Monday, December 8, 2014

"Lampungologi" Redam Konflik




Arizka Warganegara

Dosen Fisip Universitas Lampung



KERUSUHAN di Kampung Tanjungharapan, Kecamatan Anaktuha, Lampung Tengah, 27 November lalu, secara jujur saya katakan hal itu meninggalkan polemik, benarkah Lampung rawan konflik? Benarkah Lampung rentan kerusuhan? Benarkah kalau tidak ada konflik bukan Lampung?

Sejumlah pertanyaan itu sebenarnya hasil rangkuman beberapa hari terakhir setelah terjadinya kerusuhan antarkedua dusun tersebut. Lontaran ide dan pandangan itu menyeruak di banyak media sosial, obrolan ringan di grup BBM, dan lainnya.

Sebagai orang Lampung (bukan merujuk pada suku), saya sangat bangga dengan Lampung, sebuah provinsi yang sangat heterogen. Hampir semua suku Indonesia ada di Lampung, sebuah gambaran Indonesia mini layak disematkan untuk provinsi di ujung Pulau Sumatera yang kita kasihi ini.

Interaksi saya dengan beberapa peneliti Dayak dari Institut Dayakologi, Kalimantan Barat, kurang lebih 10 tahun lalu membuat saya memberanikan diri mengenalkan istilah Lampungologi pada publik Lampung. Terus terang ide ini memang terinspirasi istilah sejenis yang sudah dulu populer, seperti Javanologi dan Dayakologi.




Peminat bahasa-budaya Lampung, seperti Udo Z. Karzi, Arman A.Z., Junaiyah H.M., dan Frieda Amran, terus terang memberikan arti tersendiri bagi saya. Istilah kelampungan yang lebih dahulu dikenal publik sebagai gambaran terhadap persekitaran Lampung dianggap tidak sesuai karena terlalu determinan, dominan, dan terdapat unsur hegemoni, apalagi dalam konteks Provinsi Lampung yang sangat heteregon mendiami provinsi paling ujung di Pulau Sumatera ini. Lampungologi dapat kita artikan secara harfiah sebagai pengetahuan mengenai Lampung atau secara lebih sederhana boleh dikatakan sebagai sebuah perspektif melihat Lampung secara utuh, baik dari aspek budaya, sosial, maupun politik.

Jika di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi yang secara aktif terlibat dalam penelitian dan preservasi budaya Dayak, forum Lampungologi setakat kini masih sebatas tukar pemikiran di arena media sosial dan hal ini makin seru manakala kolom Lampung Tumbai Lampung Post memberikan ruang perdebatan walau hanya di laman media sosial, seperti Facebook. Keberadaan Lampungologi sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai sebuah forum hegemoni satu marga, puak atau klan terhadap marga, puak atau klan yang lain, forum informal ini hanya sebagai ruang publik yang dimanfaatkan untuk saling memberikan ide dan bahan yang layak didiskusikan soal Lampung.

Saya berharap pemerintah daerah dapat lebih mengkonkretkan forum ini bukan hanya sebagai dialog di ruang media sosial, melainkan harus ada aksi nyata pemerintah daerah. Beragam hal sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, ada banyak tulisan dan bahan ilmiah soal Lampung yang bersebaran di dunia, Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda dan British Library di London menjadi dua center of execelent yang banyak menyimpan tulisan, bahan, dan kajian soal Lampungologi.

Jika semua bahan tersebut dikumpulkan, diterjemahkan, didokumentasikan, dan kemudian dimanfaatkan untuk menganal lebih dalam soal Lampungologi, secara akademik tentunya juga akan bermanfaat sekaligus mempunyai manfaat sosial lainnya. Saya bermimpin itu terwujud.

Bagaimana Lampungologi Bekerja?

Penumbuhan gerakan mencintai Lampung saya pikir harus coba mulai digagas oleh pemerintah provinsi sebagai leader dan koordinator bersama dengan pemerintah kabupaten dan kota. Konflik yang selama ini terjadi di Lampung banyak disebabkan oleh rasa saling tidak percaya antara elemen dan gerakan kembali mencintai Lampung, konflik yang destruktif seperti kejadian di Anaktuha itu dengan sendirinya tidak akan menemui ruang.

Saya tidak akan masuk ke wilayah isi konflik seperti kenapa bisa terjadi kerusuhan antardusun? dan apa penyebabnya? Pertanyaan seperti itu amatlah klasik. Secara teoritis, konflik terjadi karena terjadi kesenjangan antara harapan dan keinginan, ditambah lagi pencentus seperti sentimen ekonomi, politik, dan kuat juga karena ada gap pemahanan budaya.

Lampungologi sebagai rumah besar merujuk ide Udo Karzi sangat dibutuhkan pada era kekinian. Lampungologi diharapkan bukan hanya sebagai jargon apalagi hanya sebatas ruang diskusi budaya dan persekitaran mengenai Lampung. Ke depan Lampungologi akan lahir sebagai perekat kebersamaan warga Lampung di atas beragam perbedaaan suku, agama, dan ideologi.

Saya teringat ketika kelompok Fabianis yang sangat sosialis di Inggris menggagas sekolah ekonomi politik ternama dunia, London School of Economi and Political Science, ide para penggagas sekolah terkenal itu sederhana saja memengaruhi ruang minda publik dengan pendidikan, menghasilkan para sarjana yang kapabel dalam bidang ilmu sekaligus ideologi. Saya rasa tidak juga berlebihan jika ide mengenai Lampungologi juga bisa didorong untuk memberikan informasi dan peluang pendidikan kepada publik agar dapat lebih mengenal soal Lampung, khususnya budaya dan nilai Lampung secara simultan dan lintas generasi.

Saya juga masih sangat heran jika sampai hari ini Lampung masih sering terjadi konflik yang melibatkan sentiment SARA. Padahal, merujuk sejarah, kenapa Belanda memilih Lampung sebagai salah satu pusat transmigrasi? Ditengarai oleh karena masyarakatnya sangat terbuka terhadap siapa saja.

Bagi saya membangkitkan Lampungologi sebagai elemen pengantar pemahaman budaya akan sangat membantu pemerintah, terutama mengikis sikap vandalisme di tengah masyarakat. Pada bagian lain, kosmopolitanisme Lampung sebenarnya sudah dilihat Belanda sejak dahulu kala, sebagai bagian dari politik etis Belanda menempatkan Lampung sebagai bagian dari skenario menyejahterakan daerah jajahan, walaupun anggapan ini masih diliputi pro dan kontra sampai sekarang.

Sekali lagi, harapannya ide mengenai Lampungologi tidak merujuk pada dominasi satu marga, puak, atau klan, bahkan kita harus menghindari hegemoni satu marga, puak, atau klan, terhadap marga lain. Perbincangan seru mengenai asal usul orang Lampung, asli, atau pendatang harus segera dialihkan dengan membincangkan hal produktif dan membangun peradaban dan keadaban Lampung sebagai sebuah daerah dan entitas. Contoh sederhana, keberadaan kain kapal yang sangat indah dan melegenda itu seharusnya jangan luput dari pemantauan publik.

Saya mendapat informasi justru koleksi kain kapal yang melegenda itu sekarang pusatnya justru di National Gallery of Australia, bukan di Museum Lampung. Belum lagi artefak dan buku-buku klasik yang menggambarkan Lampung tempo dulu yang bersebaran di berbagai perpustakaan dunia, hendaknya menjadi atensi pejabat pembuat kebijakan untuk sekali lagi melakukan preservasi sekaligus mempelajari dan mengenalkan bagian dari Lampungologi tersebut kepada publik.

Pada akhirnya pendekatan budaya adalah pendekatan yang paling efektif untuk mereduksi konflik akibat salah paham dan ketidakmengertian. n



No comments:

Post a Comment