Wednesday, December 21, 2011
Kronologi Kerusuhan Mesuji di Sumsel Versi Polri
JAKARTA (Lampost.com): Mabes Polri memaparkan kerusuhan di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, di mana terdapat pembantaian. Dalam kasus antara warga Sungai Sodong dan PT Sumber Wangi Alam, 7 orang tewas.
"Korban di Desa Sodong ada 7 orang yaitu, 2 karyawan PT SWA, 2 masyarakat, 3 orang Pam Swakarsa. Dari 3 orang Pam Swakarsa inilah dua orang di antaranya digorok lehernya. Kejadian 21 April 2010 di Desa Sodong disebabkan warga melarang PT SWA panen," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Saud Usman.
Hal itu dikatakan Saud dalam jumpa pers di Jalan Trunojoyo, Blok M, Jakarta Selatan, Rabu (21-12).
Saud memaparkan kronologi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, OKI, Sumsel:
7 April 2011
Masyarakat menginformasikan ke pihak Polsek setempat terkait adanya penambahan petugas Pam Swakarsa di daerah tersebut, masyarakat merasa tidak aman. Masyarakat diberi penjelasan bahwa hal tersebut tidak akan berdampak apa-apa.
21 April 2011
Pukul 09.00 WIB
10 Karyawan PT SWA dikawal 24 orang Pam Swakarsa panen kelapa sawit
Pukul 11.00 WIB
Datang 2 orang masyarakat bernama Syaktu Macan dan Indra Syafii naik motor mendatangi karyawan dan melarang agar tidak panen. Pihak PT SWA mengatakan itu hak mereka. Saling ngotot, sehingga timbul keributan. Akibatnya 1 orang warga meninggal dunia, 1 warga luka, 1 karyawan meninggal.
Pukul 12.30 WIB
Datang massa Desa Sodong sebanyak 400 orang ke kebun dan menyerang 60 orang karyawan yang berkumpul di pos PT SWA. Massa membakar 87 rumah, 7 mobil tangki, 1 kendaraan roda dua, 4 mobil 2 truk, dan 1 eskavator.
Tidak ada petugas polisi di tempat kejadian karena jarak antara Polres dan lokasi kerusuhan yang jauh. Setelah itu baru petugas datang dan mengamankan lokasi.
Secara keseluruhan dampak dari kejadian ini adalah 2 orang masyarakat meninggal, 2 orang karyawan SWA meninggal, dan 3 orang Pam Swakarsa meninggal (2 orang di antaranya terpotong lehernya). (DTC/L-1)
Tuesday, December 20, 2011
Ada Kejanggalan dalan Tragedi Mesuji
JAKARTA – Ada kejanggalan dalam tragedi Mesuji karena baru sekarang menimbulkan kehebohan, padahal peristiwanya sudah terjadi sejak April 2011.
"Tragedi Mesuji terasa janggal karena tidak menimbulkan heboh setelah terjadinya peristiwa, baru heboh setelah warga dan keluarga korban bersusah payah mencari akses di Jakarta mengadukan nasibnya ke Komisi III DPR," kata anggota komisi III DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Selasa.
Karena itu, Bambang mendesak Menko Polhukam agar mempertanyakan sejumlah kejanggalan proses penanganan tragedi Mesuji kepada pejabat daerah dan pihak terkait di Jakarta.
"Kalau betul terjadi pelanggaran HAM berat di Mesuji pada April dan November 2011, mengapa Jakarta (Pemerintah Pusat) harus dibuat terkejut beberapa bulan kemudian," kata Bambang.
Lebih lanjut Bambang menjelaskan kemungkinan ada tiga hal kenapa peristiwa Mesuji tersebut tidak menimbulkan kehebohan pada saat peristiwa itu terjadi.
Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR. Kedua, adanya upaya menyederhanakan kasus. Dan ketiga, ada upaya menutup-nutupi tragedi ini.
Jika diasumsikan benar telah terjadi tragedi kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat di Mesuji pada pekan kedua November 2011, dan tragedi itu baru menjadi cerita yang menghebohkan di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, maka menurut Bambang, hal itu adalah rentang waktu sangat panjang untuk mengungkap sebuah tragedi kemanusiaan.
"Jelas tidak wajar. Maka, dalam konflik berdarah sengketa tanah 928 hektar di Mesuji, patut diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi tragedi ini," kata Bambang.
Apalagi, tambahnya, warga setempat mengaku selalui dihantui rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman. (tk/ant)
"Tragedi Mesuji terasa janggal karena tidak menimbulkan heboh setelah terjadinya peristiwa, baru heboh setelah warga dan keluarga korban bersusah payah mencari akses di Jakarta mengadukan nasibnya ke Komisi III DPR," kata anggota komisi III DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Selasa.
Karena itu, Bambang mendesak Menko Polhukam agar mempertanyakan sejumlah kejanggalan proses penanganan tragedi Mesuji kepada pejabat daerah dan pihak terkait di Jakarta.
"Kalau betul terjadi pelanggaran HAM berat di Mesuji pada April dan November 2011, mengapa Jakarta (Pemerintah Pusat) harus dibuat terkejut beberapa bulan kemudian," kata Bambang.
Lebih lanjut Bambang menjelaskan kemungkinan ada tiga hal kenapa peristiwa Mesuji tersebut tidak menimbulkan kehebohan pada saat peristiwa itu terjadi.
Pertama, skala kasusnya memang tidak sedramatis yang dilaporkan kepada Komisi III DPR. Kedua, adanya upaya menyederhanakan kasus. Dan ketiga, ada upaya menutup-nutupi tragedi ini.
Jika diasumsikan benar telah terjadi tragedi kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat di Mesuji pada pekan kedua November 2011, dan tragedi itu baru menjadi cerita yang menghebohkan di Jakarta pada pertengahan Desember 2011, maka menurut Bambang, hal itu adalah rentang waktu sangat panjang untuk mengungkap sebuah tragedi kemanusiaan.
"Jelas tidak wajar. Maka, dalam konflik berdarah sengketa tanah 928 hektar di Mesuji, patut diduga ada pihak yang berusaha menutup-nutupi tragedi ini," kata Bambang.
Apalagi, tambahnya, warga setempat mengaku selalui dihantui rasa takut untuk melapor karena mendapat ancaman. (tk/ant)
TRAGEDI MESUJI
Foto Tragedi Mesuji Lampung – Betapa menyedihkan, pembantaian terhadap manusia seperti yang terjadi di Mesuji, Lampung, masih muncul di negeri ini. Rangkaian insiden berdarah di wilayah itu, yang menewaskan sekitar 30 orang dalam tiga tahun terakhir, juga memperlihatkan kelemahan kita dalam mengatasi sengketa. Hukum seolah tidak berfungsi karena dijalankan oleh aparat yang cenderung membela yang kuat.
Kasus itu mencuat setelah wakil warga Mesuji datang ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat belum lama ini. Tak sekadar melaporkan kejadian di daerahnya, mereka juga memutar video yang merekam pembantaian terhadap penduduk. Dalam berbagai kejadian, tampak pula aparat keamanan. Hanya, tidak terlalu jelas apakah mereka terlibat dalam peristiwa itu atau justru datang untuk melerai konflik.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebetulnya telah menangani kasus itu. Di antaranya peristiwa pada April 2011 di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kejadian ini menewaskan tujuh orang, yakni dua orang penduduk dan lima orang dari pengamanan swakarsa PT Sumber Wangi Alam.
Satu bentrokan yang telah diselidiki Komnas terjadi di lahan PT Silva Inhutani di Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung, pada November 2011. Seorang petani tewas dalam peristiwa ini. Tapi perlu dipastikan apakah video aksi sadistis yang kini beredar luas itu merupakan rekaman dari dua peristiwa tersebut.
Itu sebabnya, langkah pemerintah membentuk tim investigasi rekaman video itu perlu disokong. Jika benar gambar tersebut berasal dari peristiwa “dua” Mesuji itu, tugas tim investigasi akan lebih ringan karena sebelumnya telah ditelusuri oleh Komnas HAM. Tim ini tinggal mengecek lagi apakah semua rekomendasi yang diberikan Komisi itu telah dilaksanakan oleh para pejabat, baik di pusat maupun di daerah.
Penting pula dipastikan bahwa konflik antara penduduk dan perusahaan perkebunan telah diselesaikan. Begitu pula proses hukum terhadap para pelaku pembantaian seperti terekam dalam video itu. Munculnya pengaduan perwakilan penduduk Mesuji ke DPR mengindikasikan tidak adanya proses hukum yang adil terhadap para pelaku.
Dalam berbagai kasus, penduduk sering dikalahkan bila bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Aparat keamanan dan pejabat cenderung membela kepentingan pengusaha. Ketidakadilan seperti itu pula yang memicu konflik berdarah. Apalagi pihak perkebunan akan selalu membela kepentingannya dengan segala cara, termasuk dengan menyewa banyak satpam, bahkan membentuk semacam pasukan.
Di Lampung dan Sumatera Selatan, konflik antara warga dan perusahaan perkebunan sudah demikian kronis dan struktural. Sepanjang 10 tahun terakhir terjadi 268 kasus pertikaian di sektor kehutanan dan perkebunan di Sumatera Selatan. Sengketa lahan di Lampung juga termasuk tinggi dan kebanyakan terjadi di wilayah perkebunan.
Konflik hanya akan berkurang bila penegak hukum dan pejabat di daerah memperhatikan kepentingan rakyat kecil. Tanpa keadilan, tragedi seperti di Mesuji bisa terulang. Apalagi jika penegak hukum tak berani menindak tegas pihak perkebunan.[source: Tempo]
Kasus itu mencuat setelah wakil warga Mesuji datang ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat belum lama ini. Tak sekadar melaporkan kejadian di daerahnya, mereka juga memutar video yang merekam pembantaian terhadap penduduk. Dalam berbagai kejadian, tampak pula aparat keamanan. Hanya, tidak terlalu jelas apakah mereka terlibat dalam peristiwa itu atau justru datang untuk melerai konflik.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebetulnya telah menangani kasus itu. Di antaranya peristiwa pada April 2011 di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kejadian ini menewaskan tujuh orang, yakni dua orang penduduk dan lima orang dari pengamanan swakarsa PT Sumber Wangi Alam.
Satu bentrokan yang telah diselidiki Komnas terjadi di lahan PT Silva Inhutani di Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung, pada November 2011. Seorang petani tewas dalam peristiwa ini. Tapi perlu dipastikan apakah video aksi sadistis yang kini beredar luas itu merupakan rekaman dari dua peristiwa tersebut.
Itu sebabnya, langkah pemerintah membentuk tim investigasi rekaman video itu perlu disokong. Jika benar gambar tersebut berasal dari peristiwa “dua” Mesuji itu, tugas tim investigasi akan lebih ringan karena sebelumnya telah ditelusuri oleh Komnas HAM. Tim ini tinggal mengecek lagi apakah semua rekomendasi yang diberikan Komisi itu telah dilaksanakan oleh para pejabat, baik di pusat maupun di daerah.
Penting pula dipastikan bahwa konflik antara penduduk dan perusahaan perkebunan telah diselesaikan. Begitu pula proses hukum terhadap para pelaku pembantaian seperti terekam dalam video itu. Munculnya pengaduan perwakilan penduduk Mesuji ke DPR mengindikasikan tidak adanya proses hukum yang adil terhadap para pelaku.
Dalam berbagai kasus, penduduk sering dikalahkan bila bersengketa dengan perusahaan perkebunan. Aparat keamanan dan pejabat cenderung membela kepentingan pengusaha. Ketidakadilan seperti itu pula yang memicu konflik berdarah. Apalagi pihak perkebunan akan selalu membela kepentingannya dengan segala cara, termasuk dengan menyewa banyak satpam, bahkan membentuk semacam pasukan.
Di Lampung dan Sumatera Selatan, konflik antara warga dan perusahaan perkebunan sudah demikian kronis dan struktural. Sepanjang 10 tahun terakhir terjadi 268 kasus pertikaian di sektor kehutanan dan perkebunan di Sumatera Selatan. Sengketa lahan di Lampung juga termasuk tinggi dan kebanyakan terjadi di wilayah perkebunan.
Konflik hanya akan berkurang bila penegak hukum dan pejabat di daerah memperhatikan kepentingan rakyat kecil. Tanpa keadilan, tragedi seperti di Mesuji bisa terulang. Apalagi jika penegak hukum tak berani menindak tegas pihak perkebunan.[source: Tempo]
Thursday, December 1, 2011
AMUK MASSA : Pemilik Rumah Rusak Tak Kenal Pihak Bertikai
KALIANDA—Penjagaan ketat aparat polisi tak membuat warga Dusun Sukajaya, Desa Margocatur, Kalianda, Lampung Selatan, berani beraktivitas normal. Suasana dusun yang berjarak sekitar 15 km dari Kota Kalianda tersebut masih sunyi dan mencekam.
Warga tak menduga hiburan organ tunggal pada pernikahan di rumah Saidi (37) menjadi bencana. Kerusuhan antarkampung meledak setelah Wayan Anggi (15), warga Desa Sidomakmur, Kecamatan Way Panji, tewas, Minggu (27-11).
Pelajar kelas VIII SMP di Sidomulyo itu tewas setelah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung. Dia dikeroyok sekelompok pemuda dan luka tusukan di dada kiri usai menonton organ tunggal, Jumat (25-11) malam.
Warga yang rumahnya dirusak tidak mengenal kedua kelompok yang tertikai itu. Mereka melihat remaja tergeletak di antara kerumunan penonton hiburan organ tunggal. "Namanya hiburan, ya pasti penontonnya dari mana-mana," ujar salah seorang warga.
Warga Dusun Sukajaya itu mengaku insiden penusukan tersebut spontan dilakukan sekelompok pemuda yang menenggak minum-minuman keras di pinggir jalan, tidak jauh dari lokasi hiburan organ tunggal. "Selama ini hubungan kami dengan warga Desa Sidomakmur baik. Walaupun beda kecamatan, kami bersebelahan desa," kata warga itu. (KRI/U-1)
Lampost Com : Kamis 1 Desember 2011
Rusuh Antarkampung, 37 Rumah Dirusak
MOTOR DIBAKAR. Sebuah sepeda motor warga Dusun Sukajaya, Desa Margacatur, Kecamatan Kalianda, hangus terbakar usai diserbu warga yang diduga dari Desa Sidomakmur, Way Panji, Lampung Selatan, Selasa (29-11), pukul 11.00. Kerusuhan itu membuat 9 rumah terbakar dan 37 rumah lainnya rusak.
KALIANDA (Lampost): Kerusuhan antarkampung meledak di Lampung Selatan, Selasa (29-11) siang. Sebanyak 37 rumah rusak dan 9 di antaranya ludes terbakar akibat amuk massa yang menuntut balas kematian pelajar SMP yang ditusuk tak jauh dari arena organ tunggal.
Perusakan rumah diduga dilakukan sekelompok massa dari Desa Sidomakmur, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan. Mereka menyerbu dan membakar puluhan rumah di Dusun Sukajaya, Desa Margocatur, Kecamatan Kalianda, Selasa (29-11), sekitar pukul 11.00.
Kerusuhan bermula ketika Wayan Anggi (15), pelajar kelas VIII SMP, warga Desa Sidomakmur, Kecamatan Way Panji, tewas akibat tusukan senjata tajam usai menonton organ tunggal di Dusun Sukajaya, Desa Margocatur, Jumat (25-11) malam.
Keterangan yang dihimpun Lampung Post menyebutkan saat itu Wayan Anggi bersama temannya mengendarai sepeda motor hendak kembali ke rumah usai menonton organ tunggal. Tak jauh dari lokasi hiburan, sepeda motor yang ditumpangi korban menyenggol sekelompok pemuda yang pesta minum keras di pinggir jalan.
Korban meminta maaf, tapi tidak digubris, malah mendapat bogem mentah dari sekelompok pemuda tersebut. Korban ditusuk senjata tajam dan mengenai dada depan. "Wayan dilarikan ke RSUDAM Bandar Lampung. Namun dua hari kemudian, korban meninggal dunia," kata Nyoman, warga RT 11 Desa Sidomakmur, Way Panji, Selasa (29-11).
Kematian Wayan membuat suasana memanas. Berbagai informasi beredar, antara lain menyebutkan warga Desa Sidomakmur dibantu warga Desa Balinuraga dan Bali Agung, Kecamatan Palas, akan menyerbu tempat korban ditusuk. Informasi itu membuat jajaran Polres Lamsel dibantu Kodim 0421/Lamsel berjaga di sekitar Desa Margocatur sejak Senin (28-11).
Namun, hingga Selasa (29-11) pagi tak ada penyerangan. Tanpa diduga, kemarin, segerombolan massa yang menumpang 15 sepeda motor merangsek ke Dusun Sukajaya, Desa Margocatur. Sebagian berjalan kaki melalui jalan tikus. Massa yang menyimpan dendam itu pun mengamuk, membakar, dan merusak rumah warga di sekitar lokasi tempat hiburan organ tunggal tersebut.
Akibatnya, 9 rumah ludes terbakar dan 37 rumah lainnya rusak. Setelah insiden tersebut satu peleton Brimob dan satu peleton Samapta Polda Lampung diterjunkan ke Desa Margocatur, sekitar pukul 14.00.
Bupati Mediasi
Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza S.Z.P, Kapolres Lamsel AKBP Harri Muharram Firmansyah, dan Dandim 0421/Lamsel Letkol Gustia Wardana, kemarin berupaya memediasi penyelesaian konflik yang nyaris menjurus ke suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tersebut.
Kepala Desa Margocatur, Desa Canggu, dan Taji Malela diundang bersama Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Pargali Lamsel.
Bupati Lamsel berjanji membantu korban pertikaian. "Kami akan membantu biaya pemakaman korban dan membantu membangun rumah yang terbakar bersama warga Desa Sidomakmur," kata Rycko.
Bupati meminta tokoh masyarakat dari dua belah pihak mengedepankan persatuan, sebab kepentingan golongan tidak akan menyelesaikan masalah.
Kapolda Lampung Brigjen Pol. Jodie Rooseto menginstruksikan jajarannya menjaga kedua dusun, desa, dan memberikan rasa aman agar tidak terjadi bentrok lagi. "Pelaku harus ditindak tegas," kata dia.
Di depan Bupati, tokoh masyarakat, dan aparat keamanan, Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih mengatakan kedua warga yang bentrok itu berjanji tidak akan saling serang, dan kerusakan dibantu oleh Pemkab Lamsel. (KRI/U-1)
tiser: Kami akan membantu biaya pemakaman korban dan membantu membangun rumah yang terbakar bersama warga Desa Sidomakmur.
KALIANDA (Lampost): Kerusuhan antarkampung meledak di Lampung Selatan, Selasa (29-11) siang. Sebanyak 37 rumah rusak dan 9 di antaranya ludes terbakar akibat amuk massa yang menuntut balas kematian pelajar SMP yang ditusuk tak jauh dari arena organ tunggal.
Perusakan rumah diduga dilakukan sekelompok massa dari Desa Sidomakmur, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan. Mereka menyerbu dan membakar puluhan rumah di Dusun Sukajaya, Desa Margocatur, Kecamatan Kalianda, Selasa (29-11), sekitar pukul 11.00.
Kerusuhan bermula ketika Wayan Anggi (15), pelajar kelas VIII SMP, warga Desa Sidomakmur, Kecamatan Way Panji, tewas akibat tusukan senjata tajam usai menonton organ tunggal di Dusun Sukajaya, Desa Margocatur, Jumat (25-11) malam.
Keterangan yang dihimpun Lampung Post menyebutkan saat itu Wayan Anggi bersama temannya mengendarai sepeda motor hendak kembali ke rumah usai menonton organ tunggal. Tak jauh dari lokasi hiburan, sepeda motor yang ditumpangi korban menyenggol sekelompok pemuda yang pesta minum keras di pinggir jalan.
Korban meminta maaf, tapi tidak digubris, malah mendapat bogem mentah dari sekelompok pemuda tersebut. Korban ditusuk senjata tajam dan mengenai dada depan. "Wayan dilarikan ke RSUDAM Bandar Lampung. Namun dua hari kemudian, korban meninggal dunia," kata Nyoman, warga RT 11 Desa Sidomakmur, Way Panji, Selasa (29-11).
Kematian Wayan membuat suasana memanas. Berbagai informasi beredar, antara lain menyebutkan warga Desa Sidomakmur dibantu warga Desa Balinuraga dan Bali Agung, Kecamatan Palas, akan menyerbu tempat korban ditusuk. Informasi itu membuat jajaran Polres Lamsel dibantu Kodim 0421/Lamsel berjaga di sekitar Desa Margocatur sejak Senin (28-11).
Namun, hingga Selasa (29-11) pagi tak ada penyerangan. Tanpa diduga, kemarin, segerombolan massa yang menumpang 15 sepeda motor merangsek ke Dusun Sukajaya, Desa Margocatur. Sebagian berjalan kaki melalui jalan tikus. Massa yang menyimpan dendam itu pun mengamuk, membakar, dan merusak rumah warga di sekitar lokasi tempat hiburan organ tunggal tersebut.
Akibatnya, 9 rumah ludes terbakar dan 37 rumah lainnya rusak. Setelah insiden tersebut satu peleton Brimob dan satu peleton Samapta Polda Lampung diterjunkan ke Desa Margocatur, sekitar pukul 14.00.
Bupati Mediasi
Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza S.Z.P, Kapolres Lamsel AKBP Harri Muharram Firmansyah, dan Dandim 0421/Lamsel Letkol Gustia Wardana, kemarin berupaya memediasi penyelesaian konflik yang nyaris menjurus ke suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tersebut.
Kepala Desa Margocatur, Desa Canggu, dan Taji Malela diundang bersama Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Pargali Lamsel.
Bupati Lamsel berjanji membantu korban pertikaian. "Kami akan membantu biaya pemakaman korban dan membantu membangun rumah yang terbakar bersama warga Desa Sidomakmur," kata Rycko.
Bupati meminta tokoh masyarakat dari dua belah pihak mengedepankan persatuan, sebab kepentingan golongan tidak akan menyelesaikan masalah.
Kapolda Lampung Brigjen Pol. Jodie Rooseto menginstruksikan jajarannya menjaga kedua dusun, desa, dan memberikan rasa aman agar tidak terjadi bentrok lagi. "Pelaku harus ditindak tegas," kata dia.
Di depan Bupati, tokoh masyarakat, dan aparat keamanan, Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih mengatakan kedua warga yang bentrok itu berjanji tidak akan saling serang, dan kerusakan dibantu oleh Pemkab Lamsel. (KRI/U-1)
tiser: Kami akan membantu biaya pemakaman korban dan membantu membangun rumah yang terbakar bersama warga Desa Sidomakmur.
Subscribe to:
Posts (Atom)