Simpangsiur dalam memahami lembaga adat dan budaya Lampung membuat komunitas Lampung sulit dipersatukan, bersatunya Lampung dalam adat nyaris tak mungkin, tetapi seharusnya kita bersatu dalam budaya, tetapi itupun membutuhkan bahasa yang universal. Dahulu dalam dialog kebudayaan nampak sekali para tokoh adat lebih dalam dialog adat ketimbang dialog kebudayaan, hasilnya justeru perpecahan pendapat. Pada saat itu tema pembicaraan adalah Piil Pesenggiri, tetapi peserta lebih melihatnya dalam prospektif adat ketimbang budaya. Itulah pangkal persoalannya. Bedakan dahulu antara adat Lampung dengan budaya Lampung, dengan bahasa yang universal Insya Allah kita dapat bersatu dalam "Budaya Lampung"
Dahulu para Ulama Nusantara menyiarkan agama dengan kontak kontak perdagangan, para Da'i dan Ulama Nusantara tampil sebagai dengan bahasa perniagaan, mereka membawa barang yang bagus bagus dengan harga yang terjangkau. Mereka menjadi pelindung dikala ada gangguan dari perampok, dahulu para Da'i dan Ulama Nusantara tampil sebagai tabib manakala ada warga yang sakit. Memang pada saat itu seorang da'i dan Ulama Nusantara terdiri dari saudagar saudagar kaya, memiliki ulah kanuragan yang pilih tanding, memahami ilmu ketabiban serta memiliki ilmu yang mumpuni. Masyarakatlah yang mendatangi para Da'i dan Ulama Nusantara itu, bukan dipanggil. Mereka bertanya ini dan itu, serta belajar dalam berbagai hal dari tokoh yang mumpuni serta berakhlak mulia itu. Perkawinanpun berlangsung secara sukarela. Itulah sebabnya Islam di Indonesia akhirnya mampu mencapai 99%.
Kita semua memperihatinkan pertemuan silaturrahmi antar lembaga adat yang dilaksanakan oleh paksi Pak Skala Brak yang sejatinya sangat mulia itu menyisakan riak ketidak sepahaman antar satu dengan yang lain. Kiranya kita mampu mengevaluasi adakah yang salah dalam pertemuan itu. Evaluasi itu akan menjadi sangat strategis dalam mencapai kesepahaman antara yang satu dengan yang lain.
Bagi saya tugas utama lembaga adat itu adalah menyejahterakan komunitas pendukungnya, sehingga keberadaan lembaga adat, yang apapun namanya, harus dirasakan manfaatnya oleh para pendukung lembaga itu. Bukan berarti para pimpinan lembaga adat harus membagibagikan sebako seperti apa yang dilakukan oleh para petarung dalam Pilkada atau legislatif maupun Presiden dan lainnya. Karena bagi bagi dalam versi itu bukanlah membangu, tetapi sejatinya adalah penghancuran.
Komunitas pendukung adat harus dididik menjadi manusia yang memiliki semangat mandiri dalam membangun diri dan kelompoknya. Membangun diri mandiri sehingga tidak memiliki rasa ketergantungan kepada pihak manapun disamping memiliki sejumlah keterampilan serta semangat interpreneur yang tinggi. Membangun kelompk adalah membuat jaringat sehingga satu dengan yang lain mampu saling mengisi kebutuhan dengan cara memiliki data siapa memiliki apa dan siapa membutuhkan apa, dari mana dan seterusnya. Kehadiran lembaga adat dirasakan kemanfaatannya manakala memilki kemampuan untuk memfasilitasi kebutuhan komunitas yang dipimpinnya. Sekali lagi jangan sekali kali bertindak seperti para petarung dalam Pilkada, legislatif dan Presiden karena praktik seperti bukan membangun, tetapi sejatinya adalah penghancuran.
Bahasa universal lainnya adalah dengan bahasa seni, dahulu manakala ada kunjungan dari Kerajaan sahabat, maka tuan rumah selain menampilkan kekayaan seni miliknya juga menampilkan seni milik tamu, sang tamupun akan bangga dengan tampilan itu, dan menyampaikan rasa hormatnya yang sangat mendalam akan apresiasi seni yang ditampilkan. Kunjungan itu akan diakhiri dengan berbagai pujian tentunya. Kita semua dituntut untuk memiliki kemampuan memahami berbagai bahasa universal yang sangat mungkin dapat kita dipahami secara bersama sama, maka gunakanlah bahasa itu dalam mempersatukan sesuatu yang terserak.
No comments:
Post a Comment