Lampost : Kamis 27 Oktober 2011
JAKARTA (Lampost): Jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7 juta orang dalam kurun dua tahun atau sejak 2008 hingga 2010.
===========
Pada 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 40,4 juta orang dan pada 2010 menjadi 43,1 juta orang.
Demikian data yang dikeluarkan Perkumpulan Prakarsa, Rabu (26-10), di Jakarta. Data tersebut berbanding terbalik dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia justru turun sekitar empat juta orang sejak 2008 hingga 2010, atau dari 35 juta orang menjadi 31 juta orang. "Melihat data tersebut bisa dikatakan pemerintah melakukan kebohongan dalam data statistik," ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro.
Setyo melanjutkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang kemiskinannya meningkat. Bahkan, Indonesia dalam hal mengurangi angka kemiskinan, lebih buruk ketimbang Laos dan Kamboja. "Ini menunjukkan pemerintah gagal dalam memerangi kemiskinan," ujar Setyo.
Menurut Setyo, lemahnya akses atau pengucilan sosial ekonomi menjadi penyebab sulitnya masyarakat bawah untuk berkembang. Penguatan ekonomi rakyat tanpa memperbaiki akses pada aset-aset produksi tidak akan membuat ekonomi beranjak terlalu jauh.
Pada kesempatan itu, peneliti Perkumpulan Prakarsa, Luhur Fajar Martha, juga mengungkapkan selain angka kemiskinan yang semakin meningkat, kesenjangan sosial juga semakin melebar.
"Penguasa ekonomi kini makin terkonsentrasi pada kelompok superkaya yang jumlahnya sangat kecil," ujar Fajar.
Indikasi kesenjangan, antara lain terlihat dari data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Data LPS pada Juli 2011 menyebutkan jumlah dana pihak ketiga perbankan mencapai Rp2.400 triliun yang disimpan hampir 100 juta rekening nasabah. Namun, 40% atau sekitar Rp1.000 triliun dari jumlah tersebut dikuasai oleh 0,04% nasabah atau 40 ribu rekening.
Pemeringkatan Investasi
Sementara itu, ekonom Econit, Hendri Saparini, menilai wacana pemeringkatan investasi merupakan strategi instan. Menurut dia, yang harus dilakukan pemerintah adalah menyusun strategi industri komprehensif ketimbang sekadar memeringkat investasi.
Ia mencontohkan sektor pertambangan dan pertanian. Pemerintah semestinya membangun industri hilir yang mampu menyerap dan mengolah bahan mentah yang dihasilkan kedua sektor hingga menjadi barang jadi.
"Jadi bukan dengan rating, pemerintah harus punya strategi, tidak hanya dilihat manfaatnya saja. Tapi yang dibicarakan dalam invetasi adalah strategi industri yang komprehensif," kata dia. (MI/U-4)
Share this post
Friday, October 28, 2011
Lahan Kota Baru Habiskan Rp6,5 M
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah Provinsi Lampung mengalokasikan dana Rp6,5 miliar untuk pembebasan lahan kota baru. Dana tersebut sebagai tali asih lahan seluas 1.300 hektare (ha) di Desa Purwotani, Jatiagung, Lampung Selatan.
Pembebasan ditargetkan selesai tahun ini. Kepala Biro Aset dan Perlengkapan Sekprov Lampung Ali Subaidi mengatakan 1 ha lahan garapan diberikan tali asih senilai Rp5 juta. Setelah masalah selesai, tahun depan Pemerintah Provinsi (Pemprov) berencana mulai membangun fisik seperti pusat pemerintahan dan badan jalan.
Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menggandeng sejumlah investor untuk mewujudkan kota baru tersebut. Pemberian gelar adat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) yang juga bos Bakrie Group, Senin (24-10), merupakan upaya menarik pengusaha asal Lampung itu menggarap kota baru.
"Kami tawarkan kepada investor yang mau terlibat. Khusus Bakrie Group, Pak Ical mempersilakan kami mengajukan proposal dan segera kami siapkan. Mereka bisa mengkaji kemungkinan terlibat di mana. Masak kampung halaman sendiri tidak dibantu," kata Gubernur usai menerima kunjungan direksi PT Pelindo II di ruang kerjanya, Rabu (26-10).
Selain menawarkan kepada Ical, kota baru bisa dibangun bersama beberapa investor. Menurut Sjachroedin, pusat bisnis di kota baru direncanakan terdiri dari berbagai kawasan, seperti kawasan pertokoan, kawasan wisata dan kuliner, kawasan pendidikan, dan kawasan permukiman. Saat ini masterplan pusat pemerintahan seluas 350 ha kota baru digarap PT Gubah Laras.
Masterplan pusat bisnis seluas 1.000 ha juga dirampungkan calon investor asal Malaysia, yakni PT Great Colour Investment Limited (GCI-L). Bahkan, GCI-L tengah menyusun detail engineering desain (DED) pembangunan di pusat bisnis.
Lahan Pengganti
Pada APBD 2011 dan APBD Perubahan 2011, Pemprov mengucurkan anggaran Rp20 miliar untuk kota baru yang terbagi untuk pembangunan jalan di sekitar kawasan pusat pemerintahan senilai Rp15 miliar dan untuk pembangunan jalan penghubung dari Bandar Lampung ke kawasan kota baru Rp5 miliar.
Hingga kini persoalan lahan kota baru masih diributkan Gerakan Petani Lampung dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Pasalnya, lahan lokasi kota baru dipakai untuk Gerakan Lampung Menghijau yang ditanami masyarakat selama bertahun-tahun.
Uang tali asih senilai Rp5 juta/hektare, menurut Ketua LMND Lampung Selatan Ahmad Jaylani, tidak cukup untuk mengganti tanaman petani. Hal ini diperkuat keluarnya surat perintah penghentian sementara pembangunan kota baru dari Menteri Kehutanan sampai ada kesepatan soal pergantian lahan.
Mengenai hal ini, Asisten II Sekprov Lampung Arinal Djunaidi mengatakan Pemprov memiliki lahan pengganti. "Bisa di mana saja. Tetapi untuk menghindari banyaknya kepentingan masuk, lahan pengganti itu belum bisa kami sampaikan," kata dia.
Menurut Arinal, tidak lama lagi tim dari pusat turun untuk meninjau lokasi lahan yang dibebaskan dan pengganti. Setelah semua proses lahan selesai, bagian-bagian proyek kota baru ditenderkan atau dilakukan penunjukan langsung. (LIN/WAH/TOR/U-1)
Friday, October 21, 2011
Pasangan Yudanegara-Putri Bungsu Sultan Jogja setelah Sehari Menikah
Pernikahan GKR Bendara, putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X, dengan KPH Yudanegara Selasa lalu (18/10) telah menyita perhatian publik di negeri ini. Kemarin, usai prosesi pamitan, pasangan pengantin baru itu membeber rencananya pasca menikah di depan wartawan.
OLEG WIDOYOKO, Jogja
PERTANYAAN pertama yang dilontarkan wartawan kepada pasangan KPH Yudanegara-GKR Bendara: Ke mana mereka akan berbulan madu? Ternyata ada dua alternatif lokasi yang sudah mereka pilih. Yakni, Bangka Belitung dan Lombok.
"Sebagian besar teman saya menyarankan Lombok. Kata mereka pantainya sangat bagus dan cocok untuk kami," kata Achmad Ubaidillah, 30, nama asli KPH Yudanegara, kepada wartawan setelah mengikuti prosesi pamitan di Gedhong Keraton Jogjakarta kemarin (19/10).
Ketika ditanya soal momongan, pasangan yang telah berpacaran 4,5 tahun itu kompak menjawab dua anak cukup, seperti slogan keluarga berencana. "Laki-laki perempuan, sama saja," kata Nurastuti Wijareni, 30, nama asli GKR Bendara, sambil menggelayut manja di pundak suami.
Jeng Reni, panggilan akrab GKR Bendara, mengatakan, dirinya akan tetap meneruskan studi lebih tinggi. Rencananya, mulai Desember tahun ini peraih Bachelor of Art bidang hospitality itu mengambil program master di salah satu perguruan tinggi di Inggris. Lalu, suaminya akan menyusul Mei tahun depan mengambil jenjang S-3 jika mendapat izin dari kantornya.
Menurut ibunda Jeng Reni, GKR Hemas, pilihan untuk meneruskan S-2 sudah lama dipikirkan oleh putri bungsunya itu. Meski begitu, dia belum tahu persis universitas apa yang dipilih Jeng Reni.
Bagi Hemas, putri bungsunya sudah terbiasa hidup mandiri di negeri orang. Karena itu, dia yakin putrinya lancar menempuh pendidikan lebih lanjut. Apalagi, saat ini dia sudah lebih mandiri dan berstatus sebagai istri.
Dalam acara pamitan yang dihadiri keluarga besar pengantin laki-laki dan perempuan itu, Sultan Hamengku Buwono (HB) X memberikan nasihat kepada pasangan suami istri baru itu agar menjaga keharmonisan rumah tangga.
"Sebagai orang tua, kami telah melakukan kewajiban menikahkan kamu berdua. Dengan harapan kamu mendapat kebahagiaan lahir batin. Segala dinamika dalam berkeluarga harus kamu jalani dengan sadar dengan saling menghargai dan membangun dialog yang baik," ujar HB X dalam bahasa Indonesia.
Sultan sengaja memberikan pesan dalam bahasa Indonesia agar menantu dan besannya yang kurang memahami bahasa Jawa tidak perlu penerjemah lagi. "Pakai bahasa Indonesia saja agar tidak perlu diterjemahkan lagi," tambah Sultan.
Sebelum prosesi dimulai, GBPH Prabukusumo diutus Sultan menjemput Yudanegara dan rombongan di Kompleks Kasatriyan. Setelah diizinkan, kedua pasangan diikuti rombongan beranjak dari Bangsal Kasatriyan untuk menemui Sultan dan keluarga besarnya.
Terlihat wajah Yudanegara dan Bendara sangat segar meski sehari sebelumnya menyalami sekitar 4.000 tamu dalam upacara panggih dan resepsi. Saat itu Yudanegara memakai pakaian atela putih dengan blangkon, sedangkan Bendara berkebaya singkep merah muda. Mereka sempat melempar senyum dan melambaikan tangan kepada wartawan. Sampai di gedung Jene, mereka langsung duduk bersila menghadap Sultan dan GKR Hemas.
Sultan HB X yang menggunakan pakaian takwa bermotif bunga warna biru juga berpesan agar pengantin baru bisa membina bahtera rumah tangga dengan baik. Keterbukaan dan komunikasi harus dibangun untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Kekurangan yang ada pada masing-masing harus menjadi perekat hubungan.
Untuk membina keluarga yang harmonis harus bisa saling menjaga, menghormati, dan menghargai satu sama lain. "Menikahkan adalah kewajiban orang tua. Toh kalian juga memilih sendiri, tidak dijodohkan," ujar Sultan.
Ayah lima putri itu berpesar agar dinamika rumah tangga tidak membuat keduanya mudah emosi, apalagi menguasai satu sama lain. Perbedaan cara pandang merupakan hal lumrah dalam berumah tangga, namun harus diimbangi dengan keterbukaan dan kejujuran. "Kalian harus bisa menjaga integritas diri dan keluarga," jelasnya.
Sultan juga melontarkan falsafah Jawa bahwa kehilangan harta dan kekayaan tidak akan menghilangkan apa pun. Kematian hanya menghilangkan setengah dari yang dimiliki. Tetapi, kehilangan harga diri sama dengan kehilangan segala-galanya. Kehormatan diri sangat dipertaruhkan dalam kehidupan berumah tangga. "Perlu adanya integritas menjaga kehormatan dengan saling melindungi dan mengayomi," kata Sultan.
Sementara itu, ibunda Yudanegara, Hj Nurbaiti Helmi, berpesan agar pernikahan tersebut menjadi yang pertama dan terakhir untuk Ubai. "Nikah hanya sekali seumur hidup," ujar perempuan yang mengaku tidak pernah mimpi menjadi besan HB X itu. Menurut rencana, keluarga Yudanegara menggelar ngundhuh mantu di Jakarta pada 27 November mendatang. (tya/jpnn/c2/kum)
Thursday, October 20, 2011
Plangkahan Awali Prosesi Pernikahan Putri Sultan Hamengku Buwono X
Penasaran Mempelai Pria, Warga Menunggu di Regol Magangan
Putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Bendara (kedua kiri) menyerahkan plangkah kepada kakak keempatnya GRAj Nur Abra Juwita (kanan) sebagai simbol meminta izin untuk menikah terlebih dahulu, di Keraton Kilen, Kompleks Keraton Jogjakarta, Jogjakarta, Minggu (16/10). Foto : Guntur Aga Tirtana/Radar Jogja/JPNN
Rangkaian prosesi pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X GKR Bendara dimulai kemarin. Prosesi pertama adalah plangkahan dan ngabekten.
OLEG WIDOYOKO, Jogjakarta
UPACARA plangkahan dimulai sekitar pukul 09.30 WIB di Keraton Kilen. Lima putri Sultan HB X, GKR Pembayun, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GRAj Nurabra Juwita, dan GKR Bendoro, hadir terlebih dahulu. Dengan kebaya warna sama, mereka tiba di Keraton Kilen bersama istri-istri pengageng keraton.
Beberapa saat kemudian Sri Sultan HB X dan permaisuri GKR Hemas tiba dan memerintah calon pengantin putri menyerahkan uba rampe plangkahan kepada GRAj Nurabra Juwita. Plangkahan merupakan simbol kerelaan kakak yang akan dilewati adiknya yang bakal menikah terlebih dahulu. Di antara lima putri Sri Sultan, Nurabra Juwita dan Nurastuti Wijareni atau Jeng Reni (kini bergelar GKR Bendara) yang belum menikah. Nurabra adalah putri keempat, sedangkan Reni kelima.
Putri sulung GKR Pembayun menikah dengan KPH Wironegoro, GKR Condrokirono menikahi KRT Suryokusumo, dan GKR Maduretno menikah dengan KRT Purboningrat. Selasa besok, GKR Bendara akan menikah dengan KPH Yudanegara yang memiliki nama asli Achmad Ubaidillah.
Dalam uba rampe yang dibawa dengan menggunakan dua nampan dan satu bokor kuningan itu, terdapat pakaian sak pengadeg (bawahan hingga atasan), sepatu, tas, dan dompet. Selain itu, diserahkan satu paket pisang sanggan yang terdiri atas pisang raja dua tangkeb, suruh ayu, gambir, kembang telon, dan benang lawe.
Setelah penyerahan yang disaksikan langsung oleh Sri Sultan HB X, GKR Pembayun selaku cepeng damel keputren (koordinator Keputren) memberikan aba-aba agar GKR Bendara melakukan prosesi ngabekten (menyembah dan meminta restu) kepada Sri Sultan HB X dan Ratu Hemas. Dalam prosesi itu, GKR Bendara atau yang akrab disapa Jeng Reni melakukan laku ndhodhok (jalan jongkok) di atas karpet bertabur bunga melati untuk mencium lutut Sri Sultan, ayahnya. Hingga prosesi berakhir, Sri Sultan yang mengenakan surjan oranye-kuning tidak melontarkan sepatah kata pun.
Setelah upacara ngabekten, GKR Pembayun meminta pendamping calon pengantin putri BRAy Suryadiningrat dan BRAy Suryamentaram membawa putri dari Keraton Kilen ke Keputren. Setelah memasuki kompleks Keputren, GKR Bendara bersama GKR Hemas dan sesepuh keraton lain melakukan transit di Bangsal Sekarkedhaton.
Sedangkan calon pengantin pria menjalani prosesi nyantri setelah dijemput dari Dalem Mangkubumen menuju Bangsal Ksatriyan. Penjemputan dilakukan KRT Jatiningrat dan KRT Yudahadiningrat. Perjalanan dari Mangkubumen menuju regol Magangan menggunakan tiga kereta. Yaitu, Kyai Kuthakaraharja yang dinaiki Jatiningrat dan Yudahadiningrat, Puspaka Manik yang digunakan pengantin pria, dan Kyai Kus Gading dinaiki keluarga pengantin laki-laki.
Di Regol Magangan, ratusan warga Jogjakarta sudah menunggu. Warga yang rata-rata bermukim di sekitar keraton mengetahui pengantin pria akan tiba di situ sekitar pukul 11.00 dari pemberitaan media massa. "Mumpung liburan, sekalian melihat ke sini. Kepengin lihat Mas Ubai (panggilan KPH Yudanegara, Red) langsung," ujar Lutfhi Hasan, warga Pugeran yang datang bersama istri dan anaknya.
Setelah tiba di Magangan, Yudanegara yang juga Kasubid Komunikasi Politik Bidang Media Cetak Setwapres diantar menghadap KGPH Hadiwinoto selaku cepeng damel Ksatriyan di Bangsal Ksatriyan. Ubai dan keluarga beristirahat di Gedhong Srikaton dan kembali ke Ksatriyan untuk meneruskan prosesi nyantri.
Menurut GBPH Prabukusumo, tradisi nyantri dilakukan untuk semua calon mantu keraton, baik perempuan maupun laki-laki, sebagai sarana pengenalan kepada anggota keluarga keraton. Dahulu prosesi tersebut dilakukan selama 40 hari menjelang menikah, berbarengan dengan prosesi pingitan.
Namun, karena perkembangan zaman, sekarang dilakukan secukupnya, menjelang hari H pernikahan sebagai simbol adaptasi di lingkungan keraton. "Tujuannya, pengenalan kepada anggota keluarga keraton untuk mengakrabkan supaya keraton bisa mengenali calon mantu," ujar Prabukusumo di Bangsal Ksatriyan.
Sebelumnya, Nurabra Juwita mengatakan tidak meminta barang istimewa. Sebagian barang merupakan pilihan Jeng Reni dan Ubai serta orang tuanya. Meski begitu, ada juga yang dia pilih sendiri. "Tapi, gak ditentuin kok harus merek apa atau gimana," ujar Jeng Abra ?panggilan Nurabra Juwita.
Dia tidak mempermasalahkan adiknya menikah terlebih dahulu. Putri keempat Sri Sultan yang lahir 24 Desember 1983 itu juga menyatakan merestui pernikahan adiknya dan tidak meminta permohonan khusus. Meski demikian, Jeng Abra tetap harus menjalani upacara plangkahan sebagai ritual di keraton.
"Jodoh orang kan masing-masing, bukan kita yang ngatur. Kerena itu, bagi saya, tidak masalah adik saya duluan menikah. Saya ingin berkarir dulu," tutur Jeng Abra yang berkarir di Jakarta bidang IT.
Jeng Abra menuturkan, sebelum dilamar, adiknya melakukan pembicaraan pribadi dengan dirinya. Jeng Reni sempat menyatakan rasa sungkan karena harus menikah terlebih dahulu. Namun, sebagai kakak, dia justru tidak mempermasalahkan itu.
"Sebelumnya memang sempat ada pembicaraan tentang persoalan ini. Sebab, jika Reni menikah, berarti tinggal saya yang belum. Sebenarnya dia agak berat, tetapi saya mendorong. Ya memang melangkahi. Tapi, saya tidak masalah karena jodoh orang sendiri-sendiri," tuturnya.
Dia berpesan agar setelah menikah, Jeng Reni maupun Ubai tidak melupakan keluarga. "Saya tidak bisa memberikan pesan khusus. Kurang lebih sama dengan semua orang, yakni agar semua berjalan baik. Saya hanya mendoakan agar mereka bahagia dan paling penting adalah tidak melupakan keluarga," tandas Jeng Abra. (leg/tya/jpnn/c4/nw)
Putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Bendara (kedua kiri) menyerahkan plangkah kepada kakak keempatnya GRAj Nur Abra Juwita (kanan) sebagai simbol meminta izin untuk menikah terlebih dahulu, di Keraton Kilen, Kompleks Keraton Jogjakarta, Jogjakarta, Minggu (16/10). Foto : Guntur Aga Tirtana/Radar Jogja/JPNN
Rangkaian prosesi pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X GKR Bendara dimulai kemarin. Prosesi pertama adalah plangkahan dan ngabekten.
OLEG WIDOYOKO, Jogjakarta
UPACARA plangkahan dimulai sekitar pukul 09.30 WIB di Keraton Kilen. Lima putri Sultan HB X, GKR Pembayun, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GRAj Nurabra Juwita, dan GKR Bendoro, hadir terlebih dahulu. Dengan kebaya warna sama, mereka tiba di Keraton Kilen bersama istri-istri pengageng keraton.
Beberapa saat kemudian Sri Sultan HB X dan permaisuri GKR Hemas tiba dan memerintah calon pengantin putri menyerahkan uba rampe plangkahan kepada GRAj Nurabra Juwita. Plangkahan merupakan simbol kerelaan kakak yang akan dilewati adiknya yang bakal menikah terlebih dahulu. Di antara lima putri Sri Sultan, Nurabra Juwita dan Nurastuti Wijareni atau Jeng Reni (kini bergelar GKR Bendara) yang belum menikah. Nurabra adalah putri keempat, sedangkan Reni kelima.
Putri sulung GKR Pembayun menikah dengan KPH Wironegoro, GKR Condrokirono menikahi KRT Suryokusumo, dan GKR Maduretno menikah dengan KRT Purboningrat. Selasa besok, GKR Bendara akan menikah dengan KPH Yudanegara yang memiliki nama asli Achmad Ubaidillah.
Dalam uba rampe yang dibawa dengan menggunakan dua nampan dan satu bokor kuningan itu, terdapat pakaian sak pengadeg (bawahan hingga atasan), sepatu, tas, dan dompet. Selain itu, diserahkan satu paket pisang sanggan yang terdiri atas pisang raja dua tangkeb, suruh ayu, gambir, kembang telon, dan benang lawe.
Setelah penyerahan yang disaksikan langsung oleh Sri Sultan HB X, GKR Pembayun selaku cepeng damel keputren (koordinator Keputren) memberikan aba-aba agar GKR Bendara melakukan prosesi ngabekten (menyembah dan meminta restu) kepada Sri Sultan HB X dan Ratu Hemas. Dalam prosesi itu, GKR Bendara atau yang akrab disapa Jeng Reni melakukan laku ndhodhok (jalan jongkok) di atas karpet bertabur bunga melati untuk mencium lutut Sri Sultan, ayahnya. Hingga prosesi berakhir, Sri Sultan yang mengenakan surjan oranye-kuning tidak melontarkan sepatah kata pun.
Setelah upacara ngabekten, GKR Pembayun meminta pendamping calon pengantin putri BRAy Suryadiningrat dan BRAy Suryamentaram membawa putri dari Keraton Kilen ke Keputren. Setelah memasuki kompleks Keputren, GKR Bendara bersama GKR Hemas dan sesepuh keraton lain melakukan transit di Bangsal Sekarkedhaton.
Sedangkan calon pengantin pria menjalani prosesi nyantri setelah dijemput dari Dalem Mangkubumen menuju Bangsal Ksatriyan. Penjemputan dilakukan KRT Jatiningrat dan KRT Yudahadiningrat. Perjalanan dari Mangkubumen menuju regol Magangan menggunakan tiga kereta. Yaitu, Kyai Kuthakaraharja yang dinaiki Jatiningrat dan Yudahadiningrat, Puspaka Manik yang digunakan pengantin pria, dan Kyai Kus Gading dinaiki keluarga pengantin laki-laki.
Di Regol Magangan, ratusan warga Jogjakarta sudah menunggu. Warga yang rata-rata bermukim di sekitar keraton mengetahui pengantin pria akan tiba di situ sekitar pukul 11.00 dari pemberitaan media massa. "Mumpung liburan, sekalian melihat ke sini. Kepengin lihat Mas Ubai (panggilan KPH Yudanegara, Red) langsung," ujar Lutfhi Hasan, warga Pugeran yang datang bersama istri dan anaknya.
Setelah tiba di Magangan, Yudanegara yang juga Kasubid Komunikasi Politik Bidang Media Cetak Setwapres diantar menghadap KGPH Hadiwinoto selaku cepeng damel Ksatriyan di Bangsal Ksatriyan. Ubai dan keluarga beristirahat di Gedhong Srikaton dan kembali ke Ksatriyan untuk meneruskan prosesi nyantri.
Menurut GBPH Prabukusumo, tradisi nyantri dilakukan untuk semua calon mantu keraton, baik perempuan maupun laki-laki, sebagai sarana pengenalan kepada anggota keluarga keraton. Dahulu prosesi tersebut dilakukan selama 40 hari menjelang menikah, berbarengan dengan prosesi pingitan.
Namun, karena perkembangan zaman, sekarang dilakukan secukupnya, menjelang hari H pernikahan sebagai simbol adaptasi di lingkungan keraton. "Tujuannya, pengenalan kepada anggota keluarga keraton untuk mengakrabkan supaya keraton bisa mengenali calon mantu," ujar Prabukusumo di Bangsal Ksatriyan.
Sebelumnya, Nurabra Juwita mengatakan tidak meminta barang istimewa. Sebagian barang merupakan pilihan Jeng Reni dan Ubai serta orang tuanya. Meski begitu, ada juga yang dia pilih sendiri. "Tapi, gak ditentuin kok harus merek apa atau gimana," ujar Jeng Abra ?panggilan Nurabra Juwita.
Dia tidak mempermasalahkan adiknya menikah terlebih dahulu. Putri keempat Sri Sultan yang lahir 24 Desember 1983 itu juga menyatakan merestui pernikahan adiknya dan tidak meminta permohonan khusus. Meski demikian, Jeng Abra tetap harus menjalani upacara plangkahan sebagai ritual di keraton.
"Jodoh orang kan masing-masing, bukan kita yang ngatur. Kerena itu, bagi saya, tidak masalah adik saya duluan menikah. Saya ingin berkarir dulu," tutur Jeng Abra yang berkarir di Jakarta bidang IT.
Jeng Abra menuturkan, sebelum dilamar, adiknya melakukan pembicaraan pribadi dengan dirinya. Jeng Reni sempat menyatakan rasa sungkan karena harus menikah terlebih dahulu. Namun, sebagai kakak, dia justru tidak mempermasalahkan itu.
"Sebelumnya memang sempat ada pembicaraan tentang persoalan ini. Sebab, jika Reni menikah, berarti tinggal saya yang belum. Sebenarnya dia agak berat, tetapi saya mendorong. Ya memang melangkahi. Tapi, saya tidak masalah karena jodoh orang sendiri-sendiri," tuturnya.
Dia berpesan agar setelah menikah, Jeng Reni maupun Ubai tidak melupakan keluarga. "Saya tidak bisa memberikan pesan khusus. Kurang lebih sama dengan semua orang, yakni agar semua berjalan baik. Saya hanya mendoakan agar mereka bahagia dan paling penting adalah tidak melupakan keluarga," tandas Jeng Abra. (leg/tya/jpnn/c4/nw)
40 Raja Hadiri Pernikahan Keraton Jogja
JOGJAKARTA I SURYA Online - Puncak pesta pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara berlangsung sangat meriah di Bangsal Kencana, Keraton Jogjakarta, Selasa (18/10/2011). Puluhan petinggi negara, termasuk Presiden dan Wapres, 40 raja, dan ratusan pejabat hadir.
Segenap warga Jogjakarta tak ketinggalan menyaksikan pesta keraton itu, baik dengan memadati jalan-jalan yang dilalui prosesi, maupun menonton secara kolektif atau pribadi melalui layar televisi. Mereka semua turut merasakan kebahagiaan keluarga Sultan Hamengku Buwono X.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hadir di Bangsal Kencana sekitar pukul 09.50 WIB. Ia disambut Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas diiringi alunan gending Monggang (gending khusus untuk tamu istimewa keraton). Presiden yang mengenakan jas dan dasi oranye dan Ibu Ani berkebaya oranye itu menghadiri upacara “panggih” (temu) pengantin.
Sebelumnya, Wapres Boediono bersama Ibu Herawati tiba pukul 09.40 WIB. RI-2 ini mengenakan jas berdasi biru, sedangkan sang istri berkebaya. Mereka juga disambut Sultan yang bersurjan motif kembang warna-warni dan GKR Hemas berkebaya oranye.
Prosesi “pangih” diawali dengan tari “edan-edanan” yang dibawakan tiga penari sebagai simbol tolak bala. Ini diiringi rombongan abdi dalem Keparak yang membawa kembar mayang dan pisang sanggan.
Selanjutnya, pengantin pria didampingi GBPH Suryodiningrat dan GBPH Suryomentaram datang di Bangsal Kencana dari Kasatriyan. Mereka diiringi KGPH Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, dan GBPH Yudhaningrat. KPH Yudanegara yang berbusana Paes Ageng dengan kuluk (topi) putih ini bersama para pendamping berdiri di emper Bangsal Kencana menunggu kehadiran pengantin putri GKR Bendara dari Sekar Kedhaton.
Beberapa saat kemudian pengantin putri yang berbusana Paes Ageng dengan sanggul dihias untaian melati dan bunga hadir didampingi BRAy Suryodiningrat dan BRAy Suryomentaram diiringi GKR Pembayun, GKR Condro Kirono, GKR Maduretno, dan GRAj Nur Abra Juwita.
Upacara “panggih” dimulai dengan lempar sirih. Pengantin putra dan putri saling melempar sirih sebagai simbol bersatunya hati. Prosesi dilanjutkan dengan pengantin putri membasuh kaki pengantin putra sebagai simbol kesetiaan seorang istri kepada suami.
Berikutnya adalah prosesi “pondongan”. Pengantin putra dibantu GBPH Suryodonindrat “memondong” pengantin putri sebagai wujud tanggung jawab suami kepada istri. Pasangan pengantin ini kemudian berjalan menuju pelaminan di Tratag Bangsal Prabayeksa diiringi Sultan dan GKR Hemas serta orang tua KPH Yudanegara untuk menerima ucapan selamat dari para tamu.
Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada pengantin dan orang tuanya, dilanjutkan dengan foto bersama. Selanjutnya, Presiden SBY dan Ibu Ani meninggalkan keraton. Ucapan selamat selanjutnya disampaikan Wapres Boediono dan Ibu Herawati.
Bangsal Kencana yang digunakan untuk proses “panggih” tampak semarak dengan berbagai hiasan kain berwarna oranye, merah, dan putih serta janur hias di sejumlah sudut. Suasana bertambah semarak dan meriah dengan alunan gending dari gamelan yang ditabuh para wiyaga.
Selain Presiden dan Wapres, juga tampak hadir 20 menteri, 10 duta besar, mantan Wapres HM Jusuf Kalla, mantan Wapres Hamzah Haz, istri mantan Presiden Gus Dur Ny Sinta Nuriyah, Ketua DPR Marzuki Alie, sejumlah menteri, mantan menteri, anggota MPR, DPR, dan DPD.
Setelah “panggih”, prosesi pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara dilanjutkan dengan kirab pengantin dan resepsi pernikahan di Kepatihan. Resepsi berlangsung meriah, apalagi di tengah tamu undangan, hadir sedikitnya 40 raja dari kerajaan-kerajaan Nusantara.
Koordinator Panitia Pernikahan KRT Yudahadiningrat mengatakan, yang hadir, antara lain, Raja Siak, Raja Kasunanan Cirebon, Raja Kasunanan Mangkunegaran, Raja Lombok, dan Raja Ternate bersama rombongan. Mereka melengkapi sekitar 2.515 undangan. Sebanyak 1.015 undangan mengikuti prosesi “panggih” di Bangsal Kencono dan sisanya hadir pada resepsi di Kepatihan.
Sebelum “panggih” dan resepsi kedua mempelai lebih dulu dikirab. Warga dan wisatawan menyaksikan arak-arakan pengantin di sepanjang Jalan Malioboro yang sudah dihias dengan 100 penjor janur kuning. Mempelai diarak dengan kereta Kyai Jong Wiyat, kereta tua peninggalan Sultan Hamengku Buwono VII 1881. Kereta itu berbentuk terbuka, sehingga pengantin bisa dilihat langsung oleh publik.
Indahnya Prosesi Pernikahan Kraton
VIVAnews - Prosesi pernikahan memang selalu menarik untuk disimak. Apalagi, pernikahan kerajaan yang digelar Keraton Yogyakarta. Berbagai upacara tradisional digelar menjelang akad nikah antara Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegoro dan Gusti Kanjeng Ratu Bendara yang dilangsungkan hari ini, 18 Oktober 2011, di masjid Panepen Keraton Yogyakarta.
Pada 16 Oktober lalu, Pangeran Haryo menjalani tradisi nyantri. Dalam prosesi ini, ia dijemput oleh utusan Dalem Kraton dengan kereta kuda. Ia dijemput oleh Kanjeng Raden Temenggung (KRT) Jatiningrat atau Romo Tirun, KRT Hadiningrat, KRT Pujaningrat dan KRT Yudo Hadiningrat. Lihat foto prosesinya di sini.
Lalu, pada Senin, 17 Oktober kemarin, Pangeran Haryo dan GKR Bendara menjalani upacara siraman. Ritual ini digelar di dua tempat berbeda. Untuk mempelai pria, siraman digelar di bangsal Kesatrian. Sementara, siraman mempelai putri dilakukan Bangsal Sekar Kedhaton Kaputren.
Gusti Kanjeng Ratu Hemas sendiri, yang memimpin upacara ini. Siraman yang dalam bahasa Jawa berasal dari kata siram, berarti mandi, merupakan prosesi penuh makna dan penuh rasa haru.
Upacara ini dilakukan, dengan tujuan agar calon pengantin membersihkan diri, dan dalam keadaan suci dan murni, saat memasuki gerbang pernikahan. Anda bisa melihat sakral dan indahnya upacara siraman Pangeran Haryo Yudanegoro dan Gusti Kanjeng Ratu Bendara di sini.
Lalu, pada malam harinya, GKR Bendara menjalani prosesi malam Midodareni di Bangsal Sekar Kedaton, Keraton Yogyakarta. Ini merupakan malam terakhir masa lajang putri yang hanya ditemani saudara dan kerabat perempuannya menjelang hari pernikahan keesokan harinya. Intip cantiknya sang putri keraton saat Midodareni di sini.
• VIVAnews
Pernikahan Agung Keluarga Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat Mengundang Perhatian Khalayak
Setelah prosesi panjang dan mengesankan selama tiga hari akhirnya puncak acara pernikahan agung Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat berlangsung khidmat, lancar dan meriah, menarik perhatian khalayak. Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nur Astuti Wijareni (putri bungsu Sultan Yogyakarta) dan Achmad Ubaidillah yang kini bergelar Kanjeng Pangeran, keduanya kini resmi dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan.
Puncak acara dilangsungkan pada 18 Oktober dengan beberapa rangkaian acara. Dimulai dengan ijab qabul di Masjid Penenpen Keraton Yogyakarta sekitar pukul 07.30 pagi, akhirnya calon pengantin pria, Yudhanegara, tiba di Bangsal Srimanganti untuk menunggu kedatangan Sultan Hamengku Buwono X. Setelahnya, pukul 10.00 WIB prosesi panggih dimulai dihadiri langsung oleh Presiden SBY yang duduk berdampingan dengan Sultan, Wakil Presiden Boediono, juga beberapa menteri, duta besar, dan pejabat negara. Akad nikah menggunakan bahasa Jawa dipimpin Kanjeng Raden Pengulu Dipodiningrat.
Prosesi tersebut berlangsung di Bangsal Kencono Kraton Yogyakarta, acara Panggih dimulai dengan tari edan-edanan sebagai penolak bala. Berikutnya, kedua mempelai menjalani sejumlah ritual termasuk pondhongan atau mengangkat tubuh pengantin puteri yang berasal dari keluarga bangsawan.
Di sekitar keraton, khususnya dari Jalan Keraton Yogyakarta hingga kawasan Jalan Malioboro, hadir ribuan warga Yogyakarta dan wisatawan dalam juga asing menyaksikan Kirab Temanten.
Sekitar pukul 16.00, Kirab Temanten pun dimulai. Kereta kereta kuda yang dinaiki kedua mempelai maupun kerabat keraton lainnya berangkat dari Keraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan, tempat digelarnya acara resepsi pernikahan.
Kirab dimulai dari Pintu Gerbang Keben. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro dan suaminya menggunakan busana paes ageng warna hitam dengan motif bordir jangan menir warna emas. 5 kereta kuda digunakan dalam kirab tersebut, salah satunya kereta Kyai Jongwiyat yang ditunggangi kedua mempelai. Ribuan warga Yogyakarta dan wisatawan yang memadati sepanjang jalan antara Keraton dan Malioboro mengarak kedua memplai dalam suasana yang meriah dan membahagiakan.
Resepsi penikahan yang belangsung di Bangsal Kepatihan menampilkan Tari Bedoyo Manten. Tarian sakral karya Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersebut hanya boleh digelar saat pernikahan putri raja. Tariannya dibawakan enam penari putri Keraton yang masih gadis menceritakan perjalanan hubungan pasangan kekasih sampai keduanya menjadi suami istri.
Tamu resepsi akan dibagi dua lokasi. Sekitar seribu orang hadir saat proses Panggih di Bangsal Kencono pada pagi hari, sekitar pukul 10.00 WIB atau selepas Ijab Qabul. Sedangkan sisanya hadir di Kepatihan pada petang hingga malam hari.
Ucapan selamat kepada keluarga Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dan pasangan mempelai datang dari berbagai pihak termasuk dari Presiden Amerika Serikat, Slovakia, serta dari perwakilan Sabah, Malaysia. Mereka menyampaikannya melalui email kepada Sultan.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Tabzir, berdasarkan laporan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, tingkat wisatawan yang mengginap di hotel-hotel meningkat dan sudah terjadi sejak sepekan menjelang pernikahan. Tingkat hunian hotel bahkan mencapai prestasi “full booked”. Wisman yang datang tersebut dari Eropa Barat dan Asia. Tidak hanya itu media asing pun tidak melewatkan kesempatan untuk meliput acara yang megah dan sakral ini.
Pernikahan Kerajaan Jogja Mengulang Tradisi Zaman HB VII
Pernikahan putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Bendara atau Jeng Reni, pada 16-18 Oktober mendatang tampak istimewa dibanding pernikahan ketiga putri Sultan sebelumnya.
Pernikahan Jeng Reni dan Ubai, atau sapaan pengantin pria akan menggunakan tradisi pernikahan zaman Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1920). Tradisi pernikahan zaman HB VII terletak pada prosesi menjelang resepsi. Pada hari ketiga hajatan atau 18 Oktober, kedua pengantin akan diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Kepatihan (Komplek Kantor Gubernur) menggunakan kereta Kanjeng Kyai Jatayu. Inilah prosesi kirab kereta yang menjadi simbol mengenalkan kedua pengantin pada masyarakat Yogyakarta.
Kereta pengantin ini akan diiringi kereta lain yang membawa kerabat keraton dan prajurit keraton. Dan sesampainya di Kepatihan, pengantin akan disambut dengan tarian khas Jogja, tari Bedoyo Temanten dan Bedoyo Lawung Ageng. Saat proses kirab kereta ini berlangsung, Jalan Malioboro akan ditutup sementara. Namun begitu,seluruh masyarakat Yogyakarta diperbolehkan untuk melihat kedua pengantin. Prosesi kirab kereta ini sebelumnya tidak dilakukan oleh ketiga putri Sultan sebelumnya. Momen ini terbilang langka dan menjadi wujud pelestarian budaya Jogja. Tak hanya itu,moment ini diharapkan menjadi daya tarik wisatawan yang saat itu mengunjungi Jogja. Aura pernikahan kerajaan HB VII juga terlihat dari busana yang dikenakan pengantin. Pengantin menggunakan busana model HB VII dengan motif batik semen. Motif ini dirancang oleh perancang busana ternama, Afif Syakur, dan akan digunakan saat berdandan basahan atau paes ageng.
"Motif batik ini bercorak flora dan fauna yang menggambarkan makna seseorang yang berbudi mulia dan budi pekerti luhur. Motif semen juga bercerita tentang kehidupan manusia dari lahir hingga meninggal,"papar Afif di sela fitting baju pengantin di Keraton Kilen Yogyakarta, Kamis (13/10). Dirinya menambahkan, pengerjaan batik semen berwarna biru indigo dengan warna emas ini memerlukan waktu 9 bulan. Untuk pengantin putri ukuran kain mencapai 4,5 meter. Sementara itu, proses adat pernikahan Yogyakarta tetap dilakukan seperti sebelumnya. Diantaranya siraman, midodareni, plangkahan, ngabekten, ijab kabul, dan berbagai upacara adat lainnya.
Dalam prosesi ini, mempelai pria dijemput oleh utusan dalem Kraton dengan kereta kuda.
VIVAnews – Jelang akad nikah, pasangan “royal wedding” Kesultanan Yogyakarta harus menjalani sejumlah tradisi. Hari ini calon menantu Sultan Hamengku Buwono X, Pangeran Haryo Yudanegara atau Achmad Ubaidillah, menjalani tradisi nyantri.
Dalam tradisi nyantri, Ubay (panggilan Ubaidillah) akan menjalankan tradisi mondok. Tujuannya adalah untuk mengadaptasi dengan lingkungan Keluarga Kraton dan rumah.
Dalam prosesi ini, Ubay pun dijemput oleh utusan dalem Kraton dengan kereta kuda. Calon mempelai pria itu menempuh perjalanan dengan kereta kuda dari Dalem Mangkubumen menuju Kesatrian Magangan Kraton.
Tiga Kereta Kuda menjemput mempelai pria yang didampingi oleh utusan Dalem Kraton, Kanjeng Raden Temenggung (KRT) Jatiningrat atau Romo Tirun, KRT Hadiningrat, KRT Pujaningrat dan KRT Yudo Hadiningrat.
Seperti apa kemeriahan “royal wedding” ala Kesultanan Yogyakarta? Lihat sejumlah fotonya dalam galeri di tautan ini.
Calon Menantu Sultan: Keraton Yogya Demokratis & Kekeluargaan
Jakarta - Masuk menjadi bagian dari keluarga keraton tentu tidak mudah, terlebih bagi masyarakat biasa yang tidak punya embel-embel kebangsawanan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Achmad Ubaidillah, yang sebentar lagi menikahi putri Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni.
Memang, menurut pegawai Sekretriat Wakil Presiden (Setwapres) yang akrab disapa Ubai ini, dirinya sempat gugup ketika diperkenalkan Reni dengan keluarga keraton berikut adat-istiadat yang berlaku di dalam keraton. Apalagi, ia adalah satu-satunya calon menantu Sri Sultan yang berasal dari luar Jawa.
"Awalnya saya, waduh, yang saya lihat, kan, Jawa semua menantunya, Mas, sedangkan saya Sumatera. Tapi saya pikir, saya suka dengan Reni, saya cinta dengan Reni. Kalau kita sudah saling mencintai, semua itu bablas saja begitu, kan?" kata Ubai sambil tertawa saat berbincang-bicang dengan detikcom di Kantornya, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (27/5/2011) pekan lalu.
Menurut Ubai, semua ketakutannya hilang ketika mengetahui bahwa keluarga keraton ternyata sangat demokratis. Pemuda kelahiran Jakarta, 26 Oktober 1981, ini, memberi contoh, kedemokratisan keluarga Sri Sultan adalah ketika raja Jawa tersebut tidak memilih-milih latar belakang calon pendamping hidup bagi putri-putrinya.
"Kata Ngarso Dalem (Sri Sultan), 'Saya nggak memandang suku. Saya nggak memandang dari Papua, dari Kalimantan, terserah, asal anak saya senang, anak saya suka'. Nah, di situ saya merasa Sri Sultan bijaksana sekali," kata Ubai bercerita saat ia mengutarakan niat untuk melamar Reni pada tahun 2010 yang lalu di Kediaman Sultan, Jl Suwiryo, Menteng, Jakpus.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas pun, lanjut Ubai, juga mempunyai sikap yang sama dengan Sri Sultan pada waktu itu. Tanpa menanyakan macam-macam, GKR Hemas langsung menyetujui Reni dipinang oleh pemuda yang tidak mempunyai garis keturunan 'darah biru'.
"Pada waktu itu ada Kanjeng Ratu juga di Jakarta, saya bilang 'Saya sangat mencintai putrinya yang bungsu, Reni. Terus kanjeng ratu bilang 'Ya, sudah'. Kanjeng Ratu juga men-support malah. Maka ketemulah lamarannya kapan dan segala macem, yaitu bulan September 2010," tutur Ubai.
Selain demokratis, keramahan dan sifat kekeluargaan juga sangat kental di lingkungan keraton. Ubai mengaku banyak mendapat bantuan dari keluarga keraton untuk menyesuaikan dengan adat-istiadat yang berlaku di dalam keraton. Bahkan, di samping tentu saja Reni, GKR Hemas sendiri suka mengajarinya cara bertutur kata yang santun sesuai adat keraton.
"Kadang-kadang saya diajari Reni, kadang-kadang sama Kanjeng Ratu juga. Saya ngobrol kalau salah sama Kanjeng Ratu diperbaiki. Ya, apa ya, bagus lah buat pemula seperti saya," ungkap Ubai.
Sebagai orang dari luar keraton, Ubai merasa dirangkul oleh keluarga besar Sri Sultan. Hal itu membuatnya merasa nyaman menjalani hubungan dengan Reni selama 4 tahun ini. Ke depan, menjelang pesta penikahannya digelar, Ubai semakin tertantang untuk mendalami lebih jauh aturan-aturan keraton Yogyakarta.
"Itulah bagusnya keluarga keraton. Tidak pernah sombong, tidak pernah angkuh, dan merangkul sifatnya. Saya merasa nyaman, kekeluargaannya ada banget. Yang saya bayangkan itu sirna semua. Rasa takut ada, tapi setelah kita mendekat, sudah, cair suasananya," kata Ubai.
Pernikahan antara Reni dan Ubai akan digelar pada 16-19 Oktober 2011 mendatang di Keraton Yogyakarta. Sebelumnya, akan dilakukan upacara wisuda gelar calon pengantin pada 3 Juli di Bangsal Purworetno. Proses lamaran sendiri sudah dilangsungkan pada bulan September 2010 lalu. (Detik News)
Memang, menurut pegawai Sekretriat Wakil Presiden (Setwapres) yang akrab disapa Ubai ini, dirinya sempat gugup ketika diperkenalkan Reni dengan keluarga keraton berikut adat-istiadat yang berlaku di dalam keraton. Apalagi, ia adalah satu-satunya calon menantu Sri Sultan yang berasal dari luar Jawa.
"Awalnya saya, waduh, yang saya lihat, kan, Jawa semua menantunya, Mas, sedangkan saya Sumatera. Tapi saya pikir, saya suka dengan Reni, saya cinta dengan Reni. Kalau kita sudah saling mencintai, semua itu bablas saja begitu, kan?" kata Ubai sambil tertawa saat berbincang-bicang dengan detikcom di Kantornya, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (27/5/2011) pekan lalu.
Menurut Ubai, semua ketakutannya hilang ketika mengetahui bahwa keluarga keraton ternyata sangat demokratis. Pemuda kelahiran Jakarta, 26 Oktober 1981, ini, memberi contoh, kedemokratisan keluarga Sri Sultan adalah ketika raja Jawa tersebut tidak memilih-milih latar belakang calon pendamping hidup bagi putri-putrinya.
"Kata Ngarso Dalem (Sri Sultan), 'Saya nggak memandang suku. Saya nggak memandang dari Papua, dari Kalimantan, terserah, asal anak saya senang, anak saya suka'. Nah, di situ saya merasa Sri Sultan bijaksana sekali," kata Ubai bercerita saat ia mengutarakan niat untuk melamar Reni pada tahun 2010 yang lalu di Kediaman Sultan, Jl Suwiryo, Menteng, Jakpus.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas pun, lanjut Ubai, juga mempunyai sikap yang sama dengan Sri Sultan pada waktu itu. Tanpa menanyakan macam-macam, GKR Hemas langsung menyetujui Reni dipinang oleh pemuda yang tidak mempunyai garis keturunan 'darah biru'.
"Pada waktu itu ada Kanjeng Ratu juga di Jakarta, saya bilang 'Saya sangat mencintai putrinya yang bungsu, Reni. Terus kanjeng ratu bilang 'Ya, sudah'. Kanjeng Ratu juga men-support malah. Maka ketemulah lamarannya kapan dan segala macem, yaitu bulan September 2010," tutur Ubai.
Selain demokratis, keramahan dan sifat kekeluargaan juga sangat kental di lingkungan keraton. Ubai mengaku banyak mendapat bantuan dari keluarga keraton untuk menyesuaikan dengan adat-istiadat yang berlaku di dalam keraton. Bahkan, di samping tentu saja Reni, GKR Hemas sendiri suka mengajarinya cara bertutur kata yang santun sesuai adat keraton.
"Kadang-kadang saya diajari Reni, kadang-kadang sama Kanjeng Ratu juga. Saya ngobrol kalau salah sama Kanjeng Ratu diperbaiki. Ya, apa ya, bagus lah buat pemula seperti saya," ungkap Ubai.
Sebagai orang dari luar keraton, Ubai merasa dirangkul oleh keluarga besar Sri Sultan. Hal itu membuatnya merasa nyaman menjalani hubungan dengan Reni selama 4 tahun ini. Ke depan, menjelang pesta penikahannya digelar, Ubai semakin tertantang untuk mendalami lebih jauh aturan-aturan keraton Yogyakarta.
"Itulah bagusnya keluarga keraton. Tidak pernah sombong, tidak pernah angkuh, dan merangkul sifatnya. Saya merasa nyaman, kekeluargaannya ada banget. Yang saya bayangkan itu sirna semua. Rasa takut ada, tapi setelah kita mendekat, sudah, cair suasananya," kata Ubai.
Pernikahan antara Reni dan Ubai akan digelar pada 16-19 Oktober 2011 mendatang di Keraton Yogyakarta. Sebelumnya, akan dilakukan upacara wisuda gelar calon pengantin pada 3 Juli di Bangsal Purworetno. Proses lamaran sendiri sudah dilangsungkan pada bulan September 2010 lalu. (Detik News)
Sunday, October 16, 2011
Panitia Gelar Gladi Resik Penjemputan Pengantin Pria
Yogyakarta - Menjelang pelaksanaan pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, kesibukan panitia mulai terasa. Hari ini panitia melakukan gladi bersih penjemputan pengantin pria menggunakan kereta kuda.
Tiga buah kereta kuda untuk menjemput calon menantu Sultan adalah Kereta Kyai Kutho Kaharjo, Kyai Puspoko Manik dan Kyai Kus Gading. Ketiga kereta kuda buatan awal tahun 1900-an itu dikeluarkan dari Museum Kereta Keraton di Jalan Rotowijayan.
Masing-masing kereta kemudian ditarik dua ekor kuda. Sebanyak enam ekor kuda warna putih milik Yon Kavaleri Kuda Bandung dinaiki anggota TNI yang bertugas sebagai pengawal kereta kuda. Setelah semua siap dari museum, tiga kereta tersebut kemudian dibawa menuju Magangan.
Gladi bersih dimulai dari Regol Magangan atau pintu belakang Keraton Ngayogyakarto menuju Ndalem Mangkubumen. Mempelai pria, KPH Yudanegara (Achmad Ubaedillah) akan menaiki kereta Kyai Kutho Kaharjo. Sedangkan keluarga/kerabat besan Sultan akan naik Kyai Puspito Manik dan Kyai Kus Gading.
Saat gladi bersih dimulai, turut hadir adik Sultan GBPH Joyokusumo serta sejumlah panitia lainnya. Gladi bersih hari ini adalah menjemput calon pengantin pria dari Ndalem Mangkubumen menuju keraton untuk mengikuti prosesi Nyantri yang akan dimulai pada hari Minggu 16 Oktober. Prosesi penjemputan dipimpin langsung KRT H. Jatiningrat.
"Tiga kereta ini dipersiapkan untuk menjemput calon pengantin pria dan keluarga dari Ndalem Mangkubumen menuju keraton yang berjarak sekitar 1 Km. Gladi bersih untuk memastikan kesiapan termasuk mencocokkan waktu pelaksanaan," kata Ronny Guritno salah satu panitia pernikahan kepada detikcom, Jumat (14/10/2011)
Sumber : Detik News.
PERNIKAHAN KERAJAAN KERATON YOGYAKARTA : ‘Mekhanai’ Lampung itu Masih Sulit Berbahasa Jawa Halus
Lampost : Sabtu, 15 October 2011
BANDAR LAMPUNG—Ketika menjadi ajudan Penjabat Gubernur Lampung Tursandi Alwi, Achmad Ubaidillah bukanlah sosok menonjol dan dikenal banyak orang. Ubai, panggilan akrabnya, bekerja bersama Tursandi sejak tahun 2003, ketika mulai meniti karier sebagai PNS di Kementerian Dalam Negeri.
Tursandi Alwi menawarkannya menjadi ajudan, ketika mengetahui Ubai putra Lampung. "Saya dekat sekali dengan Pak Tursandi. Saya anggap orang tua sendiri," kata Ubai di kompleks Keraton Yogyakarta, Jumat (14-10).
Kedua orang tua Ubai berasal dari Lampung. Almarhum ayahnya, H. Jusami Ali Akbar, adalah pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan ibunya, Hj. Nurbaiti Helmi, pensiunan Kantor Kementerian Agama. Ubai lahir di Jakarta pada 26 Oktober 1981, dan bekerja di Sekretariat Wakil Presiden sebagai Kasubid Komunikasi Politik Bidang Media Cetak.
Kini, mekhanai Lampung itu menjadi buah bibir dan pusaran pemberitaan ketika Kerajaan Keraton Yogyakarta akan menggelar pernikahannya dengan Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni, putri Sri Sultan Hamengkubuwono X, mulai besok, Minggu (16-10) hingga Rabu (19-10).
Ubai pun kini bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara. Namun, dia mengaku masih kesulitan membaca ijab kabul yang diucapkan dengan bahasa Jawa halus Keraton. "Saya kesulitan dengan intonasinya. Kalau membacanya saja gampang, seperti medok-medoknya itu. Apalagi itu kan bahasa Jawa halus," kata Ubai.
Ubai mengakui menjelang akad nikah, dia memanfaatkan waktu luang untuk belajar membaca ijab kabul agar lancar dan tidak menjadi masalah. "Saya masih belajar intonasinya. Jadi saya banyak bertanya pada Jeng Reni (calon istrinya) dan Kanjeng Ratu (GKR Hemas, ibu Reni, red)," kata Ubai.
Mulai besok, jalinan percintaan Ubai dan Reni selama tiga tahun akan berujung di pelaminan. Pesta rakyat disiapkan selama empat hari empat malam. Pada 17—18 Oktober, di benteng Vredeburg, seniman menyelenggarakan malam sastra.
Sepanjang pagi hingga siang, pentas tari dari berbagai daerah, seperti barongsai, reog ponorogo, angguk, dan tari Dayak disuguhkan. Pada 18 Oktober itu pula, panitia rakyat Mangayubagyo Pernikahan Agung Keraton Yogyakarta menggelar sekitar 200 angkringan di sepanjang Malioboro, mewarnai prosesi kirab manten dari Keraton Yogyakarta menuju Kepatihan. (U-1)
BANDAR LAMPUNG—Ketika menjadi ajudan Penjabat Gubernur Lampung Tursandi Alwi, Achmad Ubaidillah bukanlah sosok menonjol dan dikenal banyak orang. Ubai, panggilan akrabnya, bekerja bersama Tursandi sejak tahun 2003, ketika mulai meniti karier sebagai PNS di Kementerian Dalam Negeri.
Tursandi Alwi menawarkannya menjadi ajudan, ketika mengetahui Ubai putra Lampung. "Saya dekat sekali dengan Pak Tursandi. Saya anggap orang tua sendiri," kata Ubai di kompleks Keraton Yogyakarta, Jumat (14-10).
Kedua orang tua Ubai berasal dari Lampung. Almarhum ayahnya, H. Jusami Ali Akbar, adalah pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan ibunya, Hj. Nurbaiti Helmi, pensiunan Kantor Kementerian Agama. Ubai lahir di Jakarta pada 26 Oktober 1981, dan bekerja di Sekretariat Wakil Presiden sebagai Kasubid Komunikasi Politik Bidang Media Cetak.
Kini, mekhanai Lampung itu menjadi buah bibir dan pusaran pemberitaan ketika Kerajaan Keraton Yogyakarta akan menggelar pernikahannya dengan Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni, putri Sri Sultan Hamengkubuwono X, mulai besok, Minggu (16-10) hingga Rabu (19-10).
Ubai pun kini bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara. Namun, dia mengaku masih kesulitan membaca ijab kabul yang diucapkan dengan bahasa Jawa halus Keraton. "Saya kesulitan dengan intonasinya. Kalau membacanya saja gampang, seperti medok-medoknya itu. Apalagi itu kan bahasa Jawa halus," kata Ubai.
Ubai mengakui menjelang akad nikah, dia memanfaatkan waktu luang untuk belajar membaca ijab kabul agar lancar dan tidak menjadi masalah. "Saya masih belajar intonasinya. Jadi saya banyak bertanya pada Jeng Reni (calon istrinya) dan Kanjeng Ratu (GKR Hemas, ibu Reni, red)," kata Ubai.
Mulai besok, jalinan percintaan Ubai dan Reni selama tiga tahun akan berujung di pelaminan. Pesta rakyat disiapkan selama empat hari empat malam. Pada 17—18 Oktober, di benteng Vredeburg, seniman menyelenggarakan malam sastra.
Sepanjang pagi hingga siang, pentas tari dari berbagai daerah, seperti barongsai, reog ponorogo, angguk, dan tari Dayak disuguhkan. Pada 18 Oktober itu pula, panitia rakyat Mangayubagyo Pernikahan Agung Keraton Yogyakarta menggelar sekitar 200 angkringan di sepanjang Malioboro, mewarnai prosesi kirab manten dari Keraton Yogyakarta menuju Kepatihan. (U-1)
Friday, October 7, 2011
KEMARAU : Rawa Terindah itu Menjadi ‘The Killing Fields’
MENGGALA—Kemarau panjang mengubah wajah kawasan rawa di Tulangbawang menjadi kering kerontang. Koloni burung rawa di Bawanglatak dan Bujungtenuk yang menjadi pemandangan indah di jalan lintas timur Sumatera tak terlihat lagi, berganti dengan koloni kerbau yang mencari rumput yang masih tersisa.
Kawasan seluas lebih dari 14 ribu hektare ini merupakan rawa terbaik dan terindah di Sumatera. Kedalaman air di lahan pasang-surut ini memang sering berubah. Dalam kondisi normal kedalamannya mencapai 3 meter—4 meter.
Pemkab Tulangbawang mempromosikan kawasan ini sebagai destinasi wisata air. Selain menyejukkan mata, kawasan ini juga menjadi tempat bergantung hidup ratusan keluarga nelayan. Puluhan ton ikan setiap hari dijaring dan menjadi komoditas perdagangan warga di sepanjang rawa.
Namun, kini semua berubah. Kawasan ini lebih layak disebut the killing fields (ladang pembantaian). Ya, kompetisi mendapat air dan ikan membuat yang kuat menjadi pemenang. Di rawa yang masih tersisa ikan, kompetisi mendapat ikan terjadi antara nelayan bermodal tipis dan nelayan bermodal besar.
Sejumlah nelayan kepada Lampung Post, Kamis (6-10), menyebutkan nelayan bermodal besar mampu meraup hasil Rp5 juta—Rp6 juta/hari karena memakai jaring waring bini. "Waring bini sangat merusak kelanjutan hidup ikan di rawa karena menjaring semua jenis ikan, baik kecil maupun besar. Banyak anak ikan mati tak terpungut di jaring," ujar seorang nelayan.
Nelayan kecil yang bermodal jaring tradisional tentu saja tersisih. Dalam kondisi normal, menurut Pauli, nelayan di Bawanglatak, dia bisa mendapat ikan 15—18 kg/hari. Namun, kini sangat sulit meskipun harus menyelusuri sungai kecil sampai ke pinggir sungai Way Tulangbawang sejauh belasan kilometer. "Kadang kami tidak mendapatkan ikan karena kalah cepat dengan nelayan jaring waring," kata Pauli.
Sebenarnya, Pemkab pada 2008 pernah melarang nelayan memakai waring. Namun, hingga kini belum ada operasi pelarangan jaring waring. Pengamatan Lampung Post, tak kurang dari 25 nelayan di wilayah ini masih menggunakan alat tangkap ikan waring.(UNA/U-1)
Subscribe to:
Posts (Atom)