Lappung Beni | Fajar Sumatera | Senin, 9 Oktober 2017 | Halaman 1
Frieda Amran
Antropolog, Pemerhati Sejarah Sosial Budaya Bermukim di Beland
BAGI lelaki Lampong, memelihara selir atau gundik bukanlah hal yang asing. Selain dilayani oleh isteri-isteri mereka, para kepala adat dan orang kaya biasa pula (minta) dilayani oleh budak-budak perempuan atau para ‘lambang’. Tak jarang, dari hubungan-hubungan ini lahir anak-anak yang dapat diakui sebagai anak sah dengan menyembelih kerbau dan kambing serta menyelenggarakan perhelatan makan bersama. Dengan demikian, ada lelaki-lelaki Lampong yang memiliki dan menanggung banyak isteri, terdiri dari keempat isteri yang dinikahinya sendiri, isteri-isteri yang diwarisinya dari kerabatnya yang sudah meninggal dan ditambah lagi dengan gundik-gundiknya.
Endika Toewan, seorang kakek tua yang memimpin kampung Boemi Aboeng (di daerah Toelang Bawang) memiliki 14 orang isteri dan gundik. Beberapa lelaki lain memiliki isteri dan gundik yang sama banyaknya.
Biasanya bila seorang lelaki hendak menjadikan seorang perempuan selir atau gundiknya, ia menyembelih beberapa ekor unggas dan menyelenggarakan perhelatan makan bersama. Ini sudah cukup untuk mengumumkan dan mensahkan hubungannya dengan seorang perempuan. Ketika lelaki itu meninggal dunia, gundik-gundik ini pun diwariskan kepada kakak, adik atau kemenakan-kemenakannya yang lelaki (‘samalang’).
Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Lampong, penduduk Telok Betong dan penduduk Boerne di Teluk Samangka lebih menampilkan diri sebagai pemeluk agama Islam. Francis menduga bahwa sikap ini muncul karena ketakutan lama terhadap kekuasaan Kesultanan Bantam. Tampaknya tak banyak yang tahu bahwa kesultanan itu sudah ditaklukkan oleh Belanda. Mereka tampaknya enggan pula disebut sebagai orang ‘kafier’ oleh pendatang-pendatang yang selalu saja mendatangi daerah-daerah ini.
Di daerah-daerah ini, terkadang tuntutan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan, dikabulkan. Walau sebetulnya sesuai hukum Islam—sesuai yang diceritakan kepada Francis, anak-anak dari perkawinan yang terputus oleh perceraian harus dibagi di antara suami dan isteri itu, nyatanya hal itu tidak terjadi. Lebih sering, anak-anak itu tetap menjadi hak dan tanggung jawab sang (mantan) suami.
Bila terjadi perceraian, uang ‘djoedjoer’ yang telah diserahkan seorang lelaki kepada ayahanda calon isterinya atau ahli waris mertuanya itu wajib dikembalikan oleh perempuan yang bercerai. Benda dan barang yang dibawa perempuan itu ketika menikah, berhak diambilnya kembali. Akan tetapi, segala sesuatu yang diperoleh pasangan suami-isteri itu selama rentang pernikahan mereka, tetap dianggap sebagai bagian sang suami.
Di daerah Toelang Bawang, Sipoeti dan Sekampong, baik yang terdapat di pesisir Telok Betong maupun yang terdapat di daerah Samangka, tak seorang pun yang ditanyai Francis pernah menyaksikan atau mengalami terjadinya sebuah perceraian. Namun, cerita mengenai perceraian terdengar di daerah Toelang Bawang dan Sipoeti.
Jauh sebelum pemuda-pemuda Lampong terpikir untuk jatuh cinta dan menikah, mereka harus menjalani satu hal: sunat. Anak-anak keluarga—keluarga kaya biasanya disunat ketika berusia di antara 7 dan 10 tahun. Anak-anak keluarga yang kurang berada disunat pada usia lebih tua atau bahkan, terkadang tidak disunat sama sekali. Penduduk yang tinggal di pedalaman Lampong—orang Aboeng—tidak menganggap penyunatan sebagai aturan di dalam adat.
Seperti juga di Pulau Jawa, sunat di Lampong dilakukan oleh dukun. Anak-anak lelaki disunat dengan menggunakan pisau yang sangat tajam; anak-anak perempuan—yang di Lampong, jarang sekali terjadi, disunat dengan menggunakan gunting. Sebagai imbalan, untuk penyunatan anak lelaki, seorang dukun lelaki menerima 6 sampai 12 ‘oewang’ (satu ‘oewang’ bernilai 10 sen). Untuk menyunat anak perempuan, seorang dukun perempuan menerima imbalan sebesar 3 ‘oewang’.
Dalam usia lanjut, beberapa lagi menyunatkan diri untuk kedua kalinya. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk dapat mengembalikan keperkasaan mereka di masa lalu. Salah seorang yang melakukan ini adalah kapala kampong Boemi Aboeng, Endika Toewan (yang namanya disebutkan di atas). Francis menduga bahwa Endika Toewan bukanlah satu-satunya lelaki yang melakukan sunat kedua itu. Pasti banyak lelaki yang mendahuluinya. Pasti banyak pula lelaki yang mengikuti jejaknya; apalagi setelah salah seorang isterinya—setelah sunat kedua itu—berhasil melahirkan seorang anak perempuan. Kelahiran anak perempuan itu dipandang sebagai semacam mukjizat oleh warga kampung. []
Pustaka Acuan:
E. Francis. Herinneringen uit den levensloop van een indisch’ ambtenaar van 1815 tot 1851 medegedeeld in brieven door E. Francis. Eerste Deel. Batavia: HM van Dorp. 1856.
E. Francis. Herinneringen uit den levensloop van een indisch’ ambtenaar van 1815 tot 1851 medegedeeld in brieven door E. Francis. Eerste Deel. Batavia: HM van Dorp. 1856.
No comments:
Post a Comment