Sunday, January 13, 2013

Masih Layakkah Merak-Bakauheni



Cuaca buruk dan banjir kembali melumpuhkan arus lalu lintas Jawa-Sumatera. Seperti langganan, setiap musim penghujan, gelombang tinggi, dan cuaca buruk, ribuan kendaraan di jalan tol Jakarta-Merak dan jalan lintas Sumatera, Bakauheni, menumpuk.

Penumpukan truk pengangkut komoditas dari Jawa ke Sumatera dan sebaliknya, seolah menjadi pemandangan rutin, seperti dalam sepekan terakhir. Celakanya, semua pihak mencari pembenaran dengan kondisi alam.

Manajemen jalan tol Jakarta-Merak, seolah-olah mendapat pembenaran ketika banjir merendam sejumlah ruas jalan tak dapat dilalui. Kita lalu bertanya, kenapa kejadian terulang dan tak ada solusi. Kondisi ini jauh berbeda, ketika banjir merendam jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten.

Tanpa menunggu lama, sejumlah ruas jalan yang langganan banjir langsung ditinggikan dan diberi penangkis banjir, sehingga cerita kendaraan tertahan karena banjir tidak terjadi lagi. Kenapa perlakuan serupa tidak dilakukan di jalan tol Jakarta-Merak? Bukankah jalan itu urat nadi perekonomian dua pulau berpenghungi terbesar di negeri ini?

Dari sisi infrastruktur penyeberangan, kita juga layak bertanya, masih layakkah Pelabuhan Penyeberangan Merak-Bakauheni dipertahankan. Pelabuhan Merak memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya menjadi pelabuhan penyeberangan tersibuk di negeri ini.

Sejak resmi beroperasi 1 Juni 1981, lintasan penyeberangan Merak-Bakauheni nyaris selalu gagal mengantisipasi perkembangan dan penambahan volume kendaraan. Bukan hanya volume bertambah, tapi ukuran kendaraan yang menyeberang juga makin panjang dan besar.

Namun bila kita cermati, armada kapal penyeberang yang ada hanya 16 dari 33 unit yang mampu beroprasi dalam kondisi cuaca buruk. Belum lagi penambahan penyebarang jalan kaki dan sepeda motor.

Fasilitas di Pelabuhan Merak belum sepenuhnya memberikan kenyamanan bagi penumpang pejalan kaki yang jumlahnya mencapai 100.000 orang per bulan. Saat ini, penumpang pejalan kaki yang baru turun dari bus di Terminal Terpadu Merak (TTM) harus berjalan kaki hingga 300-an meter sebelum tiba di loket pembelian tiket.

Memang, pemerintah sudah merancang pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) sebagai solusi peningkatan arus lalu lintas Jawa-Sumatera. Namun di tengah kontroversi yang muncul, pemerintah layak mencari alternatif, jika rencana JSS molor atau bahkan gagal.

Wacana menambah kapal besar dan membuka pelabuhan baru seperti di Ketapang, Lampung Selatan, layak dipertimbangkan dan dikaji sejak dini. Mimpi dan ambisi membangun JSS, memang harus terus dipelihara, tapi terus berdebat apakah JSS tepat atau tidak, bukan solusi yang diharapkan oleh khalayak.

Sebagai rencana jangka panjang, JSS memang harus tetap digelorakan. Namun penanganan jangka pendek untuk memperlancar arus lalu lintas Sumatera-Jawa, tidak lantas dilupakan. Misalnya, dengan membangun dermaga baru, menambah kapal, dan memperbaiki jalan tol agar bebas banjir.

No comments:

Post a Comment