Thursday, November 28, 2013

Kandungan dan Manfaat Yahodara Night Cream


Kandungan dan Manfaat Yashodara Night Cream

KLIK DI SINI
  1. Mencerahkan dan memutihkan kulit secara merata (Alpha Arbutin)
  2. Mencerahkan kulit dengan cara mengurangi laju pembentukan melanosit melalui penghambatan Tyrosinase (Licorice)
  3. Mengurangi terjadinya kerutan pada kulit wajah dengan cara menstimulasi pembentukan kolagen dan meregulasi spingolipid (Vitamin B3)
  4. Membuat kulit tampak lebih bercahaya (AHA Natural)
  5. Mengembalikan keremajaan kulit dengan cara menambah kekenyalan kulit dan memperbaiki kulit bersisik (Extract Aloe Barbadensis Leaf)
  6. Menghaluskan kulit dengan cara membantu pengikisan sel kulit mati dan melindungi kulit dari zat-zat yang mengiritasi dan stress mekanik (Allantoin).

Siswa Lambar Bisa Suburkan Tradisi Literer


Oleh Aripsah

Sebagai generasi literer, siswa di Lampung Barat diharapkan bisa terus mengembangkan tradisi intelektual dan literer yang sejak lama ada di daerah itu.

APRESIASI SASTRA. Sastrawan Udo Z. Karzi (kanan) memberikan cendera
mata kepada seorang peserta apresiasi sastra dalam rangkaian Festival
Bahasa dan Sastra SMAN 1 Liwa, Lampung Barat, Jumat (22/11).
(DOKUMENTASI PANITIA)
TRADISI intelektual dan literer yang hidup sejak lama di Liwa, Lampung Barat, bisa menjadi motivasi bagi siswa di daerah ini untuk terus mengembangkan bakat mereka dalam dunia tulis-menulis.

Sastrawan Udo Z. Karzi mengemukakan hal tersebut pada apresiasi sastra dalam rangkaian Festival Bahasa dan Sastra, yang diselenggarakan SMAN 1 Liwa, di aula sekolah tersebut, Jumat (22/11). Dalam acara yang dibuka Kepala Dinas Pendidikan Lambar ini, Udo membawakan materi bertema Jejak literasi Liwa.

Kepala Dinas Pendidikan Lampung Barat Nirlan, dalam sambutannya, menyambut baik diadakannya apresiasi sastra ini. "Saya berharap acara ini bisa memacu kreativitas siswa di Lambar dalam bidang sastra. Semoga sekolah bisa menjadi benteng bagi pengembangan sastra di daerah ini," ujar dia, seperti dibacakan Kasi Teknis SMA/SMK Rusman.

Sunday, November 17, 2013

Kemanfaatan Festival Krakatau

ENTAH sudah berapa banyak dana yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan Festival Krakatau, tetapi hasilnya selalu dipertanyakan. Berbagai tulisan dimuat di media massa yang isinya kekecewaan atas kemanfaatan Festival yang memakan biaya yang tidak sedkit ini, tetapi sebegitu jauh belum ada klarifikasi  dari pihak penyelenggara, bahkan mengesankan bahwa penyelenggarapun membenarkan penilaian dan opini para penulis, sehingga seperti membiarkan opini ini beredar liar, sehingga publik larut dalam ksimpulan yang tak mengeuntungkan.

Thema Festival.
Bukankah dalam penyelenggaraan festival ini panitia telah mentapkan thema, yang berarti telah tercipta 20-an tema dalam menyelenggarakan festival ini,  thema thema tersebut sejatinya telah menggambarkan tentang filosofi dan agenda apa yang akan dilaksanakan, siapa pelakunya, siapa yang akan dilibatkan, apa manfaatnya, siapa yang akan memanfaatkan hasil dari festival yang telah rutin diselenggarakan ini. Dan peneyelenggarakan juga dituntut untuk konsekuen dengan tema tema itu.
Itulah sebabnya thema bukan hanya sekedar ada thema, sekedar menggugurkan kepantasan, tetapi hendaklah menjadi panduan penyelenggaraan secara keseluruhan, mereka mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan ini mulai dari perencanaan hingga pelaporan memahami betul makna wawasan thema ini secara detil.

Budayawan Menilai Festival Krakatau Belum Memuaskan.



BANDAR LAMPUNG (Lampost.co): Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ratusan suku bangsa, Indonesia punya banyak festival tradisional yang meriah. Salah satu festival tradisional terbesar di Indonesia di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Lampung yakni Festival Krakatau. Festival yang sudah diadakan untuk ke-23 kalinya memang bertujuan memperkenalkan budaya dan potensi wisata Lampung ke mata dunia.

Untuk penyelenggaraan kali ini, Kabupaten Lampung Selatan telah ditunjuk sebagai tuan rumah Festival Krakatau 2013. Kebetulan lokasi Gunung Krakatau memang menjadi bagian dari Lampung Selatan. Makanya Pemerintah provinsi Lampung mengubah penyelengaraan tempat festival yang selama ini kerap di kota Bandar Lampung.

Dan Festival Krakatau pun Usai


Oleh Isbedy Stiawan Z.S.


Festival Krakatau (FK) XXIII baru saja usai. Bagaimana kegiatannya?apatah gaungnya?nyaris tak terdengar. Terlihat event ini hanya jadi kegiatan tahunan yang penuh seremoni belaka
FESTIVAL Krakatau, hajat tahunan Pemerintah Provinsi Lampung untuk mempromosikan pariwisata dan budaya daerah ini, terus dipersoalkan. Dari masalah kegiatan yang tak pernah berubah tetapi jadwal kegiatan selalu berubah, hingga keterasingan Festival Krakatau (FK) di masyarakat Lampung sendiri.

Sejak digelar pertama kali hingga ke-23 pada 2013 ini, gelar FK seolah masih terus mencari bentuk. Tidak jelas ?bentuk? (format?) apa yang dicari kemudian dijadikan pegangan pada tahun-tahun berikutnya.

FESTIVAL KRAKATAU: Sejumlah peserta mengikuti karnaval budaya pada
pembukaan Festival Krakatau Ke-23 di Kalianda, Lampung Selatan, Sabtu
(19/10). Festival Krakatau bertema The 3rd Of Lampung & Tuping Carnival
dibuka dengan parade budaya Lampung dan acara puncak mengunjungi Gunung
Anak Krakatau pada Minggu, (20/10) yang diikuti 24 dubes dan investor
dari luar negeri. ANTARA FOTO/Kristian Ali

Persoalan FK terus dipertanyakan. Terbukti, setelah diskusi Lampung Bangkit yang ditaja Lampung Post, 17 September, dua hari kemudian terbit sehalaman membincangkan FK ditambah opini saya (baca Lampung Post, 19 September 2013), berturut-turut tulisan Karina Lin dan Syaiful Irba Tanpaka di harian yang sama.

Tidaklah sayang pada FK jika para pelaku seni demikian meradang. Pasalnya, dari tahun ke tahun gelar FK ini tidak ada peningkatan. FK seperti hanya untuk ?memanjakan? para elite dan para duta asing, sedangkan pelaku seni serta masyarakat Lampung dibiarkan untuk menonton pun tidak. Meminjam kata Chairil Anwar: ?yang bukan penyair tak ambil bagian!?

Wednesday, November 13, 2013

Masnuna (1932 - ? ) Benteng terakhir sastra Dadi Lampung.

BOLEH dibilang, sepanjang hidupnya digunakan mengabdikan diri pada dadi dan seni tradisi Lampung lainnya. Bagi Masnuna, dadi sudah menjadi bagian integral dari hidupnya.

Dialah yang melestarikan sekaligus menjadi penjaga seni dadi --salah satu bentuk sastra lisan Lampung. Ia memang dikenal luas karena kemampuannya melantunkan dadi. Walaupun begitu, ia tidak pernah mau menerima bayaran dari jasanya men-dadi.

Masnuna tetap konsisten mempertahankan keberadaan dadi dan tradisi lisan Lampung lainnya meski seolah tidak mendapat perhatian banyak pihak. Terbukti, hanya dia kini yang mampu men-dadi dengan segenap totalitas.

Generasi muda? "Mereka jelas lebih tertarik dengan orkes, musik pop, atau pesta-pesta yang jauh melenceng dari tradisi," kata Masnuna.

Akibatnya, kini hampir tidak ada generasi muda yang tertarik mempelajari dadi. Alasannya, sudah ketinggalan zaman dan sulit memahami bahasa dadi. Anaknya pun tidak begitu menguasai. Wajar saja Masnuna prihatin.

Tuesday, November 12, 2013

Memahami Musik cetik Dengan Wayak






Terbitnya buku Gamolan Pering yang ditulis oleh I Wayan Sumerta Dana Arta sangat membanggakan saya, karena dengan demikian Gamol Pering yang disebut juga 'Cetik' akan mampu memperpanjang usia dan bahkan memperlebar jangkawan, karena akan mampu mendatangi berbagai fakultas seni di seantero Indonesia. Dan ini juga sebagai teguran atas kelalaian berbagai pihak, karena justeru pendatang sebagai penyelamat jenis musik ini dari kepunahan. Jelas dengan terbitnya buku ini yang semula diawali oleh I Wayan Sumerta DA menterjemahkan bunyi yang dikeluarkan oleh gamol ini dalam bentuk solmisasi laras nada akan memudahkan para insan seni di berbagai fakultas dan Akademi Seni dan para  generasi muda untuk mempelajarinya dan berlatih sendiri tampa guru.

Dahulu Kanwil depdikbud sebenarnya telah mengawali langkah langkah seperti ini dengan cara melakukan inventarisasi seni tradisional Lampung, baik musik tradisional, tari tradisional, dan sastra tradsional. Walaupun dengan dana yang terbatas sehingga Bidang Kesenian yang pada saat itu hanya mampu menginventarisir satu tulisan untuk satutahun.

Memang pada saat itu sentuhan akademis dari tulisan tulisan yang ada dirasakan sangat kurang, sehingga banyak ungkapan yang kurang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara lancar baik kepada insan seni, dan apa lagi  kepada orang awam, sekalipun para penulis telah berusaha selengkap mungkin mengutip penuturan para pelaku seni, namun keterbatasan bahasa seni sehingga masih saja kurang membantu kelancaran komunikasi.  Tetapi karya yang satu ini seni cetik diinformasikan dengan bahasa yang lengkap dan  cukup komunikatif.

Tetapi untuk memahamai pesan moral musik cetik itu tidak semudah berkomunikasi dengan bahasa seni, karena bahasa seni tersebut harus ditingkatkan dengan bahasa fiulsafat. Memang seni adalah bagian dari filsafat, oleh karenanya memahami seni haruis memahami filosofinya. Tentu tidak mudah mengkimunikasikan bahasa filsafat ini dalam ranah sitematikanya, oleh karenanya ada cara yang mudah untuk memahami pesan dari cetik, yaitu pahami dulu wayak wayak yang lazim dilantunkan di wilayah Lampung Barat, karena musik cetik ini merupakan instrumen dari wayak itu.

I Wayan Sumerta DA : Lestarikan Cetik Tampa Pamerih





Jakarta - Program sosial budaya bertajuk Mutiara Bangsa yang diprakarsai Kraftig Advertising telah mencapai puncaknya di tahun kedua pemyelenggaraannya dengan penetapan 15 duta dari sektor lingkungan, pemberdayaan perempuan, kesehatan, kemandirian, pendidikan, kesejahteraan, dan kebudayaan daerah.
"Lima belas orang tersebut telah mengabdikan hidupnya demi kebaikan bagi orang lain. Mereka bekerja tanpa pamrih untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,’’ kata Direktur Kreatif Kraftig Advertising, Paul Bernadhi, saat menyerahkan penghargaan untuk ke-15 Mutiara Bangsa terpilih pada acara Malam Berbagi Baik di Hotel Sultan, Rabu (10/11) malam.

Salah satu yang terpilih adalah I Wayan Sumerta Dana Arta asal Lampung. Pria perantauan Bali ini dinilai berjasa melestarikan alat musik cetik, instrumen tradisional dari wilayah Skala Brak, Lampung Barat.
“Pertama kali saya terdorong untuk melestarikannya justru karena laras nada yang dimiliki instrumen ini berbeda dengan laras pentatonik alat musik Bali, Jawa dan Sunda,” kata Wayan kepada SH.

Wayan Mocoh : Membawa gamolan pering Ke Ranah Nusantara

NAMA panjangnya I Wayan Sumerta Dana Arta. Akan tetapi, kalangan seniman Lampung menyebutnya Wayan Mocoh alias Wayan Gendut karena porsi tubuhnya memang demikian.

Lelaki kelahiran Tabanan, Bali, 18 April 1971 silam ini merupakan sosok penting, bahkan sangat penting, dalam pengembangan dan pelestarian gamolan pering sebagai alat musik tradisional masyarakat Lampung dari Kabupaten Lampung Barat ini.

PERAN DAN FUNGSI KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DALAM RANGKA PENGUATAN DAN PELESTARIAN NILAI-NILAI ADAT ISTIADAT DI DAERA


Prof. Dr. H.M. Hadin Muhjad, SH.M.Hum

Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin

1. Pendahuluan
Atas permintaan panitia saya diminta membahas dari aspek Hukum Tata Negara judul di atas dalam rangka memperkuat pemahaman tentang Hukum Adat yang bernafaskan hukum positif (hukum negara)  di Kabupaten Gunung Mas.
Pada Kabupaten Gunung Mas sendiri telah diterbitkan  Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Mas Nomor  33  Tahun  2011 Tentang Kelembagaan  Adat  Dayak  Di  Kabupaten Gunung Mas Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Bupati Gunung Mas, Alasan terbitnya Perda tersebut adalah bahwa  Lembaga Kedamangan di Kabupaten Gunung Mas yang hidup, tumbuh dan berkembang memiliki peran penting bagi kehidupan dan keberadaan Masyarakat Adat Dayak sebagai bagian dari komitmen kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika, sehingga perlu dilestarikan, dikembangkan dan diberdayakan dengan memberikan kedudukan, kewenangan, tugas, fungsi dan peranan yang memadai dengan didukung dan dibantu oleh kelembagaan Adat Dayak lainnya, sehingga sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan  daerah otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Monday, November 11, 2013

(Buku) Mendekati Tulangbawang Dari Sisi Budaya



Data Buku:
Kearifan Lokal dalam Pembangunan Daerah
Agus Mardihartono
Indepth Publishing, Bandar Lampung
I, September 2013
xvii + 141 hlm.
TULANGBAWANG adalah salah satu kerajaan tua di Indonesia. Catatan China kuno menyebutkan pada abad IV seorang peziarah agama Buddha, Fa-Hien, pernah singgah di kerajaan yang makmur dan berjaya, To-Lang P?o-Hwang (Tulangbawang) di pedalaman Chryse (Pulau Emas Sumatera). Pemebentukan Kabupaten Tulangbawang diawali dari rencana sesepuh dan tokoh masyarakat bersama pemerintah sejak 1972 untuk mengembangkan Provinsi Lampung menjadi 10 kabupaten/kota. Akhirnya, Kabupaten Tulangbawang lahir dan diresmikannya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada 20 Maret 1997.

Buku ini memberikan banyak pengetahuan bagaimana sebuah kearifan lokal bisa dioptimalkan bagi kemajuan daerah. Kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan pembangunan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, dan kegiatan masyarakat perdesaan. Pembangunan yang tepat tidak pernah akan menghilangkan adat istiadat maupun kearifan lokal suatu daerah.

(Fokus) Meratapi Negeri Olokgading


Oleh Meza Swastika

BANGUNAN mewah dan perumahan elite terus mengepung Negeri Olokgading, kampung cagar budaya Lampung yang sudah ada sejak 1618.

Lamban balak.
Bangunan besar dua lantai bergaya art deco di Jalan Setia Budi, Telukbetung Barat, Bandar Lampung, itu terlihat mewah. Pagar besi setinggi 2 meter menyatu dengan kanopi besar di pekarangan rumah semakin mempercantik rumah yang baru beberapa bulan lalu selesai direhab ini. Di bagian teras terdapat taman kecil dengan beberapa pohon pelindung yang tampak teduh.

(Fokus) Runtuhnya Pusat Kewargaan saibatin


Oleh Meza Swastika

Rumah-rumah sudah banyak direhab, tetapi pintu utamanya tetap menghadap ke arah Lamban Balak. Ini sebagai tanda tempat itu pusat kemargaan, tempatnya Saibatin tinggal.

KERTAS-KERTAS dan sisa bungkus nasi itu dibiarkan tergeletak di lantai kayu teras luar rumah adat Kebandaran Marga Balak, Kelurahan Negeri Olokgading, Telukbetung Barat, Rabu pekan lalu. Tak jauh dari sampah-sampah itu, lima ibu setengah baya dan seorang lelaki terlihat tertawa-tawa.

Di hadapan mereka beberapa penganan ringan tersaji. Seorang di antaranya, dengan santainya membuang sampah plastik ke bawah rumah adat itu. Selesai bercengkerama melepas penat di rumah adat itu, mereka meninggalkan begitu saja, botol-botol minuman mineral dan sampah plastik tergeletak di teras rumah.

Setiap waktu, Lamban Balak itu terus dijejali dengan sampah dan kesan tak terawat. Orang-orang seperti ingin menanggalkan kesan kemuliaan rumah adat yang sudah ada sejak 1618 itu.

Rumah berikut pekarangan yang luasnya lebih dari 1.000 meter persegi itu nyaris tenggelam di antara rumah-rumah mewah yang berdiri di sekitarnya.

(Fokus) Negeri Olok Gading ? Nggak Tahu!


RAUT muka Sekretaris Kelurahan Negeri Olokgading, Tries K., langsung berubah merah saat diminta komentar soal desa cagar budaya Lampung, Rabu pekan lalu. Nada suaranya terlihat gugup. Dua kali ia membenarkan posisi kacamatanya.

Senyumnya seolah ingin menyembunyikan rasa malunya. Duduknya pun agak gelisah. Ia tergagap saat ditanya tentang sejarah Negeri Olokgading.

Ia juga berkali-kali meminta agar Lampung Post bertanya kepada lurah saja tentang daerah tempatnya bertugas itu. "Tanya lurah aja," katanya berusaha menutupi ketidaktahuannya tentang sejarah Kelurahan Negeri Olokgading.

Bahkan, ketika diminta sedikit saja menggambarkan keadaan Kelurahan Negeri Olokgading, Tries justru menjawab dengan alasan yang tak berhubungan dengan apa yang sedang ditanyakan. "Saya baru dua hari pulang diklat.?

(Fokus) Tempat Terdamparnya Kapal Berouw


SELAIN keberadaan Lamban Balak yang menjadi ikon Negeri Olokgading, di daerah ini pernah terdapat kerangka kapal Berouw. Kapal Angkatan Laut Belanda itu terbawa gelombang tsunami saat Gunung Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883.

Kapal Berouw itu terhempas hingga ke muara Sungai Kuripan. Belakangan saat terjadi banjir bandang tahun 1979, kapal itu terseret hingga ke jembatan Sungai Kuripan.

Kini, rangka kapal itu nyaris hilang, warga memereteli kapal itu dan menjualnya. Terdamparnya kapal Berouw itu juga dijadikan nama kampung di salah satu Kelurahan Negeri Olokgading, yakni Kampung Brau atau Berouw, merujuk pada nama kapal tersebut.

Kentalnya sejarah satu kampung di bilangan Kuripan ini memang layak dilestarikan. Dalam paragaf 5 Kawasan Cagar Budaya Pasal 45 Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bandar Lampung, Kelurahan Negeri Olokgading ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya bersama 13 kawasan lainnya.

Dalam Pasal 45 Ayat (2) perda tersebut, disebutkan bentuk pemanfaatan kawasan itu sebagai bentuk pelestarian budaya, revitalisasi serta mempertahankan keaslian cagar budaya tersebut.

Namun, belakangan Pemerintah Kota Bandar Lampung bersikap inkonsisten terhadap kawasan cagar budaya tersebut. Buktinya, para pengembang perumahan dibiarkan membabat habis kawasan cagar budaya itu, dan mengganti rumah-rumah adat khas Lampung dengan permukiman elite.

Tak hanya itu saja, meski telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, tak pernah sesenpun pemerintah memberikan bantuan.

Akibatnya, Andi Wijaya mengaku kerap kepayahan mencari uang untuk membayar listrik Lamban Balak. Ia juga kesulitan jika harus menyiangi semak belukar di halaman Lamban Balak. "Dari mana saya uang untuk ngerawat lamban," keluhnya.

Beberapa waktu yang lalu, ia sempat menemui kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung untuk meminta bantuan dana perawatan Lamban Balak. Tetapi jawaban yang didapatnya sangat mengecewakan.

"Mereka tidak menganggarkan biaya untuk perawatan Lamban Balak. Jadi, untuk apa mereka menetapkan Lamban Balak sebagai cagar budaya kalau tidak dibantu. Kami ini masyarakat, siap saja dengan program pemerintah, tapi kalau program itu hanya sekadar slogan, buat apa kami mendukungnya atau lebih baik dihapus saja sebagai kawasan cagar budaya kalau tidak diperhatikan. Biar kami saja sebagai masyarakat adat yang berusaha menjaganya,? kata Andi Wijaya.

Udo Z. Karzi menyebut pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kawasan cagar budaya, termasuk Negeri Olokgading. "Kalau memang sadar sejarah dan sadar akan budayanya, ya mereka harus bertanggung jawab, jangan hanya sebatas diatur dalam perda saja.?

Kalau hanya mengandalkan masyarakat, lanjutnya, mereka tentu akan terkendala biaya apalagi pemerintah tak pernah memberikan bantuan apa pun.

"Itu warisan sejarah, tapi kenyataannya kondisinya kini seperti hidup segan mati tak mau, rusak di mana-mana, tidak terawat, apalagi modernisasi terus mengepungnya dengan berdirinya perumahan-perumahan elite, sementara pemerintah seperti tak berbuat apa-apa,? kata dia. (Meza Swastika)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013

(Fokus) Bahasa Lampung Nasibmu Kini


Oleh Dian Wahyu Kusuma


Dua belas tahun berlalu sejak pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan mengatakan bahasa Lampung bisa punah dalam 3?4 generasi atau 75?100 tahun. Selama itu relatif tak ada upaya sistematis dan strategis dari para pihak untuk mencegah kemungkinan itu.

REVITALISASI BAHASA LAMPUNG. Dari kiri ke kanan: sastrawan
AM Zulqornain Ch., pengamat Unila Kahfi Nazaruddin, sastrawan Isbedy
Stiawan Z.S, dan pengamat Jauhari Zailani.
KELUH-KESAH, curahan hati, rasa tak percaya diri, dan sikap saling curiga antara pihak satu dan lainnya. Begitu yang mengemuka dari Seri Diskusi Lampung Bangkit III dengan tema Revitalisasi bahasa Lampung di Lampung Post, Selasa (22/10).

Terhadap tema ini pun penyair Ari Pahala Hutabarat berkomentar di Facebook, "Apa yang direvitalisasi? Memang kapan bahasa Lampung itu punya peran vital? Ini perlu diluruskan dulu untuk bisa menemukan solusi."