Saturday, February 8, 2014

Menciptakan Kiblat Baru Selain Rancage

Oleh Isbedy Stiawan Z.S.



Buku puisi Suluh karya Fitri Yani,
pemenang Hadiah Sastra Rancage 2014
untuk sastra Lampung.
BERUNTUNGLAH sastra berbahasa Lampung bisa eksis di tengah media lokal yang tidak menyediakan ruang (halaman) bagi karya sastra daerah (Lampung). Bahkan, beberapa nama sudah diakui di tingkat nasional melalui ajang pemilihan sastra berbahasa daerah yang digelar Yayasan Kebudayaan Rancage, yang berpusat di Bandung, Jawa Barat.

Sejak dibukanya penghargaan Rancage bagi sastra berbahasa Lampung, sebelumnya hanya berbahasa Sunda, Jawa, dan Bali, sudah tiga nama sastrawan (daerah) Lampung yang mendulang sukses. Mereka adalah Udo Z. Karzi, Asarpin, dan tahun ini diberikan kepada Fitri Yani untuk buku puisi berbahasa Lampung bertajuk Suluh (2013).


Ucapan selamat sekaligus apresiasi tertinggi datang dari berbagai individu dan pencinta sastra di Lampung untuk ketiga sastrawan Lampung tersebut, meskipun reward Rancage ini bukan puncak prestasi bagi penulis sastrawa berbahasa Lampung. Mengingat, persaingan tak begitu banyak, paling tinggi hanya dua peserta bahkan tak ada sama sekali.

Kita bisa lihat pengumuman yang dikeluarkan Yayasan Kebudayaan Rancage untuk tahun ini. Dalam tahun 2013 buku karya sastra bahasa Sunda 42 judul, yaitu 27 judul buku baru dan 15 judul merupakan cetak ulang. Lalu buku karya sastra bahasa Jawa yang terbit ada 17 judul, tetapi 5 judul berupa cetak ulang dan 1 judul merupakan karya bersama, sehingga yang enam itu tidak dinilai buat mendapatkan hadiah Sastra Rancage. Buku karya sastra Bali modern yang terbit tahun 2013 ada 17 judul, hampir dua kali lipat dari yang terbit tahun sebelumnya (9 judul).

Tahun 2013 dalam bahasa Lampung terbit dua buku, satu kumpulan sajak, sedangkan yang satu lagi kumpulan cerita. Kumpulan sajak berjudul Suluh karya Fitri Yani dan kumpulan cerita berjudul Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti. Dalam penilaian ini, tak disebutkan nama-nama juri, kecuali Ajip Rosidi sebagai ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage.

Bagaimanapun Rancage adalah harapan bagi sastra berbahasa Lampung apabila ingin eksis lebih luas. Pasalnya, tak ada lembaga lain yang menggelar. Betapa pun kancah di Rancage ini belum seketat, misalnya reward yang diadakan Khatulistiwa Literary Award, Anugerah Sagang (Riau). Kedua penghargaan yang disebut terakhir ini untuk berbahasa Indonesia alias sastra modern dan sastra berlokal Melayu.

Maka itu, tak heran, setelah keberhasilan Udo Z. Karzi memenangi Rancage, lalu diikuti penulis lain yang sebenarnya disiplinnya sebagai penulis sastra modern, bahkan hanya mengalihbahasakan sastra modern ke bahasa Lampung, kecuali penyair Fitri Yani yang setahu saya sengaja menulis puisi dalam bahasa Lampung.

Penerjemahan puisi modern ke bahasa lain tentu tidak mudah dan banyak masalah. Begitu pula menerjemahkan puisi Indonesia ke Inggris atau sebaliknya. Akan ada yang tak terebut dan hilang; idiom, diksi, dan imajinasinya.

Hal seperti ini juga pernah diakui penyair Jawa Barat, Acep Zamzam Noor. Dalam bincang-bincang dengannya, ia mengakui sangat sulit mengalihkan bahasa puisinya yang berbahasa Indonesia ke Sunda atau sebaliknya. Karena itu, mayoritas puisi-puisinya yang memenangi Rancage dia tulis langsung dalam bahasa Sunda. Begitu pula yang dilakukan oleh Godi Suwarna, sastrawan yang memang berangkat dari tradisi Sunda ini menulis puisi atau cerita pendek dalam bahasa ibu.

Ini menjadi tantangan bagi sastrawan (berbahasa) Lampung. Barangkali Fitri Yani, untuk menyebut salah satu saja, telah menjalani tantangan ini. Ke depan, kita harapkan diikuti oleh para penulis sastra di Lampung lainnya.

Rancage adalah arena untuk meraih prestasi, demi mengenalkan sastra berbahasa Lampung ke tingkat nasional. Apalagi, media lokal yang ada di Lampung belum ada yang peduli sehingga mau membuka sehalaman bagi karya-karya sastra Lampung.

Mengingat tak terwakilinya masing-masing bahasa yang akan diberi penghargaan sehingga penjurian di Rancage masih terkesan longgar, ke depannya perlu dipikirkan oleh penyelenggara mendudukkan salah seorang juri yang paham dan mengerti bahasa daerah. Dengan demikian, anugerah Rancage akan makin berwibawa.

Kiblat Baru Selain Rancage

Bersyukurlah ada Rancage. Beruntunglah Jawa Barat memiliki lembaga yang peduli pada karya sastra berbahasa daerah. Tidak banyak orang “gila” yang peduli pada kegiatan seperti ini. Karena itu, di Tanah Air ini hanya segelintir lembaga reward bagi karya sastra. Sebut saja KLA yang digagas Richard Oh, Anugerah Sagang (Rida K. Liamsi), dan Rancage (Ajip Rosidi-Hawe Setiawan).

Apabila KLA diperuntukkan penghargaan buku sastra (cerpen, novel, puisi) yang digelar tiap tahun, sementara Yayasan Sagang memberi penghargaan kepada buku sastra, budayawan, seniman perantau, dan umumnya adalah yang peduli pada bahasa dan budaya Melayu. Karena itu, sangat lokalitas. Sedangkan Rancage diberikan kepada buku sastra berbahasa Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung.

Menilik dari lembaga anugerah karya sastra yang ada, sulit bagi sastrawan berbahasa Lampung bisa jauh lebih eksis. Harapan satu-satunya hanya pada Rancage, itu pun tanpa persaingan yang ketat. Apalagi, buku sastra bahasa Lampung boleh dibilang baru digeluti segelintir sastrawan Lampung. Bisa jadi, pada satu kesempatan akan memang tanpa lawan.

Maka itu, sudah saatnya Lampung memiliki lembagi reward bagi buku/karya sastra bahasa Lampung, semirip Rancage ataupun Sagang. Dengan adanya lembaga anugerah ini, dimungkinkan akan lahir sastrawan berbahasa Lampung. Tanpa sumbangsih sehalaman dari media lokal pun, lembaga anugerah ini dapat membangkitkan kehidupan bersastra bahasa Lampung.

Jika saja lembaga reward ini kelak ada, apa yang diharapkan para seniman daerah Lampung, menciptakan “kiblat baru” selain Rancage jadi kebanggaan bersama. Tak akan sulit menunjuk dewan juri, sebab sudah ada dan selalu siap. Akhirnya, tahniah buat Fitri Yani, Asarpin, dan Udo Z. Karzi. n

Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 Februari 2014

No comments:

Post a Comment