Thursday, September 7, 2017

DATA TUTUR DAN CARA MENYIKAPINYA

Secara kebetulan saya sempat berkenalan dan berkomunikasi dengan baik dengan beberapa orang peneliti arkeologi dari berbagai spesialis, ada yang prasejarah, klasik, modern dan Islam dan saya juga pernah mengikuti mereka melakukan ekskavasi dan berusaha menemui beberapa orang pimpinan komunitas Lampung. Yang ingin aya tegaskan sebelumnya adalah bahwa saya bukan argeolog dan bukan pula sejarawan, melainkan pecinta budaya Lampung karena saya dibesarkan di lingkungan komunitas Lampung. Cinta adalah sesuatu yang tak betepi, demikian kira kira pikiran yang selalu berkecamuk di otak saya.

Ketika saya melihat langsung aktivitas mereka melakukan penelituan secara arkeologis maka salah satu aktivitas mereka adalah mengumpulkan data tutur. Data tutur adalah data yang dihimpun dari sejumlah orang yang ada di sekitar situs yang diteliti, Narasumber sangat bergam tentang kemampuan komunikasinya maupun akademisnya, sehingga bisa dibayangkan betapa beranekaragamnya data informasi itu, ibarat lautan maka penelitian menampung semua yang terbawa oleh segala arua. Bagi oeneliti di luar arkeolog, bisa saja menyebutnya data sampah, tetapi tidak bagi penelitiuan arkeologis yang sedang saya amati itu.

Data Sampah ?. Bukan !.

Walaupun data tutur itu tak layak diketengahkan dalam Pertemuan Tahunan Arkeolog Indonesia, tetapi ingin saya katakan bahwa itu bukan data sampah. Karena data itu untuk membantu para arkeolog memahami sikap dan respon masyarakat sekitar situs. Data tutur terkait situs itu memang beranekaragam, bahkan cenderung ngarang, karangan dengan maksud sebagai pendidikan bagi para pimpinan kepada para anggota komunitas, sehingga ceritera itu selalu diterimakan dari generasi ke generasi, dan biasanya manakala cerita itu dianggap benar oleh komunitas itu maka situs ityui ternyata lebih terpelihara, karena ada kebanggan bagi komunitas setempat. Saya pernah mengunjungi situis Benteng di Bengkulu, bagi masyarakat awam maka akan sia sia saja berkunjung ke situs itu tampa adanya cerita bohong tentang situs itu, walaupu memang cerita sampah bagi peneliti arkeolog yang kurang bermurah hati.

Cerita sejarah di lingkungan arkeolog harus bearawal mula dari diketemukannya situs peninggalan sejarah, para erkeolog yang terdiri dari berbagai spesialisasi itu akan membantu masyarakat bagaimana cara meluruskan cerita sekitar situs itu, bagaimana posisinya situs itu diletakkan, nama benda, ukuran benda, kegunaan serta paduk tahun berapa para arkeolog itu akan membantu meluruskannya. Tetai sejauh ini sepanjang yang saya tahu para peneliti arkeolog tak akan mengganggui data tutur itu seberapa melencengnya.

Untuk Kepentingan Khusus.

Data tutur sebagain besar adalah ngarang dan sulit dipertanggungjawabkan dalam penelitian sebuah situs, apalagi situs prasejarah umapamnanya, maka rentang waktu yang demikian lama, maka data tutur yang berkembang di masyarakat sudah pasti mengalami penyelewengan yang demikian parah. Tetapi biasanya ceritera turun temurun itu diciptakan untuk merekat persatuan. Atau di Benteng Kota Bengkulu ceritera bohong juga dikarang untuk menyemarakkan perpariwisataan di Bengkulu.
Hanya saja data tutur iru umumnya sesuatu yang tak layak diketengahkan dalam forum yang menginginkan kebenaran, artinya sebaiknya data tutur itu untuk dikalangan internal saja. Karena bangsa ini justeru akan hancur manakala dicatat identitasnya dari cerita yang tak bertanggungjawab secara kesejarahan dan ilmu pengetahuan. Walauoun cerita cerita itu sudah melagenda, maka ilmu sejarah tajk akan menerimanya sebagai bukti sejarah, apalagidata tutur yang lebih sulit mempertanggungjawabkannya.

Terima kasih teman teman arkeolog yang dahulu sempat mengajak aku bersahabat, ada saja gunanya ilmu dari kalian, bagiku.

No comments:

Post a Comment