Tidak kurang dari seorang Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. meminta dikolaborasikan alat musik gamolan atau cetik dan angklung untuk diperkenalkan kepada generasi muda. Menurut Sjachroedin, gamolan dari Lampung dan angklung dari Jawa merupakan alat musik tradisional dari bambu dan memiliki suara yang unik jika dikolaborasikan. Untuk itu, kolaborasi dua alat musik ini harus diperkenalkan secara terus-menerus kepada generasi muda agar mereka tertarik dan ikut melestarikannya. Gamol cetik itu memiliki nada nada tertentu untuk mengeluarkan suara suara yang khas pula yang tentu saja adalah dalam rangka menggambarkan suasana tertentu dan sangat Lampung tentunya. Suasana kelampungan dalam kolaborasi ini tentu saja adalah sesuatu yang harus digali terus menerus. Harapan Gubernur yang dilontarkan pada tahun 2011 yang lalu itu.
Harapan itu sejatinya cukup mewakili harapan kita semua,
tidaklah keliru bila alat musik angklung dijadikan alat dukung bagi pengembangan irama cetik. Para pihak diharapkan untuk dapat mengidentifikasi irama yang biasa dilantunkan oleh alat cetik ini. Solmisasi kandungan alat cetik harus teridentifikasi dengan selengkap lengkapnya, mulai dari hystoris hingga makna filosofis dari bunyi bunyian yang dikeluarkan alat tabuh yang telah berusia sangat tua ini.harus benar benar dapat dikenali masyarakat khususnya generasi muda. Tabuh sambaiagung, jarang, sekelik dan labung angin yang selama ini dikenal sebagai tabuh cetik harus akrab di telinga masyarakat.. Uraian historis serta padangan filosofis yang sedalam dalamnya sangat dibutuhkan sehingga identitas alat musik gamol cetik ini akan mampu untuk dipertahankan identifikasinya. Dan angklung dalam hal ini mutlak harus menjadi penikut ceti dalam kolaborasi ini, bukan sebaliknya cetim larut dalam aneka suara angklung, yang tentunya lebih banyak kandungan solmisasinya. Bukanlah untuk saling adu dominan, tetapi mempertahankan suasana ke-Lampungan dalam musik kolaborasi itu. Kita berharap para pihak yang berkompeten utamanya adalah pemerintah yang dalam hal ini Dinas Pendidikan serta Taman Budaya memfasilitasi terwujudnya himbauan Gubernur pada saat itu. Tidak keliru bila seandainya terlebih dahulu diadakan lomba cipta tabuh cetik yang merupakan gubahan masing masing. peserta. Lomba ini meyakinkan kita akan bertambahnya kekayaan dan wawasan tabuh cetik, sehingga tabuh cetik bukan lagi hanya smbai agung, jarang, sekelik, labung angin. Akan bermunculan nama lain dan nada lain yang dioptimalkan dari solmisasi yang dimiliki cetik. Kolaborasi antara cetik angklung bukanlah didasarkan pada keterbatasan cetik atau keterbatasan angklung, tetapi kolaborasi ini lebih didasarkan pada kemampuan masing masing untuk berkolaborasi yang bukan hanya sekedar untuk berdampingan, tetapi memiliki makna filosofis yang mendalam. Sebuah karya seni adalah sekaligus adalah karya filsafat, seni merupakan salah satu cabang filsafat. Seni yang tidak memiliki bobot filsafat biasanya akan cepat punah, tentu saja filosofi seni yang terkandung dalam sebuah karya harus dikomunikasikan atau setidaknya terpublikasikan. Seni dan filosofi yang tinggi akan memiliki kemampuan berkolaborasi. Kolaborasi cetik - angklung, mengapa tidak !?
tidaklah keliru bila alat musik angklung dijadikan alat dukung bagi pengembangan irama cetik. Para pihak diharapkan untuk dapat mengidentifikasi irama yang biasa dilantunkan oleh alat cetik ini. Solmisasi kandungan alat cetik harus teridentifikasi dengan selengkap lengkapnya, mulai dari hystoris hingga makna filosofis dari bunyi bunyian yang dikeluarkan alat tabuh yang telah berusia sangat tua ini.harus benar benar dapat dikenali masyarakat khususnya generasi muda. Tabuh sambaiagung, jarang, sekelik dan labung angin yang selama ini dikenal sebagai tabuh cetik harus akrab di telinga masyarakat.. Uraian historis serta padangan filosofis yang sedalam dalamnya sangat dibutuhkan sehingga identitas alat musik gamol cetik ini akan mampu untuk dipertahankan identifikasinya. Dan angklung dalam hal ini mutlak harus menjadi penikut ceti dalam kolaborasi ini, bukan sebaliknya cetim larut dalam aneka suara angklung, yang tentunya lebih banyak kandungan solmisasinya. Bukanlah untuk saling adu dominan, tetapi mempertahankan suasana ke-Lampungan dalam musik kolaborasi itu. Kita berharap para pihak yang berkompeten utamanya adalah pemerintah yang dalam hal ini Dinas Pendidikan serta Taman Budaya memfasilitasi terwujudnya himbauan Gubernur pada saat itu. Tidak keliru bila seandainya terlebih dahulu diadakan lomba cipta tabuh cetik yang merupakan gubahan masing masing. peserta. Lomba ini meyakinkan kita akan bertambahnya kekayaan dan wawasan tabuh cetik, sehingga tabuh cetik bukan lagi hanya smbai agung, jarang, sekelik, labung angin. Akan bermunculan nama lain dan nada lain yang dioptimalkan dari solmisasi yang dimiliki cetik. Kolaborasi antara cetik angklung bukanlah didasarkan pada keterbatasan cetik atau keterbatasan angklung, tetapi kolaborasi ini lebih didasarkan pada kemampuan masing masing untuk berkolaborasi yang bukan hanya sekedar untuk berdampingan, tetapi memiliki makna filosofis yang mendalam. Sebuah karya seni adalah sekaligus adalah karya filsafat, seni merupakan salah satu cabang filsafat. Seni yang tidak memiliki bobot filsafat biasanya akan cepat punah, tentu saja filosofi seni yang terkandung dalam sebuah karya harus dikomunikasikan atau setidaknya terpublikasikan. Seni dan filosofi yang tinggi akan memiliki kemampuan berkolaborasi. Kolaborasi cetik - angklung, mengapa tidak !?
No comments:
Post a Comment