Oleh Arman A.Z.
Peneliti, Warga Lampung
SETELAH hampir 1,5 abad kemungkinan besar tidak ada ulun Lampung yang pernah melihat bentuk dan isi kamus bahasa Lampung pertama karya Van der Tuuk, kini kamus tersebut telah pulang. Manuskrip hampir 600 halaman itu dibuat Herman Neubronner van der Tuuk selama berada di Lampung (1868—1869). Sekian lama manuskripnya tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden bersama manuskrip-manuskrip Lampung dan daerah lain.
H.N. van der Tuuk asing bagi Indonesia, padahal ia pionir penyelamatan bahasa-bahasa daerah di Nusantara. Van der Tuuk adalah salah satu penyumbang terbesar koleksi Perpustakaan Universitas Leiden. Bukan hanya kamus Lampung, dia juga orang pertama yang membuat kamus bahasa Batak, Bali, dan mengeditori kamus bahasa Melayu versi Von den Wall. Bahkan, info yang bisa jadi belum diketahui publik Indonesia, Van der Tuuk juga membuat semacam kamus atau daftar kata tulis tangan bahasa Minahasa (216 hlm.), Dayak (8 hlm.), dan Sasak (36 hlm.).
Kamus Lampung termasuk yang kurang beruntung karena tidak sempat diterbitkan. Manuskripnya dibawa Van der Tuuk hingga ke Bali. Selama di Pulau Dewata itu, Van der Tuuk tergila-gila menekuni bahasa Bali, hingga menyusun kamus Bali sekitar 3.600 halaman dan baru diterbitkan setelah ia mangkat. Hanya kamus Batak yang diterbitkan semasa Van der Tuuk hidup.
Kamus bahasa Lampung tersimpan di Perpustakaan Univ. Leiden, dengan nomor identifikasi manuskrip “3392 a” dan “3392 b”. Kode “3392 a” terdiri dari dua versi, yaitu hasil pengetikan ulang yang dilakukan Weber dan J. Soegiarto. Pernah ada upaya menerbitkan kamus tersebut, tetapi belum terwujud (sampai sekarang). Naskah ini diserahkan kepada J. Soegiarto, tanggal 29 November 1949, untuk diketik ulang, tetapi upaya ini tidak rampung. Sama halnya dengan Weber. Belum ada referensi lebih jauh mengenai dua nama ini, juga di mana proses penyerahan manuskrip tersebut.
Memulangkan manuskrip asli (mungkin) mustahil, tetapi yang bisa diupayakan adalah mendapatkan repro-nya. Masalahnya, mau atau tidak, dianggap penting atau tidak. Selain itu, instansi/lembaga apa yang semestinya berinisiatif melakukan hal ini.
Upaya melacak keberadaan kamus bahasa Lampung karya Van der Tuuk dirintis sejak 2011, hingga diperoleh info valid bahwa kamus itu ada di Perpustakaan Universitas Leiden. Medio 2013, upaya memulangkan kamus intens dilakukan. Menemui pihak-pihak berkompeten di Kedutaan Besar Belanda, menjalin komunikasi via surel dengan Dr. Marie-Odette Scalliet (Curator of South and Southeast Manuscripts & Rare Books, Special Collections, Leiden University Library), dan dibantu Kees Groeneboer (Kepala Erasmus Taalcentrum di Jakarta, sekaligus penulis buku biografi Van der Tuuk).
Untuk mendapatkan repro kamus Lampung dibutuhkan biaya 653 euro (hampir 11 juta rupiah). Semula, Perpustakaan Universitas Leiden, via Dr. Scalliet sebagai penanggung jawab seluruh koleksi Van der Tuuk memberi kesempatan untuk melihat langsung kamus dan manuskrip-manuskrip Lampung lainnya.
Keterbatasan dana dan nihilnya dukungan membuat hal itu tak terwujud. Pemerintah, lembaga budaya, dan para tokoh yang merasa peduli terhadap bahasa dan budaya Lampung mungkin terlampau sibuk dengan program-programnya hingga tidak punya waktu untuk merespons upaya pemulangan kamus. Biaya repro pun tampaknya terlalu tinggi untuk provinsi termiskin ketiga se-Sumatera ini, juga lembaga-lembaga yang rajin menggelar event berbiaya ratusan juta rupiah. Untunglah sejumlah media massa lokal dan nasional masih berkenan membantu publikasi tentang nasib kamus Lampung karya Van der Tuuk.
Ketika plan A (melihat langsung kamus, bawa pulang repro, dan mendokumentasikan visual) tidak terwujud, tetap diupayakan plan B (kamus tetap harus pulang). Sekali lagi, tanpa dukungan pemerintah atau lembaga budaya di Lampung. Justru Lampung Peduli—lembaga sosial untuk kaum duafa dan tidak bersentuhan langsung dengan ihwal-ihwal kebudayaan—yang mengambil inisiatif membantu proses birokrasi dengan Kedubes Belanda. Semoga ini bukan indikasi bahwa kebudayaan Lampung tergolong “duafa”.
Kedutaan Besar Belanda di Jakarta yang akhirnya membantu biaya repro kamus dan berkoordinasi dengan Perpustakaan Universitas Leiden. Sebelumnya, pihak Perpustakaan Univ. Leiden sempat mengirim surat pemberitahuan (14 November 2013) bahwa sampai tenggat yang ditentukan (13 Oktober 2013) tidak ada pelunasan repro dan mungkin permohonan tersebut dibatalkan.
Mujurlah, Kees Groeneboer berinisiatif menghubungi pihak-pihak terkait, juga meyakinkan kami bahwa kamus itu pasti dikirim. Demikianlah, tanpa gembar-gembor plus hiruk-pikuk, repro kamus Van der Tuuk telah pulang ke Lampung. Dikirim Perpustakaan Universitas Leiden dalam bentuk softfile.
Nomor identifikasi “3392 a” adalah hasil pengetikan ulang Soegiarto dan Weber. Versi Soegiarto, 71 halaman (termasuk kover dan pengantar singkat), hanya abjad A sampai D. Sementara Weber 27 halaman (termasuk kover dan pengantar dan hanya abjad A).
Membandingkan secara sederhana hasil ketik ulang Soegiarto dan Weber (bersumber dari kamus Van der Tuuk dan hanya abjad A—D), ada sejumlah lema atau kata yang tidak ditemukan dalam sejumlah kamus Lampung mutakhir. Dengan kata lain, ada kata yang telah punah dan hanya ada dalam kamus Van der Tuuk.
Kode identifikasi “3392 b” adalah kamus karya Van der Tuuk. Inilah kamus bahasa Lampung pertama. Dikirim dalam format landskap (2 halaman). Yang mengejutkan, kamus tersebut ternyata tulis tangan (pena dan pensil). Layaknya tulisan orang zaman dahulu, sebagian besar sulit dibaca. Diperlukan ketelitian jika ingin membacanya. Bisa jadi inilah penyebab Soegiarto dan Weber tidak merampungkan transliterasi kamus tersebut. Ada yang ditulis horizontal, vertikal, bahkan elips. Ada aksara Lampung, coretan di sana-sini, di bagian akhir ada cerita rakyat (Dayang Rindu dan Anak Dalom), prosa, pantun, sketsa senjata tradisional Lampung, alat musik Lampung, sosok wajah, dan di bagian akhir salinan surat dari/untuk Van der Tuuk bertanggal 2 Februari 1869.
Apa pun bentuknya, keberadaan kamus ini penting mengingat aspek budaya, sejarah, dan bahasa Lampung. Hemat kami, kamus Van der Tuuk adalah salah satu harga diri Lampung yang sekian lama ditelantarkan. Lampung patut mengapresiasi kerja sama dan respons cepat Kedutaan Besar Belanda, Perpustakaan Universitas Leiden, Lampung Peduli, dan Kees Groeneboer.
Secara pribadi saya wajib berterima kasih kepada segelintir kawan yang telah membantu upaya pemulangan kamus Van der Tuuk. Dukungan semangat, moral, materi, keraguan, bahkan sinisme adalah bagian dari proses tersebut yang telah saya terima dengan lapang dada.
Masih banyak manuskrip Lampung hasil inventarisasi Van der Tuuk, seperti cerita rakyat, hiwang, tangguh, bandung, transliterasi naskah dari bambu dan kulit pohon, juga kajian-kajian linguistik bahasa Lampung dan relasinya dengan bahasa-bahasa daerah di Nusantara. Bisa jadi manuskrip-manuskrip itu tidak ada lagi salinannya di Lampung. Mudah-mudahan suatu saat manuskrip-manuskrip itu pun bisa pulang.
Mengutip Chairil Anwar: kerja belum selesai, belum apa-apa. Saya berharap kelak ada pihak-pihak lain yang berinisiatif menindaklanjuti nasib kamus tersebut, juga naskah-naskah Van der Tuuk lainnya mengenai bahasa Lampung, semisal meneliti atau melanjutkan upaya yang telah dirintis Soegiarto dan Weber.
Tentu dibutuhkan peran dan kerja sama banyak pihak seperti handwriting expert, pakar bahasa Lampung, pakar bahasa Belanda, dan lainnya. Selain itu, perlu proses panjang untuk menghargai jasa Van der Tuuk—linguis dan leksikografer yang dilupakan-bagi bahasa Lampung dan bahasa-bahasa Nusantara.
Van der Tuuk memang tidak butuh penghargaan. Makamnya di Peneleh (Surabaya) selain lapuk digerus waktu, juga tidak banyak diketahui orang. Tinggal bagaimana bangsa ini menyikapi jasanya melestarikan bahasa daerah Nusantara. Tabik.