Sunday, January 31, 2016

FRIEDA AMRAN, ANTROPOLOG, PERAWAT INGATAN TENTANG LAMPUNG

Penggila Udang dan Kepiting

oleh alexander gb

Sudah setahun ini, setiap pembaca koran harian Lampung Post, terlebih penyuka sejarah Lampung, tentu tidak asing dengan sosok satu ini, yang setiap minggu namanya terpampang di rubrik Lampung Tumbai. Satu rubrik yang mengulas tentang Lampung Tempo Doloe. Dia Frieda Amran, yang dengan tekun merawat ingatan–melawan lupa istilah Milan Kundera akan sejarah kita.

Bagaimana ia menikmati dan menjalani hidup, bagaimana ia mencintai dunia yang membuatnya jauh dari rumah, jauh dari kehangatan keluarga? Apa yang ingin dan bisa dilakukan wanita yang usianya sudah memasuki paruh baya tersebut?

Ada banyak pertanyaan yang berkelindan dalam benak saya, yang belakangan jumut dengan persoalan perkembangan dan pergaulan seni dan pemikiran, khususnya teater di Lampung. Meski pertemuan dengannya terbilang singkat, atau boleh dikata sepintas lalu saja. Tapi ada hal, yang secara umum bisa saya simpulkan, ia jatuh cinta pada kekayaan budayaan Sumbagsel. Karena rasa cintalah kami bisa bertemu, berbicara ngalor ngidul di jantung kota Bandar Lampung, di dekat kolam Hotel Grande, sebuah sore.

Ah, mestinya, kami berbincang di beranda rumah panggung, tentu akan lebih menyenangkan, ditemani kabut, segelas kopi panas, atau makanan khas provinsi yang dikenal dengan tapisnya ini. Namun apa daya, sejumlah keterbatasan dan ketidaksengajaan telah mempertemukan kami di Grande.

Tentu tak ada yang aneh dengan pilihann musiknya, dia menyukai jazz, rock and roll dan musik latin (untuk salsa, meringue dan sejenisnya), termasuk Norah Jones sebagai satu penyanyi yang dikaguminya. Ia menjadi unik karena ibu rumah tangga beranak empat ini menjadikan menulis sebagai profesinya. Sebuah pekerjaan yang telah membawanya melalang buana, menikmati keragaman budaya nusantara, yang membuat matanya selalu berbinar, diliputi semangat yang menyala-nyala. Selalu asyik-ayik saja menjalani dan menikmati kehidupan. Be happy, be rock’n roll.

Sebagai salah satu putri mantan Rektor Universitas Sriwijaya (UNSRI) tentu wacana semacam ini bukan hal baru. Soal bagaimana menyelamatkan aset-aset berharga yang kita kenai anggapan sebagai warisan budaya ini, yang menjadi dasar dari setiap proses identifikasi kultural masyarakatnya, yang kian lama kian kabur digerus zaman, sementara arsipnya tercerai berai dinegeri orang. Lantas bagaimana generasi muda di Sumbagsel jika ingin mengetahui sejarahnya, budayanya? Barangkali berangkat dari kepedulian semacam ini, dengan segala cara, ia menginvestasikan sebagian besar waktunya di bidang antropologi.

Terbatasnya literatur khususnya mengenai Sumbagsel (Sumsel, Jambi, Bengkulu, Lampung) menarik minatnya. Termasuk fakta bahwa sedikit sekali orang yang care dan mau bersusah payah menggali nilai-nilai budaya, yang oleh orang kebanyakan akan dibilang bidang yang tidak seksi. Namun bagi Frieda yang sudah lebih 30 tinggal di Belanda, ini menjadi sangat penting dan urgen, ia merasa terpanggil untuk kembali menelusuri ingatannya, membaca sejumlah arsip tentang Indonesia yang tersimpan di sejumlah museum. Kata demi kata ia baca, satu demi satu arsip ia terjemahkan, hingga kini sudah tak terhitung banyaknya arsip yang telah dialih bahasakan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Dan pastinya ini adalah sumbangan yang sangat berharga bagi kita semua.

Bermodalkan kemampuan berbahasa Inggris dan Belanda, ia memulai petualangannya. Meneliti karya-karya Nusantara yang saat ini tersimpan di Belanda, termasuk karya-karya ‘klasik’ Lampung yang hasilnya telah kita nikmati setiap minggu, di kolom Lampung Tumbai (Lampung Post, Minggu).

Mungkin atas dasar itu pula, setelah berkorespondensi dengan Arman AZ dan Udo Z Karzi, pada suatu sore, kami bertemu di pinggir kolam Hotel Grande. Udo Z Karzi yang dikenal sebagai salah satu pejuang kebudayaan Lampung duduk di salah satu kursi, berbincang dengan serius tentang follow-up rubrik Lampung Tumbai yang ketika itu usianya menjelang satu tahun, Arman Az yang juga interes dengan sejarah Lampung, yang sedang bergelut dengan pemikiran Van Der Tuuk tak kalah antusias. Demikian halnya dngan Oyos Suroso HN, Irwan Wahyudi, dan Panji Utama yang memang dikenal punya perhatian terhadap perkembangan seni dan budaya di bumi lada ini.

Saya juga ada di antara mereka. Tak tahu apa kepentingan saya ada di situ. Dan barangkali kali hanya ingin berkenalan dan bergembira. Berkenalan dengan sosok yang dihidupi rasa cinta pada suatu bidang. Sesuatu yang jarang saya temui. Banyak orang, terkadang lebih peduli dengan dirinya, daripada ilmu atau bidang tertentu. Frieda Amran mungkin tak lagi penting, yang lebih penting adalah apa yang bisa ia lakukan, apa yang bisa ia sumbangkan, sebentuk kerja tanpa kenal lelah yang tak tahu akan mengantarnya kemana, untuk sebuah upaya sederhana dalam konteks menyelamatkan peradaban Sumbagsel.

Pada titik ini, saya berhenti. Menarik dan menghembuskan nafas, mengatur peredaran darah, detak jantung yang mulai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapa sedikit orang yang memiliki dedikasi semacam dia. Dan sebagai salah satu penggiat seni, saya yang masih muda malu, gairahnya masih jauh darinya. Ia telah dihidupi cita-citanya. Begitulah yang terlintas dalam benak saya. Dan dengan segala cara ia mencoba untuk mewujudkannya. Bertolak belakang dengan mayoritas orang yang dalam pandangan saya hanya memikirkan eksistensi atau kepentingan pribadinya, lalu mengutuk-ngutuki keadaan jika tak sejalan dengan harapan.

Ia mencintai dunianya, antropologinya, lebih dari apa pun. Di Lampung Post dengan senang hati ia diwawancarai oleh radio Lampung Post, berbincang dengan sejumlah petinggi di sana, dan ia tak pernah membahas tentang dirinya, tentang bayaran yang harus ia terima untuk semua yang telah dilakukan, meski mungkin itu dibutuhkannya. Ia terlalu mencintai bidang itu. Itulah yang saya rasakan. Sehinga sambutan yang dingin, di kunjungan pertamanya di Lampung tak dipermasalahkannya, bahkan ketika harus naik motor berkeliling Tanjungkarang, ia tetap tersenyum.

Dan esoknya dia sudah meninggalkan Tanjungkarang, tanpa forewel party.

Lalu pertemuan berlanjut hanya melalui media sosial, tepatnya melalui Facebook, sesekali kembali berbincang dengannya, yang dalam benak saya seperti mahasiswa semester satu atau dua yang sedang semangat-semangatnya menikmati perkuliahan. Semangat dan kecintaannya pada kebudayaan Sumbagsel benar-benar mengagumkan. Ia seperti tak pernah lelah, bahkan ketika terpaksa harus naik motor di siang yang terik, ia tetap bersemangat, dan senyum ramahnya tak pudar dari pagi hingga malam tiba.

Tentu bukan perkara mudah, bagaimana ia harus berdisiplin, agar setiap minggu ada tulisan yang siap diterbitkan, selain Lampung Tumbai ia mengasuh dan menulis dua artikel sejarah sosial-budaya: di Palembang (rubrik Palembang Tempo Doeloe). Setelah sebelumnya juga menjadi penulis tetap untuk rubrik Wisata Kota Toea di harian Wartakota, Jakarta (tentang sejarah sos-bud Batavia). Sayangnya, tahun 2013 Wartakota menghentikan rubriknya sehingga ia tidak lagi menulis untuk mereka.

Selain menulis artikel-artikel untuk kedua rubrik itu, ia mempersiapkan sebuah kumpulan cerita rakyat bersama seorang penulis muda di Medan. Beberapa tahun lalu, ia mengajak Soufie Retorika (wartawan di Lahat) untuk bersama-sama membuat kumpulan cerita rakyat Lahat. Buku bersama Soufie (‘Cerita Rakyat Batangari Sembilan: Lahat’) terbit tahun 2012. Hasil penjualan buku itu digunakan untuk menerbitkan buku bersama Sartika Sari—yang InsyaAllah, dapat selesai tahun ini juga.

Cita-citanya, kalau buku kedua ini selesai dan laku terjual, hasil penjualannya dapat digunakan untuk membuat buku selanjutnya—bersama penulis muda lain lagi. Dengan cara ini, ia berharap dapat membantu dan mendorong penulis muda dari daerah (Sumatera) untuk mengolah kembali cerita rakyat sehingga menarik bagi pembaca Indonesia masa kini. Semoga. Amin.

Sebagai antropolog, yang menjadi pokok perhatiannya adalah ‘budaya’ dalam artian antropologi (yaitu sistem gagasan, prilaku dan benda budaya). Menurut Koentjaraningrat, di dalamnya terdapat 7 unsur kebudayaan, yaitu: sistem religi dan kepercayaan; sistem organisasi sosial (termasuk kekerabatan, politik dan hukum-hukum adat); sistem teknologi dan matapencaharian (termasuk arsitektur tradisional dan kerajinan rakyat) ; sistem bahasa (termasuk komunikasi budaya); sistem pengetahuan; dan kesenian (seni pertunjukan, seni rupa dan ragam hias tradisional).

Ia secara sadar memilih untuk memperhatikan Sumatera bagian selatan karena menurutnya, selama ini dan bahkan, sampai sekarang, lebih banyak—terlalu banyak(?)–perhatian yang diberikan kepada sejarah sos-bud di Pulau Jawa dan Bali. Daerah lain di Indonesia terlantar. Karena ia sendiri berasal dari Sumatera, tentunya ia lebih tertarik pada Sumatera daripada daerah lain.


Ia bermimpi untuk dapat mengolah dokumentasi empat daerah sumbagsel: Palembang, Lampung, Bengkulu dan Jambi karena menurut ia, sejarah dan perkembangan budaya keempat daerah itu saling kait dan tidak terpisahkan. Saat ini, tiap daerah itu mempunyai banyak ahli—yang masing-masing mengolah dan mengkaji daerah masing-masing. Rasanya, belum ada seorang pun yang mencoba menyeberangi batas-batas daerahnya untuk mendapatkan gambaran yang mendekati utuh. Mungkin utopia. Tapi ia mulai saja dengan Palembang dan Lampung.

Di sebuah masa, ia pernah dekat dengan Prof. Koentjaraningrat. Profesor menekankan pentingnya mengkaji tulisan-tulisan yang dibuat oleh Belanda di zaman penjajahan sebagai sumber informasi bagi penelitian ilmu sosial. Frieda setuju dengan pikirannya itu.

Kebersamaan dengan Koentjaraningrat tersebut nyatanya amat membekas dalam benak Frieda Amran, kemudian ia serius belajar bahasa Belanda, agar bisa membaca ribuan arsip yang tersimpan di sejumlah museum di Leiden. Sebab, sebagaimana yang dikatakan Profesor, tak banyak orang yang dapat membaca tulisan-tulisan. Lalu Frieda menceritakannya kembali kepada pembaca, cerita-cerita tempo dulu, yang abai dari buku-buku sejarah yang kita baca di sekolah. Jerih payahnya yang tak mengenal lelah dan putus asa tersebut, membuat sosok Ibu yang murah senyum ini, tak pelak, menjadikannya sebagai salah satu tokoh penting bagi Sumbagsel saat ini.

Sosok yang suka membaca cerita detektif dan roman sejarah, menulis macem-macem (termasuk puisi dan catatan-catatan ‘sok-tau’ tentang keluarga dan segala-sesuatu yang menarik perhatian ia); masak; melukis; menjahit; menari salsa; main squash.

Ah sayang, waktu itu orang-orang terlalu serius berbincang tentang seni dan budaya, sehingga luput menanyakan bahwa ternyata, meski sudah lebih 30 tahun di Belanda, makanan favoritnya tetap soto betawi di Jakarta; pindang patin di Palembang; gulai otak, ayam pop dan sayur daun singkong di restoran-restoran Padang; dan aneka makanan di Eropa. O, juga tergila-gila pada udang satang dan kepiting.

Meski telah banyak menulis artikel, menerjemahkan arsip-arsip tentang Sumatera, ia belum sempat untuk membuat semacam buku riset, tentang budaya yang berkembang di Sumbagsel. Ia sendiri belum terpikir untuk melakukannya. Sebetulnya, ia lebih berharap bahwa para pembaca akan tertarik untuk menuliskan catatan mengenai sejarah masyarakat dan budayanya sendiri. Mengapa hanya orang asing saja yang menulis tentang kain Lampung misalnya, padahal yang paling banyak tahu tentang tapis adalah orang Lampung sendiri?

Buku Kumpulan Puisi Frieda Amran, Sembilan Ribu Hari, 2013.

Oia, dia penyair juga. Sudah punya buku kumpulan puisi yang berjudul ‘Sembilan Ribu Hari’ yang diterbitkan Pustaka Spirit, 2013. Sartika Sari, Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan, saat ini bergiat di Komunitas Tanpa Nama, Komunitas Penulis Perempuan Indonesia, dan Laboratorium Sastra Medan di Harian Kompas, Minggu, 9 Maret 2014, yang mengatakan:
Penyair yang juga merupakan seorang antrolopog lulusan Universitas Indonesia ini tidak hanya menelurkan ungkapan-ungkapan segar dan lugas dalam hampir setiap puisinya. Lebih jauh, keberanian “bicara” adalah kekuatan yang berhasil membawa Sembilan Ribu Hari pada kenikmatan puitik. Penyair tidak lagi bertungkus lumus pada pembicaraan dalam penantian dan kepasrahan – yang secara umum dianut perempuan dalam percintaan. Namun berhasil mengubah kayuh biduk ke arah “kenyataan”. Perempuan sesungguhnya bisa bertindak sebagai pengambil keputusan. Perempuan adalah sutradara yang handal. Dengan logika dan kemandirian, dalam percintaan pun, perempuan bisa bertindak rasional sebagai pemimpin untuk dirinya sendiri.

Sembilan puluh enam puisi yang sebagian besar bicara soal perempuan, cinta dan kehidupan pribadinya ini, lebih mirip “rahim” bagi sejumlah ideologi perempuan dalam perjuangan menolak dominasi, ketidakadilan serta sebagai representasi hidup dalam upaya mempertahankan martabat keduniawian. Banyak hal yang semestinya bisa dilakukan perempuan di luar “kebiasaan” yang telah dikenali masyarakat. Melalui unsur-unsur pembentuknya, puisi-puisi yang sebagian besar bicara tentang cinta tersebut pun terasa sangat indah, romantis dan energik. Paduan perasaan, reaksi dan persepsi menjadi sangat kuat. Begitulah, Sembilan Ribu Hari menuliskan pemikiran penyair dan berpeluang besar untuk menjadi bibit pemikiran serta keyakinan para perempuan – pembacanya.
(Sartika Sari, Penulis adalah penggiat sastra)
Sayang buku tersebut tak beredar di Lampung. Meski tetap saja ia berkilah, ia mengatakan dia bukan penyair, bukan hendak menyuarakan perjuangan perempuan.Hanya menulis.
“Aku tidak merasa sebagai penyair. Aku suka bermain kata dan puisi adalah permainan kata yang dibuat sebagai reaksi terhadap cerita teman, kerabat atau situasi aku pribadi. Mungkin karena aku sendiri tidak suka perempuan cengeng dan juga berusaha untuk tidak cengeng, maka ada orang(-orang) yang menganggap puisi-puisi ia ‘feminis’. Lucu juga. Sartika Sari pernah membuat resensi buku ‘9000 hari’ untuk rubrik opini di kompas (ada di notes aku di fb). Dia salah seorang yang menganggap puisiku ‘feminis’. Haha ..” ujar Frieda.

Kembali pada perbincangan awal, soal pelestarian budaya, menurutnya penting dilakukan karena budaya merupakan hakikat yang memberi identitas dan keistimewaan kepada manusia-manusia pendukungnya. Pelestarian itu tidak dapat diserahkan untuk dilakukan oleh pemerintah saja. Pelestarian budaya harus dan hanya dapat dilakukan oleh masyarakat pendukungnya sendiri. Suatu bentuk budaya—apakah itu gagasan budaya, pola prilaku (adat-istiadat) atau benda budaya—hanya akan dipertahankan dan lestari kalau masyarakat membanggakan bentuk budaya itu.

Akan tetapi, kebudayaan selalu berubah. Ada yang hilang, ada yang terlupakan dan ada pula bentuk-bentuk baru yang muncul. Karena itu, selain upaya melestarikan (dengan membuat pelatihan tari, menenun, dan entah apa lagi), juga perlu dibuatkan dokumentasi rinci supaya walau suatu bentuk budaya menghilang, kita masih mempunyai catatan lengkap mengenai hal yang pernah dipikirkan, dilakukan dan diyakini oleh nenek-moyang kita.

Rubrik ‘Palembang Tempo Doeloe’ di harian Berita Pagi, Palembang dan ‘Lampung Tumbai’ di Lampung Post Minggu berisi artikel yang mengolah tulisan orang Belanda (sebelum kemerdekaan) mengenai Palembang dan Lampung. Ia hanya mengolah tulisan berbahasa Belanda saja karena tak banyak lagi orang yang dapat membaca tulisan-tulisan itu.

Demikian hasil wawancara singkat, dengan wanita yang pada bulan September lalu diminta untuk memberikan Kuliah Umum untuk mahasiswa baru di Fakultas Adab dan Budaya Islam, IAIN Raden Fattah, Palembang. Dulu, sebelum menikah, ia sempat mengajar di antropologi, FISIP-UI. Lalu, setelah menikah, di Belanda, ia mengajar bhs Indonesia di Volksacademie, Delft dan mengajar akulturasi di Indonesia dan Asia Tenggara di biro konsultan (yang dibawahi oleh Univ. Leiden). Saat ini, ia tidak mengajar apa pun di mana pun.

Nah, ia tertarik pada Lampung tumbai karena memang Lampung memiliki sejarah dan budaya yang menarik.

Bandar Lampung – Hoogerheide, 21 Januari 2015

BIODATA
Nama: Frieda Agnani Amran
Tempat/Tanggal Lahir: Palembang, 21 augustus 1959
Riwayat Tempat Tinggal:
1998 sampai kini Hoogerheide, Negeri Belanda
1995-1998 Jakarta, Indonesia
1990-1995 Leiderdorp, Negeri Belanda
1988-1990 Voorburg, Negeri Belanda
1986-1988 Jakarta, Indonesia
1983-1986 Leiden, Negeri Belanda
1975-1983 Jakarta, Indonesia
1970-1975 Palembang, Indonesia
1966-1970 Ann Arbor, Michigan, USA
1959-1966 Palembang, Indonesia
Pendidikan:
1983-1986: Rijksuniversiteit Leiden, Fakultas Ilmu Sosial—Antropologi Budaya (pendidikan S2) – tanpa diploma, 1978-1983: Universitas Indonesia, Fakultas Sastra—Antropologi Budaya (pendidikan S1)
Pengalaman Kerja:

2014: Pengasuh rubrik “Lampung Tumbai,” Harian Lampung Post.
2011: Pendiri yayasan warisan budaya WARISS (Warisan Insan di Selatan Sumatera) – dalam proses
2010: Pengasuh Rubrik Khasanah ‘Palembang Tempo Doeloe’, Harian Berita Pagi (Palembang)
Oktober, 2010 – Januari, 2013: Kontributor Tetap Rubrik ‘Wisata Kota Toea’, Harian Warta Kota (Jakarta)
2008-2010: pekerja sosial Stichting Vluchtelingenwerk (Lembaga Bantuan Pengungsi)–(Bergen op Zoom, Negeri Belanda)
1998-2000: dosen tamu tetap “Interculturele Communicatie in Indonesie and Zuidoost Azie”, Inter-Consultancy Bureau, Rijksuniversiteit Leiden (Negeri Belanda)
1995-1998: staf harian Asosiasi Antropologi Indonesia (Jakarta)
1991-1995: dosen tamu tetap “Interculturele Communicatie in Indonesie ”, Indonesia Consultancy Bureau, Rijksuniversiteit Leiden (Negeri Belanda)
1990-1991: peneliti untuk Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (Den Haag, Negeri Belanda)
1989-1995: dosen tetap “Indonesische Taal en Cultuur”, Vrij Academie (Delft, Negeri Belanda)
1988-1989: penerjemah (Indonesia-Belanda-Indonesia) untuk de Stichting Tegen Vrouwenhandel (Yayasan Anti Perdagangan Wanita)–(Den Haag, Negeri Belanda)
1986-1988: dosen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (Jakarta)
Konsultan ahli sosial-budaya PT Waseco Tirta/Iwaco (Jakarta)

Pengalaman Organisasi:

2011: Pendiri dan ketua Dewan PembinaWARISS (Warisan Insan di Selatan Sumatera)
2000-2003 : Anggota Dewan Orangtua, Basisschool de Stappen (Hoogerheide, Negeri Belanda)
1998-2000: Sekretaris Werkgroep Indonesische Vrouwen Studies (Forum Studi Wanita Indonesia), Fakultas Ilmu Sosial, Rijksuniversiteit Leiden (Negeri Belanda)
1995-1998: staf harian Asosiasi Antropologi Indonesia, Jakarta
1997: anggota panitia pelaksana ‘Symposium on Anthropology in Indonesia’, diselenggarakan oleh Asosiasi Antropologi Indonesia, Jakarta
1990-1995: Sekretaris Werkgroep Indonesische Vrouwen Studies (Forum Studi Wanita Indonesia), Fakultas Ilmu Sosial, Rijksuniversiteit Leiden (Negeri Belanda)
1995: sekretaris pelaksana International Symposium on Indonesian Women Studies, diselenggarakan oleh Werkgroep Indonesische Vrouwen Studies (Forum Studi Wanita Indonesia) di Leiden (Negeri Belanda)

Publikasi:

Beberapa puisi dalam Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit . Jakarta: Komunitas Radja Ketjil. Juni 2014.
Cerita Rakyat Batanghari Sembilan (bersama Soufie Retorika). Jakarta: Pustaka Spirit. 2013
Sembilan Ribu Hari (antologi puisi). Jakarta: Pustaka Spirit. 2013.
Back to Ubud: Another Village Called Home–A Bilingual Anthology of Indonesian Writers. (Frieda Amran, ed). Ubud: Forum Sastra Indonesia-UWRF. 2013.
Batavia: Kisah Kapten Woodes Rogers & Dr Strehler. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2012
Beberapa puisi (“Bukan Aku,” “Airmata,” “Untukmu” dan “Memilih Diam”) dalam Kartini 2012: Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia Terkini. Jakarta: Kosakatakita Penerbit. 2012
Pangeran Katak dan Sang Putri (bersama Hendry Ch. Bangun dan Wahyu Wibowo. Jakarta: Pustaka Spirit. 2011)
Berbagai artikel dalam harian Berita Pagi, Palembang (2010 – sekarang)
Berbagai artikel dalam harian Warta Kota, Jakarta (2010 – sekarang
100 Jaar de Stappen . Hoogerheide: Basisschool de Stappen. 2005.
Corat-coret Koentjaraningrat . Jakarta: Yayasan Obor & AAI. 1997
Interculturele Communicatie in Indonesia (panduan untuk kursus Interculturele Communicatie in Indonesie). Leiden: Inter-Consultancy Bureau, Rijksuniversiteit Leiden. 1992.
Pengaruh Aspek Sosial Budaya terhadap Hubungan Kerja Pengusaha Indonesia dan Belanda di Indonesia . Den Haag: Kedutaan Besar Republik Indonesia. 1992.
“Kavelruil in Drenthe: A Case of Negotiation or Adjudication?,” dalam Nieuwsbrief voor Nederlandstalige Rechtssociologen, Rechtsantropologen en Rechtspsychologen No. 2, 1985. Nijmegen,1985
Etnografi Penduduk Pulau Enggano: Sebuah Laporan Sementara (bersama Mulyawan Karim, Sri Sulistinah, Emmed Madjid). Jakarta: 1979

Penghargaan:

Termasuk dalam Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia. Jakarta: Penerbit Kosakatakita. 2012.

Sumber : Earta Seni Online

No comments:

Post a Comment