Selasa, 24 Agustus 2010
FATWA 100 ULAMA DI PESANTREN KH. GHOLIB
SEPERTI halnya masjid dan pesantren lain di Indonesia yang tidak hanya menjadi pusat ibadah dan pendidikan, tetapi juga menjadi basis pergerakan melawan Belanda, pesantren K.H. Gholib Pringsewu pun tak bisa lepas dari pergerakan seperti ini.
Ketika Belanda kembali punya keinginan menancapkan kukunya di Indonesia (agresi kedua tahun 1949), 100 ulama Lampung saat itu berkumpul di Pesantren Gholib membahas hukum perang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Keseratus ulama itu, antara lain K.H. Hanafiah dari Sukadana, K.H. Nawawi Umar dari Telukbetung, K.H. Abdul Rozak Rais dari Penengahan, Kedondong, K.H. Umar Murod dari Pagardewa (kini Kabupaten Tulangbawang Barat), K.H. M. Nuh, K.H. Aman dari Tanjungkarang, Kiai M. Yasin dari Tanjungkarang (ketua Masyumi Lampung saat itu), K.H. A. Rauf Ali dari Telukbetung, K.H. A. Razak Arsad dari Lampung Utara.
Hasil musyawarah 100 ulama itu menetapkan hukum perang melawan Belanda mempertahankan kemerdekaan dan ketinggian Islam adalah fardu ain.
Keputusan ini disampaikan ke pemerintah ketika itu dan menjadi dasar umat Islam melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah keputusan ini, Hanafiah dan pasukan laskar Hizbulllah dan Sabilillah Pringsewu menuju Baturaja, Sumatera Selatan, untuk membantu Tentara Republik Indonesia (TRI) melawan Belanda, setelah Palembang diduduki.
Lalu atas keputusan pemerintah darurat Lampung dan TRI yang sebelumnya bermusyawarah dengan Gholib dan ketua-ketua partai Islam ketika itu, menetapkan Gholib memimpin TRI dan rakyat Pringsewu (Hizbullah dan Sabililah) menyerang Belanda.
Begitu pentingnya peran Gholib mengusir Belanda, membuatnya dirinya selalu menjadi incaran Belanda untuk ditangkap kemudian dibunuh. Siasat perang diterapkan Gholib adalah perang gerilya di bawah komando TRI Kapten Alamsyah Ratu Prawiranegara (Menteri Agama era Soeharto).
Dalam biografi Gholib yang ditulis salah satu santrinya, H. Akbar Moesa Achmad, tokoh penyebar Islam dan pejuang kemerdekaan ini meninggal dunia pada 6 November 1949 atau 16 Syawal 1368 Hijriah.
Gholib ditembak dari belakang oleh tentara Belanda, setelah 10 meter berjalan menjauhi sebuah gereja di Pringsewu, tempat dirinya ditahan militer Belanda. Gholib jatuh tersungkur dan meninggal dunia ketika itu juga.
Kegemasan Belanda pada Gholib bukan karena ia seorang ulama besar dan memiliki pesantren dengan santri sangat banyak, melainkan andilnya yang sangat penting dalam mempertahankan kemerdekaan. Pesantren miliknya menjadi basis pertahanan TRI dan Pemerintah Darurat RI di Lampung. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)
Sumber : Lampost
No comments:
Post a Comment