, hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan sekitarnya dipengaruhi oleh sistem budaya yang dimilikinya. Dengan demikian faktor budaya ini sangat penting bagi manusia untuk melakukan proses adaptasi dengan lingkungannya (Iskandar, 2001: 7). Antara kebudayaan dan lingkungan alam terdapat hubungan timbal balik. Kontinyuitas perkembangan kebudayaan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam dan begitu pula sebaliknya. Menurut Koentjaraningrat culture (kebudayaan) berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan arti kata tersebut, kebudayaan dapat dimaknai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”
Dalam perkembangannya, kebudayaan tidak hanya diartikan seputar bercocok tanam. Kebudayaan merupakan berbagai hal yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Pada masyarakat yang kehidupannya sangat kompleks, wujud budayanya akan meliputi juga sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan. Wujud kebudayaan seperti itu disebut peradaban atau civilization (Koentjaraningrat, 1990: 182). Tingginya tingkat peradaban manusia tersebut dipengaruhi oleh faktor interaksi dan strategi adaptasi dengan lingkungan.
Menurut Gordon Childe (1979: 12-14) evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur.
Selain Childe, Flannery juga membagi evolusi peradaban menjadi tiga tahap. Dasar pembagiannya pada adanya pemimpin dan penguasa. Menurut Flannery (1979: 28-30) tahap evolusi peradaban terdiri dari egalitarian society, chiefdoms, dan stratified society. Masyarakat egaliter menganggap bahwa semua derajad manusia dalam masyarakat adalah sama, tidak ada tingkatan maupun klas. Masyarakat chiefdoms sudah ada pembagian klas antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan stratified society merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai klas dan tingkatan. Masyarakat yang demikian inilah yang sering dikatakan berperadaban tinggi. Masyarakat berperadaban tinggi pada masa lampau dapat dikenali berdasarkan tinggalan hasil budayanya.
Berdasarkan beberapa kajian, masyarakat Indonesia sudah sejak lama berada pada tingkat masyarakat berperadaban tinggi. Pada masa prasejarah tingginya peradaban dikenal melalui tinggalan monumen yang berlatarkan pada budaya megalitik. Masyarakat pada waktu itu dikatakan berperadaban tinggi karena sudah mengenal sistem organisasi sosial. Bangunan seperti menhir, dolmen, dan punden berundak menggambarkan adanya organisasi sosial tersebut. Selain itu dikenal pula adanya dan spesialisasi kerja. Pengetahuan tentang rancang bangun dan pengaturan kerjasama dalam kelompok masyarakat inilah yang merupakan salah satu indikator peradaban tinggi.
Selain tinggalan bangunan megalitik, peradaban tinggi juga diperlihatkan pada sistem subsistensi masyarakat yang berbasis pada budidaya tanaman pangan yang tergantung pada sistem pengairan. Robert L. Carneiro berpendapat peradaban tinggi terbangun karena adanya keterkaitan dengan kemajuan teknologi pertanian. Dengan adanya teknologi terjadi surplus bahan pangan. Karena terjadi surplus tercipta waktu luang untuk mengembangkan usaha-usaha lain, sehingga terjadi spesialisasi kerja (Carneiro, 1970: 733-738). Teori ini dalam kenyataannya ditunjukkan oleh situs-situs pusat peradaban di Timur Tengah, Cina, Asia Selatan, dan Afrika Utara yang pada umumnya berada pada lembah-lembah subur.
Berdasarkan dua kasus di atas, pada intinya peradaban tinggi ditandai dengan adanya suatu sistem organisasi sosial. Secara kebetulan, dua kasus tersebut berkenaan dengan masyarakat agraris. Sementara itu subsistensi masyarakat tidak hanya berada pada sektor tersebut. Masyarakat yang permukimannya berada di tepi danau atau sungai-sungai besar cenderung menggantungkan hidupnya pada sektor nelayan atau petani ikan. Masyarakat demikian ini misalnya terlihat pada masyarakat di Tulangbawang. Beberapa situs permukiman kuna yang terdapat di Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak berupa bangunan megalitik. Sementara itu, sumber sejarah menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu sudah menjalin hubungan dagang dengan dunia luar.
Tomé Pires yang pernah singgah di Tulangbawang dalam perjalanannya dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberitakan bahwa Tulangbawang merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antar pulau (Cortesão, 1967: 158 – 159). Salah satu barang komoditas dari Tulangbawang adalah ikan. Sebagai masyarakat yang tinggal di tepian sungai besar, sangat wajar bila salah satu barang komoditas unggulannya adalah ikan. Masyarakat Tulangbawang dalam menghasilkan ikan selain dari sungai juga dari lebak lebung yang ada di sekitar permukiman. Hingga sekarang komoditas ini masih dijadikan unggulan masyarakat. Posisi ikan dalam sektor perdagangan bagi masyarakat Tulangbawang tentunya memerlukan pengelolaan dengan melibatkan sistem organisasi. Dalam kaitannya dengan hal inilah peradaban tinggi diperlihatkan. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana kaitan antara ikan dengan peradaban tinggi di Tulangbawang.
Situs-situs Permukiman di Tulangbawang
Beberapa situs permukiman kuna yang ditemukan di Tulangbawang berada di tepian sungai. Situs-situs tersebut antara lain adalah Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang. Sebagai masyarakat penghasil ikan, permukiman tersebut selain berada di tepian sungai juga dekat dengan lebak lebung. Gambaran sekilas tentang situs-situs tersebut sebagai berikut.
Situs Benteng Sabut (Saptono, 2008: 47 – 49). Secara geografis situs ini berada pada kelokan Way (Sungai) Kiri pada posisi 4°30’20” LS dan 105°00’21” BT, secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Kondisi situs berupa lahan yang dikelilingi parit dan benteng tanah. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng.
Tradisi lisan masyarakat menyebutkan bahwa pemukiman di Benteng Sabut dibuka oleh Minak Kemala Kota. Minak Kemala Kota mempunyai tiga keturunan yaitu Tuan Riou Nyembang Luih, Namo, dan Bulan. Namo menikah dengan Moyang Runjung. Pernikahan antara Moyang Runjung dengan Putri Minak Kemala Kota bernama Namo selanjutnya menurunkan tokoh-tokoh Marga Tegamoan yaitu Tuan Rio Mangkubumi yang berkedudukan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah yang berkedudukan di Meriksa (Menggala), dan Tuan Rio Sanaah yang berkedudukan di Panaragan. Hilman Hadikusuma menerangkan bahwa Runjung adalah anak Minak Sebala Kuwang. Runjung menikah dengan Senama, yaitu anak Putri Bulan saudara Ratu Dipuncak. Dari perkawinan ini menurunkan Tuan Riyo Mangkubumi, Tuan Riyo Tengah, dan Tuan Riyo Sanak (Hadikusuma, 1989: 47).
Situs Keramat Gemol (Saptono, 2008: 51 – 53). Secara geografis situs ini berada pada posisi 4°29’14” LS dan 105°02’15” BT, secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Panaragan. Situs berada pada kelokan sungai di sebelah barat Way Kiri. Di sebelah timur situs merupakan pertemuan antara Way Kiri dengan Way Gemol. Way Gemol yang merupakan anak sungai Way Kiri mengalir di sebelah tenggara situs.
Lahan situs dikelilingi parit dan benteng tanah dan parit, kecuali di sisi barat laut yaitu berbatasan langsung dengan Way Kiri. Pada sekeliling areal situs berjarak antara 200 – 500 m terdapat semacam lembah. Di sebelah selatan benteng, lembah bermula dari Way Kiri (sebelah tenggara) memutar ke arah selatan hingga barat daya dan berakhir di sebelah barat benteng. Lembah ini disebut kandungan Badak. Di sebelah utara benteng, lembah juga bermula dari Way Kiri memutar ke arah barat laut hingga ke arah barat. Lembah ini disebut kandungan Minak Muli.
Menurut tradisi lisan masyarakat, tokoh yang membuka perkampungan dan juga sebagai pemimpin di Keramat Gemol adalah Minak Indah. Tokoh ini merupakan keturunan dari salah satu tokoh marga Tegamoan di Tulangbawang. Pada marga tersebut terdapat tiga orang tokoh yaitu Tuan Rio Mangkubumi, Tuan Rio Tengah, dan Tuan Rio Sanaah.
Tuan Rio Mangkubumi bermukim di Pagardewa, mempunyai anak di antaranya Minak Kemalabumi dan Minak Sang Putri. Tuan Rio Mangkubumi dimakamkan di Pagardewa. Tuan Rio Tengah bermukim di Menggala dan dimakamkan di Meriksa (Menggala). Tuan Rio Sanaah bermukim di Panaragan dan dimakamkan di Gunung Jejaiwai (Panaragan).
Tuan Rio Sanaah yang tinggal di Panaragan mempunyai keturunan Minak Indah, Minak Ma’dum, Minak Raja Ratu, dan Minak Sang Putri (Menteri). Di samping itu juga mengangkat Minak Rio Bageduh, Minak Raja Malaka, dan Prajurit Puting Gelang. Ketiga tokoh ini berasal dari Minangkabau.
Situs Benteng Minak Temenggung. Situs ini berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan berjarak lurus sekitar 3 km atau pada posisi 4°27’02” LS dan 105°07’52” BT. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon.
Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten.
Situs Batu Putih (Saptono, 2006: 93 – 95). Secara administratif situs ini termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.
Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sugai-sungai tersebut adalah Way Kemerting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat beberapa cekungan-cekungan yang disebut kandungan. Situs Batu Putih berada di antara dua kandungan.
Situs Gunung Terang (Saptono, 2004: 42 – 54). Secara administratif situs ini terdiri dari Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung, namun secara fisik kedua kampung tersebut menyatu. Pemukiman secara umum berada di tepian Way Kanan sebelah timur dan utara aliran sungai. Pola pemukiman memanjang utara – selatan. Kampung Gunung Agung berada di bagian selatan sedangkan di bagian utara merupakan Kampung Gunung Terang. Di daerah ini aliran Way Kanan berkelok-kelok. Bermula dari arah barat daya menuju arah barat laut. Di dekat pemukiman sungai berbelok ke arah selatan kemudian ke arah timur. Pada kelokan sungai dari arah utara ke arah timur masyarakat menyebutnya Lubuk Kali Mangkuk. Aliran Way Kanan dari Lubuk Kali Mangkuk ke arah timur terdapat pertemuan sungai antara Way Ngisen dengan Way Kanan. Way Ngisen bermula di Bawang Ngisen yang berada di sebelah barat laut kampung. Di bagian hilir sungai ini disebut Tulung Mayat. Di dekat muara Way Ngisen terdapat bukit kecil yang disebut Gunung Sri Gandow.
Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga Way Ngisen. Parit ini dijadikan batas antara Kampung Gunung Agung dengan Gunung Terang. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang terdapat di sebelah barat laut Gunung Sri Gandow, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung.
Mengenai tokoh cikal bakal masyarakat Gunung Terang adalah Minak Sekendar Alam. Keturunan Minak Sekendar Alam di antaranya tiga laki-laki yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan Minak Riou Bumi. Tuan Riou Terbumi dimakamkan di sebelah hilir Moyang Purba, Negeri Besar, menurunkan Suku Tepuk Gabou. Minak Patih Seriou Bumi dimakamkan di Gunung Terang keturunannya disebut Suku Pinggir Way. Minak Riou Bumi dimakamkan di Kurindang, Meriksa menurunkan Suku Tepuk Gedung.
Ikan dan Sistem Organisasi
Masyarakat di Tulangbawang banyak yang menggantungkan pada sumberdaya alam hayati berupa ikan. Di Tulangbawang keberadaan ikan itu sendiri berhubungan erat dengan lebak lebung sebagai habitat ikan. Lebak lebung dapat difahami sebagai the commons, yaitu sesuatu yang dianggap milik semua orang atau bukan milik siapa-siapa sehingga setiap orang bebas mengakses untuk memanfaatkan. Kajian Garrett Hardin (1968: 1244), menyatakan bahwa apabila masyarakat salah dalam mengelola the commons akibatnya akan terjadi suatu bencana besar. Tragedy of the commons disebabkan karena jumlah penduduk terus meningkat sementara sumberdaya alam terbatas. Kondisi demikian ini pada gilirannya akan terjadi situasi di mana sumberdaya alam tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan manusia. Sementara itu, manusia terjebak pada konsep untuk mengakses sumberdaya alam secara tanpa batas.
Pada beberapa masyarakat ternyata secara kolektif mampu mengelola the commons sehingga dapat dimanfaatkan secara turun temurun. Masyarakat nelayan di Great Lake, yang meliputi Danau Erie dan St. Clair, Kanada mengelola penangkapan ikan dengan cara membagi areal berdasarkan alat tangkap. Selain itu pada masa-masa tertentu dilakukan pengosongan jaring. Pembatasan jumlah nelayan yang beroperasi juga dilakukan. Pengelolaan seperti itu berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi (Berkes, 1985).
Sedikit berbeda dengan yang di Great Lake tersebut, sumberdaya alam yang tersedia di Tulangbawang berupa lebak lebung. Lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua sungai besar di dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya dipengaruhi pasang surut air laut harian, lebak tergenang selama musim hujan dan berangsur-angsur kering pada musim kemarau.
Ada tiga jenis lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, bila genangannya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan; lebak tengahan, dengan genangan air antara 50 - 100 cm selama 3 - 6 bulan; dan lebak dalam bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kawasan lebak dalam yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah lebak lebung.
Beberapa situs permukiman di Tulangbawang pada umumnya berada dekat dengan pedataran limpah banjir (floodplain). Situs Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang lokasinya dikelilingi pedataran limpah banjir berupa bawang (rawa), kandungan (lahan yang lebih rendah dari daerah sekitar), dan lebak lebung. Lahan berupa pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai lebak lebung. Perairan tipe sungai dan rawa banjiran mempunyai ciri khas, yaitu di mana fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan air sungai meluap hingga menggenangi sebagian besar arealnya kecuali bagian tanah yang tinggi, sebaliknya pada musim kemarau air sungai menjadi surut dan sebagian besar arealnya kering kecuali bagian yang dalam meliputi sungai utama dan lebung (Welcome, 1985).
Rawa-rawa di DAS Tulangbawang menyokong kehidupan sejumlah penting ikan, baik dalam hal keanekaragaman jenis maupun jumlah hasil panennya yang telah memberikan sumbangan yang berarti bagi penghasilan masyarakat setempat. Setidaknya terdapat 88 jenis ikan yang terdapat di sekitar rawa-rawa di DAS Tulang Bawang tersebut. Beberapa jenis ikan rawa yang ekonomis penting antara lain: arwana, belida, jelabat, tawes, seluang, lais, gabus, baung, lele, gurami, dan lain-lain. Beberapa jenis ikan-ikan ini secara periodik beruaya dari rawa ke sungai atau sebaliknya. Pada waktu air sungai meluap menggenangi rawa di sekitarnya, beberapa jenis ikan melakukan migrasi ke rawa tersebut dan memijah di lokasi tersebut. Lokasi ini juga merupakan lokasi bagi pembesaran anakan ikan (nursery ground).
Pemanfaatan lebung sebagai sumber ikan sudah berlangsung sejak lama. Aktifitas penangkapan ikan dilakukan pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau. Pada musim penghujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasukinya. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional oleh marga (Djausal, 1996). Meskipun pelaksana penangkapan oleh banyak orang namun operasional pengelolaannya berada di tangan kepala marga. Hasil dari perburuan ini kemudian diperuntukkan bagi masyarakat anggota marga. Dalam hal ini terjadi model pertukaran redistribusi. Pada saat sekarang di mana sistem pemerintahan adat marga sudah tidak berlaku secara efektif, pengelolaan lebak lebung berada di tangan pemerintah.
Gambaran pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung juga terjadi pada masa ketika situs-situs permukiman dihuni. Kalau pada masa sekarang terdapat pemerintahan adat marga, dahulu dikelola oleh kepala kampung. Tomé Pires yang pernah mengunjungi Lampung menjumpai kelompok masyarakat yang masih kafir terutama yang tinggal di daerah hulu (Cortesão 1967: 158). Masyarakat pra-Islam yang oleh Tomé Pires disebut dengan istilah cafre juga dijumpai di pedalaman Banda. Mereka tidak mempunyai kerajaan tetapi desa-desanya diperintah oleh cabila dan orang tua-tua. Sistem pemerintahan seperti ini menurut Antonio Galvao juga terdapat di Maluku. Mereka bermukim dalam lokasi tertentu dengan batas-batas wilayah yang jelas. Keperluan hidup sehari-hari dipenuhi secara bersama-sama. Masyarakat ini juga dipimpin oleh orang tua yang dianggap lebih baik dari pada yang lainnya (Tjandrasasmita, 1984: 174).
Sistem pemerintahan seperti ini merupakan budaya bangsa Indonesia sejak zaman sebelum mendapat pengaruh India (Hindu-Buddha). Masyarakat pra-Hindu sudah memiliki tingkat hidup yang sama dengan apa yang terdapat dalam struktur sosial dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia di berbagai daerah pada masa sekarang. Pertanian dengan irigasi dan sistem administrasi memunculkan negara-negara patrimonial-birokratis dalam berbagai ukuran. Pada saat yang sama terdapat pula bentuk-bentuk organisasi desa-desa yang sangat berkembang dengan keluarga-keluarga sebagai intinya. Orang tua-tua desa sebagai pengawas terhadap wilayah kadang-kadang juga sebagai kepala-kepala yang patrimonial (Tjandrasasmita, 1984: 175).
Pola pemerintahan patrimornial terlihat pula pada sistem pemerintahan adat marga. Pemerintahan adat marga di Tulangbawang mengenal pola kepemimpinan secara kolektif terdiri dari para anggota keluarga tertua dari masing-masing keturunan yang disebut punyimbang. Punyimbang tertua merupakan pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menuakan, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam.
Tradisi lisan masyarakat Tulangbawang yang menghubungkan bekas perkampungan tua dengan tokoh moyang tertentu memberikan gambaran bahwa mereka sudah mengenal sistem organisasi. Gambaran sistem organisasi pada berbagai masyarakat dapat terlihat dari tinggalan budaya fisik. Bangunan seperti punden berundak dan menhir dari masa prasejarah walaupun lebih bersifat religi namun memberi pula gambaran kehidupan sosial masyarakat. Pertanian dengan sistem irigasi memberikan gambaran kehidupan sosial masyarakat agraris. Bagi masyarakat nelayan darat atau petani ikan sebagaimana di Tulangbawang, lebak lebung yang berada di sekitar situs pemukiman dapat memberi gambaran dinamika masyarakat pada waktu itu dalam mengelola sumber perikanan.
Simpulan
Salah satu ciri masyarakat berperadaban tinggi adalah merupakan masyarakat yang terstruktur. Pada masyarakat itu sudah dikenal adanya pemimpin dan yang dipimpin. Bukti arkeologis yang menunjukkan hal itu misalnya bangunan megalitik. Aktifitas ritual masyarakat memberi gambaran sekitar penghormatan kepada tokoh tertinggi.
Beberapa situs permukiman di Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak berupa bangunan megalitik. Adanya sistem organisasi yang terlihat hingga sekarang adalah pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung oleh pemerintah adat marga. Sistem demikian ini berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi. Situs-situs permukiman kuna di Tulangbawang banyak yang berada dekat dengan lebak lebung. Pemilihan lokasi yang demikian ini menunjukkan bahwa pada masa itu lebak lebung juga sudah dikelola.
Daftar Pustaka
Berkes, Fikret. 1985. The Common Property Resource Problem and the Creation of Limited Property Rights. Dalam Human Ecology, Vol. 13, No. 2, hlm. 187 – 208.
Carneiro, Robert L. 1970. A Theory of the Origin of the State. Dalam Science 169, hlm. 733 – 738.
Childe, V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus. Durham: Carolina Academic Press.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djausal, Anshori. 1996. Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah dalam Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Hardin, Garrett. 1968. The Tragedy of the Commons. Dalam Science 162, hlm. 1243 – 1248.
Iskandar, Johan. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Saptono, Nanang. 2004. Struktur “Kota” Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi, hlm. 42 – 54. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Saptono, Nanang. 2006. Konsepsi dan Struktur Pemukiman di Situs Batu Putih, Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Widyasancaya, hlm. 91 – 102. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Saptono, Nanang. 2008. Keletakan Antara Tiyuh dan Umbul Pada Permukiman Masyarakat Lampung. Dalam Kresno Yulianto (ed.), Dinamika Permukiman Dalam Budaya Indonesia, hlm. 45 – 64. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Tjandrasasmita, Uka. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Welcome, R.L. 1985. River Fisheries. FAO Technical paper 262. FAO. Rome.
Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian dari buku berjudul Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi. Jatinangor: Alqa Print, 2010. Halaman 5 – 16.
Sumber : Arkeologi Lammpung, Ngebrengoh BLOG
NANANG SAPTONO
Pendahuluan
Kehidupan sehari-hari manusia seperti halnya makhluk hidup lainnya dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya. Berbeda dengan makhluk hidup lainnya, hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan sekitarnya dipengaruhi oleh sistem budaya yang dimilikinya. Dengan demikian faktor budaya ini sangat penting bagi manusia untuk melakukan proses adaptasi dengan lingkungannya (Iskandar, 2001: 7). Antara kebudayaan dan lingkungan alam terdapat hubungan timbal balik. Kontinyuitas perkembangan kebudayaan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam dan begitu pula sebaliknya. Menurut Koentjaraningrat culture (kebudayaan) berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan arti kata tersebut, kebudayaan dapat dimaknai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”
Dalam perkembangannya, kebudayaan tidak hanya diartikan seputar bercocok tanam. Kebudayaan merupakan berbagai hal yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Pada masyarakat yang kehidupannya sangat kompleks, wujud budayanya akan meliputi juga sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan. Wujud kebudayaan seperti itu disebut peradaban atau civilization (Koentjaraningrat, 1990: 182). Tingginya tingkat peradaban manusia tersebut dipengaruhi oleh faktor interaksi dan strategi adaptasi dengan lingkungan.
Menurut Gordon Childe (1979: 12-14) evolusi peradaban manusia dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu savagery, barbarism, dan civilization. Tahap savagery dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini belum dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan tertutup. Sedangkan pada tahap civilization adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur.
Selain Childe, Flannery juga membagi evolusi peradaban menjadi tiga tahap. Dasar pembagiannya pada adanya pemimpin dan penguasa. Menurut Flannery (1979: 28-30) tahap evolusi peradaban terdiri dari egalitarian society, chiefdoms, dan stratified society. Masyarakat egaliter menganggap bahwa semua derajad manusia dalam masyarakat adalah sama, tidak ada tingkatan maupun klas. Masyarakat chiefdoms sudah ada pembagian klas antara pemimpin dan yang dipimpin. Sedangkan stratified society merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai klas dan tingkatan. Masyarakat yang demikian inilah yang sering dikatakan berperadaban tinggi. Masyarakat berperadaban tinggi pada masa lampau dapat dikenali berdasarkan tinggalan hasil budayanya.
Berdasarkan beberapa kajian, masyarakat Indonesia sudah sejak lama berada pada tingkat masyarakat berperadaban tinggi. Pada masa prasejarah tingginya peradaban dikenal melalui tinggalan monumen yang berlatarkan pada budaya megalitik. Masyarakat pada waktu itu dikatakan berperadaban tinggi karena sudah mengenal sistem organisasi sosial. Bangunan seperti menhir, dolmen, dan punden berundak menggambarkan adanya organisasi sosial tersebut. Selain itu dikenal pula adanya dan spesialisasi kerja. Pengetahuan tentang rancang bangun dan pengaturan kerjasama dalam kelompok masyarakat inilah yang merupakan salah satu indikator peradaban tinggi.
Selain tinggalan bangunan megalitik, peradaban tinggi juga diperlihatkan pada sistem subsistensi masyarakat yang berbasis pada budidaya tanaman pangan yang tergantung pada sistem pengairan. Robert L. Carneiro berpendapat peradaban tinggi terbangun karena adanya keterkaitan dengan kemajuan teknologi pertanian. Dengan adanya teknologi terjadi surplus bahan pangan. Karena terjadi surplus tercipta waktu luang untuk mengembangkan usaha-usaha lain, sehingga terjadi spesialisasi kerja (Carneiro, 1970: 733-738). Teori ini dalam kenyataannya ditunjukkan oleh situs-situs pusat peradaban di Timur Tengah, Cina, Asia Selatan, dan Afrika Utara yang pada umumnya berada pada lembah-lembah subur.
Berdasarkan dua kasus di atas, pada intinya peradaban tinggi ditandai dengan adanya suatu sistem organisasi sosial. Secara kebetulan, dua kasus tersebut berkenaan dengan masyarakat agraris. Sementara itu subsistensi masyarakat tidak hanya berada pada sektor tersebut. Masyarakat yang permukimannya berada di tepi danau atau sungai-sungai besar cenderung menggantungkan hidupnya pada sektor nelayan atau petani ikan. Masyarakat demikian ini misalnya terlihat pada masyarakat di Tulangbawang. Beberapa situs permukiman kuna yang terdapat di Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak berupa bangunan megalitik. Sementara itu, sumber sejarah menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu sudah menjalin hubungan dagang dengan dunia luar.
Tomé Pires yang pernah singgah di Tulangbawang dalam perjalanannya dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberitakan bahwa Tulangbawang merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antar pulau (Cortesão, 1967: 158 – 159). Salah satu barang komoditas dari Tulangbawang adalah ikan. Sebagai masyarakat yang tinggal di tepian sungai besar, sangat wajar bila salah satu barang komoditas unggulannya adalah ikan. Masyarakat Tulangbawang dalam menghasilkan ikan selain dari sungai juga dari lebak lebung yang ada di sekitar permukiman. Hingga sekarang komoditas ini masih dijadikan unggulan masyarakat. Posisi ikan dalam sektor perdagangan bagi masyarakat Tulangbawang tentunya memerlukan pengelolaan dengan melibatkan sistem organisasi. Dalam kaitannya dengan hal inilah peradaban tinggi diperlihatkan. Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana kaitan antara ikan dengan peradaban tinggi di Tulangbawang.
Situs-situs Permukiman di Tulangbawang
Beberapa situs permukiman kuna yang ditemukan di Tulangbawang berada di tepian sungai. Situs-situs tersebut antara lain adalah Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang. Sebagai masyarakat penghasil ikan, permukiman tersebut selain berada di tepian sungai juga dekat dengan lebak lebung. Gambaran sekilas tentang situs-situs tersebut sebagai berikut.
Situs Benteng Sabut (Saptono, 2008: 47 – 49). Secara geografis situs ini berada pada kelokan Way (Sungai) Kiri pada posisi 4°30’20” LS dan 105°00’21” BT, secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Kondisi situs berupa lahan yang dikelilingi parit dan benteng tanah. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng.
Tradisi lisan masyarakat menyebutkan bahwa pemukiman di Benteng Sabut dibuka oleh Minak Kemala Kota. Minak Kemala Kota mempunyai tiga keturunan yaitu Tuan Riou Nyembang Luih, Namo, dan Bulan. Namo menikah dengan Moyang Runjung. Pernikahan antara Moyang Runjung dengan Putri Minak Kemala Kota bernama Namo selanjutnya menurunkan tokoh-tokoh Marga Tegamoan yaitu Tuan Rio Mangkubumi yang berkedudukan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah yang berkedudukan di Meriksa (Menggala), dan Tuan Rio Sanaah yang berkedudukan di Panaragan. Hilman Hadikusuma menerangkan bahwa Runjung adalah anak Minak Sebala Kuwang. Runjung menikah dengan Senama, yaitu anak Putri Bulan saudara Ratu Dipuncak. Dari perkawinan ini menurunkan Tuan Riyo Mangkubumi, Tuan Riyo Tengah, dan Tuan Riyo Sanak (Hadikusuma, 1989: 47).
Situs Keramat Gemol (Saptono, 2008: 51 – 53). Secara geografis situs ini berada pada posisi 4°29’14” LS dan 105°02’15” BT, secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Panaragan. Situs berada pada kelokan sungai di sebelah barat Way Kiri. Di sebelah timur situs merupakan pertemuan antara Way Kiri dengan Way Gemol. Way Gemol yang merupakan anak sungai Way Kiri mengalir di sebelah tenggara situs.
Lahan situs dikelilingi parit dan benteng tanah dan parit, kecuali di sisi barat laut yaitu berbatasan langsung dengan Way Kiri. Pada sekeliling areal situs berjarak antara 200 – 500 m terdapat semacam lembah. Di sebelah selatan benteng, lembah bermula dari Way Kiri (sebelah tenggara) memutar ke arah selatan hingga barat daya dan berakhir di sebelah barat benteng. Lembah ini disebut kandungan Badak. Di sebelah utara benteng, lembah juga bermula dari Way Kiri memutar ke arah barat laut hingga ke arah barat. Lembah ini disebut kandungan Minak Muli.
Menurut tradisi lisan masyarakat, tokoh yang membuka perkampungan dan juga sebagai pemimpin di Keramat Gemol adalah Minak Indah. Tokoh ini merupakan keturunan dari salah satu tokoh marga Tegamoan di Tulangbawang. Pada marga tersebut terdapat tiga orang tokoh yaitu Tuan Rio Mangkubumi, Tuan Rio Tengah, dan Tuan Rio Sanaah.
Tuan Rio Mangkubumi bermukim di Pagardewa, mempunyai anak di antaranya Minak Kemalabumi dan Minak Sang Putri. Tuan Rio Mangkubumi dimakamkan di Pagardewa. Tuan Rio Tengah bermukim di Menggala dan dimakamkan di Meriksa (Menggala). Tuan Rio Sanaah bermukim di Panaragan dan dimakamkan di Gunung Jejaiwai (Panaragan).
Tuan Rio Sanaah yang tinggal di Panaragan mempunyai keturunan Minak Indah, Minak Ma’dum, Minak Raja Ratu, dan Minak Sang Putri (Menteri). Di samping itu juga mengangkat Minak Rio Bageduh, Minak Raja Malaka, dan Prajurit Puting Gelang. Ketiga tokoh ini berasal dari Minangkabau.
Situs Benteng Minak Temenggung. Situs ini berada di sebelah barat Way Tulangbawang, sebelah timur Kampung Penumangan berjarak lurus sekitar 3 km atau pada posisi 4°27’02” LS dan 105°07’52” BT. Berdasarkan gejala yang terlihat, benteng tersebut membujur dengan orientasi utara – selatan dengan panjang 600 hingga 800 m. Ujung utara benteng bermula pada Bawang Potat dan pada ujung selatan pada Bawang Bakon.
Keberadaan situs Benteng Minak Temenggung berhubungan dengan etno-sejarah mengenai tokoh Minak Temenggung. Sebagian masyarakat menyatakan bahwa Minak Temenggung adalah tokoh yang ada hubungannya dengan masyarakat Pagardewa. Sebagai tokoh besar Minak Temenggung memegang jabatan penting dalam membangun masyarakat Pagardewa di bawah naungan Kesultanan Banten.
Situs Batu Putih (Saptono, 2006: 93 – 95). Secara administratif situs ini termasuk dalam wilayah Kampung Gunung Terang, Kecamatan Gunung Terang. Keramat Batu Putih berhubungan dengan riwayat lima moyang yaitu Patih Trio Terbumi yang dimakamkan di Negeri Besar, Minak Trio Bumi dimakamkan di Gunung Terang, Minak Serio Bumi dimakamkan di Bakung, Minak Buay Sugih dimakamkan di Batu Putih, dan Minak Kemala yang makamnya ada di Negeri Batin.
Kawasan Batu Putih berada di sebelah selatan Way Kanan. Di kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang bermuara di Way Kanan. Sugai-sungai tersebut adalah Way Kemerting yang mengalir di bagian paling hulu (barat). Ke arah hilir terdapat aliran Way Mejelapai. Ke arah hilir lagi terdapat beberapa cekungan-cekungan yang disebut kandungan. Situs Batu Putih berada di antara dua kandungan.
Situs Gunung Terang (Saptono, 2004: 42 – 54). Secara administratif situs ini terdiri dari Kampung Gunung Terang dan Gunung Agung, namun secara fisik kedua kampung tersebut menyatu. Pemukiman secara umum berada di tepian Way Kanan sebelah timur dan utara aliran sungai. Pola pemukiman memanjang utara – selatan. Kampung Gunung Agung berada di bagian selatan sedangkan di bagian utara merupakan Kampung Gunung Terang. Di daerah ini aliran Way Kanan berkelok-kelok. Bermula dari arah barat daya menuju arah barat laut. Di dekat pemukiman sungai berbelok ke arah selatan kemudian ke arah timur. Pada kelokan sungai dari arah utara ke arah timur masyarakat menyebutnya Lubuk Kali Mangkuk. Aliran Way Kanan dari Lubuk Kali Mangkuk ke arah timur terdapat pertemuan sungai antara Way Ngisen dengan Way Kanan. Way Ngisen bermula di Bawang Ngisen yang berada di sebelah barat laut kampung. Di bagian hilir sungai ini disebut Tulung Mayat. Di dekat muara Way Ngisen terdapat bukit kecil yang disebut Gunung Sri Gandow.
Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga Way Ngisen. Parit ini dijadikan batas antara Kampung Gunung Agung dengan Gunung Terang. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang terdapat di sebelah barat laut Gunung Sri Gandow, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung.
Mengenai tokoh cikal bakal masyarakat Gunung Terang adalah Minak Sekendar Alam. Keturunan Minak Sekendar Alam di antaranya tiga laki-laki yaitu Tuan Riou Terbumi, Minak Patih Seriou Bumi, dan Minak Riou Bumi. Tuan Riou Terbumi dimakamkan di sebelah hilir Moyang Purba, Negeri Besar, menurunkan Suku Tepuk Gabou. Minak Patih Seriou Bumi dimakamkan di Gunung Terang keturunannya disebut Suku Pinggir Way. Minak Riou Bumi dimakamkan di Kurindang, Meriksa menurunkan Suku Tepuk Gedung.
Ikan dan Sistem Organisasi
Masyarakat di Tulangbawang banyak yang menggantungkan pada sumberdaya alam hayati berupa ikan. Di Tulangbawang keberadaan ikan itu sendiri berhubungan erat dengan lebak lebung sebagai habitat ikan. Lebak lebung dapat difahami sebagai the commons, yaitu sesuatu yang dianggap milik semua orang atau bukan milik siapa-siapa sehingga setiap orang bebas mengakses untuk memanfaatkan. Kajian Garrett Hardin (1968: 1244), menyatakan bahwa apabila masyarakat salah dalam mengelola the commons akibatnya akan terjadi suatu bencana besar. Tragedy of the commons disebabkan karena jumlah penduduk terus meningkat sementara sumberdaya alam terbatas. Kondisi demikian ini pada gilirannya akan terjadi situasi di mana sumberdaya alam tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan manusia. Sementara itu, manusia terjebak pada konsep untuk mengakses sumberdaya alam secara tanpa batas.
Pada beberapa masyarakat ternyata secara kolektif mampu mengelola the commons sehingga dapat dimanfaatkan secara turun temurun. Masyarakat nelayan di Great Lake, yang meliputi Danau Erie dan St. Clair, Kanada mengelola penangkapan ikan dengan cara membagi areal berdasarkan alat tangkap. Selain itu pada masa-masa tertentu dilakukan pengosongan jaring. Pembatasan jumlah nelayan yang beroperasi juga dilakukan. Pengelolaan seperti itu berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi (Berkes, 1985).
Sedikit berbeda dengan yang di Great Lake tersebut, sumberdaya alam yang tersedia di Tulangbawang berupa lebak lebung. Lebak merupakan kawasan rawa yang genangan airnya dipengaruhi air hujan atau luapan sungai. Lebak biasanya berada di antara dua sungai besar di dataran rendah. Berbeda dengan rawa pasang surut yang genangan airnya dipengaruhi pasang surut air laut harian, lebak tergenang selama musim hujan dan berangsur-angsur kering pada musim kemarau.
Ada tiga jenis lebak berdasarkan tinggi dan lama genangan. Lebak pematang atau dangkal, bila genangannya kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan; lebak tengahan, dengan genangan air antara 50 - 100 cm selama 3 - 6 bulan; dan lebak dalam bila genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kawasan lebak dalam yang menghasilkan produksi ikan secara alami dikenal dengan istilah lebak lebung.
Beberapa situs permukiman di Tulangbawang pada umumnya berada dekat dengan pedataran limpah banjir (floodplain). Situs Benteng Sabut, Keramat Gemol, Benteng Minak Tumenggung, Batu Putih, dan Gunung Terang lokasinya dikelilingi pedataran limpah banjir berupa bawang (rawa), kandungan (lahan yang lebih rendah dari daerah sekitar), dan lebak lebung. Lahan berupa pedataran limpah banjir dapat difungsikan sebagai lebak lebung. Perairan tipe sungai dan rawa banjiran mempunyai ciri khas, yaitu di mana fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan air sungai meluap hingga menggenangi sebagian besar arealnya kecuali bagian tanah yang tinggi, sebaliknya pada musim kemarau air sungai menjadi surut dan sebagian besar arealnya kering kecuali bagian yang dalam meliputi sungai utama dan lebung (Welcome, 1985).
Rawa-rawa di DAS Tulangbawang menyokong kehidupan sejumlah penting ikan, baik dalam hal keanekaragaman jenis maupun jumlah hasil panennya yang telah memberikan sumbangan yang berarti bagi penghasilan masyarakat setempat. Setidaknya terdapat 88 jenis ikan yang terdapat di sekitar rawa-rawa di DAS Tulang Bawang tersebut. Beberapa jenis ikan rawa yang ekonomis penting antara lain: arwana, belida, jelabat, tawes, seluang, lais, gabus, baung, lele, gurami, dan lain-lain. Beberapa jenis ikan-ikan ini secara periodik beruaya dari rawa ke sungai atau sebaliknya. Pada waktu air sungai meluap menggenangi rawa di sekitarnya, beberapa jenis ikan melakukan migrasi ke rawa tersebut dan memijah di lokasi tersebut. Lokasi ini juga merupakan lokasi bagi pembesaran anakan ikan (nursery ground).
Pemanfaatan lebung sebagai sumber ikan sudah berlangsung sejak lama. Aktifitas penangkapan ikan dilakukan pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau. Pada musim penghujan di mana air sungai besar melimpah, lebung akan terisi air dan ikan akan memasukinya. Ketika musim kemarau, air kembali ke sungai besar. Pada saat itu di pintu masuk lebung dipasang jebakan dan perburuan ikan di lebung dilakukan. Sampai sekarang pola penangkapan ikan dengan sistem pemanfaatan lebung masih berlanjut dikelola secara tradisional oleh marga (Djausal, 1996). Meskipun pelaksana penangkapan oleh banyak orang namun operasional pengelolaannya berada di tangan kepala marga. Hasil dari perburuan ini kemudian diperuntukkan bagi masyarakat anggota marga. Dalam hal ini terjadi model pertukaran redistribusi. Pada saat sekarang di mana sistem pemerintahan adat marga sudah tidak berlaku secara efektif, pengelolaan lebak lebung berada di tangan pemerintah.
Gambaran pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung juga terjadi pada masa ketika situs-situs permukiman dihuni. Kalau pada masa sekarang terdapat pemerintahan adat marga, dahulu dikelola oleh kepala kampung. Tomé Pires yang pernah mengunjungi Lampung menjumpai kelompok masyarakat yang masih kafir terutama yang tinggal di daerah hulu (Cortesão 1967: 158). Masyarakat pra-Islam yang oleh Tomé Pires disebut dengan istilah cafre juga dijumpai di pedalaman Banda. Mereka tidak mempunyai kerajaan tetapi desa-desanya diperintah oleh cabila dan orang tua-tua. Sistem pemerintahan seperti ini menurut Antonio Galvao juga terdapat di Maluku. Mereka bermukim dalam lokasi tertentu dengan batas-batas wilayah yang jelas. Keperluan hidup sehari-hari dipenuhi secara bersama-sama. Masyarakat ini juga dipimpin oleh orang tua yang dianggap lebih baik dari pada yang lainnya (Tjandrasasmita, 1984: 174).
Sistem pemerintahan seperti ini merupakan budaya bangsa Indonesia sejak zaman sebelum mendapat pengaruh India (Hindu-Buddha). Masyarakat pra-Hindu sudah memiliki tingkat hidup yang sama dengan apa yang terdapat dalam struktur sosial dan kehidupan sosial-ekonomi bangsa Indonesia di berbagai daerah pada masa sekarang. Pertanian dengan irigasi dan sistem administrasi memunculkan negara-negara patrimonial-birokratis dalam berbagai ukuran. Pada saat yang sama terdapat pula bentuk-bentuk organisasi desa-desa yang sangat berkembang dengan keluarga-keluarga sebagai intinya. Orang tua-tua desa sebagai pengawas terhadap wilayah kadang-kadang juga sebagai kepala-kepala yang patrimonial (Tjandrasasmita, 1984: 175).
Pola pemerintahan patrimornial terlihat pula pada sistem pemerintahan adat marga. Pemerintahan adat marga di Tulangbawang mengenal pola kepemimpinan secara kolektif terdiri dari para anggota keluarga tertua dari masing-masing keturunan yang disebut punyimbang. Punyimbang tertua merupakan pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk bergabung yang bukan bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menuakan, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam.
Tradisi lisan masyarakat Tulangbawang yang menghubungkan bekas perkampungan tua dengan tokoh moyang tertentu memberikan gambaran bahwa mereka sudah mengenal sistem organisasi. Gambaran sistem organisasi pada berbagai masyarakat dapat terlihat dari tinggalan budaya fisik. Bangunan seperti punden berundak dan menhir dari masa prasejarah walaupun lebih bersifat religi namun memberi pula gambaran kehidupan sosial masyarakat. Pertanian dengan sistem irigasi memberikan gambaran kehidupan sosial masyarakat agraris. Bagi masyarakat nelayan darat atau petani ikan sebagaimana di Tulangbawang, lebak lebung yang berada di sekitar situs pemukiman dapat memberi gambaran dinamika masyarakat pada waktu itu dalam mengelola sumber perikanan.
Simpulan
Salah satu ciri masyarakat berperadaban tinggi adalah merupakan masyarakat yang terstruktur. Pada masyarakat itu sudah dikenal adanya pemimpin dan yang dipimpin. Bukti arkeologis yang menunjukkan hal itu misalnya bangunan megalitik. Aktifitas ritual masyarakat memberi gambaran sekitar penghormatan kepada tokoh tertinggi.
Beberapa situs permukiman di Tulangbawang tidak ada yang meninggalkan jejak berupa bangunan megalitik. Adanya sistem organisasi yang terlihat hingga sekarang adalah pengelolaan sumberdaya alam berupa lebak lebung oleh pemerintah adat marga. Sistem demikian ini berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi. Situs-situs permukiman kuna di Tulangbawang banyak yang berada dekat dengan lebak lebung. Pemilihan lokasi yang demikian ini menunjukkan bahwa pada masa itu lebak lebung juga sudah dikelola.
Daftar Pustaka
Berkes, Fikret. 1985. The Common Property Resource Problem and the Creation of Limited Property Rights. Dalam Human Ecology, Vol. 13, No. 2, hlm. 187 – 208.
Carneiro, Robert L. 1970. A Theory of the Origin of the State. Dalam Science 169, hlm. 733 – 738.
Childe, V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (ed.) Ancient Cities of the Indus. Durham: Carolina Academic Press.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djausal, Anshori. 1996. Pendekatan Lingkungan Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah dalam Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29 – 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Hardin, Garrett. 1968. The Tragedy of the Commons. Dalam Science 162, hlm. 1243 – 1248.
Iskandar, Johan. 2001. Manusia Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Saptono, Nanang. 2004. Struktur “Kota” Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi, hlm. 42 – 54. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Saptono, Nanang. 2006. Konsepsi dan Struktur Pemukiman di Situs Batu Putih, Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Widyasancaya, hlm. 91 – 102. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Saptono, Nanang. 2008. Keletakan Antara Tiyuh dan Umbul Pada Permukiman Masyarakat Lampung. Dalam Kresno Yulianto (ed.), Dinamika Permukiman Dalam Budaya Indonesia, hlm. 45 – 64. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Tjandrasasmita, Uka. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Welcome, R.L. 1985. River Fisheries. FAO Technical paper 262. FAO. Rome.
Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian dari buku berjudul Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi. Jatinangor: Alqa Print, 2010. Halaman 5 – 16.
Sumber : Arkeologi Lammpung, Ngebrengoh BLOG
Subscribe to:
Posts (Atom)